Read More >>"> RESTART [21+] (Bab 40 (RESTART)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RESTART [21+]
MENU
About Us  

Mereka tiba di Pelabuhan Bakauheni ketika jarum jam menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Andre dan Ares tampak segar bugar meskipun hanya tidur sebentar. Musik blues yang berputar di mobil, meskipun bukan selera Ares atau Gamma, tetap mereka dengarkan tanpa protes karena ini adalah hak sang pemilik mobil. Gamma, meskipun wajahnya masih menyisakan bekas air mata, tampak bergelora. Semangatnya membuncah mengetahui bahwa dia akan bertemu anaknya tidak lama lagi.

“Kira-kira dua setengah jam,” jawab Andre ketika Gamma bertanya tentang jarak tempuh ke Kabupaten Pesawaran dari pelabuhan.

Handphone Gamma berdering, singkat. Pesan dari ibunya masuk menanyakan apakah dia sudah sampai atau belum.  Sepertinya, ibunya sama tidak sabarnya dengan Gamma mengenai Alpha. Belum apa-apa, ibunya meminta segera kirimkan foto cucunya jika sudah sampai di rumah Pak Ari. Gamma mengulum senyum.

Sedang Ares, tengah bertelepon dengan Trisna, hanya sebentar, sekedar saling memberi kabar. Andre sibuk menjelaskan gedung-gedung yang mereka lewati seolah dia mengatakan bahwa dia sudah sering bolak-balik ke daerah ini. Ares yang sudah antipati terhadap Andre sejak awal tidak memedulikannya, tidak melihat pada gedung atau bangunan yang ditunjuknya juga tidak begitu mendengarkan sebab dia hanya sibuk dengan handphone-nya. Berbeda dengan Gamma, yang berpikir akan kembali lagi ke daerah ini suatu hari nanti, untuk mengunjungi Pak Ari entah Alpha akan rindu atau … mengunjungi makam Aruna lagi, menyimak penjelasan Andre yang bak pemandu wisata. Juga Gamma sepertinya berusaha menghapal-hapal jalan dan suasana menuju rumah Pak Ari.

Tidak ada lagi pembicaraan yang menguras emosi di dalam mobil. Mereka hanya memperbincangkan pekerjaan, komedi-komedi yang tidak menyambung dan hanya tertawa sebagai bentuk basa-basi saja, juga cerita-cerita membosankan mengenai hobi dan keseharian. 

Mereka berhenti pada satu kedai makan sesaat sebelum adzan Maghrib berkumandang. Saat Andre makan, Ares memilih duduk di luar dekat kolam ikan, merokok sebatang dua batang. Sedang Gamma menyeberang ke mushola yang tak jauh dari kedai itu. Dia sholat, dia berdoa. Tidak berlama duduk, dia hanya meminta dengan cepat kepada Tuhan, memohon ampunan serta memohon agar tidak memperlihatkan kegugupan saat bertemu dengan anaknya pertama kali. Seperti halnya seorang ayah yang canggung menghadapi anak balita meskipun telah dirawatnya sejak lahir, Gamma merasakan canggung juga, namun lebih dalam, lebih luas—karena anak ini, buah hatinya, tak pernah ada dalam pelukannya sejak awal.

Ares sedang menyantap mi instan kuah dengan asap yang masih mengepul saat Gamma kembali masuk ke rumah makan. Gamma duduk di sampingnya dan saat pelayan datang, dia memesan yang sama seperti Ares makan. 

“Andre mana?” tanya Gamma sambil menuang air dari teko plastik ungu ke gelas plastik ungu pula.

“Noh!” tunjuk Ares dengan mulutnya. Gamma menoleh ke arah yang ditunjuk, tampak Andre kembali berbaring di bale-bale yang disediakan kedai. Jelas sekali dia butuh istirahat sebab hanya dia yang mengemudi.

Setelah selesai dari di kedai makan itu, mereka masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan dengan langit yang mulai kelam.

Lampu jalan mulai menyala meramaikan jalanan yang sepi.

Sering kedapatan oleh Andre mata Gamma menerawang jauh, seperti mengingat hal-hal yang lama, yang masih kental.

Melihat itu, Andre mengembuskan napas.

“Masuk gapura ini, belok kanan, gak lama kita sampai,” jelas Andre sambil memutar setir.

Punggung Gamma yang sedari tadi bersandar kini tegak tegap, dia memandang jalan di depan dengan setengah cemas setengah berharap. Dia mengetuk layar handphone untuk melihat waktu; angka delapan jelas terpampang di sana. “Mungkin Alpha udah tidur,” gumamnya pelan, seperti berbisik pada diri sendiri. Kemudian dia mengirimkan pesan kepada istrinya yang berada di Jakarta, memberikan kabar. 

Mobil masuk ke halaman rumah yang berpagar tumbuhan pucuk merah setinggi kaca mobil. Rumah yang masih bertembok plester itu tampak hangat dengan lampu teras dan samping berwarna kekuningan. Baru saja mereka turun, dan Ares masih pelan-pelan menurunkan tas dan barang dari bagasi, pintu rumah terbuka. Pak Ari tampak berdiri sesaat di ambang pintu. Lalu tergesa-gesa mengenakan sandal untuk menghampiri mereka. 

“Gamma.” Sapa Pak Ari dengan suara dan senyum yang familiar, yang pernah Gamma dengar dan lihat empat tahun lalu. Sebab itu, sesuatu pada hati Gamma kembali meletup. 

“Pak …,” Gamma mengulurkan tangan.

Namun uluran tangan itu dibalas pelukan oleh Pak Ari. Dengan badannya yang kurus itu dia mendekap Gamma kuat. Bagi Gamma dekapannya terasa seperti sebuah cerita yang hanya mereka berdua ketahui saja. 

“Ayo … ayo, masuk dulu. Banyak nyamuk.” Suara lain dari arah pintu terdengar. Seorang wanita paruh baya yang juga kurus namun tampak enerjik tengah melambai-lambaikan tangan dengan senyum semringah.

Itu adalah Bu Ningsih, istri Pak Ari. 

Tiga kopi hitam panas terhidang di meja, beserta cemilan yang Gamma dan Ares tidak tahu apa, tidak tahu gurih atau manis rasanya.

“Emping melinjo.” Bisik Andre, yang lagi-lagi seperti pemandu wisata, pada Ares yang terpaksa duduk di sampingnya sebab kursi yang terbatas. Ares bergeming dengan menahan rautnya pada Andre yang lagi-lagi dengan usil tersenyum, menakut-nakutinya seolah mengerjai anak kecil.

 

Di dalam ruang tamu dengan kursi dari bambu ini, dengan lampu menyala terang, Gamma melihat Pak Ari yang semakin banyak rambut putihnya juga semakin terlihat banyak garis-garis pada wajahnya. Kacamata hitam tebalnya dulu sudah berganti menjadi kacamata jenis lensa bor. Sedang Bu Ningsih, benar seperti yang dituliskan Aruna, dia terlihat seperti Bu Dewi: heboh dan ceria, namun dengan tubuh yang lebih pipih.

“Ibuk lagi numis kangkung. Kalian makan cemilan dulu, ya. Ibuk ke dapur dulu. Nanti kita makan sama-sama.” Ujarnya dengan semangat sehingga tidak satupun dari mereka yang sanggup mematahkannya dengan mengatakan bahwa mereka sudah makan dan sudah sangat kenyang.

Mereka, termasuk Pak Ari serempak mengangguk saja.

Kemudian hening. 

Tiga pasang mata mengarah padanya, pada Gamma, menuntut tanpa suara, menekan setiap inci wajahnya, menunggu kata-kata keluar dari mulutnya. Tapi dia tiba-tiba saja kehilangan seluruh kemampuan berbicara. Lidahnya kaku, menempel di langit-langit mulut. Di bawah cahaya lampu putih yang dikelilingi oleh dua-tiga laron yang berputar-putar, mereka semua tahu—si ayah muda ini tengah tegang luar biasa. 

“Alpha sudah tidur?” suaranya pecah, menatap Pak Ari dengan mata yang penuh harap. Gamma tahu, ada aturan yang tidak tertulis dalam etiket pertemuan seperti ini, terlebih lagi di hadapan ayah dari ibu anaknya, lebih-lebih karena kesalahannya pada ibu si anak. Dia sadar, permintaan maaf dan ucapan terima kasih seharusnya yang pertama keluar dari bibirnya. Namun, sebaliknya, dia melompati semua tata krama itu, bukan karena ketidaksopanan, melainkan karena keinginannya yang tak tertahankan untuk melihat anaknya, untuk mendekapnya erat, untuk membisikkan kata maaf yang tak terhitung jumlahnya. Dan ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam—rindu yang pekat, meski baru kemarin siang dia tahu keberadaan Alpha. Dia sendiri bertanya-tanya, bukankah rindu tumbuh karena jarak dan waktu yang panjang? Tapi ini? Rindu ini, tak terbantahkan, nyata dan mendesak. Nyalang.

Pak Ari, yang wajahnya juga sedari tadi menunggu, menunggu dan resah, akhirnya tersenyum luwes dan berkata, “Udah. Dia tidur sama kami, kakek neneknya,” dengan penuh pengertian. “Kamu boleh masuk ke kamar saya.”

“Ya? Ya.” jawab Gamma tergesa, hampir bangkit dari duduknya. Tapi Gamma tidak lagi melangkahi aturan. Dia menahan diri sekuat-kuat hati, menunggu Pak Ari berdiri terlebih dahulu. Di ruang tamu yang kecil ini, persis berhadapan dengan Gamma, terdapat dua pintu. Satu pintu tertutup rapat, satu lagi di sebelahnya yang hanya berjarak dua jengkal menyisakan celah yang berwarna kuning hangat. Entah pintu yang mana yang mengantarkannya kepada anaknya. Dia sendiri tidak sabar luar biasa. Baru selangkah Pak Ari meninggalkan kursi bambu yang didudukinya, baru juga Gamma berdiri, pintu yang tidak tertutup rapat itu berdecit kecil, seorang anak dengan tubuh padat dan pipi membulat muncul sambil menggosok-gosok matanya dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya menahan pintu. 

“Loh? Kok, bangun?” tanya Pak Ari.

Gamma, yang sudah tidak peduli sekelilingnya, langsung melewati Ares dan Andre dengan terburu-buru. Semakin dekat dia kepada anak itu, semakin rendah tubuh Gamma merunduk. Tanpa sadar, dia sudah berlutut di hadapannya. Tak ada jeda, pelukan itu melingkar begitu saja, erat dan dalam, seolah menggenggam seluruh dunia yang telah hilang darinya. “Alpha... Alpha…,” desahnya pelan, hampir seperti do’a yang dilantunkan di antara nafas. Bibirnya menyentuh puncak kepala anaknya. Rambut yang hitam legam ini masih lekat dengan aroma ibunya. Sementara anak itu masih setengah terlelap, menggosok matanya yang berat dengan ujung jarinya yang kecil dan polos. Di tengah kantuk dan bingung, anak itu menatap ke sekeliling dan melihat kakeknya berdiri kaku di depan kursi bambu. Dia menarik diri, matanya menyipit dengan raut keheranan. “Papa? Papa!”  suaranya yang lembut memecah keheningan, menggema di ruang yang tiba-tiba terasa sempit oleh perasaan yang meluap-luap.

Mendengar itu, habis sudah Gamma. Seluruh tubuhnya seperti luruh, tulang yang menopang dirinya tanggal satu per satu. Semua yang di ruang tamu, juga Bu Ningsih yang sudah berdiri di ambang pintu dapur menyaksikan bagaimana Gamma jatuh terduduk.  Kembali mendekap anaknya, air mata mengalir diam-diam, tenggelam dalam bahu kecil yang kini menjadi satu-satunya jangkar yang menyelamatkannya dari tenggelam di lautan Aruna. Pelukan itu adalah pelukan yang lahir dari ketakutan yang mengakar juga  kerinduan tak terukur. 
 

Dari luar, itu seperti sebuah pelukan yang dipenuhi air mata, tapi di dalam diri Gamma, ada sesuatu yang telah koyak dengan cara paling lunak. Sebagaimana gelas yang terisi air hangat tumpah membasahi kertas di bawahnya. Segalanya menyebar, meresap, melarutkan kertas-kertas yang sudah lama tertumpuk, hingga tak ada yang tersisa kecuali hancur. Hancur yang dengan hangat. 

Ruangan itu tiba-tiba penuh rintihan haru tidak hanya dari mereka yang berpeluk tapi juga dari mereka yang menyaksikan. Bahkan laron-laron seakan berhenti berputar-putar karena ingin menjadi saksi dua laki-laki yang berpisah dan menyatu karena satu perempuan.
 

-oOo-

Di Pesarawan, pagi dimulai begitu dini. Pukul setengah tujuh mereka sudah bersiap sarapan, nyeruit –begitu kata Pak Ari dan Bu Ningsih, hidangan yang bagi Gamma dan Ares lebih cocok untuk makan siang, berupa nasi dengan lauk ikan goreng, sambal terasi, sambal fermentasi durian dan lalapan terong bulat. 

“Seruit,” kata Andre kemudian sambil menyuap lauk dengan tangan kosong, tanpa sendok, “tapi karena sedang dilakukan, jadinya nyeruit!”

Gamma manggut-manggut. Sedang Ares, yang saat bergabung tampak masih mengantuk, kini bersemangat sekali mencoba sambal durian, dia cocol-cocol dengan terong dan ikan. Lalu wajahnya kegirangan, pertanda lidahnya yang juga tak kalah riang.

Kami duduk lesehan di teras belakang yang sudah diberi alas tikar rotan untuk menutupi lantai yang masih semen. Angin sepoi-sepoi yang masih segar juga masih basah sebab embun, menyentuh lembut kulit mereka. Hamparan kebun yang tidak terlalu besar milik Pak Ari menjadi pemandangan yang menyejukkan mata pula. Gamma teringat tulisan Aruna, tentang bawang yang ditanamnya dan segala kelucuannya. Kepalanya mencari-cari dimana dan seperti apa tanaman bawang itu. 

“Alpha biasanya bangun jam delapan …,” ucap Bu Ningsih yang baru saja kembali dari dapur, menambah sambal durian yang Ares sukai itu, “habis itu dia mandi. Semangat sekali ikut Aruna kerja ke rumah tetangga kami.”

“Di sana.” Pak Ari menunjuk ke sebalik kebunnya, “di sana. Jarak dua rumah dari sini. Aruna lewatin kebun aja, tuh. Gak lewat depan dia.”

Gamma menunduk saja, menatap ikan goreng di piringnya yang belum rusak sama sekali. Perasaannya yang sedikit-sedikit nyeri itu dia coba pudarkan dengan menyuap nasi. Lalu sesekali mengintip jalan setapak di kebun Pak Ari. Terlihat olehnya langkah riang Aruna dan Alpha bersama-sama melewati tiap tanaman yang masih hijau, masih basah.

Hatinya semakin berkedut-kedut.

“Habis ini, kita ke makam.” Lanjut Pak Ari yang diikuti oleh tolehan kepala Andre dan Ares secara bersama kepada Gamma. Gamma yang sejak kemarin entah sudah berapa kali menerima perlakuan seperti itu dari mereka lantas sudah terbiasa, tidak risih, juga sudah berkurang tekanannya. 

Tadi malam, saat berpelukan dengan papanya, Alpha menanyakan mamanya. Tanpa rengekan, tanpa tangisan. Dia hanya benar-benar bertanya, juga sepertinya tidak begitu mencari. Melihat Gamma yang terdiam, tidak siap dengan pertanyaan itu, maka Bu Ningsih menghampiri segera, menggendong cucunya dan menimang-nimangnya sambil kembali masuk ke kamar. Alpha kembali tertidur. Gamma hanya berdiri, bersandar di kusen pintu, menatap anaknya, yang benar, menurut tulisan Aruna, dia lelap dengan tangan merentang ke atas. Gamma tersenyum dalam kepedihan, ternyata ada seorang perempuan yang begitu perhatian bahkan sampai mengetahui bagaimana dirinya tidur yang kemudian menurun kepada anaknya.

Setelah makan malam itu, Gamma dan Pak Ari merokok bersama di teras. Di sanalah semua kata-kata yang terpendam lama, cerita-cerita lain yang dilihat-dirasakan-dialami Pak Ari sendiri, terkuak mengisi ruang-ruang hampa yang ditinggalkan Aruna dalam tulisannya. Bahwa, sebelum Aruna mengetahui kehamilannya, sebelum Andre ikut dalam permainan rumah-tangga, selain Bang Budi, ada anak Bupati yang mencoba mendekati Aruna, juga Pak Rusdi –seorang duda satu anak yang memiliki usaha tambak udang– yang dengan sangat kentara mencoba menikahi Aruna. Tapi Aruna tegas menolak mereka semua. Pak Ari mengatakan bahwa meskipun Aruna tidak pernah cerita, tapi dia tahu persis hati anaknya hanya untuk satu laki-laki saja. Juga bercerita bagaimana Aruna meminta maaf pada Pak Ari mengenai kehamilannya, meminta ampunan atas dosa yang dia berikan kepada ayahnya dengan derai air mata yang mengiris hati Bu Ningsih, dimana Bu Ningsih ikut-ikutan menangis.

Saya tidak berhak menghakimi dosa, itu bukan bagian saya. Itu urusan Yang Maha Kuasa. Tapi saya punya hak untuk menentukan hidup anak perempuan saya. Saya hanya ingin melihatnya kembali hidup, setelah sekian lama mati sejak usia tiga, sejak saya tinggalkan begitu saja. Dulu, dia terlihat hidup, saat bersama denganmu. Mungkin saja, dia akan kembali menemukan hidupnya dengan kehadiran seorang anak yang begitu mirip denganmu. Dan ternyata benar, dia hidup. Begitu kata Pak Ari, dengan suara yang sarat perih. Dia sempat mencicipi kehidupan lagi sebelum akhirnya … benar-benar dijemput kematian.  Tambah Pak Ari lagi, yang membuat Gamma tidak sanggup menghirup rokok sebab tangannya bergetar menahan gemuruh perasaan.

Gamma mengucap maaf.

Juga menyampaikan terima kasih.

Dan Pak Ari mengerti, sejak awal, sejak pertama bertemu, laki-laki kekasih anaknya ini adalah orang yang tidak begitu baik dengan kata-kata. Dia hanya bicara jika ditanya atau jika perlu saja. Maka ucapan maaf dan terima kasih yang mungkin terdengar sangat sederhana bagi orang-orang yang tidak mengerti dirinya, justru bagi Pak Ari itu terdengar lebih luas dari apa yang keluar dari mulut Gamma.

Lalu Pak Ari mengatakan akan libur berjualan, sebab akan menemani Gamma ke makam besok pagi.

“Siapa sangka, Gam? Dulu saya nginep di kamar kamu untuk menemui anak saya. Bertahun-tahun setelahnya kamu nginep di rumah saya untuk menemui anak kamu,” ucap Pak Ari sambil tersenyum. Senyum seorang bapak. 

“Kita sama-sama menyeberangi Selat Sunda untuk menemui anak yang sudah ditinggalkan ibunya. Kamu beruntung karena kamu berani, hingga Alpha gak butuh berpuluh-puluh tahun kemudian untuk bertemu dengan ayahnya. Sedang saya, gak punya keberanian itu, Gam. Saya hanya mampu melihatnya tumbuh dari jauh.” Pada bagian ini, suara Pak Ari mulai disisipi sebagian amarah dan sebagian kekecewaan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. 

Meskipun tidak saling bertatapan, mereka sama-sama tahu, langit pun tahu, bahkan Ares yang sedang mengamati dari dalam mobil pun tahu bahwa dua laki-laki itu menitikkan air mata untuk satu perempuan yang sama. Perempuan yang mereka kasihi dan sayangi, perempuan yang mereka tinggalkan dan lepaskan, perempuan yang mereka sesali tak banyak waktu yang mereka habiskan untuknya. Mereka diam pada malam yang diiringi suara jangkrik dan kodok bersahut-sahutan. Namun ada sesuatu yang menghujam-hujam perasaan pada malam-malam sebelumnya dan sesudahnya di Pesawaran.

Malam itu, Gamma tidur di kamar yang menjadi kamar Aruna dan Alpha. Kamar dimana dia menjumpai benda-benda yang pernah disentuh oleh kehidupan mereka bersama—sarung tinju yang tergantung di dinding, botol minum yang tergeletak sembarangan, dan bantal berbentuk strawberry yang terlihat usang namun penuh kenangan. Kamar dimana banyak foto terpajang, yang menyimpan cerita lain dari kisah yang hilang. Bingkai-bingkai foto berjajar pada nakas pakaian Aruna. Foto Alpha yang baru lahir, masih dalam gulungan kain. Foto Aruna menggendong Alpha yang masih bayi. Foto Aruna saat hamil besar. Foto Alpha dalam setiap fase-fasenya, mulai dari kemampuan makan, berjalan, hingga membantu menanam sayuran. Bahkan foto Gamma dan Aruna dulu yang terpajang di loker rumah sakit, dua lembar potret selfie mereka berdua di kamar lama, kini terbingkai rapi dan ikut berjajar bersama foto-foto lain seolah menegaskan kehadiran Gamma, meski tak kasat mata. Juga satu foto yang dibawa Gamma berbaring adalah foto Aruna dan Alpha, di depan karyanya di Kota Tua. Kembali pedih jantungnya mengingat bahwa Aruna dan Alpha berdiri begitu dekat dengan karyanya, sebuah karya dengan cerita asal-muasal Alpha. Satu foto kedekatan ibu Alpha dan nenek Alpha. Dia berbaring dengan bantal yang menguarkan aroma masa lampau, strawberry-vanilla dan tertidur dengan mendekap bingkai foto itu pada dada, di kasur kekasihnya, di kamar dengan segala kesenangan juga kesedihan, pada suasana yang menariknya jauh ke masa-masa lalu juga menghubungkannya ke masa depan. Dia tertidur dengan air mata menetes satu dari ekor matanya yang lancip terpejam. Dia tahu, dia rindu. Tapi sudah terlalu purba untuk diungkapkan bahkan melalui bisikkan. 

Setelah sarapan nyeruit itu, Gamma kembali berdiri di depan pintu kamar Pak Ari. Sudah sepuluh menit begitu hanya untuk menunggu anaknya bangun. 

“Masuklah ….” kata Bu Ningsih dengan nada membujuk.

“Engga apa-apa, Bu. Di sini aja.”

Sekalipun sangat ingin berbaring di samping anaknya, menyentuh-nyentuh hidung kecilnya untuk membuatnya terjaga, Gamma menahan keinginan itu. Sejak kecil, sejak dia bisa mengingat, ibunya sering mewanti-wanti untuk tidak sembarangan masuk ke kamar orang lain, terlebih pasangan suami-istri. 

Ares yang semalaman sengaja tidur di mobil, menghindari satu ruangan bersama Andre yang tidur di ruang tamu, memutar-mutar pinggangnya yang pegal, bunyi derakan terdengar dan membuat Bu Ningsih berinisiatif memberikannya minyak angin. Dengan canggung Ares terima saja. 

“Cakep, yak! Untung mirip Aruna …,” bisik Ares, yang akhirnya ikut-ikutan berdiri di samping Gamma sambil mengusap-usap pinggangnya dengan minyak angin.

“Kata Aruna mirip gua.”

“Lu buta apa? Liat, noh! Putih mirip nyokapnya. Matanya juga cokelat. Gila mirip lu dari mana.”

“Nyokap juga bilang mirip gua.” Sambar Gamma tak mau kalah.

“Ngotot amat, sih, lu!” sahut Ares kesal, “eh, bentar-bentar. Emang pernah ketemu?”

“Pernah. Gak sengaja. Pas waktu-waktu pameran. Cuma gak di sana, sih. Di tempat makan,” Jelas Gamma.

“Wih! Gila. Skenario alam emang mantap!” Ujar Ares kuat karena dibuat terkesima oleh satu kebetulan. Karena itu Alpha tampak terkejut, dia bangun dan beringsut-ingsut turun.

“Suara lu! Bangun anak gua!” Gamma menyenggol sikut Ares dengan decak kesal.

“Yeee! Nyalahin gua! Lu juga nungguin dari tadi!” Ares membalas, “sini-sini, sama om!” Ares dengan nada bicara dan juga wajah yang diimut-imutkan memanggil Alpha yang berjalan dengan setengah kesadaran, sempoyongan, masih mengantuk. Tiba-tiba, dan membuat Gamma bagai tidak menginjak bumi lagi, Alpha merentangkan tangannya minta digendong. Tentu Gamma langsung mengangkatnya. Kembali mendekapnya erat dan membawanya ke halaman belakang melihat tanaman-tanaman. 

Gamma kembali mencium aroma Aruna ketika bangun tidur yang juga menguar dari tubuh Alpha. Luar biasa, pikirnya. 

“Papa?” panggil Alpha lagi. Dan jantung Gamma kini melompat-lompat kecil mendengar panggilan itu keluar dari bibir mungil anak sendiri.

“Ya?”

“Bawang.” Alpha menunjuk jauh satu tumbuhan rendah dengan daun panjang-panjang menjulang-menjuntai.

Oh, jadi itu yang tanaman bawang? 

Pertanyaannya dan apa yang dicari-carinya tadi sudah dijawab oleh Alpha.

“Alpha nanem bawang?” tanya Gamma.

“Ya. Mama juga. Banyak.” jelasnya sambil membuat lingkaran dengan kedua tangannya saat mengatakan banyak.

Gamma tertawa. Lalu Andre datang dari arah kamar mandi, dia menjemur handuk dan melambai pada Alpha.

“Bapak!” sapa Alpha padanya. Gamma menoleh cepat, rautnya berubah menjadi heran dan bertanya-tanya.

Andre terkekeh, “Gua bapaknya. Papanya cuma lu! Papa-mama. Gitu!”

Gamma mengangguk-angguk lega.

“Oom!” sambar Ares segera dari arah belakang, “ini oom! Oom ganteng! Gitu, ya! Oke?” katanya sambil menepuk-nepuk dada dengan bangga. Si balita tampak bahagia, dia kembali menemukan keluarga barunya. Tawa terkembang pada wajah kecil itu terlihat sangat menggemaskan menampilkan deretan gigi yang juga mungil.
 

-oOo-

Aruna, kita sekarang dekat, bedanya aku di atas tanah sedang kamu di bawah. Kita sekarang berjumpa, tapi tidak dalam keadaan yang kita inginkan. 

Maafkan aku. Maafkan Gamma-mu atas segala kesusahan, kesedihan dan penderitaan yang kamu tanggung karenaku.

Juga Gamma-mu berterima kasih atas segala kesusahan, kesedihan dan penderitaan yang kamu tanggung untukku. 

Kamu lihat? Kami berdua di sini, menyirami rumahmu agar tak kering, membawakan bunga dengan warna yang kamu suka, merah muda.

Runa, buku cokelat yang kamu selamatkan dari sebutan sampah itu menjelma menjadi buku paling mahal yang pernah kupunya, dengan naskah terhebat yang pernah kubaca. Aku akan menyimpannya dan menjaganya sampai buku itu menjalankan tugas yang kamu mandatkan padanya: dibaca oleh Alpha. Tapi nanti, satu hari dimana dia sudah bisa memilah mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, dia akan membaca buku ini bukan lagi untuk mengetahui siapa ayahnya, tapi, siapa ibunya. Ibu yang dia ingat dia panggil mama. Ibu yang luar biasa mencintainya. Mengasihi dengan jiwa paling santun, menyayangi  dengan hati paling anggun. Dia akan mengetahuimu seluruhnya dan seutuhnya, bagaimana perjuanganmu membawanya ke dunia dengan segala duka yang mengejar dan mengukung justru kamu ubah dihadapannya menjadi suka. 
 

Awalnya, aku takut menemukan rintihan penyesalan dalam tulisanmu hingga aku urung membukanya, membacanya. Aku takut menemukan kata-kata sesal darimu, yang telah bertemu denganku, atau menemukan baris-baris penyesalan telah menerima perasaanku. Namun, kenyataannya, justru kata-katamu menghadirkan sesuatu yang jauh melampaui cemas dan takut, sesuatu yang menyentuhku dengan cara paling haru. Aku pecah, aku terbelah, aku tumpah-ruah.

Aruna, perasaan yang kamu jaga untukku, tak terbalas suatu apa olehku.

Sangat besar lega hatiku mengetahui kamu menumpahkan kasih sayang itu bukan kepada laki-laki lain, justru kepada diriku yang lain.

Juga tak terkira bagaimana besar hatiku mengetahui telah kamu jaga darah yang aku tinggalkan begitu saja dalam tubuhmu. Tanpa aku minta, dengan kerelaan luar biasa, segenap jiwa dan raga dengan rintangan melintang-lintang di depan mata, kamu merawat setetes darah itu menjadi gumpalan yang kemudian diberi ruh oleh Tuhan. Dia tumbuh sangat indah, Runa. Kamu menamainya sebagaimana yang aku inginkan dulu. Meski sudah bertahun-tahun lalu, kamu mengingatnya. 

Lemah-lunglai aku mendengarnya memanggilku “Papa” tanpa perlu aku minta, tanpa sempat memperkenalkan diri juga. Hanya dengan satu kata itu berhasil meruntuhkan semua jarak yang pernah ada di antara kami. 

Aku tidak menyangka, Runa, bahwa takdir mengulang kisah dengan awalan yang sama. Bahwa kamu ditinggalkan ibu pada usia tiga, begitu juga Alpha. Tapi tidak seluruhnya kisah dengan awalan yang sama memiliki akhir yang sama pula. Tidak aku biarkan anak kita terlunta tanpa ayahnya. Aku izin menjemputnya, aku akan membawanya. Aku, laki-laki dengan darah yang sama yang ada pada tubuhnya, bertanggung jawab penuh atas hidup dan matinya. 

Aku tahu, kata “terima kasih” terasa hampa, terlalu sederhana, untuk membalas semua cinta dan pengorbanan yang telah kamu berikan untuk kami berdua. Tapi tetap aku katakan saja.

Terima kasih, karena tidak menghilangkanku pada dirinya, terima kasih tetap bercerita yang baik-baik saja tentangku pada dia. 

Gamma-mu berterima kasih dengan kesungguhan luar biasa.

Kini aku akan melanjutkan perjuanganmu membesarkan anak kita agar tumbuh sebagaimana do’a dan harapan yang tersematkan pada namanya, pada nama yang kita beri bersama.
 

Istirahatlah, Runa.

Istirahatlah dari semua penat dan lelah yang telah keterlaluan menekan dirimu selama di atas tanah.

Aku akan kembali lagi, tidak tahu kapan. Tapi aku akan.

 

“Alpha?” panggil Gamma pada balita yang ada dalam pangkuannya.

Balita itu mendongak saja, menatap wajah di atas kepalanya, wajah dengan raut berkabung luar biasa, tapi balita itu tidak paham rupanya, dia lantas tersenyum saja.

“Begini …,” kata Gamma sambil membuat tangan Alpha seolah berdo’a. Balita pintar itu menurut saja tanpa perlawanan, tanpa pertanyaan.

Lalu Gamma memejamkan mata, melafazkan do’a dengan napas berat pula. Jelas dadanya kembang-kempis selama jarinya taut-bertaut dengan jari-jemari mungil anaknya, menengadah ke langit.

“Aamiin…,” ucap Gamma, mengusap dada anaknya dan kemudian dadanya sendiri. 

“Pulang?” tanya Gamma lagi pada anak itu.

Balita itu mengangguk cepat.

Bye, Mama!” bujuk Gamma pada anaknya sambil berdiri dan melambai pada nisan Aruna.

Balita itu mengikuti, “Bye, Mama … Alpha pulang dulu, ya!”

Sementara balita itu belum tahu, bahwa pulang yang dimaksud ayahnya adalah pulang ke rumah mereka di Jakarta. 

-oOo-

Selama perjalanan kembali ke Jakarta, tidak lepas Alpha dari pangkuan Gamma. Di mobil, Gamma memilih duduk di kursi penumpang tengah, bersama Alpha yang sibuk memainkan kamera pemberian ibunya, yang juga milik ayahnya. Gamma menemukan beberapa foto selfie Alpha dan Aruna menggunakan kamera itu. Senyumnya mengembang pelan setiap kali melihat wajah-wajah itu, tapi di balik senyum itu ada kesedihan yang mengendap.

Gamma melakukan panggilan video dengan ibunya. Nenek itu terlihat bahagia melihat cucunya sampai-sampai meneteskan air mata, juga Marwa tampak gemas sekali terhadap Alpha. Juga setelah itu menelepon Tyas, dalam panggilan video itu, istrinya memamerkan barang belanjaan untuk Alpha dan juga kamar yang sedang dia tata. Hati Gamma lapang mengetahui istrinya dengan tangan terbuka menyambut anak yang bahkan bukan lahir dari tubuhnya. Dia berterima kasih pada Tyas dengan suara yang tercekat, hampir menangis. 
 

Sedangkan, Ares dan Andre tampak sekali dipaksa-paksakan akur untuk bermain dengan Alpha, sahut-menyahut dalam gelegar tawa. Di kapal, Alpha tampak riang-gembira. Rambut tebalnya berterbang-terbangan seiring angin menyapu wajahnya. Gamma tampak cemas saat Ares menggendong Alpha dekat dengan dek terbuka.

“Hati-hati, lu! Pegang kuat!” seru Gamma yang sering kali bangkit dari duduknya untuk memeriksa mereka berdua.

“Ah! Iya! Lebay banget!” Ares menggerutu.

“Jaket. Resleting jaketnya naikin, full sampe leher! Nanti masuk angin!” tunjuk Gamma pada jaket Alpha.

Ares menuruti saja dengan memperlihatkan wajah masam pada Gamma, seolah berkata bawel amat lu, Nyet!

Gamma kembali pulang dengan hanya membawa apa yang benar-benar menjadi miliknya: Alpha. Dia meninggalkan segala yang pernah menjadi bagian dari dia dan Aruna—sarung tinju, bantal berbentuk strawberry, botol minum, juga cincin berpermata itu. Apa yang pernah menjadi milik Aruna tetap berada di tempatnya, tersusun rapi di kamar di Pesawaran, sebagai kenang-kenangan yang akan selalu menghubungkan Alpha dengan ibunya setiap kali dia berkunjung ke rumah kakeknya. Sebuah jejak masa lalu yang tetap ada, menunggu untuk diceritakan, disentuh oleh ingatan.
 

-oOo-

Mobil masuk ke gerbang perumahan saat langit mulai keunguan. Gamma mendapati mobil Ikhsan dan mobil Pak Adimas terparkir di halaman kecil rumahnya sehingga Andre pun hanya bisa memarkirkan mobil di jalan depan rumah. Gamma menghela napas, seolah mengumpulkan keberanian sebelum melangkah keluar dari mobil. Sesaat, dia duduk diam di kursinya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan berbagai skenario tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia resah, tapi kemudian dia ingat betapa tidak jelasnya dan hitamnya masa-masa Aruna mempertahankan Alpha, maka dia yakini bahwa apa yang akan dia hadapi ini tidak sebanding apa-apa dengan waktu-waktu itu. Maka dia turun, menggendong Alpha.

Gamma mengetuk pintu saat Ares dan Andre menurunkan barang. Dia menunggu beberapa saat sebelum akhirnya mendorong pintu sebab ketukannya tidak disahut dari dalam.

Dia mendapati rumah yang sepi dan gelap. Dengan heran dia melangkah masuk perlahan.

Tiba-tiba saat tangannya menekan tombol lampu ruang tamu, suara teriakan dan balon warna-warni muncul bersamaan.

“WELCOME HOME, ALPHA!”

Terlihat kedua orang tua Tyas, Tyas, ibu, adik, iparnya dan Trisna berbaris bersama dengan wajah antusias. Alpha yang awalnya terkejut juga kini tangannya sibuk meraih-raih balon yang berterbangan sambil tertawa riang. Gamma melangkah dengan raut tak kalah haru kepada istrinya. Dia memeluk Tyas sambil kembali menyembunyikan air mata, sedang Alpha sudah berpindah ke tangan ibunya. Dia bermain balon bersama neneknya dan tantenya. 

Welcome home, Mas,” bisik Tyas tepat di telinga suaminya yang menumpukan dahi padanya. Yang keluar dari mulut Tyas memang terdengar sebagai kata sambutan, tapi apa yang Tyas ucapkan dalam hati sebenarnya adalah terima kasih sudah pulang ke rumah, ke aku, ke kita. Tyas melingkarkan tangannya pada pinggang suaminya.

Malam itu, Alpha sambil makan juga bermain-main bersama Ares dan Trisna di halaman belakang saat kedua keluarga berkumpul di ruang tengah, termasuk Andre. Gamma menceritakan hal-hal yang memang patut didengar dan diketahui oleh kedua belah pihak keluarga. Dia juga menyampaikan permintaan maaf kepada Pak Adimas, atas kekecewaan yang mungkin keluarga Tyas terima. Juga mengucapkan terima kasih karena telah mampu berlapang dada menerima keputusannya untuk membawa Alpha pulang. Tumbuh bersama keluarga baru dengan ibu yang akan Alpha panggil mami. Sebelum keluarga Tyas pulang, Pak Adimas menyampaikan maaf, “Mewakili anak saya, yang perkataannya mungkin udah semena-mena kepada kamu dan Aruna, saya minta maaf.”

Dan ibunya Tyas juga menyampaikan pesan kepada Gamma, dengan tatapan kekhawatiran, “Gam, Tyas itu ibu baru. Dia tidak melewati proses menjadi ibu untuk status itu. Kalau … kalau aja suatu saat dia khilaf, dia lepas kendali, atau lupa akan status barunya, tolong kamu ingatkan dengan cara baik. Mama juga, sebisanya, akan terus mengingatkannya. Maafkanlah kesalahannya yang dulu atau kesalahannya yang akan datang.”

Mendengar itu, Gamma merasa bahwa keluarga Tyas amat menarik hati, amat pandai menjaga sehingga utuh berkepanjangan. Dan itu membuat Gamma melihat jalan di hadapannya tidak lagi bercabang, tidak lagi bermacam. Dia sudah bulat. Tidak lagi pecah-pecah dalam bimbang.

Tidak lama setelah Adzan Isya, keluarga Pak Adimas pulang, diikuti oleh Marwa dan Ikhsan yang kembali ke Bogor, juga Ares dan Trisna. Sejak hamil, Marwa merasa sulit tidur jika tidak berada di kasur kamarnya sendiri. Ibu Seruni berencana menginap beberapa hari, menghabiskan waktu bersama cucunya juga sebagai dukungan untuk Tyas yang kini membutuhkan bantuan sebagai ibu baru. Tyas tampak lega dengan kehadiran ibu mertuanya. 

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Tyas sedang mencuci piring saat Gamma mengatakan akan menemani Alpha tidur di kamar yang sudah dipersiapkan.

“Aku ke kamar dulu, juga mau gantian sama ibu jagain Alpha,” ucap Gamma, kemudian mengecup bibir istrinya.

“Ya, Mas.” Tyas tersenyum.
 

Tidak lama, Bu Seruni menyusul Tyas di dapur. Dia membantu anak menantunya membersihkan meja makan. 

“Capek, Yas?” tanyanya berbasa-basi.

Tyas menoleh ke belakang, mendapati ibu mertuanya menutup sisa-sisa kue, “Enggak, Bu,” jawabnya pelan. Dia mematikan keran, mengelap tangannya yang basah pada handuk kecil tergantung di samping rak gantung, “Mau teh, Bu?”

Bu Seruni tersenyum, “Kamu duduklah. Dari tadi kamu sibuk membersihkan rumah. Meskipun kamu bilang gak capek, tapi ibu tahu, kamu lelah,” Bu Seruni mengusap bahu anak menantunya dengan lembut, “biarkan ibu yang bikinkan teh untuk kamu, ya?”

Tyas mengatupkan bibir rapat-rapat dan menunduk. “Ya, Bu.”

Dua perempuan itu duduk di meja makan sambil memegang gelas hangat berisi teh kamomil. 

“Terima kasih, Yas.” Ucap Bu Seruni.

Tyas menggeleng, “Aku gak bisa menerima ucapan terima kasih, Bu. Aku orang yang bersalah,” kemudian dia menunduk, “aku udah buat ibu terpisah dari cucu.”

“Yas? Kamu tahu? Kamu dan Gamma itu nyaris sama. Mungkin, kalau dia dulu lahir di tubuh perempuan, dia akan menyerupai kamu. Kalian pemaaf, juga sering menilai sesuatu yang berjalan diluar kendali kalian sebagai kesalahan sendiri. Padahal bukan sama sekali. Ibu luar biasa bangga dan bahagia mengetahui kalian tidak saling menyalahkan untuk situasi yang menurut ibu besar ini. Kalian saling kuat dan menguatkan. Coba kamu pikir? Kamu menelan masalah ini sebagai kesalahan kamu sendiri, sedang Gamma menganggap ini kegagalan dirinya di masa lampau yang akhirnya menyeretmu untuk ikut serta. Gak ada tali yang mengikat lebih kuat dari pada rasa bersalah untuk pasangan sehingga kalian berdua ingin berusaha terbaik untuk saling mengampuni, saling memaafkan juga saling memperbaiki diri,” Bu Seruni mengusap-usap rambut Tyas, dia tahu dia menyayangi menantunya, juga kini sangat salut pada keberaniannya dan ketangguhannya, “Yas, lihat ibu.”

Tyas mengangkat kepalanya perlahan, menatap sepasang mata dari wajah dengan garis-garis wibawa di hadapannya, ibu mertua yang bijak.

“Ibu gak bermaksud membenarkan kesalahan anak ibu, juga tidak bermaksud membelanya, tapi … tolong maafkanlah dia. Dengan segala apa-apa yang dia bawa dari masa lalu yang mungkin membebanimu. Ibu tahu persis dia tidak akan abai padamu, pada rumah tangga kalian. Genggamlah tangannya, peluklah dirinya. Dia memang tampak tegak kokoh dan kuat, tapi dia betul-betul butuh dukungan. Mungkin suatu waktu, dia kehilangan kekuatan, atau mungkin juga dia merasa habis sabar. Tapi percaya sama ibu, dia bukan laki-laki yang pergi meninggalkan. Dia akan menetap. Jadikanlah dirimu rumah yang nyaman untuk dia pulang.”

Air mata Tyas merembes perlahan dari sudut dalam dan sudut luar matanya. Hatinya mengembang mendengarkan penuturan ibu mertuanya. Tyas tak langsung menanggapi, sebab semua kata-katanya telah tersampaikan oleh air mata yang jatuh membasahi pipi. Ibu mertua yang mesra pembawaannya itu menghapus air yang mengaliri pipi menantunya yang luka dengan senyum indah pula, “Menangislah, jangan ditahan. Tapi janji sama ibu, setelah ini tersenyumlah, tertawalah. Karena seorang anak akan tumbuh baik jika ibunya bahagia.”

Pada momen ini, Tyas memeluk ibu mertuanya. Dia menangiskan kesusahan hati sekali lagi dan juga berjanji bahwa ini adalah untuk terakhir kali. Besok dia akan bangun dengan harapan baru, cita-cita baru juga dengan hati yang baru yang lebih “ibu”.

Kamar yang bernuansa ruang angkasa dengan stiker astronot besar pada dindingnya dan segala planet-planet telah menjadi milik Alpha, kamar yang berjarak ruang keluarga dari kamar orang tuanya. Setelah diusap-usap punggungnya (seperti yang biasa Aruna lakukan menurut pengakuan Bu Ningsih) Alpha akhirnya tertidur pulas. Mungkin juga karena lelah telah menempuh perjalanan jauh darat dan laut, bibir mungilnya sedikit terbuka dan tangan merentang ke atas. Gamma tersenyum lebar nyaris tertawa. Dia bertanya-tanya, apa benar dia sendiri terlihat begini jika tidur nyenyak? Apa benar menggemaskan begini? 

Ah! Mungkin bagian menggemaskan ini adalah warisan Aruna, pikirnya lagi. Dia sadar, dia tidak menggemaskan. Juga tidak mau dinilai begitu oleh siapapun, termasuk Aruna, termasuk Tyas dan bahkan dirinya.

Dia mengusap-usap rambut Alpha, sambil mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an pendek yang selalu itu-itu saja dilafalkannya ketika sholat. Setelah itu dia cium kening anaknya. Dia sadar bahwa menjadi ayah telah –tanpa perintah– mengubah dirinya menjadi lebih lembut. Begitu saja mengalir sebagaimana dia berlaku tak seperti biasanya. Bahkan dia tidak pernah berdoa sebelum tidur, tapi untuk anaknya, adalah segala sesuatu yang berbeda. Dia ingin segala malaikat Tuhan menjaga anaknya yang tertidur saat dia tidur pula, saat jauh dari jangkauannya. Lalu tak lama terpejam pula mata ayah muda itu pada wajah yang sejajar dengan anaknya. Dia tersentak di tengah-tengah tidurnya dan kembali membuka mata tapi anehnya, Alpha tidak ada, juga ini bukan kamar ruang angkasa. Dia duduk segera, melihat sekitar, dan benar, dia berada di kamar lamanya, di kasur lama dengan kekasih lama yang memunggunginya sedang mengetik dengan komputernya.

 

POSTSCRIPT

“Gam?” panggil gadis berambut pendek sebahu itu sambil terus mengetik. Tidak menoleh, tidak berpaling, seakan percaya diri bahwa laki-laki yang dipanggilnya akan mendengarkan penuh atensi. 

“Ya?” jawab laki-laki itu dengan tenang, menatap punggung kekasihnya.

Satu malam, lima tahun lalu, di pertengahan 2017, Gamma dan Aruna tengah menikmati waktu bersama meskipun tengah sibuk pada alat masing-masing: komputer dan tablet. Tengah mempersiapkan kelulusan masing-masing. 

“Kalau ada laki-laki lain di antara kita, gimana?” tanya Aruna, lagi-lagi tanpa berpaling kepada Gamma yang sedang duduk di kasur dengan menatap tablet.

Gamma diam sebentar, tangannya memutar-mutar stylus pen di sela-sela jari, “Laki-laki lain?” tanya Gamma seolah mengonfirmasi.

“Ya.” Aruna menjawab cepat.

“Yah, mau laki-laki atau perempuan, aku bakal sayang sama dia,” jawab Gamma santai, dia tahu bukan itu maksud pertanyaan kekasihnya, dia tahu mereka membicarakan konteks yang berbeda, tapi sebagaimana Gamma tahu, maka seperti itu juga dia tidak ingin membicarakannya.

“Maksudnya?” Kini Aruna berpaling, memutar kursi menghadap kekasihnya. Alisnya nyaris bertemu dengan raut keheranan.

“Dia bakal manggil kamu mama.” Gamma menaik-naikkan alisnya dengan cepat dan usil, membuat Aruna paham arah pembicaraan Gamma.

Dia manggut-manggut kemudian dan kembali memutar kursi menghadap komputer. Dia tahu, kekasihnya nyaris selalu menghindari perdebatan dan pertikaian. Maka dia diam, memutuskan tidak kembali mengungkit-ungkit.

“Udah, yuk. Kita tidur aja. Udah jam segini juga,” Gamma bangkit, berjalan ke arah meja dan meletakkan tabletnya sebelum melirik jam pada layar yang menunjukkan pukul sebelas malam.

“Duluan. Aku mau tidur di kamar aku aja. Lagipula belum selesai, nih!” ujar Aruna sambil tetap mengetik, jarinya sibuk menari di atas keyboard. Gamma, dengan iseng, menghampiri perempuan angkuh itu dan tiba-tiba mendorong kursi kerjanya yang diduduki Aruna ke arah kasur. Tawa berderai-derai dari bibir Aruna, “Siapa bilang kamu boleh keluar kamar aku, ha??” seru Gamma sambil ikut tertawa pula. Dalam satu gerakan cepat, Gamma menumpahkan Aruna ke kasur. Tubuh Aruna jatuh seperti pasir yang ditumpahkan dari truk, berguling dengan ringan. Gamma segera melompat ke kasur dan menarik selimut, menggulung Aruna dengan rapat hingga tak bisa kabur. Aruna berusaha melepaskan diri tapi Gamma terus menggulung selimut dengan kuat .Setelah itu dia memeluk Aruna yang masih saja belum puas tertawa karena menerima perlakuan usil Gamma. Kaki dan tangannya menjepit Aruna bak bantal guling besar.
 

Tak lama tawa itu reda. Gamma yang sedang menyandarkan kepalanya dengan nyaman pada bahu Aruna yang kini gempal karena selimut, matanya terpejam. “Alpha. Aku bakal namai dia Alpha.”

“Siapa?” tanya Aruna.

“Laki-laki di antara kita.”

“Ah! Kayak toko komputer! Gak mau!” protes Aruna.

“Bagus, lho! Alpha. Dia urutan pertama. Sedang Gamma urutan ketiga.” Gamma menjelaskan masih dengan tenang dan santai, masih dengan bersandar dan mata terpejam, “aku harus membesarkannya agar suatu saat dia berada di depan aku. Memimpin. Pemimpin.”

Aruna mengangguk-angguk. Dia mengingat urutan alfabet yunani. Benar, Alpha pertama dan Gamma urutan ketiga. “Kalau perempuan?” tanya Aruna penasaran.

“Zeta. Dia berada di belakang Gamma. Dia perempuan, harus ikut kata ayahnya, harus menurut supaya gak salah arah.” Laki-laki itu, dengan kepercayaan diri luar biasa, seolah nama-nama itu telah dia persiapkan lama, terucap pasti dari mulutnya meski sudah setengah tertidur.

“Gam?”panggil Aruna.

“Ya?”

“Alpha itu, harus diimbangi nama lain supaya gak keras kepala. Dia gak boleh jadi pemimpin yang gak disukai orang.”

“Itu aku serahin ke kamu, kasih dia nama belakang yang menyeimbangkan.”

Aruna mengangguk, lalu dia menatap wajah kekasihnya yang benar-benar sudah mengantuk. Dia kecup kening Gamma, lalu dia tertidur pula dalam gulungan selimut yang didekap kekasih dengan tubuh hangat.

Mereka saat itu masih muda. Masih tidak menduga bahwa perjalanan menuju dewasa begitu sulit adanya juga tidak mengira bahwa Alpha itu lahir dua tahun setelahnya. Dan benar, Aruna memberikan nama yang seimbang untuknya agar kelak menjadi pemimpin yang mulia dan bijak. Seorang pemimpin yang memiliki tekad sekuat ayahnya dan hati luang seluas kasih ibunya.

(TAMAT)

 

Restart ©2023 HelloHayden

 

CATATAN PENULIS

Terima kasih saya ucapkan sebesar-besarnya kepada pembaca Restart yang sudah menemani cerita ini hingga tamat. Tak terkira kebahagiaan saya atas apa-apa yang sudah Restart berikan kepada saya: pembaca yang sudah seperti teman.

Akhirnya, cerita ini tamat setelah perjalanan menyenangkan selama sepuluh bulan. 

Doakan saya semoga kedepannya dapat menyapa dengan cerita baru.

Sampai jumpa, semua.

Salam,

HelloHayden.


 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • suryade

    Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah

    Comment on chapter Bab 14 (Cukup)
  • ana_yo

    Asli. Cerita lain yang umur SMA udah nikah, yang nikah sama CEO posesif, yang sibuk urusan cinta. Cerita ini tuh beda banget. Kebagusan tauuuu 😱. Kompleks dan real banget. Tokoh utamanya gak egois tentang dia terus. Tokoh2 lain mengisi baik. Yang paling suka mereka khas remaja semua. Lincah, semangat, pintar dan jahil.

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • aprillia

    Cerita nya bagus thor 😭 tokoh utamanya berhasil menggeser standar kim soo hyun ku. mau ngefans sama si gamma tapi dia fiksi. Tolong bgt 😭

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • hamid

    Inj bagus banget woii kata2 nya

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Ketika Kita Berdua
30649      4221     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Mimpi Milik Shira
468      255     6     
Short Story
Apa yang Shira mimpikan, tidak seperti pada kenyataannya. Hidupnya yang pasti menjadi tidak pasti. Begitupun sebaliknya.
Story Of Chayra
8191      2568     9     
Romance
Tentang Chayra si cewek cuek dan jutek. Sekaligus si wajah datar tanpa ekspresi. Yang hatinya berubah seperti permen nano-nano. Ketika ia bertemu dengan sosok cowok yang tidak pernah diduga. Tentang Tafila, si manusia hamble yang selalu berharap dipertemukan kembali oleh cinta masa kecilnya. Dan tentang Alditya, yang masih mengharapkan cinta Cerelia. Gadis pengidap Anstraphobia atau phobia...
TANGAN TANGAN ASTRAL
2551      1437     2     
Mystery
Memiliki kemampuan bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk gaib justru membuat kehidupanku berantakan. Banyak hal mistis yang mengikutiku bahkan sampai ke dalam urusan asmara. Terlebih lagi saat perjalanan hidupku bersinggungan dengan sebuah petilasan keramat yang bernama Sitinggil, jalinan cintaku dengan Anggit semakin mustahil. Nini Diwut sosok perempuan renta penghuni Sitinggil seakan ta...
NADA DAN NYAWA
12794      2456     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Orange Haze
314      214     0     
Mystery
Raksa begitu membenci Senja. Namun, sebuah perjanjian tak tertulis menghubungkan keduanya. Semua bermula di hutan pinus saat menjelang petang. Saat itu hujan. Terdengar gelakan tawa saat riak air berhasil membasahi jas hujan keduanya. Raksa menutup mata, berharap bahwa itu hanyalah sebuah mimpi. "Mata itu, bukan milik kamu."
Begitulah Cinta?
15264      2191     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
LINN
11279      1660     2     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...
The Past or The Future
392      310     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?
Frasa Berasa
57814      6409     91     
Romance
Apakah mencintai harus menjadi pesakit? Apakah mencintai harus menjadi gila? Jika iya, maka akan kulakukan semua demi Hartowardojo. Aku seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Batavia. Kekasih hatiku Hartowardojo pergi ke Borneo tahun 1942 karena idealismenya yang bahkan aku tidak mengerti. Apakah aku harus menyusulnya ke Borneo selepas berbulan-bulan kau di sana? Hartowardojo, kau bah...