TIT TIT TIT TIT.
Ponsel pintar merusuh dunia mimpi, badan akhirnya dipaksa bangun oleh teriakan tak kenal lelah dari mesin pintar.
“Urghh.” Lengan dan tumit direntangkan hingga batas maksimalnya, nafas super panas dilepaskan sembari uap bau metabolisme tubuh semalaman memenuhi udara sekitar dari cegukan. Gorden disibak, jendela dibesarkan hingga setengah, tubuh ini bangkit dari kasur empuk bercorak zebra.
Sekuntum bunga mawar segar yang dipelihara di pot gantung luar jendela kugunting satu.
Selimut dilipat, sprei ditarik, tubuh dengan hati-hati bermaneuver agar tak menjatuhkan foto keluarga yang tersisa. Mama berlutut sambil mengelus kepalaku, Papa berdiri di samping kami, pria itu sudah tak tahu hilang ke mana.
Perasaan bodo amat terhadap pria itu menggema-gema, aku membuka pakaian dan mandi.
Seragam dikenakan, vacuum cleaner dinyalakan, debu-debu yang ada dalam ruangan 6x6 dihancurkan berkat teknologi zaman modern, kelemahannya adalah kebisingan yang ditimbulkan. Buku pelajaran dimasukkan dalam tas yang sobek di tepiannya, lampu dimatikan, stut listrik sentral diturunkan.
Sepatu dikenakan, pintu dibuka.
Di sana, ada sebuah nisan batu sederhana seukuran telapak tangan. Kutancapkan bunga itu ke tanah tempat nisan itu tertanam, nama Rose Edgeward tertulis dengan rapi dalam huruf cetak hitam.
“Aku berangkat, Mama.”
Kantong plastik yang berisi sebuah kotak makan biru motif rubik tergantung di pegangan pintu depan apartemen. Bau harum yang samar-samar memancar keluar, seperti buatan tangan bibi yang kontennya biasanya berminyak.
Mungkin kubawa ke sekolah saja.
“Terima kasih bibi. Terima kasih paman, dan kak Riselia. Aku berangkat.”
Kalau dipikir-pikir lagi, aku seharusnya mengatakan itu ke muka mereka langsung, huh?
...
...
...
TING TONG TENG TONG
Tidur singkat selama 15 menit memang nyenyak, tapi berpisah dari dunia itu lebih menyakitkan, apalagi dengan kondisi linglung yang dihadapi setelah bangun.
“Selamat pagi, para calon penerus bangsa kita. Apa kabar kalian?!” Teriakan pemberi semangat dari kepala sekolah galak menggema di seluruh kelas yang pintunya tak tertutup rapat, sebuah kabel kuning lepas dari loudspeaker kelas, direspon tawa dari semua yang duduk maupun berdiri.
Air liur hampir jatuh dari bibir, untung aku duduk di pojokan jendela.
Bu Patricia masuk, aku sontak cepat-cepat mengeluarkan buku di mata pelajarannya dan dua pen, satu untuk sendiri dan satu untuk dipinjami Daniel yang menerimanya dengan gestur layaknya ksatria yang baru resmi diangkat oleh seorang Raja.
“Terima kasih, wahai penyelamat sehari-hariku.”
“Lain kali bawa pen sendiri, oke? Mulai besok, 1 jam sewanya akan dikenakan tarif.”
“Ehhh, tolong jangan.”
“Mampus, heheheh.” Angel mencibir Daniel, kemudian mencubit-cubit ranselnya. “Jadi, foto kemarin?”
“Sudah kucuci. Mau?”
Angel mengangguk, menerima sodoran foto kemarin dari Daniel dengan muka kaku yang seperti menahan senyum, menyelipkannya ke tas selagi Bu Patricia mengabsen kami satu-satu. Mereka duduk di depanku, menutupi hampir seluruh bagian tubuh kecuali rambut hitam, anak basket di sampingku seperti biasa tak masuk hingga pertengahan hari.
“Trims.”
“Wes, kau juga mau?”
Elevator yang ada di balik dinding kelas ini ... apa memang perlu kucoba game elevator yang konyol itu?
“Wes?”
“Hm? Apa tadi kau bilang?”
“Aku tanya kau mau foto ini?” Daniel menampar pipiku pelan dengan lembaran kertas foto.
“Uh, kirimkan aku filenya saja.”
Ponsel dikeluarkan, notifikasi dering muncul dari ujung Daniel ke ponselku. “Selesai.”
Ia tak menyadari Bu Patricia yang ada di belakangnya. “Daniel!”
“Apa?! Oh, Bu Patricia, apa kabar, Bu?”
Rambutnya yang telah memutih terlihat seperti menghitam sesaat saat ia mencubit telinga Daniel. “Kabarku baik, terima kasih. Semuanya baik-baik saja sampai ponsel yang lebih pintar darimu keluar dari tas.”
“Oh, sial, aku lupa. Sorry, bu.”
“Tak ada kata maaf untukmu. Ke kantor kita, jangan harap kesalahanmu akan mudah dimaafkan!” Daniel diseret pergi, hampir berhasil mengoper ponselnya kepadaku, sebelum ditangkap dengan sempurna oleh guru sejarah kami.
“Anak itu memang suka bermasalah.” Angel menghela nafas panjang.
Aku hanya mengangguk saja.
Daniel hilang, ceramah dimulai. Pelajaran tentang sejarah kebangkitan dari Jerman era perang dunia 2 muncul bersama dengan tanda stabillo pinjaman Angel. Suara penjelasan Bu Patricia keras untuk mencegah ngantuk saat pelajaran, pendapat itu hanya dimiliki oleh mereka yang masih bangun, jumlahnya setengah kelas. Dilanjutkan dengan matematika fisika tentang batu yang didorong dari bukit akan menghasilkan gaya tanpa percepatan gravitasi, yang anehnya diperintahkan untuk dihiraukan.
Apa mungkin Mama adalah korban dari elevator yang ada di gedung ini?
Bagaimana dengan orang lain yang menghilang? Berapa banyak dari mereka yang merupakan korban ini? Ada konspirasi lain? Atau mereka terkena kecelakaan lain? Polisi yang tidak mengikuti update kasus mereka saja?
Logika, imajinasi masih melayang ke elevator yang pintunya serasa dihalusinasi ada di depanku. Semuanya harusnya bisa dikonfirmasi jika aku mencobanya.
Layar putih di balik gelapnya tas sekolah, tanganku membuka website yang dikirim Daniel.
Elevator game.
Aku masih melihatnya bahkan hingga waktu makan siang.
“Kau makan enak, ya?” Daniel melipat kakinya, bekalnya nasi kuning dengan sayap ayam dan kerupuk warna-warni. Entah kenapa terlihat lebih melarat dariku yang dimasakkan nasi goreng spesial oleh bibi dan paman.
“Begini-begini, aku juga anak orang kaya, hehe.” Angel memamerkan ikan salmon dan sushi yang menjadi pengawal bekal nasi bakar dan salad.
“Punya anak yatim seperti Wes saja bahkan lebih baik dari punyaku ...”
“Hei! Jaga kata-katamu.”
Aku cepat-cepat tersenyum picik, membuktikan kata-kata Daniel sama sekali tak berefek padaku. “Tentu saja aku akan menang, anak terlantar.”
Daniel tertawa terbahak-bahak.
TING TONG TENG TONG.
Jam siang telah dimulai, waktu berjalan terlalu cepat jika ada sesuatu yang harus dipikirkan. Sesuatu yang harus dicoba, ditelusuri.
Ponselku kugenggam erat saat keluar dari elevator yang sama seperti kemarin, ujung kuku masih basah selepas cuci tangan di toilet. Galeri dibuka, jari menggosok-gosok ke samping, jumlah foto yang kuambil di dalam elevator mencapai puluhan, namun sama sekali tak memiliki jejak mistis di dalam. Semuanya normal, tanpa genangan bayangan hitam di pertengahan bawah gambar.
Padahal sudah seorang diri, tapi masih nihil penampakan.
Aldo, si pelawak kelas yang tubuhnya setengah lebar gentong menggendongku ke dalam kelas saat menyadari aku membawakannya snack kantin yang dititipnya.
Kelas selanjutnya dimulai.
Matematika yang menguras tenaga. Rumus lingkaran dan tabung dikombinasikan untuk mencari tahu berapa tanah dan semen yang dibutuhkan untuk memperbaiki pilar bangunan yang rusak. Konsistensi penggunaan angka menyemangati masa depan yang akan kutempuh beberapa menit lagi.
TING TONG TENG TONG.
Matahari telah terbenam, waktu saat fenomena itu terjadi.
“Kalau begitu, sampai jumpa besok. Atau mungkin malam ini perlu kudatangi rumahmu?” Daniel setengah menggodaku dengan mengedipkan sebelah matanya, gigi menggigit tangkai bunga mawar yang telah layu, jari hampir menyentuh daguku, sebelum kujauhkan diri dengan jijik. Stang motor diturunkan, ia menyibak rambut nyentriknya ke atas sambil menggeber motornya.
“Kalian sudah resmi pacaran?” Angel baru naik ke kursi tengah mobilnya, supirnya melambai ramah dengan kami sebelum mengunci pintu mobil Angel.
“Aku masih pria normal. Dia yang tidak.” Aku menunjuk Daniel.
“Aku juga normal.” Daniel mengangguk-ngangguk. “Mungkin.”
“Kau suka dia, kan?” Aku menunjuk Daniel, kemudian Angel.
Keduanya tersipu malu tanpa berhasil berdebat untuk menyangkalku, sebelum pergi dalam jalur yang bersamaan. Satu dengan motor butut penuh asap hitam pekat, satu dengan mobil mewah yang mulus.
Tersisa aku seorang, dan beberapa murid sesama sekolah yang mempersiapkan diri untuk pulang dengan motor pribadi.
Jam 16.58, masih sekitar setengah jam sebelum gerbang benar-benar ditutup.
Aku punya kesempatan.
Ingat dan camkan kataku, jangan pernah mencobanya.
Aku akan mencobanya, kak, dengan pengaman yang agak ketat.
Pertama, meraba leher, jimat bola baseball dengan sisi tajam aneh ada di leher, semoga penangkal mistis ini dapat berfungsi. Kedua, gunting dapur yang kubawa dari rumah, sekarang berada di dalam saku, seandainya semua ini adalah konspirasi pembunuhan karena beberapa orang terlalu dekat dengan sebuah misteri aneh. Ketiga, ponsel yang selalu aktif, nomornya telah kuatur untuk menelpon kak Riselia, atau paman dan bibi, atau Daniel dan Angel, seandainya mode ini tak kumatikan dalam 1 jam berikutnya.
Dengan nafas terengah-engah dan keringat yang mengucur di baju seragam, aku akhirnya sampai di depan elevator ini, lagi.
Tampaknya tak angker, baik saat sekolah sedang dalam masa ramai atau tidak.
Tampak bisa mengecoh. Aku menekan tombol naiknya sambil menoleh ke sekitar, tak ada orang kecuali satpam yang sedang menonton pertandingan bola di kejauhan posnya.
Kaki kananku yang duluan masuk, pintu tertutup.
Belum ada pergerakan, aku belum memencet tombol ke atas.
Saatnya membuka ponsel.
Board the elevator on the first floor and press the button to go to the fourth floor.
Oke, ke lantai empat.
TING TONG.
Pintu terbuka, yang terlihat adalah lorong kelas yang terpancar sinar matahari sore, kucing yang memainkan bekas botol plastik yang berisi jus lemon, dan tanaman gantung yang terlihat setengah mati karena tak disiram.
When the elevator gets to the fourth floor, do not get off. Stay in the elevator and press the button to go to the second floor.
Ke lantai dua.
TING TONG.
Tak ada yang spesial, kecuali punggung petugas kebersihan yang sedang mengoleksi sampah ke dalam dorongan khusus sambil mendengar karaoke dangdut yang berisik.
When the elevator reaches the second floor, again, do not get off. Press the button to go to the sixth floor.
Ke lantai enam.
TING TONG.
Ini ruang peralatan, aku ingat pernah mengambil bola basket di sini. Semua pintunya tertutup rapat, terdapat semacam bau pengap akibat angin kencang yang tiba-tiba menerpa ke sini, debu dan bakteri membuatku bersin sekali.
At the sixth floor, stay in the elevator and press the button to go to the second floor.
Balik ke lantai dua lagi.
TING TONG.
Musik yang mellow namun membosankan menggantikan dangdut yang tak kusukai, meski aku tak dapat melihat bayangan petugas itu lagi.
When you reach the second floor, stay on the elevator and press the button to go to the tenth floor. At this point, some people claim to have heard a voice calling out to them. It’s important that you not answer or acknowledge the voice in any way.
Aku menelan ludah. Ke lantai sepuluh.
Telinga berfokus ... sama sekali tak ada suara apapun.
TING TONG.
Ini merupakan lantai sebelum atap, jejak kaki kami yang kemarin naik ke sini masih dapat terlihat sedikit, meski telah tertimpa gergaji dan penghalus kayu.
Ke lantai lima.
TING TONG.
When the elevator reaches the tenth floor, stay on and press the button to go to the fifth floor.
On the fifth floor, a woman may board the elevator. Some people say that she is a stranger; others claim that she bears a resemblance to somebody in their past. Either way, do not acknowledge her in any way; do not even look at her. The woman is not human. Some claim that if you acknowledge her, she’ll take you straight to another world with no chance of escape.
TING TONG.
Tak ada ... apa-apa yang aneh. Tak ada yang masuk, visualku lurus terus.
Meja demi meja disejajarkan, komputer pribadi disediakan untuk setiap tempat duduk. Ruangan kaca berjejer, hawa dingin keluar dari pintu terbuka saat Bu Patricia keluar dari ruangan guru masih sambil berbincang dengan rekan guru, jas dilepaskan dan diganti dengan sweater halus.
Aku cepat-cepat menutup elevator dan turun.
Aku gagal?
Mata melirik kembali ke layar, jemari menghidupkan kembali ponsel yang mati.
On the fifth floor, a woman may board the elevator. Some people say that she is a stranger; others claim that she bears a resemblance to somebody in their past. Either way, do not acknowledge her in any way; do not even look at her. The woman is not human.
May board. Mungkin akan naik bersamaku.
TING TONG.
Lantai pertama terbuka, parkiran yang luas memelototi sambil memamerkan koleksi motor di dalamnya, yang tak lagi berisi untuk sekarang. Satpam yang berada di pos menguap sekali sambil mengipas-ngipas diri dengan kemasan bekas susu balita, sama sekali tak menyadari keberadaanku.
Apa perlu kuulang? Atau kubatalkan?
TIT TIT TIT TIT.
Owh, sial. Bunyi nyaring alarm membuatku menjatuhkan ponsel, tepat di atas sebuah genangan bayangan hitam.
Hantunya?!
“Meow.”
“WOAH!”
Waktu serasa terhenti sebentar, begitu juga dengan detak jantung.
Hanya seekor kucing perak yang berkamuflase dengan gradien warna yang hampir persis dengan permukaan elevator. Ekor hitam meliuk sekali, mata putihnya berkedip pelan, sedikit tersinggung dengan ketidaksengajaanku, lidah menjilati layar yang retak segaris, sebelum menendangnya kepadaku.
Apa dia penyebab gagalnya eksperimen ini? Karena aku tidak sendirian, melainkan bersama binatang?
“Meow?” Si bola hitam memiringkan kepala, seperti mencibir saat aku menelan ludah.
Ia diam saja saat kugendong, tidak meronta ingin kabur dan hanya membiarkanku melihat-lihat ke bagian bawah tubuhnya.
“Meow.”
“Kenapa kau ada di sini?”
“Meow!” Ia merespon pertanyaanku dengan sahutan khas kucing.
Oh, iya juga. Aku mungkin terlalu depresi sehingga merasa bisa mengerti bahasa hewan.
Kucing diturunkan, aku mendorong pantatnya hingga ke luar elevator, bola mata putih memelototiku tanpa berkedip.
“Shush, shush.” Gestur tanganku mengusir, sebelum akhirnya ia pergi juga.
Meninggalkanku sendiri di kotak elevator dingin ini. 17.19.
Aku punya 10 menit. Mungkin saatnya rapat strategi dengan kak Riselia.
17.20. Atau kucoba sekali lagi, karena tak ada yang melihat?
Karena besok juga hari Minggu.
Aku menekan tombol ke lantai 4.
TING TONG.
Pintu terbuka, lorong kelas yang terpancar sinar matahari sore menampakkan bayangan dari dedaunan tanaman yang tumbuh di antara himpitan celah pada atap, bergoyang membentuk semacam gemulai tari oleh makhluk dalam bayangan. Tanaman gantung yang setengah mati juga mendongakkan kepala, jika mereka punya satu. Kucing yang bermain-main telah hilang.
Sisiran sepoi-sepoi membunyikan reot pintu lama, decitan kapur berbunyi di antara papan tulis hitam dalam cakaran menyebalkan, goresannya menyesakkan pendengaran.
Lantai ini sudah kosong, tak ditempati oleh orang.
Lalu ke lantai 2.
TING TONG.
Lorong lantai kedua telah bersih terbebas dari sampah, tong sampah hijau hampir setinggi manusia berdiri kokoh, bangga akan prestasinya. Bangku langganan siswa saat menunggu di luar laboratorium terbengkalai dipenuhi coret moret sinar, sesekali bayangan hitam lewat. Kamera pengaman menembakkan bintik merah di layarnya sendiri, mengamati satu-satunya manusia yang sampai di lantai ini.
Dekapan sesama pintu elevator terasa lama, meski realitanya hanya beberapa detik.
Jimat yang diberi kak Riselia mulai bergerak sendiri. Aku mendekapnya erat.
Lalu lantai 6.
TING TONG.
Bola basket menghantam dinding lorong dengan kasar, pintu geser besi tak sanggup menahan gelindingannya dan temannya bola voli yang kusam dan tak terawat. Pintu ruangan peralatan menggantung lunglai di ujung engsel, tuas pengunci pintu masih memanjang, kunci masih tertancap di lubangnya.
Suara statis dari loudspeaker lantai nyaring memproklamirkan diri, bunga listrik di antara kabel usang memberikan tanda bahaya minor, namun yang terpenting, membuat semua yang sunyi menjadi terkesan bahaya.
Aku tidak keluar.
Ah, sial, proses ini terasa membosankan jika dijalankan begini-begini terus. Bagaimana jika musik diputar? Apa akan ada aturan main yang dilanggar?
Aku mendegup dada bagian kiri, detak jantungnya perlahan semakin jelas.
Aku gelisah?
Lantai 2.
TING TONG.
Patung kepala sekolah tanpa badan menatapku dari jauh.
Bulu kudukku mulai berdiri. Tunggu, tunggu.
Lantai 2 adalah tempatnya semua kelas praktek diadakan, entah itu eksperimen IPA, kelas memahat, bahkan hingga percobaan bahan kimia yang berpotensi berbahaya.
Mungkin ada seseorang yang bermain-main dengan temannya dan lupa memindahkannya masuk. Daniel juga suka membiarkan barang laboratorium berserakan di lorong hingga dimarahi Pak Supardi.
TAPI PATUNG ITU TADI TAK ADA. PATUNG ITU TAK SEHARUSNYA ADA.
Kau yakin sekali barang itu tak ada?
Cepat-cepat aku menyalakan ponsel.
When you reach the second floor, stay on the elevator and press the button to go to the tenth floor. At this point, some people claim to have heard a voice calling out to them. It’s important that you not answer or acknowledge the voice in any way.
Dengan kesadaran penuh, jariku cepat-cepat memencet tombol menuju lantai 10.
TING TONG.
Lantai sebelum atap, jejak kaki kami yang kemarin naik telah terhapus, gergaji dan penghalus kayu masih berada pada posisi sama persis, suaranya yang mengerjakan sesuatu halus terngiang-ngiang di kejauhan. Palu memukul dengan presisi, sekrup berserakan, besi dari dempul bergesekan dengan lantai semen yang belum kering.
Benar-benar kejadian supernatural?
Setetes air jatuh ke kepala.
Langsung kudongakkan visual ke atas. Memang ada rembesan air hampir bening yang menetes dari langit-langit elevator.
Tenanglah, ini hanya air bilas bekas cuci tangan para tukang. Bukan air kimia radioaktif atau sesuatu menjijikkan semacamnya.
“HA- …” Aku spontan mendekap mulut.
It’s important that you not answer or acknowledge the voice in any way.
Jangan merespon. JANGAN MERESPON.
Tangan dengan pelan tapi pasti meraba ke arah sembarangan, yang penting di sekitar badanku. Kaki menendang-nendang, sekilas mengkhawatirkanku terhadap keamanan elevator reot ini, tapi keringat dingin membuatku perlu melakukan ini.
Tapi, sama sekali tak membuahkan hasil apapun. Semuanya hanya udara kosong.
Di samping tombol elevator, secarik kertas tinta hitam ditulis dengan rapi dan cukup kecil, sehingga perlu didekati dan memicingkan mata untuk membaca kontennya.
Kurasa aku menghiraukan ini saat masuk, sih.
OKE, KAMI HANYA BERCANDA DENGAN KABELNYA. PENCET TOMBOL MANAPUN DAN ELEVATOR AKAN BERGERAK SESUAI KEMAUANMU.
TUKANG REPARASI
Apa-apaan? Bercanda dengan kabel?
Tapi, lantai yang dituju itu benar-benar sesuai dengan kenyataan.
Flash kamera nyala, bukti potensial ini kumasukkan dalam memori ponsel.
Ke lantai lima.
TING TONG.
Hantaman sesuatu yang berat menggoncang seisi elevator.
Gempa bumi? Tapi sama sekali tak ada peringatan dari siaran berita tadi pagi.
Mataku terbelalak, isinya mungkin akan keluar jika tak kukedip-kedipkan. Pita suaraku sudah melonglong dalam senyap saat wanita kantoran dalam genangan bayangan hitam masuk, rambut super panjang hingga ke mata kaki membuat matanya tak menyadariku.
BENAR-BENAR ADA!
Mata dengan buru-buru kembali ke layar, nafas ditarik dan dihembuskan secepat kipas angin. Kaki reflek mengambil selangkah lebih jauh, yang merupakan batas maksimalnya.
Cakar pada kukunya tumbuh memanjang dengan abnormal, apapun di tubuhnya yang tak ditutupi rambut lebat layaknya sulur pohon akan ditutupi sehelai terusan putih.
Langkahnya diam, sekujur tubuhnya mematung.
On the fifth floor, a woman may board the elevator. Some people say that she is a stranger; others claim that she bears a resemblance to somebody in their past. Either way, do not acknowledge her in any way; do not even look at her.
Menyerupai seseorang di masa laluku?
Memang dari sekilas lihat, dia memang seperti Mama, meskipun rambutnya memang tak sepanjang ini, sih. Tapi, kenapa tak boleh melihatnya? Kenapa tak boleh mengakui keberadaannya?
Karena mungkin ia bukan makhluk yang seharusnya berada di dunia ini, di bumi ini?
Tapi apapun itu, kurasa kesempatan untuk melihatnya secara langsung sudah hilang.
The woman is not human.
Oke, bukan manusia. Bukan manusia, kuyakinkan diri sendiri.
Asumsinya, website aneh yang ditawarkan Daniel sedang tidak bercanda dan hanya mengatakan fakta. Dan sampai sejauh ini, semuanya memang terjadi.
Aku menelan ludah, entah untuk yang keberapa kalinya, dan mencoba berdiri tegap.
Tangan kanan bersiap di tombol elevator, tangan kiri menggesek ponsel untuk membukanya. Lalu biarkan mata untuk relaksasi, pandang ke mana-mana kecuali di sampingku.
Anggap bagian dari elevator itu rusak dan berlubang.
Press the button to go to the first floor. If the car descends to the first floor, the ritual has failed, and you need to leave immediately. Do not look back or speak; just exit the building and don’t look back. However, if the elevator ascends, the ritual has succeeded, and the car will rise to the tenth floor. This is your last chance to back out of the game. If you decide you don’t want to continue, press the button for any floor besides the first or tenth floors to cancel the game.
The car? Mobil? Mungkin salah ketik.
Jeruji besi mulai bergerak. Dari ujung mata, makhluk bukan manusia itu juga dapat merasakan goncangan dari elevator ini.
Pandangannya yang seharusnya tak tampak, terlihat seperti melototiku.
Aku menghiraukannya, dengan sadar berusaha membaca kalimat pada layarku.
Kesempatan terakhir untuk membatalkan diri, huh? Seharusnya mundur dulu jika tidak percaya diri dengan apa yang akan terjadi setelah ini, tapi mengingat aku pernah gagal, mungkin aku harus mendorong keberanianku hingga batasnya.
Lagipula, belum tentu elevator ini akan mencapai lantai 10.
TING TONG.
Lantai 10.
Oke, bagus. Sangat di luar dugaan.
Apa aku pergi, atau aku tinggal? Pintu dari elevator ini juga tidak membuka seperti biasanya, jauh lebih lambat.
Tombol buka dipencet, pemandangan di luar …
Gelap gulita. Tak ada yang tampak, layaknya deskripsi lubang hitam di buku astrologi.
Ini dunia lain? Tapi tak ada jejak Mama sama sekali di mana-mana …
Tunggu, bukan cuma itu.
Apa benar-benar tak ada apa-apa di luar elevator ini? Benar-benar hanya sebuah ruang hampa yang bahkan tidak dilewati oleh secuilpun cahaya?
Satu kaki mencoba melangkah keluar.
“Tempat macam apa yang ingin kau pergi?”
“Aku …”
Do not acknowledge her in any way; do not even look at her.
Kuku yang menyerupai cakar langsung ditempelkan ke bahuku, 2 bola putih yang kuasumsikan sebagai mata langsung melototiku, layaknya ingin mengutukku hingga mati.
“Kau dapat melihatku? Kau dapat melihatku. KAU DAPAT MELIHATKU?!”
Sial, dia bisa berbicara?
Tanpa melihatnya, aku reflek mengoper ponsel ke tangan yang tak dicengkeramnya, pura-pura menaik-turunkan layar ponsel ke website komik bajakan yang tersedia dengan gratis di media. Sosok seorang pria ganteng idaman setiap wanita sedang berlutut melamar gadis pujaan hatinya.
Kata-kata yang diucapkannya … “Aku ingin menikahimu!”
Baterai ponsel yang darurat membuatku tak dapat menahan ini untuk lama.
Keringat bercucuran, bahkan hingga menetes ke rambutnya. Nafas tersengal-sengal, mata berusaha tidak melirik apa yang ada di sampingku, mata dipejamkan hingga semuanya gelap.
Selama beberapa detik itu, semuanya terasa sangat panjang.
Hingga pintu elevator kembali menutup.
“Bukan, ya? Tentu saja bukan. Bukan dia orang yang bisa melihatku. Pasti masih ada orang lain. Mungkin dia?” Cakar kembali menyentuh bahuku, merobek lengan baju seragamku.
“Tidak, bukan dia.”
Hantu itu kembali berdiri dengan tenang di sampingku.
Nafas lega akhirnya dapat dilepas.
Akhirnya lepas dari cengkeramannya juga.
Kehampaan di luar elevator kembali kudekati, kini membekas di benak dengan lengket saat tombol buka kutekan. Satu langkah kaki coba diambil, sesuatu padat layaknya aspal pada jalan raya dapat terasa di ujung telapak.
Apa kata website itu?
It’s said that at this point, you will find yourself in another world, sometimes called the “otherworld,” where electronics don’t work and everything is dark, save for a bright red cross that may be reflected in the windows. Do not lose sight of the elevator you arrived in; it’s the only one that can take you back.
Benar-benar dunia lain, huh?
Peralatan elektronik tidak bekerja? Tapi ponselku masih bekerja dengan oke?
Yah, tak ada sinyal, sih. Wajar. Baterainya juga merah, mungkin lupa kucas tadi.
Lalu, semuanya memang gelap. Dan ‘bright red cross?’
Salib merah terang? Sama sekali tak ada barang semacam itu di sekitar sini.
Dunia yang sama sekali tak memiliki cahaya, diselimuti kegelapan memang keren, tapi apa implikasinya jika aku keluar? Sama sekali tak ada catatan yang menjelaskan lebih jauh di website ini?
Dari ujung mata, aku mencoba menatap si hantu perempuan wanita ini …
Bajunya … seragam kantoran. Tadi sehelai kain putih! Tapi saat ia pertama kali masuk, ia memang mengenakan pakaian kantoran.
Dia benar-benar makhluk mistis, yang pasti.
Flash kamera dimatikan, aku diam-diam memotretnya.
Tak ada reaksi semacam tadi lagi, sosoknya masih tenang berdiri di sampingku.
Bagus, jantung kecil ini sudah tak tahan dengan kejutan lagi.
Kaki menjulur ke luar, menggelantung di ruang hampa dengan bertumpukan tangan yang memegang ujung elevator, beberapa cekrek lagi kuarahkan pada elevator yang sedang kunaiki. Semua langkah perlu diulangi berkali-kali karena hanya ada sekitar 7 detik interval waktu hingga kedua pintu geser ini otomatis tertutup.
Oke, kurasa begitu dulu petualangan kali ini.
Terlalu beresiko untuk maju terus tanpa berkonsultasi dengan seseorang lain yang lebih ahli, misalnya kak Riselia. Aku tak ingin menjadi protagonis film horor zaman dahulu yang terus saja menerobos maju tanpa menyadari marabahaya yang menantinya.
Lebih baik gunakan otak dan siapkan senjata alam bawah yang kelihatan berbahaya ini.
Mungkin akan ada semacam senter yang bisa dipakai? Atau mungkin alat elektronik biasa akan berfungsi karena ponselku terbukti masih bisa dipakai?
Kakiku tak sengaja menginjak terusan panjang hantu wanita itu di tempat yang kuasumsikan adalah kakinya.
Ia sama sekali tak bergeming.
Beberapa detik kemudian, aku baru sadar bahwa ia sedang melayang di udara.
Dan untuk beberapa detik kemudian lagi, kakinya akan samar-samar muncul dalam bayangan samar, pancaran lampu elevator yang berkedip menghilangkannya lagi.
Tentu saja, semua observasi ini kulakukan dengan bagian tersamping di mata. Tak mungkin kuresikokan untuk melihat dengan langsung, jadi ada kemungkinan ada informasi yang tak akurat.
Yang penting, ia tak tersinggung dan hampir menggila lagi.
Oke, sekarang bagaimana cara kembalinya?
If you didn’t leave the elevator, you can press the button to go to the first floor, wait for the elevator to descend, get out as soon as it reaches the first floor, then exit the building and return home without looking back or speaking at all.
Oh, sangat simpel rupanya.
Tombol lantai 1 dipencet, aku menunggu dengan sabar. Dengan tidak tenang, lebih tepatnya.
Karena sosok yang ada di sampingku masih belum pergi, terlihat dari bayangannya.
TING TONG.
Pintu terbuka, parkiran sekolah yang kosong serasa surga. Pos satpam telah dikosongkan, personelnya sedang mendorong gerbangnya. Cahaya matahari sore hampir ditelan kegelapan, menyisakan secercah yang cukup digunakan sebagai penunjuk jalan pulang.
Hantu wanita itu telah menghilang, pergi tanpa diusir.
Aku membaca sisa dari website yang dikirim Daniel.
When you reach the first floor, do not exit until you check your surroundings carefully. If even the smallest detail seems off, you must stay in the elevator and repeat the ritual again until you are confident that you have safely returned to your own world.
Bulu kudukku berdiri, jam ponsel dicek.
18:01. Satpam itu seharusnya sudah pulang.
Lalu yang menungguku di sana …
Kamera ponsel yang baterainya telah sekarat dihidupkan, gambar pada layar diperbesar sebagai ganti kualitasnya yang kabur.
Oke, instingku benar. Satpam itu bahkan tak punya 2 mata, hanya sebuah hidung dan mulut. Tangannya terlalu panjang untuk direntangkan, kakinya terlalu pendek untuk bisa berdiri normal. Tapi dari kejauhan, semuanya tampak tak jauh berbeda dari biasanya.
Aku mundur selangkah, menutup pintu elevator, kali ini seorang diri tanpa ada yang mendampingi. Terasa aneh untuk tak didampingi seseorang di dunia lain, meskipun seseorang itu adalah hantu yang kemungkinan besar mencelakaiku.
Ritual naik turun elevator segera kupencet satu-satu.
Lantai 4, lantai 2, lantai 6, lantai 2, lantai 10, lantai 5, dan terakhir lantai 1.
TING TONG.
Pintu terbuka, parkiran sekolah yang kosong memberikan kesan tak enak yang membuat menelan ludah sulit. Sama seperti ketika berada di anak tangga supermarket yang kosong atau pemberhentian bus yang sepi, ruang liminalku.
Gerbang telah tertutup, lampu neon yang tersebar pada beberapa tempat di taman dan lapangan basket serta auditorium menerangkan jalan keluar menuju pintu belakang sekolah. Matahari telah sepenuhnya digantikan bulan sabit, angin kencang meniupkan awan kemerahan di atas kepala, satpam yang berada di posnya terlihat terbaring di mejanya.
Aku kembali menyalakan kamera ponsel, mendapati gambar pak Suparman, rekan pak Supardi yang lebih kurus dan sehat sedang terlelap, air liur mengalir hingga ke buku yang dijadikannya bantal, siaran televisi menyiarkan semacam pertandingan olahraga.
Tapi selain dari itu, kurasa tak ada yang aneh.
Once you are sure you are safe, you may exit the elevator and return home without talking or looking back at all.
Aku melangkah keluar.
Terdapat suara perkelahian di dalam elevator, besi diketuk, digedor, dalam frekuensi abnormal untuk dikatakan sebagai kebetulan, bau kabel terbakar tercium.
Yup, terus berjalan dan melambai. Ambil tas, eratkan tali di bahu, dan jalan ke depan.
Lalu bayangan elevator nampak menghilang, suara benda yang dijatuhkan dari ketinggian ke dalam sesuatu yang sangat dalam.
Terus berjalan dan melambai, jangan menoleh ke belakang. Apapun yang terjadi, pulang saja. Taati aturan yang berjalan.
Aku akhirnya menyelinap melalui celah pada pintu kecil dekat pembuangan air pada kantin sekolah, melompati bongkahan kayu yang disusun hingga mendarat di kafe malam, hampir menabrak seorang pelayan yang membawa senampan minuman. Seorang pria botak yang kebetulan duduk di sampingku mengacungkan tangan dalam bahasa makian asing, aku lari terbirit-birit sebelum perkelahian fisik terjadi.
Bulan terang, jalan ramai dengan pasangan mesra yang bersantai di hari terakhir akhir minggu, tas sekolah terjinjing di bahu, kepala terdongak ke atas. Dunia manusia luas, dunia bawah lebih luas lagi.
Jika di dunia yang nampak tak ada jejak Mama, pasti di dunia lain ada petunjuknya.
Ngomong-ngomong, leherku terasa ringan.
Ah, jimatku putus. Hilang saat melakukan gerakan akrobatik di kafe tadi, atau terpakai di dunia lain?
Aku sejujurnya tak tahu.
…
…
…
Malam sunyi, lagu mellow berbunyi di radio, jemuran menari, aku menyeruput teh merah.
Buku sejarah dibalik, peta dunia yang tersedia dengan berbagai proyektivitas membangunkan sel kreativitas terpendam dalam otak di tengah malam. Teleskop dipantau, bintang-bintang menunjukkan wujudnya dalam genangan cahaya … putih. Sedikit diturunkan, gedung mercusuar dari kejauhan memain-mainkan senter raksasa mereka sambil membunyikan kentut panjang.
Stik kentang dijilati dengan ludah, serpihan asin pedas yang dicoleki sambal menutrisi lambung sambil mensinyalir rasa umami.
TENG TENG.
Tengah malam dan ada yang membunyikan bel? Pencuri? Penipu? Perampok?
“Kak Riselia!”
Hmm, suara ini milik adik sepupuku yang keras kepala dan pantang menyerah. Siapa namanya lagi? Seingatku nama arah mata angin di bahasa Inggris …
“Kak Riselia! Ini penting! Kau ada di rumah?”
Oh ya, West Edgeward. Si pengkhianat yang mengundang Mama Papa ke rumah. Atau lebih tepatnya tidak memberitahuku tentang kedatangan mereka. “Yaaa, aku di rumah. Loncati saja pagarnya dan buka pintu rumahku. Mereka tidak dikunci.”
Suara teriakannya lebih nyaring lagi. “Aku bukan maling dan tak ingin jadi maling, tahu! Bisa bukakan pintu? Tolong, ini urgen.”
“Oke, oke. Kau ini banyak macamnya, yah.” Bangkit dari kursi malas, pintu kayu didorong, segepok kunci setengah berkarat kupilih satu-satu dan keluar, mendapati anak SMA itu pucat pasi, terbalut dalam keringat tergesa-gesa.
“West? Kau oke? Habis dikejar maling, atau semacamnya?”
“Habis melihat hantu.” Ujarnya pelan.
Suasana malam indah yang tadinya membuatku ngantuk, sekarang telah dalam sekejap hilang, rasa penasaran sebagai bagian dari hobi supernatural bangkit dengan penuh.
Ia masuk, aku mendongakkan kepala ke kiri dan kanan, hanya mendapati abang pemungut sampah harian yang sedang membawa motor bebek dan gerobak bau yang melaksanakan tugasnya. Pintu ditutup pelan, aku menuangkan sisa teh merah dalam cerek kepadanya.
West meneguknya habis, lidahnya dijulurkan layaknya anjing sambil meniup-niupkan uap.
“Oh ya, lupa memberitahu bahwa itu panas. Tapi selain itu, kau benaran melihat hantu?”
West mengangguk, lidah masih menjulur keluar. “Di sekolah. Di dalam elevator yang reot itu.”
“Tunggu, kau jangan-jangan mencoba website yang dikirimkan temanmu …”
West mengangguk.
“Wow.” Mataku jadi sulit berkedip karena fakta ini. Anak yang lebih muda belasan tahun dariku berani menantang dunia mistis yang bahkan aku sendiri tak berkesempatan untuk melihat dengan mata kepala sendiri?
“Kau mantap, West! Benar-benar mantap.”
Bahasa tubuhnya relaks setelah sisa tehnya mendingin. Tawaran kentang goreng krispi akhirnya dikunyah, ponsel dikeluarkan dari dalam saku. “Maaf, aku mengabaikan saranmu dan pergi sendiri, kak. Tapi aku sangat penasaran dan ingin mencari tahu, jadi …”
Aku menepuk bahunya. “Tak apa! Begitulah semangat masa muda! Lagipula, kau berhasil kembali tanpa ada bahaya yang berarti, bukan?”
Ia mengangguk pelan, otot lengannya menciut, seperti memeluk tubuhnya sendiri. “Kurasa.”
“Jadi, bagaimana pengalamanmu? Bisa diceritakan?”
Ponselnya diangkat, layarnya menyiarkan foto yang diambilnya sewaktu berada di dalam elevator. Isinya interior tua dari elevator dengan cat yang terkelupas, lalu pencahayaan yang remang di sekitar pintu masuknya.
Lalu sekumpulan bayangan hitam. Mungkin ini yang dimaksudnya kemarin saat ia melihat kumpulan bayangan hitam di kamera temannya. “Hmm, ini maksudmu bayangan hitamnya?”
West menatapku kebingungan.
“West?”
“Huh? Kau tak melihatnya?”
“Lihat apa?”
“Di sana seharusnya ada seorang wanita kantoran yang kadang bertukar pakaian ke terusan putih yang memanjang hingga dapat diinjak kakinya. Rambutnya juga sepanjang demikian! Dia hantu benaran!”
Aku kembali memelototi layar gambarnya, sambil menggeser-geser gambar elevator lain yang diambilnya.
“Lihat ini.” Ia mengambil ponselnya, menggeser-gesernya sebentar, kemudian mengembalikannya.
Gambarnya masih tetap sama, meskipun gumpalan bayangan hitam itu sekarang tampak lebih besar.
“Apa?”
“Di foto ini, ia sedang dalam terusan putih. Sedangkan pada foto pertama, ia dalam seragam kantor.”
Tapi selain itu, tak ada yang terlalu aneh. “Kau yakin?”
“Yakin sekali. Aku bahkan sampai mengambil fotonya untuk diperlihatkan padamu.”
Aku mengambil ponsel dari tangannya, kemudian menunjukkannya kembali. “Oke, jadi kau ada lihat apapun?”
“Persis seperti apa yang kukatakan.”
Menarik. Dia melihat sesuatu yang tak kulihat, dan West kelihatannya tak berbohong. Bahasa tubuhnya tegang dan cemas.
Gambar di galerinya kugeser-geser lagi.
Dan semuanya hanya merupakan gambar yang sama, lagi dan lagi.
Aku harap dapat mempunyai insting supernatural benaran, sial.
Di beberapa gambar paling belakang, terdapat foto selfie West sendiri dengan ruang hitam kosong yang seram, hanya dapat kuasumsikan sebagai dunia lain.
“Dan gambar gelap ini …”
“Dunia lain. Di sana, tak ada apapun yang terlihat. Semuanya gelap gulita. Aku pernah mencoba menapakkan satu kaki di sana, dan tak ada sensasi aneh. Injakanku nyata dan terasa seperti tanah. Tapi tekanan hantu itu membuatku tak tahan lama.”
“Menarik. Mungkin aku akan mencobanya kapan-kapan saat sempat.”
“Jangan!” Suaranya lantang, terlalu mirip pria dewasa.
“Jangan membahayakan diri, tolong kak.”
“Tidak, tidak. Lagipula, kau juga berencana ingin kembali ke sana, betul?”
West mengangguk pelan.
“Kita mendekati ini dari sisi sains, oke? Jika ada bahaya, aku akan bertindak sepertimu dan mundur.” Ponselnya kuambil, browser ponselnya yang penuh dengan komik luar negeri kuhiraukan, website permainan elevator itu kuteruskan ke kontak ponselku.
Ohh, dia banyak teman juga rupanya. Sudah dua!
“Sip, sudah lengkap.”
“Jangan paksakan diri, oke?” West memberikanku tali dari jimat kemarin. “Dan jimatmu mungkin hancur saat aku berada di dunia sana.”
“Yep, sudah kuduga.” Aku berlari santai ke dapur yang berantakan, membongkar laci di bawah kompor listrik dan mengambil jimat penangkal fenomena supernatural.
Aku mengalungkannya pada West, kemudian padaku sendiri.
“Jadi, kau ingin merasakannya?” Rasa cemas West tertahan hingga ke mulutnya, tak dapat diucapkan.
Aku mengelus-ngelus kepalanya. “Perlu merasakannya sendiri agar bisa memberimu saran. Aku juga ingin tahu jika bibi memang dibawa ke dunia bawah oleh permainan mistis konyol ini.” Jimat baru kukalungkan ke lehernya.
“Hati-hati, oke?”
“Heh, jangan mengkhawatirkan orang yang lebih tua darimu, hmm?”