Bulan sabit tertutup kabut hampir transparan, dan awan. Sosok West melambai dari jauh, membuatku tak rela untuk menutup gorden yang tergantung.
Aku balas melambai balik dengan senyum paling menawan yang mungkin dapat kuberikan pada anak SMA perjaka sepertinya.
Siapa suruh dia satu-satunya saudara sepupuku yang sangat malang dan yatim piatu?
Langkahnya yang cepat namun waspada, tetapi tidak buru-buru kupantau hingga ke celah kecil di dapur. Pada area yang tak terlalu kondusif ini, imajinasi akan adanya maling atau perampok mungkin akan menganggunya.
Tapi untuk sekarang, tidak.
Gorden kusibak, sapu dan sekop siap di tangan, kemoceng yang tergantung tinggi di langit-langit kucongkel keluar dengan gagang payung. Debu diceburkan ke ember penuh air jernih, keran mengalir mengisi penampung alat pel, sampah dibuang dan rumah dirapikan.
Buku berserakan tentang penelitian merangkap hobi kutata balik dalam lemari tingkat 2. Serakan makanan dibersihkan, minyak dihilangkan dengan cairan antiseptik, jimat dengan ukuran sebintik kacang hingga patung manusia kulempar masuk dalam gudang. Sprei tempat tidur tingkat 2 dirapikan, kainnya kulempar masuk dalam cucian.
Pesanan untuk hari esok kuselesaikan dan digantung di depan pintu, kurirnya akan paham dengan kebiasaanku.
Bunga pada halaman kusiram, rumputnya dipendekkan dengan alat pencukur elektronik.
Semua prosesi ini memakan waktu hingga tengah malam, sekarang pukul 02:48.
Toples penuh bubuk hitam dikeluarkan, air panas diseduh, bau kopi hangat beterbangan di udara, bungkus biskuit dibuka, isinya dicelupkan dalam cairan hitam pekat.
Ups, pahit. Kurang susu kental manis.
Beberapa tetesnya membuatku dapat bersandar santai di sofa super empuk hadiah bibi.
Semuanya sudah bersih dan rapi, tertata di tempat yang seharusnya. Lalu Papa dan Mama tak akan datang berkunjung, setidaknya untuk seminggu ke depan.
Metronom pengukur intensitas makhlus halus buatan sendiri sekarang berdetak kencang.
Aktivitas supernatural biasanya akan tumbuh ekstrem pada tengah malam. Dan hari ini tanggal 13, angka sial di beberapa budaya luar.
Seteguk kopi lagi melewati lubang kerongkongan.
Melawan sesama manusia adalah hal gampang, entah mereka masih hidup atau tidak. Yang jadi masalah, bagaimana jika gumpalan bayangan hitam yang ditemui West adalah hal lain?
Mereka bisa saja lebih ganas, insting mereka jauh lebih liar.
Di atas meja, ada pistol, sarung tangan, sekotak bumbu masak, dan sapu. Pistol perak era Victorian yang pernah membunuh 8 orang, isi pelurunya terbatas dalam 3 tembakan, super mahal dan tak dapat direplikasi jika ditembak. Sarung tangan adalah milik tukang cleaning service yang menghilang, kebetulan menemukan ini saat investigasi kehilangannya di kantor pengontraknya. Sekotak bumbu masak adalah campuran cengkeh, kayu manis, kunyit, jahe, dan tanaman warna-warni lainnya yang mengeluarkan bau kuat, diyakini oleh penyihir dalam hitam beberapa blok dari sini sebagai penangkal setan. Sedangkan sapunya adalah sapu biasa, tapi katanya berguna layaknya pedang melawan mahkluk halus.
Ada banyak pilihan senjata di sini. Yang jadi masalah, mana yang mempan?
Lagipula, dari deskripsi West, hantu wanita itu tak terdengar terlalu agresif.
Lalu, masalah keberanianku. Apa aku siap jika memang akan dibawa ke dunia lain?
Jawabannya, tentu saja.
Yang berarti, memutuskan senjata mana yang akan kubawa.
Ransel zaman SMA di belakang pintu masuk memelototiku dalam diam. Kamera yang tergantung di sampingnya kumasukkan dalam pembawa barang bahan kulit ini.
Kecuali sapu, semuanya dibawa. Kopi ditenggak habis, biskuit dihabiskan hingga ke serpihannya, bungkusnya kubuang dalam tempat sampah, gagang pintu dibuka.
Semuanya terasa tenang, tak seperti kejar-kejaran petunjuk semacam biasanya yang mendebarkan hati dan membuat seru, sekarang semuanya santai.
Pagar dikunci, kaki menapak jalan raya sunyi dari kota yang terlelap. Supir bus kota masih pada jadwalnya dengan kain putih kotor di bahu, mengantarkan seorang nenek tua dengan mata sayu hampir tertidur. Pasangan kesepian memandang kejauhan di depan air mancur taman yang terhubung dengan lautan luas di seberang sisi daratan. Beberapa anak kecil antusias bermain bola di rute jalan tikus menuju sekolah West, SMA Negeri 1.
Pagar rendah dapat kulompati dengan mudah, sepatu kedap suara menutupi langkah menuju halaman parkiran yang gerbangnya tergembok rapat. Sebuah motor berdiri kesepian, kaca spionnya memantulkan cahaya lampu neon ke jalur belakang yang dapat dilompati, sumbernya dari kafe sebelah sekolah yang masih buka.
Bakat nilai A pada pelajaran olahraga zaman sekolah dikeluarkan, dua lompatan beruntun kulakukan sampai aku berhasil masuk ke parkiran dalam yang diselingi jumlah pilar beton yang sedikit terlalu banyak.
Lapangan luas berada di tengah, menjadi pembatas antara kelas di sayap utara dan selatan.
Satpam pada posnya telah tertidur lelap, televisinya hidup dengan siaran statik, seekor kucing hitam menemaninya di ujung kaki dan ikut menjelajah ke dunia mimpi.
Kodok berteriak nyaring dari arah taman, mencari temannya dengan siulan bergidik.
Aku mengendap-ngendap menuju gedung lantai 10 yang menjulang tinggi, kurangnya polesan cat membuat mantan kantor ini usang dan sekilas, angker.
Tombol pada elevator menyala dalam kedipan merah saat ditekan.
Ponsel dikeluarkan, satu-satunya sumber cahayaku menembakkan laser pembunuh dengan keterangan layarnya yang maksimal, hampir aku berteriak dalam makian.
Setelah pengaturannya diturunkan, link dari website West kujelajahi.
Aku sudah sendiri, gedung yang digunakan punya 10 lantai, dan tak ada orang yang mungkin naik denganku pada jam segini.
Menoleh ke belakang, satpam gagal itu masih mengorok dengan irama tinggi-rendah-tinggi.
TING TONG.
Pintu elevator terbuka, aku menelan ludah dan melangkah masuk.
Metronom yang berada di belakang ransel langsung meronta-ronta dengan kencang pada 5 detik pertama, kemudian berhenti dengan mendadak pada detik-detik berikutnya.
Sebuah pertanda.
TING TONG.
Lantai 4. Pintu terbuka, lorong kelas gelap gulita menyambutku, suara sesuatu yang mencakar-cakar barang mudah sobek mewarnai seisi lantai. Aku menekan tombol tutup.
TING TONG.
Lantai 2. Lagi-lagi lorong kelas gelap gulita, tanpa ada sesuatu yang terlalu menarik perhatian.
TING TONG.
Lantai 6. Lorong lagi, tapi kali ini ruang kelasnya digantikan oleh pintu yang berbeda jenis. Seperti lebih tebal, lebih kedap suara, bayangan hitam yang dipancarkan lebih pekat.
Lalu kembali ke lantai 2 lagi.
TING TONG.
Sebelum pintu sempat terbuka, guncangan hebat layaknya seisi elevator telah lepas dari tali besi pengamannya memaksaku untuk langsung duduk.
Degupan jantung berdetak super kencang, seisi tubuh tak berani bergerak, hingga pintu elevator untuk keberapa kalinya terbuka, menampilkan lorong kelas lantai 2 yang sekarang telah tampak lebih terang setelah disinari bulan dengan awan yang hilang.
Metronom di tas sama sekali tak bergerak. Apa ini cuma keamanan elevator yang payah?
Aku kembali berdiri, ponsel jatuh diambil, foto ibukota metropolitan yang menjadi latar ponsel kutepikan, browser dibuka.
When you reach the second floor, stay on the elevator and press the button to go to the tenth floor. At this point, some people claim to have heard a voice calling out to them.
Suara ... memangnya ada?
Tidak, tunggu. Jika mengosongkan pikiran dan membuatnya berfokus pada lingkungan sekitar yang tertutup ini, memang terdapat semacam bisikan-bisikan tak jelas dari sesuatu. Mirip seperti siulan yang dilepaskan binatang liar, atau misuh-misuh dari gosip para pegawai kantoran.
Samar, dapat dengan mudah dihiraukan jika konsentrasi buyar, tapi mereka benaran ada.
“Kau tahu tentang cewe rese itu yang setiap hari selesai kerjaannya dengan cepat?”
“Tahu, tentu saja. Janda menyedihkan itu katanya berselingkuh dengan bos, betul? Aku sudah muak mendengar kabar itu.”
“Pantas ia selalu dipuji dan meskipun cepat selesai, selalu pulang lambat. Pasti ada adegan nakal setelah kita semua hilang.”
It’s important that you not answer or acknowledge the voice in any way.
Dibiarkan, eh? Bukan ide buruk. Mungkin guncangan tadi juga karena mereka.
Lagipula, cerita ini ...
“Ohh, memang benaran? Aku kira ini hanya rumor. Dasar wanita menyebalkan itu.”
“Bagaimana jika kita kerjain dia? Tak perlu yang berat-berat, misalnya curi sepatunya, atau matikan sumber listrik saat ia masih dalam elevator.”
“Hahahah, ide yang bagus.”
Kepalan tanganku penuh amarah, kuku yang lupa dipotong sedikit lagi dapat menggores daging yang ada, bau besi sudah tercium di udara.
Perundungan pegawai kantor yang dikucilkan, mirip seperti kasus bibi Rose.
Jadi prinsip dari permainan ini simpel dan mudah dipahami.
Apapun yang terjadi, cukup pedulikan masalahmu sendiri. Karena apapun yang terjadi, prioritas ‘mereka’ ada untuk mencoba menarik perhatianmu, lalu selanjutnya untuk mengganggumu.
Pantas West bisa melewatinya dengan tenang.
Isyarat menuju lantai 10 ditekan tombolnya.
TING TONG.
Ini lantai sebelum atap. Tangga yang sempit, dengan ruangan yang sedang dalam fase renovasi, alat-alat berserakan tak karuan ditinggalkan tukang yang kurang bertanggung jawab. Dari sini, bulan terlihat jelas tertutup awan, cahayanya samar mendampingi. Gedung pencakar langit yang sudah tua juga berdiri kesepian di antara kota yang ditutupi pegunungan dan hutan-hutan, sepasang mata yang terbentuk dari posisi unik jendelanya nampak seperti sedang melotot ke arahku.
Jendela yang belum terpasang pada rangkanya melewatkan hawa dingin yang menyejukkan.
Metronom di tas tak mengeluarkan reaksi apapun, meskipun kepengapan dari elevator mulai memeras keringat keluar.
Huh, padahal di luar sedang bertiup angin besar.
Yah, kurasa perlu melepas jaket sebentar.
Alat jarum di dalam tas kulit tiba-tiba meronta kencang, sebelum berhenti dengan timing yang tak kalah tiba-tiba.
Memutar-mutar kepala untuk mencari sumbernya, penyebabnya datang dari secarik kertas A4 putih yang ditulisi tinta hitam yang tak cepat mengering.
OKE, KAMI HANYA BERCANDA DENGAN KABELNYA. PENCET TOMBOL MANAPUN DAN ELEVATOR AKAN BERGERAK SESUAI KEMAUANMU.
Huh?
Meraba-raba tekstur dan ketebalan kertas, ini mirip seperti versi gagal yang diproduksi beberapa belas tahun lalu, zamannya bibi Rose. Kamera ponsel dijebret, wujudnya melewati fitur inframerah yang kuaktifkan, tetap terdeteksi. Tapi barang ini tak ada di sini sebelum aku masuk.
Aku melanjutkan memencet tombol elevator, kali ini ke lantai 5.
Gempa kencang lagi-lagi terjadi, membuatku hampir terbiasa dengan metronom yang bergelud di dalam tas.
Sial, sekarang apa?
TING TONG.
On the fifth floor, a woman may board the elevator. Some people say that she is a stranger; others claim that she bears a resemblance to somebody in their past.
Ponsel di tangan kumasukkan dalam saku, pistol di tas dikeluarkan. Telunjuk menyingkir dari tombol tutup, bidikanku tepat.
Pintu elevator terbuka. Lorong sepi yang ada pada lantai lima pudar di pandangan, tertutup oleh seorang tamu tak diundang yang memutuskan untuk masuk, langkah kakinya pelan namun berdecit, layaknya sesuatu tajam sedang menggores besi.
Rambutnya panjang namun acak-acakan, benar-benar menutupi mata kakinya, tak ada fitur yang terlihat dari wajahnya, pakaiannya terusan putih yang terkotori oleh bercak merah, mirip darah mengering atau sup tomat yang biasa digunakan oleh pemeran film.
Bulu kuduk berdiri, ludah sulit ditelan, otot pada sekujur tubuh serasa kaku.
Ludah ditelan, pandangan langsung dialihkan ke ponsel.
Either way, do not acknowledge her in any way; do not even look at her.
The woman is not human.
Oke, ini gampang. Masih sesuai dengan prinsip bermain game bodoh ini, meskipun metronom di dalam tas sudah bergerak-gerak. Tak seliar seperti yang ada di ekspektasi, namun indikasi itu cukup membuktikan bahwa dia benar-benar bukan orang.
Some claim that if you acknowledge her, she’ll take you straight to another world with no chance of escape.
Jiwa petualangku meronta-ronta, meskipun adrenalin dan insting bertahan hidup mati-matian menarikku kembali ke realitas yang penuh kontradiksi.
Jika ingin tahu lebih jauh, maka cukup panggil dia, tapi kemungkinan tak akan aman. Jika tak ingin tahu lebih jauh, maka diam dan anggap dia sebagai cowo brengsek yang meninggalkanku di tengah hujan 3 tahun lalu.
Jangan membahayakan diri, tolong kak.
Oh ya, dia bilang jangan membahayakan diri. Jika cerita West benar dan berlaku untuk skenarioku sekarang, maka hantu ini hanya akan bertindak gila, dan tidak membahayakan nyawaku. Pistol disarungkan, aku mengangkat ponselku untuk memotretnya.
Kenyataan bahwa fitur inframerah diaktifkan membuat sosok badannya berubah transparan. Bulu kudukku kembali bangkit dengan sendirinya.
Jari memencet tombol potret.
“Hei.”
Tangannya yang halus, layaknya seorang pekerja kantoran, mengguncang-guncang bahuku dengan cengkeraman yang berada di ambang ada dan tak ada. Pupil matanya yang putih melototiku dari hutan rambut yang akhirnya tersibak, lensanya hilang entah ke mana. Liur mengalir dari mulut panas, lidahnya minimal dua kali panjang manusia pada biasanya, bibirnya pecah-pecah.
“Kau melihatku? Kau merasakan peganganku?! KAU TAHU AKU ADA DI SINI?!”
Jari tetap memencet tombol potret pada kamera, fitur inframerah dihilangkan, sosoknya yang menyeramkan kali ini tertangkap dengan jelas di layar.
“AKU BERBICARA DENGAN KAU!”
Nafasku mulai tak karuan iramanya.
“KAU TAHU AKU ADA DI SINI?! JAWAB! JAWAB!”
“Rasanya pengap.” Punggung tangan membentuk kipas palsu, dikebas-kebaskan ke depan muka.
“HUH?”
“Apa-apaan dengan kamera ponselku? Gambar pada elevator ini sama sekali tak jelas.”
Wanita itu akhirnya terdiam, melepaskanku dari genggamannya.
Ia melangkah ke samping, berakhir bersandar di sudut elevator. Muka tertutup rambut, ia berdiri lesu, pakaiannya berubah menjadi terusan putih yang ujungnya dapat diinjak kakinya, liur masih menetes di lantai.
West tidak berbohong atau mengaada-ngada. Dan ia lebih berani dariku.
Kaki yang gemetaran menjatuhkanku ke lantai, usaha perlu dilakukan untuk mencegah pipis keluar dari lubangnya. Tas dibuka, sebotol plastik air kemasan ditenggak hingga tersisa setengah, mata menutup sebentar.
Saat detak metronom telah kembali stabil bersama dengan detak jantung, mata dibuka.
Wanita itu memelototiku.
“KAU TAK DAPAT MELIHATKU?!”
Tiba-tiba, aku ingin mual.
Aku membeku tak melakukan apa-apa, yang merupakan opsi terbaik, nampaknya.
Hantu itu melepaskanku, berdiri dengan normal seperti saat ia pertama kali masuk, bajunya berubah lagi menjadi pakaian kantornya.
Celana dalamku sedikit basah, kayaknya. Semoga tidak bau.
Bumbu-bumbu makanan yang ada dalam toples kukeluarkan isinya, disebar melingkar layaknya menabur garam untuk mencegah ular mendekat.
Wanita itu tak bergeming.
Sapu dikeluarkan untuk meratakan bubuk-bubuk hitam menyegat, wanita itu lagi-lagi hanya berdiri diam, tak menggubrisku.
Aku kembali berdiri, tangan mendekati tombol elevator, memencet tujuan lantai dasar.
If the car descends to the first floor, the ritual has failed, and you need to leave immediately.
Guncangan hebat lagi-lagi terjadi, insting bertahan hidup reflek membuatku berjongkok, bayangan tak mengenakkan dari hantu wanita itu menutupi dan membelakangiku.
TING TONG.
Panel elevator menunjukkan lantai 10. Metronom di tas bergerak sejenak.
However, if the elevator ascends, the ritual has succeeded, and the car will rise to the tenth floor.
The car? Mungkin typo dari si pembuat website.
This is your last chance to back out of the game.
Aku mengecek waktu ponsel. 03:18. Staf sekolah biasanya akan datang paling awal pada matahari terbit, sekitaran pukul 05:30.
Tombol buka dipencet.
Pintu terbuka, apapun yang ada di luar gelap gulita.
Aku mendongakkan kepala ke atas, lampu dari elevator masih menyala, berkedip sekali saat ada guncangan minor. Metronom tidak lagi bergerak.
Saat kukeluarkan dari tas, terdapat bau terbakar dari baterainya, cepat-cepat kubuang jauh-jauh, takut meledak atau terbakar.
Hantu di sampingku menghela nafas berat, kecewa dengan apa yang tak dapat kulihat.
Aku melihat lagi ke luar, masih tak terlihat apa-apa, kecuali sinar merah dari salib yang berkedip dalam interval sekitar 5 menit. Bukan secara langsung, melainkan dari pantulan layar ponsel saat kujulurkan barang elektronik itu ke luar.
Seperti sinar laser, tidak memancarkan panas dan warna merahnya kelam dan kuno.
Lampu pada tombol lantai elevator berkedip, seperti menstimulasiku untuk cepat pergi ke luar dan menjelajah.
When you reach the tenth floor, you can choose to leave the elevator or stay on board. If you choose to exit, the woman who entered on the fifth floor may ask you where you’re going. If so, do not look at her or answer; just exit the elevator.
It’s said that at this point, you will find yourself in another world, sometimes called the “otherworld,” where electronics don’t work and everything is dark, save for a bright red cross that may be reflected in the windows. Do not lose sight of the elevator you arrived in; it’s the only one that can take you back.
Aku mengedip-ngedipkan mata dalam interval cepat, berusaha mendongakkan kepala ke luar. Semuanya masih tak berubah, gelap gulita, suasana suram dan muram.
Ponselku masih menyala terang. Pengalaman West juga menyiratkan ponselnya masih berfungsi. Mungkin perlu meringkas semua fenomena aneh ini, siapa tahu nanti pulang bisa dianalisis dan dicocokkan dengan pengalaman West.
Atau mungkin coba kukirimkan padanya? Tidak, tak ada sinyal di sini.
Hmm? Apa-apaan?! Baterainya telah tersisa 20%?
Apa yang terjadi? Bahkan mencoba mengguncang-guncangkan barang ini pun malah menghasilkan pengurangan persentase listriknya sebanyak 2%?
Sekarang tersisa 18%.
Sial, aku yakin sekali kapasitasnya masih berada di atas setengah. Dasar ponsel pengkhianat.
Yang berarti penggunaannya harus dihemat mulai sekarang.
Kamera dikeluarkan, lensa disesuaikan membesar dan mengecil, lampu flash dinyalakan, foto dipotret. Hasilnya tak sesuai dugaan, semuanya masih gelap gulita, bagian bayangan yang nampak menghasilkan gambar jalan tanah setapak.
Yang berarti, sebenarnya ada sesuatu di dunia ini, hanya saja mereka terlalu gelap.
Lebih mengejutkannya, baterai kameraku telah tersisa 1 batang, dari batas maksimalnya 4 batang. Atau mungkin sudah tidak mengejutkan lagi.
Jadi ini maksudnya? Alat elektronik yang tak berfungsi?
Lalu pantulan sinar merah berbentuk salib ini terpancar dari mana? Selalu ada di layar, tapi samar terlihat saat mata menjangkau ingin melihat ke sekitar.
Aku menoleh kembali ke elevator.
Rasanya tak enak untuk meninggalkan elevator ini.
Ruangan ini seperti satu-satunya penghubung ke dunia manusia yang kutahu, tapi jika tak dilakukan, misteri yang ada di dunia luar tak akan terkuak.
Aku memberanikan diri melangkah keluar.
“KAU SUDAH MAU PERGI?”
Kaki mematung sejenak, seperti dihinggapi lem yang memanas.
Do not look at her or answer; just exit the elevator.
“KAU SUDAH MAU PERGI?”
Lama-lama, aku juga akan terbiasa. Semua ini perlu waktu.
Kedua kaki menginjak tanah asing yang mungkin tak pernah terjamah oleh manusia pada umumnya, keragu-raguan untuk berjalan maju memelankan langkahku, bahkan hingga memberhentikannya. Apalagi saat pintu elevator tertutup, cahaya artifisial dari listrik yang ditemukan manusia menghilang.
Tombolnya masih menyala, meski sebentar lagi juga padam.
Gelap gulita di sekitar objek ini membuatnya hampir tak nampak, hampir menghilang dari sejarah, jika tidak coba kupegang.
Satu-satunya yang bisa diharapkan hanya berasal dari pantulan cahaya merah di ponsel. Intensitas cahayanya seperti menguat, atau mungkin ini karena cahaya dari lampu elevator yang lebih terang saja.
Sinyal seluler tak menjangkau, baterai ponsel dan kamera hampir habis.
Hmm? Kalau cahaya merah ini hanya terlihat di pantulan …
Aku mengeluarkan pistol era Victoria dari dalam tas, cahaya merah layaknya laser keren pada film sci-fi benar-benar terpantul dari permukaannya.
Senjata pelindung diriku disandarkan tepat di samping pintu elevator, di bawah tombolnya.
Yah, yang penting selama aku tak berjalan terlalu jauh, seharusnya tak akan ada hal buruk, seperti tersesat, yang akan terjadi.
Seharusnya.
Langkahku pelan-pelan mengendap maju.
Tekstur tanah di sekitar keras, mungkin tak ada jebakan seperti lumpur serap. Mendongakkan kepala ke atas, terdapat sedikit perbedaan antara langit dan tanah, dimana terdapat secercah cahaya seperti bintang yang menyinari kota dengan polusi cahaya, samar dan hampir transparan, tapi ada.
Tak banyak yang dapat diketahui, bintik-bintik itu tak menjelaskan apapun.
Ponsel diarahkan dalam 1 putaran lingkaran, hanya nampak jalan setapak lurus yang diapit semacam ladang rerumputan, tumbuhannya mirip padi tetapi jauh lebih gelap. Kondisi mereka layu tapi menolak mati, air yang menggenangi mirip seperti limbah pabrik. Lalu terdapat semacam asap pekat yang kelihatan hampir kental di atasnya, percobaan memegangnya tak menghasilkan sesuatu berarti.
Ini asap biasa saja.
Aku terus maju, sesekali menoleh kembali, pistol jimat masih bersandar diam layaknya mentor yang membiarkan anak muridnya pergi bertualang, elevator di belakangnya diam.
Mengingat hantu wanita di dalam elevator dapat menyentuhku, apa dia akan mengambil kesempatan dan menendang pistol itu ke tempat lain?
Mungkin. Sangat mungkin, membuatku merinding saja memikirkannya.
Tapi taruhan tidak.
Semoga tidak. Semuanya sekarang hanya berharap pada doa saja.
Jejak kaki yang kuhasilkan menghilang setelah beberapa menit, layaknya ditelan kegelapan.
Kemudian sampailah ke tempat menakjubkan yang aneh, sesuatu yang sama sekali tak diharapkan ada di sebuah dunia lain.
Sebuah kota.
Detailnya sulit terlihat jelas mengingat pencahayaan yang sangat kurang, tapi struktur bangunan jelas terpantau. Puing mirip reruntuhan pada beberapa baris awal, kemudian bangunan terbengkalai mengikuti, ada yang hanya beberapa tingkat, ada yang menjulang tinggi menyerupai gedung pencakar langit, ada yang luas seperti stadion sepak bola. Mobil terbengkalai memenuhi tepian jalan, kondisinya seperti apa yang diharapkan dari kota yang baru dijarah, ban terbakar, isian mobil tak karuan, sunyi dalam senyap mencekam.
Tapi persamaannya satu, yaitu mereka semua tidak berpenghuni, dan tak memiliki tanda-tanda kehidupan di dalamnya.
Cat terkelupas, beton terbelah dan retak di sana-sini. Pintu lepas, kaca jendela retak dalam beberapa bagian. Tanaman seperti yang ada pada ladang mati, bekas cakaran binatang buas menghancurkan pot dan mobil yang rusak di jalan. Mereka seperti sudah ditinggalkan lama sekali, mungkin seabad. Seng atap jatuh, hampir menusukku seandaianya langkahku lebih cepat sedetik. Sesekali, seakan ingin mengelabui mata, bayangan bermunculan di sudut jarak antara dua blok, berlari dengan cepat kemudian menghilang.
Kicauan burung ada di udara, volume suaranya nyaring di telinga, tapi tak nampak wujud dari binatang.
Tak ada sesuatu yang hidup sejauh mata memandang.
Ini bukan fakta, hanya spekulasi. Belum tentu tak ada makhluk hidup di sini.
Petualang ada untuk melawan perasaan tak enak, berarti aku akan menjelajahi tempat ini.
“Hei, kau benar-benar akan tinggal di kota ini?”
Aku reflek berbalik badan.
Tak ada siapa-siapa.
“Apanya yang enak dari kota rusak ini, huh? Lagipula, turis bisa datang saja sudah sesuatu yang aneh. Sangat aneh. Amat amat aneh.”
Bisik-bisikan aneh ini kalau dipikir-pikir mirip seperti suara di elevator.
Bukan suara orang. Suara makhluk di sini.
Fakta baru. Semakin dekat ke kota, jejak ‘mirip’ kehidupan akan mulai muncul.
Memo diperbarui.
“Heh, baunya sama dengan si pendatang baru itu. Seperti bukan orang di sini tapi tinggal di sini. Tak bisa keluar, tapi juga tak ingin tinggal di sini. Orang aneh.”
“Orang aneh.”
“Setuju, Orang aneh.”
Ocehan mereka juga tidak menghentikanku untuk masuk ke dalam bangunan pertama.
Guncangan hebat sontak langsung membuatku tiarap, insting perlindungan diri dari gempa bumi memerintahkan otot untuk tetap diam. Layar ponsel yang meredup karena efek fitur hemat baterai mengindikasikan waktu berlalu 5 menit sejak guncangan terjadi, stopwatch kuhentikan dengan sekali pijit.
“Ahh, dia masuk. Baunya sama busuknya dengan wanita itu. Kau kira dia akan tinggal lama?”
Mereka … membicarakanku?
“Mungkin iya. Kesadarannya tak terganggu dan masih waras. Kita juga tak bisa menyeretnya jadi bagian kelompok. Tak seperti dia.”
“Jadi. Kau bisa dengar kami?”
Kurasa aturan di elevator masih bekerja, karena ini sudah merupakan dunia lain.
Aku terus berjalan masuk, pantulan dari cahaya merah berbentuk salib kabur di layar ponsel semakin kuat. Bentuknya semakin tak karuan, bahkan berubah menjadi bulatan.
“Tidak. Dia tak dapat mendengar kita, jika dia tak berpura-pura.”
Gedung pertama yang menarik perhatian adalah perumahan 2 tingkat di dekat semacam pilar batu yang berfungsi sebagai gerbang masuk. Halaman depannya penuh dengan tanaman mati, menghitam dengan tak natural. Sepasang sandal usang berjejer rapi di depan keset selamat datang, interior ruang tamu hanya diisi sebuah sofa dan televisi, dapurnya terbengkalai dengan bahan masak yang membusuk, bongkahan marmer tajam yang ditempelkan pada penghangat menggores jaketku hingga robek.
Pantulan sinar lemah memelankan langkahku, sekaligus mengurungkan niat untuk naik tangga. Di beberapa anak tangga pertama, terdapat barang yang merupakan bukti dulunya terdapat kehidupan di sini.
Bekas bungkus teh, bubuk kopi, tali gantungan yang terbelah, hingga buku memo.
Apa isinya?
Bukan memo sembarangan, isinya kejadian masa laluku, mulai dari waktu lahirku yang dicatat Mama, aku yang membawa kabur uangnya dan membuatnya memarahiku habis-habisan, hingga cita-cita menjadi detektif yang hanya untuk diketahui olehku. Semuanya informasi pribadi yang seharusnya hanya diketahuiku seorang.
Apa-apaan?
Kulit buku ini kubalikkan.
Semacam stiker stroberi hitam tertempel di sampul robek, namaku tersobek setengah.
Punyaku masih baru, ini hampir rusak. Tapi isi lainnya sama persis. Baik perjalanan kuliah, naik dan turunnya ombak bisnis, hingga ke catatanku tentang kunjungan West kemarin.
Seperti informasi pribadiku dicuri. Tidak, bukan itu, mungkin akan lebih tepat mengatakan jika dunia ini mereplikasi memori yang telah kujalani selama ini? Atau mungkin ini semua semacam konspirasi raksasa dari pemerintah?
“Kau bisa mendengar kamiiii?”
Aku membawa buku itu bersamaku, menyimpannya di dalam tas.
Turun dari tangga, aku berakhir mengitari tumpukan kardus di sekitar tangga, beralih ke dapur yang berantakan. Alat masak yang masih memiliki bekas bumbu makanan atau daging terbengkalai tak terawat, panci diletakkan di atas kompor, stopkontak tempat colokannya usang dan kabelnya copot.
“Hei, Riselia. Jangan menyentuh kabel itu, oke? Aku akan memperbaikinya nanti.”
Kulit punggung bergidik saat namaku dipanggil.
Lebih mengejutkannya lagi saat postur pria paruh baya yang agak bungkuk tersenyum padaku dengan badan setengah transparan. Sepp Hauptman, langganan teknisi rumah Papa dan Mama. Tangannya melambai-lambai padaku, menembus perutku.
“Riselia, ayolah. Jangan membuatku bicara sendiri. Kau tentu dengar, kan?”
Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku menyadari menjadi aktris film dan memalsukan ekspresi pada orang yang dikenal dekat adalah sesuatu yang susah.
Ia terus memanggil dan menyentuhku, dengan sia-sia.
Muka kecewanya diseret ke lantai, berjalan terus dan terjun dari jendela.
Setelah beberapa detik, aku dengan pelan melihat keluar.
Tubuh bersimbah darah, kepala meledak layaknya tomat yang dijus, tersisa badan yang berjalan bungkuk di aspal.
Badan itu kembali berjalan beberapa saat kemudian, lengkap dengan kepala utuh.
Aku menelan ludah dan kembali, memo pada catatan diperbarui.
Berarti korban-korban elevator ada di dunia ini?
Peletakkan toilet yang tepat berada di belakang oven persis seperti desain interior rumahku, isi dalamnya bersih mengkilap, kipas pengganti udara ruang tertutup itu menyala dengan tiba-tiba, mengejutkanku.
Baunya jeruk, tepat seperti merek yang biasa kubeli, dari pantulan O besarnya yang mengkilap. Klosetnya bersih, gagang showernya tertancap rapi.
“Heiii, kau bisa mendengar kami tidakkkkkk?”
“Biarkan dia dulu. Nanti setelah ia selesai berkeliling di rumahnya, ia akan menyahut.”
Rumahnya. Rumahku.
Dunia bawah tanah sebenarnya adalah semacam pantulan bayangan negatif dari dunia nyata yang manusia tinggali? Tapi jika memang benar begitu, apa-apaan dengan kondisi kota tertinggal ini? Pilar batu di pintu masuk utama kota?
Ke mana penduduknya? Apa mereka hanya tak kasat mata seperti suara-suara ini? Atau jangan-jangan hantu-hantu ini adalah penduduknya?
Aku membuka ponsel, baterainya tersisa 10%. Browser dibuka, kata kunci diketikkan.
Maaf, sinyal tidak ada. Jika masalah tetap ada, silahkan coba untuk lakukan beberapa langkah berikut.
Aplikasi sms dibuka, pesan singkat dikirimkan ke West.
‘Sepertinya dunia bawah bukan merupakan misteri besar. Potensinya, mereka tiruan negatif dari dunia asli kita. Mungkin semacam dunia setelah kehidupan yang menyerupai dunia kita.’
Kirim.
“Maaf, sinyal tidak ada.”
Sosok wanita perlahan muncul
Jika masalah tetap ada, silahkan coba untuk lakukan beberapa langkah berikut.
Sosok wanita itu perlahan muncul, mencibirku dengan suara yang persis sama dengan tadi. Sosoknya merupakan wanita wirausahawan dengan jas dan sepatu hak tinggi, muka sok selebriti yang sering muncul di koran, Lisa Hartmann.
Aku mengirim tombol kirim, lagi.
Maaf, sinyal tidak ada. Jika masalah tetap ada, silahkan coba untuk lakukan beberapa langkah berikut.
Sial, internet atau seluler sama saja.
Menggeleng-geleng kepala untuk mengecek keberadaan makhluk nyata, aku tak mendapatinya. Tanpa berpaling badan, aku membuka pintu depan dan keluar melalui halaman yang penuh dengan tanaman mati, menuju ke rumah seberang jalan.
Guncangan kembali terjadi, kali ini aku tak merunduk karena intensitasnya lemah.
Kotanya telah menggelap. Atau lebih tepatnya, pantulan sinar merah di ponselku meredup.
Ada 2 opsi yang bisa diambil.
Terus menjelajah, dengan resiko cahaya aneh dengan sumber tak diketahui ini tiba-tiba padam dan jalan kembaliku akan hilang selamanya. Karena di luar dugaan, pantulan sinar dari pistol era Victorian itu tak nampak dari sini.
Atau mungkin telah padam, tapi arahnya masih kuingat. Sekarang telah kutandai di jalan besar-besar dengan anak panah yang terbuat dari rumput mati dan batu besar yang mengarah ke elevator tadi.
Atau sudahi ekspedisi dan kembali. Mengingat sekolah West adalah satu-satunya di sekitar daerah 100 km yang dapat menampung lebih dari 3000 orang murid, sistem pengamanan yang ada seharusnya telah merekam wajahku. Pengamanan malam mungkin akan diperketat, dan kesempatanku untuk masuk kedua kalinya akan menjadi hilang.
Lolongan panjang terdengar dari kejauhan, penyinaran dengan ponsel tak menghasilkan sesuatu berarti. Cahaya dari salib merah ini tak mampu menembus jauh.
Sebenarnya apa itu? Apa yang ada di kota ini?
Aku menelan ludah dengan keras.
Tapi yah, sedikit saja. Sedikit lagi, dan aku akan menjadi anak baik dan pulang.
Tas diturunkan dari jinjingan bahu, air mineral kutenggak hingga habis isinya, lalu diberdirikan di dekat formasi batu dan rumput. Sarung tangan dipakai di tangan, kamera digantung di leher, ponsel diarahkan ke depan layaknya senter.
Pada rumah seberang, bekas jejak kaki merah darah memenuhi pintu geser kaca di depan konter toko, sepasang tali hitam halus terjatuh tak merata, mengarah ke pintu keluar.
Bukan tali, tapi rambut. Hitam dan panjang, kusut namun sulit dipotong.
Milik manusia.
Fungsi elektrik yang hilang pada dunia ini membuatku harus mendorong pintu kacanya dengan sekuat tenaga. Saat itu tak berhasil, kuhantamnya dengan batu.
Berhati-hati untuk tak menginjak serpihannya, aroma roti dan kue yang baru dipanggang menyeruak ke mana-mana. Mesin kasir di lemari terbuka isinya, dipenuhi bukannya uang, malah batu dan kerikil tajam. Meja dan kursi yang ada dibaringkan dan diterbalikkan. Kompor dinyalakan, bau gas bocor memenuhi udara.
Pelan-pelan kutelusuri hingga ruangan belakang, api berwarna biru menyala terang untuk bebrapa detik, kemudian padam. Oven dibuka, isinya kosong, harumnya hilang.
Lilin yang ditempelkan pada bekas kaleng mentega hidup, bayangan sesuatu yang panjang melintas lewat dengan kecepatan tinggi, aku sontak mengambil selangkah mundur ke luar.
Lilin itu kembali padam.
Bagus, bukan ilusi. Yang benar-benar ada di sini sepertinya bukan cuma si penantang maut Riselia Edgeward ini saja. Ada sesuatu yang malu-malu.
Perlu kupanggil?
Sepertinya ide buruk.
Ruko 1 lantai ini mirip dengan toko kue yang berada di pusat kota, harum dari kue yang dipanggang membuatku menjadi pelanggan favoritnya. Tapi rumahku berada di pinggiran, jadi tak mungkin kami dapat berseberangan.
Aku tak paham.
Terdapat disrupsi pada ruang, lalu bagaimana dengan waktu?
Ponsel dibuka, baterai tersisa 5%, pukul 06:30.
Sial, telah selama itu? Tidak mungkin. Menjelajahi barang semacam ini, entah bagaimanapun larut dalam waktu, aku juga tak akan menghabiskan waktu 3 jam.
Staf sekolah sudah datang, sial. Tapi tak terasa selama itu saat berada di sini, perut saja tidak keroncongan meski hanya memakan sebungkus biskuit dan secangkir kopi.
Aku juga tak haus. Tadi minum lebih karena gugup, bukan karena tubuh butuh cairan.
Aroma harum seperti bau spaghetti menyeruak di punggung.
“Hei, hei. Kau lapar? Pengen makan ini?”
Aku memberanikan diri menoleh ke belakang, cukup dengan ujung mata. Isinya nampan besi, dan nihil makanan. Asap membumbung tinggi hingga ke langit-langit, si pemegangnya seorang pemuda tegap dengan muka tampan. Tampangnya tinggi, mukanya sedikit bersinar, semacam pembersih kaca terkait di seragam cleaning servicenya.
Ponsel diarahkan ke depan, aku langsung menabraknya. Badannya yang tembus pandang kulewati dengan mudah, dilompati kaki ke jalan utama lagi.
“Ah, sial. Kau memberiku pekerjaan tambahan lagi. Dasar kaum buta.”
Keanehan ini seharusnya akan terus berlanjut, tak peduli gedung mana yang kukunjungi.
Jika ada satu yang sangat menarik perhatian, itu datang dari gedung pencakar langit yang mengedap-ngedipkan lampu warna-warninya layaknya sedang berada dalam disko.
Cahayanya terang, namun sangat singkat, sama sekali tak cukup untuk melihat ke sekitar.
“Hei.”
Seseorang menyentuhku. Kuku panjang dan tajamnya sangat nyata terasa di pundak.
Dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki, semuanya membeku. Bulu kudukku berdiri dengan tak jelas, hampir lupa cara bernafas.
Aku mengangkat ponselku, pantulan sinar dari salib merah sama sekali tak berguna untuk membutakan apapun yang memegangku. Dari ujung layar, seorang wanita dengan pakaian kantor dan rambut yang menyentuh kakinya menatapiku dari balik wajah tersembunyinya.
Si hantu dalam elevator! Kenapa dia bisa sampai ke sini?
Tugasnya sebagai penunggu ke manaaa?!
“Hei.”
Sosok bibiku terpantul darinya.
“Bagaimana … kalau berkeliling?”
Postur tubuh membungkuk, wajah yang tersembunyi di balik hutan rambut hitam adalah muka pucat pasi dan bibir pecah-pecah, kuku kaki dan tangan yang panjang disematkan ke bahuku. Hidungnya menarik dan membuang nafas dengan nyaring, hampir buru-buru.
Tak salah lagi, ini memang dia.
“B-bibi?”
Ah, sial. Aku tak sengaja memanggil, tapi ini bukan reaksi dari pertanyaannya, harusnya?
“Kau … bisa mendengarku?”
Rambut yang menutupi wajahnya disibakkan, lidah panjang tidak manusiawinya membelit leherku dengan erat, membuatku kesulitan bernafas.
“Urg … urghh.” Aku memukul-mukul lidah seerat tali pancang, bahkan mencoba meninjunya.
Sama sekali tak memiliki efek.
“KAU BISA MENDENGARKU?! KAU BISA MENDENGARKU!”
Kedipan cahaya salib merah pada ponsel perlahan meredup, kemudian hilang.
Semuanya gelap gulita. Baik lingkungan sekitar, maupun kesadaranku yang mulai meringankan tubuh berat, mata terasa memejam.
Tak ada jalan pulang, arah pergi pun tak jelas.
Nasibku yang terlalu tamak. Apa aku akan selamanya di sini?
Semoga West dapat membaca pesanku.
Tunggu, di sini tak ada sinyal.
Nanti harusnya bisa keluar.
West, TOLONG.
“Satu lagi.”