Kenaikan kelas telah tiba. Ben diterima di sebuah SMA Negeri di Kota Pahlawan. Gesa sudah menyiapkan diri untuk putus dari Ben, jauh-jauh hari. Tak perlu ada pernyataan formal dari Ben. Karena, dulu pun, Ben tak pernah secara jelas mengajaknya berpacaran.
Ternyata, dugaan Gesa salah. Hari Minggu itu, Ben menjemputnya memakai motor. Ia memohon izin Bunda untuk mengajak Gesa ke rumah tantenya. Pamannya menjanjikan akan memberi Ben sebuah gitar. Mereka pun berangkat, tentu saja tanpa sepengetahuan ayah Gesa.
Setiap hari Selasa, Gesa pulang lebih siang. Karena ini adalah jadwal untuk kelas Gesa mendapatkan jam tambahan berupa pelajaran komputer. Dari sisi ruangan yang penuh kaca, tampak Ben yang telah setia menunggu hingga kelas usai.
Begitu Gesa keluar ruangan, Ben menyambutnya dengan seutas gelang terbuat dari tali prusik merah muda berdiameter satu milimeter. Memang, sejak masuk SMA, bertambah lagi kegiatan yang diikuti Ben, yaitu panjat tebing dan basket.
Gelang itu dianyam sendiri oleh Ben, karena warnanya yang romantis mengingatkan pikirannya pada Gesa. Disimpulkannya aksesori tersebut ke dekat nadi di pergelangan tangan Gesa sambil berpesan, “Ini dijaga baik-baik ya, Ges[.”
Sebenarnya, Gesa benci sekali warna merah muda. Itu terlalu feminin. Namun, kehadiran Ben hari itu sudah bermakna terlalu besar bagi Gesa. Tak mungkin dirusaknya dengan selera egoisme pribadi.
Hari itu, Ben mengajak Gesa ke rumahnya naik lyn. Di sepanjang perjalanan, mereka berdua asyik mengobrol dengan seru. Kebetulan, saat itu bertepatan dengan hari kelahiran ibunya. Seluruh keluarga besarnya berkumpul. Semuanya begitu ramah pada Gesa.
Ada Bapak, Ibu, Mas Anto, Celia yang seumuran dengannya, dan Daisy si Bungsu. Ya, Ben bersaudara memiliki nama sesuai urutan abjad. Selain keluarga inti, hadir pula eyangnya Ben, para tante dan om, serta sepupu-sepupunya.
Sorenya, Ben kembali mengantar Gesa naik lyn ke terminal di pasar. Sambil menunggu lyn jurusannya penuh dan berangkat, Ben menraktirnya makan bakso dan es Siwalan di dekat situ.
Kegiatan main ke rumah Ben ini berlanjut terus menjadi rutinitas mereka berdua setiap hari Selasa. Kadang-kadang saja berseling dengan pergi ke rumah tantenya atau berbelanja di pertokoan.
Kedua orang tua Gesa, terutama ayahnya, tidak bisa terlalu curiga padanya. Karena memang aktivitas Gesa di sekolah pun semakin padat sejak ia diangkat menjadi wakil ketua OSIS tahun ini. Suara yang mendukungnya hanya terpaut satu angka dengan ketua OSIS yang terpilih.
Pertemanannya dengan kawan-kawan sekelas pun semakin masif. Di kelas 2, para siswa disebar ke sepuluh kelas. Jadi, mereka akan mendapat teman satu kelas yang berbeda dengan saat kelas 1 dulu. Nanti, saat kelas 3, siswa akan kembali dikumpulkan sekelas dengan teman-temannya di kelas 1.
Seakan berjodoh, teman-teman Gesa di kelas 2 ini memang gila semua. Suatu hari, salah satu teman perempuan Gesa melapor padanya bahwa ia baru saja dicolek oleh seorang siswa dari sekolah tetangga belakang.
Tanpa ragu, Gesa mendatangi sekolah tersebut bersama 16 teman perempuan lainnya sepulang sekolah. Si Teman yang tadi mengadu menunjuk lelaki yang tadi pagi melecehkannya. Ia sedang berkumpul dengan teman-temannya, laki-laki semua.
Langsung saja Gesa melabraknya dan menantang baku hantam. Tak pelak lagi, perkelahian pun terjadi, antara 16 orang siswi melawan 12 siswa. Gesa langsung meninju dagu si Mesum ke atas. Ambruklah dia.
Secara keseluruhan, tim Gesa pun menang dengan cemerlang, dan kenyang. Karena usai berkelahi, Gesa memaksa si Mesum agar menraktir bakso dan minuman dingin untuk mereka berenam belas. Itulah akibatnya jika berani melawan Calon Emak-Emak. Hahaha …
Bukan hanya sesama murid, bahkan Gesa pun berani melawan sekolah jika ia merasa benar. Di hari lain, sepeda Gesa dan beberapa teman sekelasnya dikempisi bannya oleh Cak Mud karena parkir sembarangan. Ini memang peraturan dan sudah diperingatkan sebelumnya.
Namun, tetap saja mereka tidak terima. Mereka memiliki alasan tersendiri mengapa parkir tidak pada tempatnya. Karena tempat parkirnya tidak cukup! Jadi, beramai-ramai mereka menggembosi ban seluruh sepeda yang ada.
Tak cukup sampai di situ. Mereka juga menggendong si Casper, anak lelaki Cak Mud yang masih berusia 3 tahun. Panggilan yang cocok dengan kulitnya yang putih bertabur bedak tebal dan berkepala gundul. Mereka menaruhnya di dahan tertinggi sebuah pohon di halaman sekolah. Si Casper hanya celingukan sambil tertawa riang.
Setelah mencari anaknya ke sana ke mari, Bu Hindun pun berteriak histeris dan menangis tersedu-sedu melihatnya anaknya menongkrong nun jauh di sana. Tergopoh-gopoh ia memanggil suaminya untuk segera membantu menurunkan.
“Makanya, Pak. Jangan macam-macam sama kami, ya,” ancam Gesa. Cak Mud hanya menggeleng-gelengkan kepala kerepotan. Serta-merta, tampaklah rombongan siswa menuntun sepedanya keluar gerbang sekolah. Hari itu adalah Hari Gembos Berjamaah.
Menginjak kelas 3, Gesa tidak lagi naik sepeda. Setiap hari, ia menggunakan lyn untuk ke sekolah. Karena, sepedanya dipakai oleh adik perempuannya, Ayudinda. Karena nama depannya sama dengan Gesa, maka Bunda memilih memanggil anak keduanya ini dengan sebutan Dinda.
Tahun ini, Dinda diterima di sekolah yang sama, dan masuk siang. Karena belum tahu peraturan, Dinda memarkir sepedanya di luar lahan parkir yang disediakan. Ia datang terlalu awal, sehingga tempat parkir itu masih dipenuhi oleh sepeda kakak kelas.
Begitu usai memarkir, Dinda lupa memindahkan sepedanya ke area parkir yang seharusnya. Alhasil, ia mendapati ban sepedanya kempis hasil inspeksi Cak Mud. Pulanglah Dinda dengan berjalan kaki sejauh tiga kilometer ke rumah. Karena, uang sakunya telah habis. Tak ada lagi sisa untuk memompakan ban maupun naik lyn.
Tentu saja, keterlambatan Dinda pulang hingga Magrib menjelang membuat panik orang tuanya. Apa lagi, ia pulang tanpa sepeda. Apakah Dinda telah dirampok? Setelah ditanyai, barulah diketahui penyebab semuanya.
Gesa pun marah. Esoknya, jam pelajaran pertama adalah olahraga. Dilihatnya si Casper sedang berkeliaran di lapangan. Langsung saja anak itu digendongnya dan kembali disangkutkan ke pohon. Hingga usai pelajaran olahraga, Gesa lupa kalau si Casper masih nangkring di atas sana.
Ia baru menyadari saat Kepala Sekolah memanggilnya disaksikan oleh para guru. Gesa menceritakan apa adanya tentang yang dialami Dinda selama kemarin sore. Dengan tegas ia menutup ceritanya sambil berkata, “Adikku tidak sama denganku. Ia tidak mungkin melanggar peraturan kalau dia tahu. Jadi, jangan pernah sekali-sekali mengganggu adikku. Urusannya sama aku!”
Cak Mud yang hadir di sana segera merangsek maju dengan takut-takut, “Maaf, Mbak Gesa. Saya tidak tahu kalau itu adik Mbak Gesa.” Guru-guru hanya tersenyum geli menyaksikan semua kejadian di ruangan ini sejak awal.
Esoknya, Dinda berangkat ke sekolah dengan naik lyn. Sesampainya di depan gerbang, ia langsung disambut Cak Mud. Dinda ditunjukkan sepedanya yang sudah indah terpompa bannya, oleh Cak Mud sendiri.
Ternyata bukan hanya keonaran dan kisah cinta Gesa dengan Ben yang berlanjut. Badra pun kembali hadir mengisi hari Gesa. Padahal, sudah sekian lama mereka tidak lagi berkomunikasi.
Gara-garanya, Gesa akan segera menghadapi ujian praktik EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir). Membutuhkan banyak persiapan di sekolah untuk ujian mata pelajaran olahraga, kesenian, dan keterampilan. Karena itu, Gesa harus datang ke sekolah lebih pagi, yaitu jam 6.
Apa daya, tak ada lyn yang lewat sepagi itu di depan gangnya. Bu Sujito jadi kasihan mengetahui kebingungan Gesa. Diam-diam, Beliau meminta Badra untuk mengantarnya berangkat setiap pagi selama EBTA Praktik ini, agar Gesa tak terlambat.
Praktis, Gesa bertemu lagi dengan Badra. Sepanjang perjalanan, Gesa sudah memberi tahu Badra bahwa kini ia sudah memiliki Ben. Gesa bahkan menunjukkan foto Ben pada Badra. Seakan tak peduli, Badra justru menunggunya hingga Gesa pulang sekolah. Hal demikian terjadi selama tiga hari berturut-turut.
Tepat di hari terakhir EBTA Praktik, Badra mengajak Gesa makan bakso sepulang sekolah. Entah tahu dari mana, tiba-tiba Yuni datang menghampiri mereka berdua. Yuni mengaku sudah tahu bahwa Badra setiap hari mengantar Gesa ke sekolah, dan ia tidak suka itu.
Tak ingin ribut berkepanjangan, Gesa memutuskan untuk segera pulang. Ia berjanji dalam hati, tak akan pernah lagi mengizinkan Badra masuk dalam hidupnya. Untuk apa? Toh, ia sudah punya Ben sekarang.
Itulah Gesa. Walau ia sangat galak pada para lelaki yang kurang ajar, namun justru tak pernah berani melawan perempuan mana pun yang mengajaknya bertengkar. Gesa kawatir, hal yang sama bisa menimpa dirinya atau adik perempuannya.