Bintang mengembuskan nafasnya lega setelah berhasil masuk ke gerbang sekolah sebelum ditutup. Senyumnya lebar karena biasanya dia mendapat hukuman, kali ini dia terbebas dari itu. Anehnya, anak – anak OSIS yang biasanya menghadang di depan gerbang pun tidak ada satu pun di sana.
Memang sedikit aneh bagi Bintang, tapi itu berarti keberuntungan sedang berpihak padanya. Dengan bangga dia berjalan di tengah – tengah halaman menunjukkan pada semua teman – temannya kalau dia bisa datang tepat waktu sebelum gerbang ditutup.
“Minggir, ada mobil!” teriak seseorang dari teras depan kelas dua belas.
Bintang menoleh ke belakang dan membuatnya langsung melompat minggir karena ada beberapa mobil mewah tiba – tiba saja masuk ke lingkungan sekolah. Sekolah mereka memang tak memiliki tempat parkir untuk anak – anak yang memang tidak diperbolehkan membawa kendaraan pribadi.
Semua siswa – siswi SMA Mahardika Jaya 01 seketika berhamburan menyambut mobil itu. Sementara Bintang masih berdiam di tempat tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di sekolahannya itu. Anehnya, guru – guru pun ikut menyambut kedatangan tiga mobil mewah itu.
“Ada apaan sih?” gumam Bintang mendekat ke gerombolan. Sayangnya, gerombolan itu sudah terlalu penuh di depan tangga hingga dia tak bisa melihat apa yang membuat semua orang heboh.
“Astaga, ganteng banget!” pekik cewek – cewek.
Bintang seketika berpikir, dia rasa di sekolah mereka sangat jarang ada cowok yang ganteng apalagi idola sekolah. Jadi, mungkin itu memang mobil milik orang kaya yang anaknya baru pindah ke sekolah itu bersama dengan pengawal – pengawalnya. Seperti di komik – komik yang ada di pikiran Bintang.
Seseorang tiba – tiba saja merangkul pundak Bintang akrab. Itu adalah Dinda, teman baik Bintang. Dinda tampaknya juga baru datang entah dari mana sehingga tak bisa berada di kerumunan depan. Tapi, dia terlihat tidak penasaran dengan apa pun.
“Ada siswa baru ya?” tanya Bintang
Dinda menoleh dan terkekeh pelan, “Jadi lo nggak tahu? Mereka itu siswa yang ikut program pertukaran pelajar waktu kelas sepuluh itu loh,” jawab Dinda sambil geleng – geleng kepala dengan ketidaktahuan temannya itu.
“Gue mana ingat,” timpal Bintang.
Dinda melihat – lihat bagian kerumunan beberapa saat kemudian menarik tangan temannya itu menerobos semua kerumunan itu sehingga mereka bisa berada di barisan depan. Tak peduli berdesak – desakan seperti itu hingga membuat rambut Bintang yang hanya panjang sepunggung berantakan bukan main.
Mereka akhirnya sampai di barisan paling depan meskipun mendapat teriakan dari anak – anak yang lain. Keduanya berjongkok agar tidak mengganggu penglihatan semua orang.
“Itu, yang pakai jam tangan hitam namanya Iqbal. Cakepnya bukan maen.” Dinda memberitahu Bintang.
Benar, cowok yang katanya bernama Iqbal itu memang terlihat begitu tampan. Wajahnya simetris dan terlihat sedikit nakal juga ada bau - bau orang yang ceria dan bisa dipercaya. Selain itu, dia menyapa semua orang dengan ramah tamah membuatnya terlihat sangat baik. Idaman semua orang.
Sementara cowok satunya lagi memang biasa saja dengan gaya rambutnya yang kuno dan kacamatanya. Tapi postur tubuhnya lebih bagus ketimbang Iqbal. Bintang sampai memiringkan kepalanya memperhatikan dua siswa berprestasi itu dengan seksama membuat Dinda tertawa melihatnya.
“Yang itu siapa?” tanya Bintang menunjuk pada cowok lain di samping Iqbal.
“Zayan. Kabarnya sih, anak kelas bahasa. Cuman, gue nggak begitu tertarik sama dia juga,” jawab Dinda.
Memang benar Zayan tidak terlihat memukau. Tapi wajahnya begitu dingin dan seolah malas menanggapi pertanyaan – pertanyaan dari anak – anak lain. Bahkan dia juga menjawab seadanya ketika para guru bertanya padanya. Benar – benar wajah yang tidak ceria sama sekali.
“Mana yang lebih lo suka?” tanya Dinda.
“Nggak tahu. Gue juga nggak pernah bicara sama mereka.” Bintang berpikir sejenak.
Dia penasaran dengan yang bernama Zayan itu. Terlihat pemalas tapi benar – benar menjadi siswa berprestasi bahkan lulus seleksi program pertukaran pelajar? Itu mengagumkan. Hanya saja dia tidak yakin bisa berbicara dengan Zayan maupun Iqbal. Keduanya dua orang pintar.
Berbeda dengan dirinya yang hanya butiran debu yang bisa bergerak ketika ada keajaiban dari angin untuk menggerakkannya. Dia tidak akan seberuntung itu dengan berteman dengan orang – orang pintar.
“PR lo, udah dikerjain belum?” tanya Dinda.
“Ya ampun, lupa!” Bintang langsung bangkit dan mencari jalan keluar dari kerumunan itu. Sayangnya semuanya rapat kecuali dia bisa berjalan di depan guru – guru dan dua siswa berprestasi itu untuk menaiki tangga menuju kelasnya.
Benar saja, tak tanggung – tanggung Bintang tiba – tiba berjalan di hadapan guru – guru dan melewati dua siswa yang tengah berbicara kepada semua orang itu. Dinda sampai menganga karena temannya itu kini menjadi pusat perhatian.
Zayan sampai diam tak melanjutkan kalimatnya sedikit terkejut ada orang seperti itu. Bintang hanya terkekeh pelan dan sedikit berlari menuju tangga agar tidak terlalu lama menjadi pusat perhatian. Ya, walaupun dia menjadi pusat perhatian, toh dia tidak akan peduli juga dengan hal itu. Dia sedang tidak mau dihukum karena tak mengerjakan PR sampai rela menerobos begitu saja.
Sayangnya...
GUBRAK!
Bintang malah jatuh di hadapan Iqbal dan Zayan mengundang tawa anak – anak yang lain. Dinda yang paling keras tertawa melihat kejadian itu sampai kembali berjongkok memegangi perutnya.
Bintang bangkit dan langsung ikut tertawa karena kecerobohannya sendiri. Tapi dia juga malu karena Iqbal dan Zayan menatapnya dengan pandangan terkejut. Sementara guru – guru yang lain mencoba menghentikan tawa anak – anak.
“Maaf,” ungkap Bintang menahan tawanya kemudian berlari ke kelasnya.
“Anak – anak, harap tenang. Kalian bisa kembali ke kelas masing – masing dulu.” Kepala sekolah akhirnya angkat bicara.
Semuanya menurut dan mereka pun bubar masih dengan gelak tawa karena ulah Bintang itu. Semua orang tahu betul sifat kecerobohan Bintang yang memang selalu seperti itu. Semua hal bisa menjadi lucu ketika Bintang yang mengalaminya. Itu sebabnya hampir seluruh siswa – siswi di sekolah adalah teman baik Bintang.
“Sumpah itu anak bener – bener bikin perut gue sakit,” ujar Dinda pada teman – temannya yang masih terbahak karena ulah Bintang.
_OoO_
Bintang menatap luka di telapak tangannya karena jatuh tadi. Untung saja hanya memar sedikit tapi memang begitu menyakitkan karena terjatuh cukup keras. Dinda yang menyarankannya untuk mengobati luka itu agar tidak semakin parah. Dan tentu saja Bintang tidak menyiakan waktu itu. Dia sengaja berlama – lama di UKS.
“Lo masuk kelas Bahasa?”
Bintang tersentak beberapa saat ketika mendengar orang yang tengah berbicara di bilik ranjang di sampingnya. Seketika dia berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara dan menguping pembicaraan aneh itu. Suaranya seperti suara Iqbal Si Tampan itu. Terdengar serak namun ramah. Seolah Bintang sedang membaca watak seseorang dari suaranya saja.
“Ya. Gue nggak suka kelas IPA, IPS,” sambut suara yang terdengar lebih rendah dan dingin.
Dengan hati – hati, Bintang mengintip dari kelambu pembatas dan mendapati Iqbal dan Zayan tengah mengganti seragam mereka. Kedua matanya melotot ketika melihat tubuh Zayan yang sangat atletik, punggung yang lebar dan pinggang dengan porsi yang sangat bagus. Ya, dia hanya melihat dari belakang.
Beberapa saat kemudian, Zayan berbalik dan mulut Bintang seketika mulai terbuka. Zayan tanpa kacamata dan rambut yang dikibaskan ke belakang benar – benar membuatnya terlihat begitu tampan. Bukan Iqbal yang mendapat julukan Si Tampan dari Bintang, melainkan Zayan.
“Zayan, suamiable banget!” pekik Bintang sangat pelan. Berusaha sepelan mungkin agar tidak ada yang mendengarnya.
Dia kembali berniat mengintip lagi, tapi tiba – tiba dua orang itu sudah ada di depan kelambu dan menyambut Bintang dengan pandangan kesal. Bintang mendongak bertemu mata dengan dua cowok itu kemudian tersenyum kecil dan terkekeh pelan.
“Hehe, ketahuan ya?” celetuknya langsung lari mengibrit begitu saja ke kelasnya. [ ]