“Lu langsung mau ke Cipondoh?” tanya Ares, “mending jemput motor dulu, deh,” usulnya kemudian. Tim baru saja berpisah setelah berunding untuk menjadwalkan pertemuan berikutnya. Kami baru saja tiba di bandara Soekarno-Hatta setelah terbang kurang lebih dua jam dari Bandara Minangkabau.
“Kalau ke rumah lu dulu baru ke klinik Bu Sarah, bolak-balik, Nyet!” kataku sambil mengecek ponsel. Banyak pesan masuk, dari Ibu, Marwa, Bu Dewi dan beberapa teman serta nomor-nomor tidak dikenal namun tidak satu pun dari Aruna. Dia tidak membalas pesan yang aku kirim terakhir kali. Jempolku bergerak cepat mengucapkan terima kasih kepada Bu Dewi yang mengatakan Aruna sudah tiga minggu tidak di kost. Lalu setelahnya menelepon ibu, mengabarkan bahwa aku sudah sampai di Jakarta lagi. Dengan langkah besar dan cepat, aku dan Ares menarik koper dan menyandang ransel, keluar untuk mencari taksi.
Meskipun sudah jauh terbang meninggalkan Jakarta, ternyata aku masih dikepung oleh bayangan Aruna. Pulau Siberut, satu pulau terbesar di Kepulauan Mentawai, untuk mencapainya hanya bisa menggunakan transportasi laut dari Kota Padang. Kami menyeberang pada malam hari dan berada sepuluh jam di atas kapal.
Bagi sebagian orang, suasana laut malam mungkin membawa ketenangan, namun bagiku sebaliknya, laut malam justru mencekam. Dalam keheningan dan kegelapan, aku membayangkan apa yang bersembunyi di kedalaman. Toleransiku terhadap mabuk laut ternyata cukup rendah, begitupun Ares, dan secara mengejutkan, juga Pak Bahar. Sementara Ares mual dan terlihat pucat, Pak Bahar bahkan sudah sempat muntah. Aku sendiri merasa pusing, dan yang paling konyol (entah ini bagian dari mabuk laut atau tidak), aku teringat pada kraken dalam film Pirates of the Caribbean, seolah-olah makhluk itu sedang mengikuti kapal kecil kami dan siap menghancurkan susunan kayu yang rapuh ini kapan saja. Aku merasa was-was sambil sesekali mengintip air laut yang gelap dan bergelombang, memikirkan kembali mengapa dulu aku sempat merencanakan malam romantis di pantai bersama Aruna. Getaran mesin kapal, ombak yang menggoyang, desiran angin yang terdengar menakutkan, dan laut yang terlihat hitam membuatku sadar bahwa rencana itu jelas-jelas berbahaya. Lalu aku setengah bersyukur karena rencana itu batal dan gagal. Iya, hanya setengah. Setengahnya lagi, aku tetap merasa merana. Masih.
Kami berada di pulau itu selama dua puluh dua hari, dengan adaptasi lingkungan dan adaptasi sosial yang memakan waktu nyaris setengahnya. Sebagai seorang yang terbiasa bekerja dengan lingkungan perkotaan dan studio yang nyaman, perjalanan dan pekerjaan ini menjadi tantangan besar bagiku dan Ares (mungkin juga tim, namun aku kesampingkan mereka karena sudah pernah bekerja dengan situasi yang hampir sama). Medan yang berat, serangga dan hewan-hewan liar, kondisi fisik dan mental, cuaca yang tidak menentu, belum lagi menyesuaikan diri dengan budaya lokal masyarakat adat dimana bahasa dan komunikasi masih menjadi kendala terbesar. Untung saja selama siang kami ditemani oleh pemandu lokal dan seorang ahli konservasi.
Beberapa malam, aku dan Ares harus terjaga hingga pagi demi mengambil footage suasana malam hari sampai matahari terbit. Satu sore, saat berada di tengah hutan untuk mengambil gambar satwa liar, Ares lari terbirit-birit beserta wajah panik. Dia sedang dikejar babi hutan. Sialnya lagi, dia justru lari ke arahku, membuatku juga ikut menyelamatkan diri. Kami selamat dari babi hutan dengan bersembunyi. Namun Ares mendapatkan luka pada betisnya karena sempat jatuh di atas tumpukan ranting tajam. Lukanya tidak terlalu parah tapi darahnya terus saja mengalir. Setelah merasa aman dari pengawasan babi hutan, aku memapah Ares hingga sampai di rumah kepala adat yang berbaik hati memberikan tumpangan selama di sana. Satu-satunya tenaga medis yang ada di tim ini sedang memeriksa seorang balita yang sakit di rumah warga lain. Aku segera meraih kotak P3K cadangan, berbekal ilmu yang aku terima dari Aruna dulu dengan ogah-ogahan, akhirnya betis Ares sudah rapi terpasang perban. Selama mengobati Ares, kenangan bersama Aruna mencuat cepat, dari dia mengomel karena aku tidak mengikuti instruksinya dengan benar hingga dia mencubitku dengan kesal, tanpa sadar, benar-benar tanpa sadar air mataku tergenang. Ares sempat heran dengan mengatakan kenapa malah aku yang menangis sedang yang terluka adalah dia. “Gua bagian meringis, lu bagian nangis. Such an epic friendship!” sambarnya, tentu dengan cengar-cengir khasnya karena dia tahu apa yang ada dalam pikiranku.
Selama dua puluh dua hari itu, kami terisolasi dari dunia luar. Tidak ada sinyal. Pada sepuluh hari pertama, layar ponsel dua kali menunjukkan setrip sinyal yang paling banyak juga dua. Sepertinya itu hanya sebagai penghibur jiwa-jiwa yang kesepian karena setiap kali setrip itu muncul, aku buru-buru mengirim pesan pada ibu, namun selalu gagal. Juga tidak ada tanda-tanda pesan atau telepon yang masuk. Jadi, saat setrip itu muncul untuk ketiga kalinya, aku memutuskan untuk tidak lagi terpedaya.
Beberapa malam aku bisa tidur lelap, mungkin karena sangat lelah sepanjang siang. Malam-malam lainnya, jika sedang tidak berjaga, aku tidak mampu tidur karena Aruna bisa saja tiba-tiba muncul saat aku memejamkan mata. Lalu jika itu terjadi, tenangnya hutan saat malam berbanding terbalik dengan kepalaku yang justru ribut tak keruan. Aku tahu perpisahanku dengan Aruna adalah keputusanku sendiri. Namun skenario yang tidak terencana sudah terjadi pada malam sebelum aku berangkat. Perasaan kuat untuk bertanggung jawab telah membuatku menginginkan lebih. Aku ingin bersamanya terlepas bagaimana kedepannya. Aku bahkan rela jika menerima hinaan, cemoohan bahkan olokan dari Bu Sarah. Yang membuatku gusar adalah Aruna pergi sebelum tahu itu semua. Aku khawatir, saat aku kembali nanti dia sudah menjadi istri orang lain. Apakah begitu kisah kami berakhir?
“Dah! Ntar kabarin kalau mau jemput motor. Kali gua di luar,” kata Ares saat aku sudah duduk di dalam taksi dan supir sudah mulai menyalakan mesin.
“Yop!” Aku menutup jendela dan taksi melaju segera. Selama perjalanan, aku resah sambil terus mencoba menghubungi Aruna meskipun panggilan selalu dialihkan.
Semoga aku belum terlambat.
Perjalanan empat puluh menit ini terasa lebih lama dan menyiksa daripada berada sepuluh jam di atas kapal yang terombang gelombang.
-oOo-
Dosa adalah satu perkara, cinta perkara lain pula. Satu waktu yang kudus, mereka berpadu, menyajikan kegembiraaan yang nyaris tidak mampu ditanggung tubuh. Namun tidak juga terelak.
Tirai tebal berwarna hijau muda disibak, lalu dua orang perawat masuk. Yang perempuan membawa beberapa kurma dan puding kecil di atas nampan, sedang seorang lagi, dengan sedikit terperanjat aku menatapnya, Si Culun yang masih saja culun meskipun sedang mengenakan seragam perawat. Dia membawa nampan berisi cairan infus dan tensimeter. Sepertinya dia sudah tahu aku salah satu pasien yang berbaring di ranjang IGD, lantas tersenyum enggan. Kami berdua saling melemparkan tatapan, dan tanpa perundingan, sepakat untuk menjaga rahasia bahwa kami saling kenal.
“Obat yang ini untuk sebelum makan, ya …,” perawat perempuan dengan senyum ramah menunjuk dua obat yang berbeda bentuk dan warna, bulat dan oval, hijau dan kuning, “dua lagi yang ini” tunjuknya lagi pada obat lain, “dimakan setelah makanan ini habis. Selamat berbuka puasa.” Pada kalimat terakhir, nada bicaranya khas artis iklan yang sering tampil setelah bedug adzan maghrib ketika bulan Ramadhan. Si Culun yang tengah sibuk mengganti cairan infus, hanya diam saja. Tatapannya lurus pada tabung bening itu. Bukan terlihat sombong, tapi lebih seperti dia sudah terbiasa bekerja dengan cara seperti itu. Tegas, cepat, dan yah, ramah hanya saat diperlukan.
Perawat perempuan yang usianya sekitar tiga puluh-an pergi setelah menyusun piring dan obat-obat yang ditumpuknya berdasarkan waktu makan. Dia menyibak tirai menuju pasien yang terbaring di sebelah saat Si Culun mengukur tekanan darah. Suara ramah beserta kalimat sapaan –yang sepertinya sudah menjadi skema tetap menyapa selamat pagi, siang, sore atau malam lalu berlanjut menanyakan kabar– dari perawat pada orang di sebelahku terdengar jelas, membuatku menoleh ke arah suara.
“Bener kata Aruna …,” si Culun bergumam pelan, “lu bakalan masuk rumah sakit karena asam lambung.”
Aku memutar kepala, menatap Si Culun tidak percaya. Heran dan bertanya-tanya.
Dia melihat angka pada alat tensimeter, lalu mengangguk menunjukkan keyakinan yang baik. “Bagus. Udah normal,” katanya lagi sambil melepaskan alat yang mencengkeram kuat lenganku.
“Aruna?” tanyaku, “maksudnya?”
Dia diam sejenak, menatapku malas-malasan, “Entahlah,” bahunya terangkat, “gua ingat, dia pernah bilang gitu. Lu bakalan dirawat karena masalah lambung.”
Dia bersiap menyusul perawat perempuan, sudah membelakangiku saat tangannya akan menyibak tirai tertahan oleh sesuatu yang ada di pikirannya, “dia … dia gak ada kabar lagi sejak pergi,” lalu menoleh padaku saat menyelesaikan kalimat terakhir. Sorot matanya seakan menyalahkanku atas kepergian Aruna dua bulan lalu. Kemudian, dia menutup tirai dengan gerakan yang terlihat sedikit kasar, atau mungkin … hanya aku yang sedang sentimental.
Pagi tadi saat gotong-royong membersihkan halaman kost, aku yang sudah dua bulan ini semakin bermasalah dengan lambung, sering mual, dan perih pada ulu hati, terjatuh sambil meringis menahan sakit yang datang tiba-tiba. Rasanya seperti ada gumpalan panas sebesar telur berputar-putar menyentuh dinding lambung dan juga menghentak-hentak punggung hingga membuatku terlipat, tidak mampu duduk tegap. Bang Tigor dan Dion dengan segera memapahku, naik ke motor bang Tigor. Lalu Dion menyusul di belakang dengan motor matic-nya. Kami sampai di rumah sakit dengan kehebohan Bang Tigor –yang memang memiliki suara lantang khas orang Batak– meminta kursi roda. Seketika IGD riuh, setengah orang kaget lalu diam, setengah lagi kaget lalu terdengar menggerutu. Aku sudah tidak peduli.
Ternyata selama aku di Pulau Siberut, Pak Yahya sudah tidak bekerja lagi di kost UPIL, tidak ada yang menggajinya lagi karena pemilik gedung yang kami tahu hidupnya tergantung selang-selang yang dihubungkan ke berbagai alat penunjang hidup, sudah meninggal. Itu yang aku dengar dari Bang Tigor saat baru saja kembali. Pak Yahya sekeluarga sudah pindah ke Sragen karena kebetulan ibu mertuanya tinggal sendirian sejak adik ipar Pak Yahya dimutasi ke Madiun. Di sana Pak Yahya akan mengurusi sawah milik ibu mertuanya dan itu sudah cukup untuk menghidupi mereka. Saat berpamitan dengan penghuni kost, Pak Yahya juga sudah berusaha menghubungiku, tapi tidak berhasil. Tentu, semua gara-gara setrip sinyal ilusi. Juga Bang Tigor memberitahu bahwa gedung ini akan dijual oleh anak-anak Bapak pemilik untuk dibagi sama rata dan kami hanya diberi waktu hingga akhir tahun untuk pindah. Lalu demi menjaga kebersihan kost, untuk pertama kali selama hampir tujuh tahun tinggal di sini, seluruh penghuni kost mengadakan rapat menentukan jadwal gotong royong yang akhirnya telah disetujui bersama akan dilakukan secara bergantian setiap tiga hari sekali, dan telah berjalan hingga bulan ini. Ternyata, tidak hanya Aruna. Pak Yahya, orang yang sudah aku anggap keluarga, juga pergi saat aku tidak tahu dan membuatku, mau tidak mau, harus berlapang dada. Kini, Bu Dewi yang memang memiliki rencana pindah sejak lama, sepertinya sudah menambatkan hati pada kontrakan baru. Setelah Idul Fitri saya pindah, Gam. Soalnya udah bayar sampai akhir Juni, begitu katanya.
Suara Ares terdengar. Dia menggeser tirai sambil bertelepon dengan seseorang.
“Iya, padahal udah aku ingetin makan yang teratur,” Ares langsung melihatku sambil cengengesan, “Nyokap lu!” bisiknya, menjauhkan handphone dari mulut.
Aku menggaruk kepala, sudah risau duluan tahu akan diomeli. “Nih, nih, Bu. Ngomong langsung aja, aku udah sampai di rumah sakit.” Ares menyerahkan handphone-nya segera dan langsung mengambil satu kurma di nampan. Aku bertelepon dengan ibu. Benar, diomeli walau tidak habis-habisan. Ibuku wanita yang cenderung tenang bahkan saat marah. Jangankan menghempas barang, ibu bahkan tidak pernah tampak bersungut-sungut di rumah walau sedang kesal dengan Bapak. Hanya air mukanya saja yang sedikit berubah, itupun jika diperhatikan dengan baik. Aku minta maaf pada ibu karena memang handphone tertinggal di kamar, juga menenangkan ibu dengan mengatakan aku tidak perlu menginap di rumah sakit malam ini.
“Aku cuma diobservasi, Bu. Sore tadi udah diperiksa. Kata dokter aku baik-baik aja kalau teratur minum obat dan jaga pola makan.”
Ibu mengesah. Lalu setelah nasihat-nasihat yang sudah sering aku dengar darinya kembali dituturkan, aku mengiyakan saja dengan tingkat kesopanan lebih tinggi dari biasanya, setidaknya meyakinkan ibu bahwa kali ini akan aku turuti.
Aku mengembalikan handphone Ares, “Kok bisa tahu?” tanyaku –yang memang tidak bisa menghubungi siapa pun– dengan heran.
“Gua atau nyokap lu?”
“Yah, lu juga, kok bisa tahu?”
“Singkatnya, Bu Dewi nelepon nyokap lu, nyokap lu nelepon gua. Dan … tadaaa!” ujar Ares dengan antusias yang setengah hati sambil mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka, seolah dirinya sebuah kejutan istimewa. Aku tertawa. Dia nyengir lebar.
“Udah bisa pulang?” tanyanya.
“Nunggu berkas …,”
“Lama amat! Birokrasi berbelit-belit.”
Aku berdecak, “Yah, begitulah ….”
Lalu aku makan dengan urutan yang telah ditentukan perawat: obat, makan, obat. Saat aku baru saja menelan obat terakhir, perawat perempuan yang mengantarkan makan tadi datang kembali sambil membawa map dan amplop. Dia mengatakan aku bisa pulang setelah membayar dan mengambil obat di farmasi. Aku segera ke kasir, membayar dan kemudian mengambil obat. Di ruang tunggu farmasi itu lah aku melihat foto Aruna terpampang besar. Aku mematung, tidak lama, karena kembali terpukau setelahnya. Kakiku bergerak mendekati foto itu. Biasanya wajahnya sejajar dengan dadaku, kini wajahnya sejajar dengan wajahku. Sepasang mata cokelat itu terang karena cahaya lampu LED di belakangnya. Sesuatu dalam dadaku berdegup aneh, sesuatu seperti saat menghamburkan diri kepadanya, saat melihatnya berlari-lari kecil menghampiriku, saat dia mengecup pipi bahkan bibirku, saat dia mengatakan rindu.
Meski aku tertawakan, nyatanya latihannya membawa hasil. Dia berpose dengan sangat baik, kedua tangannya tertangkup di depan dada, wajah ramah, senyum merekah, mengenakan seragam berwarna hijau seperti warna telur bebek, berlatar gambar rumah sakit bagian depan, dengan kalimat ‘Semoga lekas sembuh’. Aku duduk bersandar, memeluk map putih sambil berpangku tangan, melihat wajah kekasihku sepuasnya, seakan menunjukkan bahwa dia benar. Aku sakit sekarang, seperti yang pernah dia katakan saat kami makan dulu.
Kamu sakit dan belum tentu aku ada di rumah.
Suaranya terdengar menggema di dalam kepala. Lalu aku memejamkan mata, mengingat bagaimana hari-hari bisa menjadi begitu berat dilalui sejak dua bulan belakangan.
Tanpa Aruna.
Dari bandara, aku langsung ingin menemui Aruna dan mengira-ngira dia berada di klinik Bu Sarah. Aku sudah berada di seberang klinik dan akan turun dari taksi ketika melihat Aruna keluar dari pintu sisi kiri klinik. Berbeda dengan pintu utama, pintu di sisi kiri gedung ini seperti pintu darurat. Tidak banyak orang yang keluar masuk dari pintu kaca itu, sepertinya juga hanya bisa diakses oleh segelintir pegawai klinik. Aruna, terlihat sama saja, kecuali rambutnya yang sudah sedikit panjang. Jaket jeans milikku itu dia kenakan rapi, terkancing sepenuhnya. Aku tersenyum bangga dan lega, saat aku tidak berada di sekitarnya untuk membantu memasang jaket itu, dia dengan sendirinya tahu cara mengenakannya dengan benar. Tas selempang dari Pak Ari juga menyilangi badannya. Awalnya dia sendiri, aku tidak melihat Andre sedang di balik mobil, sepertinya baru saja menaruh tas di bangku penumpang belakang. Melihat Aruna mendekat, Andre menghampirinya dan mengusap rambut Aruna. Mereka berbicara sebentar. Kendaraan yang lalu lalang menutupi pandangan. Lalu saat aku berhasil melihat lagi, mereka sudah di dalam mobil dan mobil itu bergerak pergi. Aku yang sudah lelah dengan segala macam kecemasan, tiba-tiba menjadi lemas. Mereka pergi dan aku juga tidak sampai punya niat untuk mengejar. Sepertinya tindakan itu hanya akan menimbulkan onar. Dengan merasionalkan keputusan yang sudah aku buat sebelumnya, bahwa memang itulah yang paling tepat, merelakan Aruna demi kebaikannya. Toh, aku cukup lega melihat bagaimana dia diperlakukan baik oleh Andre. Supir taksi dengan terperangah menyalakan mesin mobil saat aku memintanya untuk putar balik ke Cikini dan akhirnya taksi membawaku kembali ke kost yang terasa asing.
Pernahkah kamu merasa hampa? Bukan sekadar kesepian, bukan pula sekadar kekosongan. Kesepian bisa diramaikan dengan kehadiran teman atau keluarga. Kekosongan bisa diisi dengan bekerja atau berkegiatan. Namun hampa adalah suatu perasaan yang berbeda. Seperti kamu melangkah masuk ke dalam rumah yang indah namun tidak berpenghuni. Ruang yang dulu dipenuhi tawa, kini hanya menyisakan suara gema yang sunyi.
Beberapa minggu awal aku bertanya-tanya, apa kamarku selalu sesunyi ini sebenarnya? Detak jarum jam dan tetesan air dari bak cuci piring kian hari kian kuat terdengar. Tiap berbaring dan menatap langit-langit kamar, segalanya tiba-tiba bisa menjadi hambar. Bahkan kasur dan selimut telah kehilangan kehangatannya, mungkin dibawa Aruna pergi bersamanya. Setiap malam hingga menjelang subuh, aku tetap terjaga. Lalu meraih rokok, menghisapnya sambil menatap lalu lintas yang sepi di luar jendela. Aroma samar strawberry-vanilla menyusup masuk hidungku, kenangan yang tersisa dari kaos biru Aruna yang bertengger di bahu.
Seringkali bayangan dirinya datang dengan cepat. Menusuk dan tajam. Bahkan saat aku tidak ingin mengingat-ingat. Tidak ingin? Ah, kata ‘tidak ingin’ itu terdengar ganjil. Tidak ingin. Terdengar seperti mengaburkan kebenaran yang bersembunyi pada sebalik kata ‘tidak’. Seakan kuat menolak. Seolah aku tegas memperlihatkan ketangguhan dan bagaimana aku telah kebal dari lelah. Yang terjadi justru sebaliknya. Semakin aku menyangkal, semakin aku bertengkar dengan diri sendiri. Kenyataan bahwa melawan diri sendiri adalah perjuangan paling sulit dan bertengkar dengan diri sendiri adalah tindakan paling menyedihkan, sesungguhnya benar. Jika ada sepuluh alasan yang membuatku menyesal, maka dalam upaya mendamaikan hati aku harus menemukan sebelas alasan untuk meyakini bahwa keputusan berpisah adalah yang paling sah.
Aku sudah salah besar karena sempat congkak, merasa tidak ada lagi kepedihan yang melebihi kehilangan studio. Ternyata ada perih yang lebih mencungkil hati hingga rasanya melucuti diri. Sakit cinta. Benar. Pantas saja ribuan lagu tercipta karena didasari patah hati, juga bagaimana prosa dengan lirisitasnya mampu menguliti hati orang yang membaca dan tentu saja kisah klasik Layla dan Majnun dikenal lapisan generasi di dunia. Semua itu berakar dari satu perkara: sakit cinta. Jika kepedihan karena kehilangan studio membuatku bangkit untuk kembali menata pekerjaan, lain cerita kepedihan yang disebabkan kehilangan cinta, aku justru tidak berdaya. Tidak tahu apa yang harus aku tata terlebih dahulu, pikiran atau perasaan, sedang diri tengah sibuk merutuki dualitas emosi, tengkar-damai.
Beberapa minggu yang lain, aku berdiri di depan pintu kamarnya sebab aku tahu semua barang-barang di dalam sana masih tertata persis di tempat yang sama. Dia belum angkut barang, begitu yang Bu Dewi bilang. Dan dari situlah muncul satu harapan: Aruna akan kembali. Aku menunggu, mendengar, lantas belum mampu membiarkan. Namun hari-hari telah berganti tanpa kehadirannya. Lalu harapan itu perlahan-lahan berubah menjadi penderitaan. Selama menunggu itu aku mulai menyadari bahwa harapan dan penderitaan sama-sama mendorong kita untuk terus bertanya-tanya.
Dua hari pertama di bulan Ramadhan, aku melihat langsung bagaimana kurir angkut mengeluarkan barang-barang dari kamar Aruna dan membawanya turun, menyusunnya di sebuah mobil boks reot. Pertanyaanku dibalas dengan permintaan maaf oleh seorang kurir saat menanyakan akan diangkut kemana semua barang ini. Dia katakan perempuan yang menyuruh mereka meminta untuk diam saja dari siapapun yang bertanya. Aku mengangguk dan tidak memaksa karena tahu mereka hanya berusaha profesional menjalankan pekerjaan. Yah, setidaknya aku tahu bahwa seseorang itu perempuan dan kemungkinan besar adalah Aruna. Selain telepon yang selalu dialihkan, termasuk juga seluruh pesan yang dibiarkan tanpa balasan, aku juga sudah kehilangan alasan untuk menunggu.
Lalu hari-hari setelahnya kian terasa berat. Aku nyaris tidak turun dari tempat tidur selama beberapa hari karena merasa sudah benar-benar kehilangan harapan, bukan hanya tentang Aruna yang sudah tidak akan kembali datang, namun juga tentang dia yang tidak ingin aku kenali lagi, tidak ingin aku ketahui lagi, juga mungkin aku adalah bagian yang ingin dia lupakan. Ah, benar. Hanya ada satu dari dua hal yang terjadi dalam jarak, antara kamu akan mudah dirindukan atau justru akan mudah dilupakan.
Satu sore yang masih terasa panas, aku sedang di minimarket seberang, membeli es kopi untuk berbuka puasa. Gina disana, berdiri di depan rak mie instan. Kami bertegur sapa dan dia menanyakan aku akan pindah kemana. Aku menjawab belum menemukan tempat yang cocok. Lalu dia bertanya aku darimana, aku katakan baru pulang bekerja dari satu kantor penerbitan. Dia mengangguk. Kemudian dia bercerita bahwa sempat dipanggil wawancara di klinik Bu Sarah untuk mengisi posisi perawat dan mempunyai kenalan yang bertugas pada bagian medical record. Gina bertanya pada temannya mengenai Aruna namun temannya mengatakan tidak ada pegawai bernama Aruna di klinik. Aku sedikit meragukannya sebab tahu betul bagaimana tergantungnya Bu Sarah pada kemampuan Aruna. Saat aku masih diam meragukan, Gina menyorotiku dengan gerak mata lamban, dari atas hingga bawah, dan itu benar-benar membuatku risih hingga salah tingkah.
“Mas Gamma kurus sekarang,” katanya tanpa rasa enggan.
Aku tahu.
Aku tahu.
Aku sama sekali tidak menanyakan pendapatmu juga tidak butuh validasi mengenai tubuhku sendiri. Aku kurus. Sudah. Biarkan saja.
“Puasa.” Hanya itu yang bisa aku katakan untuk sebagai bentuk mempertahankan tata krama dalam perbincangan.
Aku keluar dan tergesa-gesa menyeberang, melangkah cepat di tangga, masuk kamar, segera berdiri di depan cermin kamar mandi. Di hadapanku berdiri seorang laki-laki yang begitu mirip denganku namun juga terlihat bukan diriku. Laki-laki itu menampilkan hal-hal jujur yang menyedihkan. Tampak kusut, tirus hingga tulang pipinya menonjol, rambut bagian depan sudah menyentuh kedua mata yang kini tampak suram dengan lingkaran gelap mengelilinginya. Ditambah pula laki-laki itu berkumis dan pada dagunya mulai dipenuhi rambut-rambut tipis. Aku mendesah lemah, menatap aku yang bukan aku itu dengan seksama. Adzan maghrib mengalun lembut, aku sadar, aku sudah kelewat gusar. Lalu keluar setelah mencuci wajah.
Namaku belum juga dipanggil, ruang tunggu yang tadinya sedikit padat ini sudah mulai sepi. Banyak pasien yang sudah pulang dengan menenteng obat. Ares menunggu di luar sambil merokok.
Selamat menikmati birokrasi berbelit-belit, ucapku dalam hati. Seorang apoteker, yang sepertinya sedari tadi mengintip dari balik konter, menghampiri dengan wajah panik. Dia menanyakan selembar surat pengantar yang seharusnya sudah aku berikan sejak awal.
“Oh? Maaf, saya gak dikasih tahu kalau ini harus diserahkan dulu,” kataku sambil memberikan amplop berisi kertas yang dimaksud.
Dia mengatakan tidak apa-apa dengan ramah dan memintaku menunggu lagi. Aku mengangguk saja dan kembali memandangi kekasihku yang sedari tadi kaku, diam, tersenyum, dan cantik.
Sudah nyaris enam puluh lima hari aku hanya bisa memandangi dirinya dalam versi digital. Terlihat kecil di layar ponsel atau komputer, kini aku puas menatapnya yang mendekati ukuran tubuh aslinya.
Aruna ….
Aku rindu merasakan bagaimana membawa tubuhku padamu.
Aku rindu mendengarmu bergosip ringan tentang sesuatu yang akan kita lupakan saat bangun besok pagi.
Aku ingin lihat lagi segala macam manuver yang kamu lakukan agar aku memilih makanan sehat, walau hampir seluruhnya gagal.
Maafkan aku. Ternyata aku sangat keras kepala untuk tidak menurutimu seluruhnya … juga sangat keras kepala untuk mencintaimu sepenuhnya.
Aku rindu tapi aku tidak ingin berlarat-larat dalam perihnya.
Bagaimana ini, Runa? Perasaanku porak-poranda.
Aku kembali memejamkan mata.
Suatu waktu, Ikhsan datang mengunjungiku. Dia akan mengisi seminar tentang psikologi kesehatan di salah satu kampus swasta di Jakarta. Hingga malam, kami duduk di salah satu warung makan sambil bertukar kabar. Dia tidak menyinggung Aruna, karena –kurasa– Marwa telah bercerita bahwa aku dan Aruna tidak lagi bersama. Ibu dan Marwa tahu cerita ini saat aku pulang dua hari untuk merayakan wisuda Marwa, tidak lama setelah aku kembali ke Jakarta. Awalnya aku hanya mengatakan bahwa Aruna tidak bisa hadir, namun Marwa mendesak. Kecurigaannya menguat karena mengaku sudah lama tidak bisa menghubungi Aruna.
“Pasti ada apa-apa, kan?” tuntut Marwa dengan tatapan menekan.
Karena terus menghindari percakapan akhirnya membuat ibu sadar bahwa aku sedang menutup-nutupi keresahan. Malam itu, saat makan bersama, akhirnya aku hanya bisa mengatakan pada Marwa (yang terus mendesak untuk menelepon Aruna) bahwa Aruna sudah bekerja di Tangerang dan hubungan jarak jauh adalah sebuah kesalahan. Marwa ternganga, juga tampaknya menyangsikan. Bahkan dia seolah yakin bahwa dalam masalah ini aku lah biang keroknya. “Gak mungkin Kak Aruna yang cari gara-gara,” katanya sambil menyuap nasi, “Kakak itu gak peka. Lempeeeng aja. Jadi … wajar kalau Kak Aruna capek!” ujar Marwa mengunyah sambil merungut. Ibu menegurnya, kali ini dengan sedikit keras, selain mengatakan tidak beradab berbicara sambil mengunyah juga mengatakan bahwa tidak baik mencampuri urusan orang lain, bahkan urusan saudara sendiri. Marwa langsung tertunduk, dan juga tampak kecewa. Setelah itu ibu cepat menoleh padaku dengan mata penuh belas kasih. Aku harus mengakui bahwa firasat seorang ibu bisa sangat tajam dan sangat halus saat bersamaan karena setelah makan malam, saat Marwa mencuci piring, ibu mendatangiku di kamar.
“Seperti Bapakmu, kamu gak banyak ngomong. Gak koar-koar walaupun sedang kesakitan,” ucap ibu dengan tenang, bahkan terdengar begitu mengayomi. Saat mengatakan kesakitan, ibu menunjuk tepat pada jantungku. Aku hanya memaksakan senyuman dan dengan sikap canggung menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa lagi.
“Kamu juga awut-awutan sekarang. Pangkas, gih!” Ibu menggoda sambil memegang ujung rambutku yang sudah menutupi mata. Sambil merangkul ibu, kami berjalan keluar dan akhirnya hingga lewat pukul sembilan malam kami bertiga duduk di teras sambil memperbincangkan rencana Marwa setelah wisuda.
Ikhsan, walau berusaha bersikap wajar, tatapannya seolah-olah sedang membaca diriku (dari apa yang terlihat) dan menghubungkannya dengan ilmu psikologi yang memang sudah mengisi sebagian besar kapasitas otaknya. Hingga dia menyadari bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Namun, dia memilih diam, tanpa mengungkit apa pun yang mungkin berhubungan dengan tubuhku yang semakin kurus. Kami hanya bercerita sambil sebentar-sebentar tertawa. Lalu saat aku kembali mual dan muntah setelah makan, Ikhsan sepertinya tidak tahan untuk tetap diam. Dia akhirnya berkomentar, “Pikiran yang berlebihan itu seperti radang dalam tubuh yang sehat, bisa menginfeksi. Awalnya, sebagai gejala, kita akan mengalami gangguan somatik.”
Aku menatapnya, “Serem. Udah kayak tukang tenung!”
Dia tertawa, “Yah, gak salah juga sih. Ada kok orang-orang dalam komunitas yang masih konservatif kayak gak terima ilmu psikologi.”
“Oh, ya?” tanyaku bersungguh-sungguh.
Ikhsan mengangguk yakin.
Saat kami berpisah, dia kembali ke hotel dan aku kembali ke kost, Ikhsan menepuk lenganku, lalu berkata “Let it go by letting go,” sambil tersenyum ramah, senyum yang kurasa juga dia tunjukkan pada pasien-pasiennya.
-oOo-
“Woi! Nama lu, tuh!”
Ares, yang entah sejak kapan sudah duduk disampingku, menepuk pundakku kuat.
Aku terkesiap, segera berdiri dan menuju loket pengambilan obat. Apoteker kembali menjelaskan urutan meminum obat.
Saat aku balik badan, Ares yang baru menyadari foto Aruna terpampang, menatap foto itu sambil melongo.
“Gua kira lu tadi ketiduran,” katanya.
Aku diam saja, berharap dia tidak melanjutkan kalimatnya yang aku tahu akan berupa sindiran.
“Eh, ternyata keinget mantan!”
Benar. Sindiran dan ledekan.
“Sialan lu!”
“Gimana, Nyet? Sakit?” tanya Ares dengan senyum lebar.
“Pait!” sambarku.
Dia tertawa, aku juga, walau dalam rangka merayakan kesedihan. Motor Ares melaju di tengah-tengah banyak pengendara lain yang mengenakan peci, pulang dari tarawih.
-oOo-
Pagi di minggu kedua bulan Juni, tepat setelah cuti bersama Idul Fitri, aku dan Ares membantu Bu Dewi dan Pak Rully mengangkat barang pindahan. Saat truk mini itu akan berangkat, Bu Dewi menyerahkan satu rantang makanan.
“Makan yang banyak, Gam. Biar fit lagi. Biar ganteng lagi. Kamu gak cocok kurus begini,” canda Bu Dewi.
Aku menerimanya dengan haru, “Terima kasih, Bu.”
Entah mengapa, jika Bu Dewi yang mengatakannya, aku tidak jengkel.
Di hari yang sama, siang menjelang sore, aku dan Ares datang ke pesta pernikahan Cak Son dan Mbak Sundari. Pesta sederhana itu berlangsung di sebuah rumah makan keluarga –yang tentu saja halal dan kami tidak perlu menahan lapar. Kedua orang tua Cak Son datang dari Madura. Ibunya–yang berwajah bule itu, tampak bersemu-semu bahagia. Wajahnya yang putih pucat dan sudah banyak digarisi oleh waktu itu dihiasi semburat merah muda pada pipi. Acara sangat kekeluargaan, membuat para tamu cepat akrab satu sama lain meskipun belum pernah bertemu sebelumnya. Ares sedang kegirangan dikerubuti perempuan-perempuan berkulit pualam dan berambut madu yang sepertinya sepupu-sepupu Cak Son. Mbak Sundari berbincang dengan teman-temannya saat Cak Son menghampiriku yang tengah duduk dihadapan meja makan panjang dengan deretan hidangan laut. Komentar Cak Son sama seperti kebanyakan orang saat melihatku lagi setelah beberapa bulan, kok kurusan? Dan lagi-lagi aku tidak kesal.
Belum sempat menjawab, Ares yang menyelonong dengan cepat, menarik kursi, duduk sambil mengatakan, “Patah hati dia, Cak. Broken heart! Nyaris aja wafat!”
Aku menatap Ares sinis, dia malah membalas dengan senyum sok manis. Juga sepertinya menunggu Cak Son mengatakan sesuatu untuk balas meledek. Yang terjadi justru sebaliknya, air muka Cak Son berubah menjadi keruh, “Lu sakit? Sakit apa?” tanya Cak Son khawatir.
“Sampai masuk rumah sakit, Cak!” sambar Ares sambil mengaduk-aduk es teh manis dengan sedotan lalu menyedotnya.
“Gak sampai dirawat, Cak. Asam lambung,” jawabku seadanya sambil dengan kikuk menusuk satu cumi dengan garpu dan mengunyahnya.
Cak Son manggut-manggut, “Yah, lu juga makan amburadul, kan?”
Aku mengangguk.
“Pikiran juga ngaruh, Gam.” Kata Cak Son kemudian. Dia mantap menatapku.
“Nah! Seru, nih!” Ares menepuk meja dengan seringai lebar, “kasih paham, Cak!” ujarnya lagi dengan semangat.
Cak Son menoleh ke belakang, dimana Mbak Sundari berada, seperti sedang memastikan bahwa istrinya itu memang sedang seru dalam sebuah ajang reuni mini dan tidak mengacuhkan kami. Lalu menatapku lagi, bergantian dengan Ares. Dia menarik napas dalam-dalam, “Kalian tahu kan, gua sempat sakit setahun?”
Suara Cak Son tiba-tiba menjadi sangat rendah seturut dengan kepalanya yang maju mendekati kami berdua.
Aku merasa cerita yang akan dituturkannya akan menjadi sebuah rahasia fenomenal yang hanya dikisahkan kepada kami berdua. Aku dan Ares mengangguk pelan dan tidak kalah maju dari Cak Son.
“Itu karena broken heart juga …,” ucap Cak Son dengan bisikan yang menekan.
Aku dan Ares yang sempat mematung, langsung berpandangan dengan gagu, bodoh dan berakhir melongo saat menoleh kepada Cak Son kembali.
Dengan serentak kedua tangan Cak Son terangkat untuk menjentik dahi kami, “Biasa aja lu pada!”
Dengan salah tingkah aku dan Ares cepat sadar dan ikut toleh kiri-kanan memastikan tidak ada yang melihat bagaimana bodohnya kami diperlakukan Cak Son.
“Modelan bapak-bapak kayak begini bisa-bisanya patah hati?!”
Ares tolol!
Kenapa dia dengan santainya malah mengeluarkan kata-kata yang seharusnya lebih baik tetap dalam kepala kami berdua saja?
Cak Son tertawa pelan, “Jancuk lu, Res!”
Sedang di bawah meja, lututku sibuk menyenggol lutut Ares. Dia yang paham langsung garuk-garuk sebelah alis dengan malu.
Setelahnya Cak Son bercerita bagaimana cinta bisa menggerogoti dirinya. Bahwa pada pertengahan 2015, dia dan teman-temannya sesama pekerja seni mengunjungi salah satu kota di Jawa Timur dalam kegiatan studi etnografi. Hasil studi tersebut akan mereka interpretasikan ke dalam berbagai karya seni, untuk Cak Son, dia akan menghasilkan lukisan yang akan dipamerkan pada salah satu pameran untuk menyambut tahun baru. Di sanalah Cak Son bertemu seorang wanita yang berminggu-minggu kemudian berhasil menjadi kekasihnya. Namun di desa itu sedang terjadi sebuah konflik antara masyarakat dan penambang pasir ilegal. Petani-petani kesal karena padi mereka tidak tumbuh dengan baik, air laut menggenangi sawah karena pasir terus dikeruk. Demo penolakan terus terjadi. Suatu hari pada akhir September, segerombolan preman, yang tentu saja sudah dibayar oleh pihak penambang, datang mengeroyok beberapa petani yang disinyalir sebagai provokator demo. Salah satu petani itu mati setelah disiksa habis-habisan di hadapan warga. Malangnya, setelah kejadian itu, bisik-bisik terdengar bahwa Cak Son menyusup masuk sebagai mata-mata dari pihak penambang, hanya karena salah satu pengeroyok memiliki rupa yang identik–berambut ikal panjang, berkulit cokelat, tubuh yang pendek– dan mengenakan baju seperti yang dimiliki Cak Son, kaos hitam bertuliskan adidas di bagian dada kiri. Saat pengeroyokan terjadi, Cak Son dan teman-temannya sedang berada di kota untuk membeli beberapa peralatan.
Desas-desus murahan itu sampai kepada telinga keluarga kekasih Cak Son. Alibi teman-teman Cak Son, untuk membela, tidak diindahkan oleh warga, terlebih oleh keluarga petani yang menjadi korban pengeroyokan.
Ibu dan bapak kekasih Cak Son yang memang sedari awal sudah apatis terhadap dirinya, dan tidak suka anak gadis (pujaan laki-laki satu desa) mereka memiliki hubungan asmara dengan orang luar, mengecam dan mengancam perempuan malang itu. Sedangkan Cak Son, yang tidak tahu menahu, diusir dari desa sebelum studinya selesai. Warga menjadi gelap mata saat mengusir Cak Son dan teman-temannya. Bahkan Cak Son menerima perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa pemuda.
“Sampai sekarang, gua masih ingat gimana gemetar badan perempuan itu pas meluk gua terakhir kali sebelum pergi,” ujar Cak Son.
Pada matanya, dia masih menyimpan seuntai pilu.
Yang membuat Cak Son semakin sakit adalah hingga beberapa bulan setelah kejadian itu, baik televisi maupun internet masih menyiarkan berita tentang petani yang mati karena pengeroyokan. Setiap kali berita itu muncul dalam berbagai penyajian (investigatif, berita langsung ataupun berita feature) Cak Son merasa sesuatu mencekik lehernya dengan kuat hingga kesulitan bernapas.
Dia mulai menyadari, sepertinya ada yang salah dengan dirinya setelah berbulan-bulan juga kesulitan makan dan mengalami insomnia. Hingga pada akhir tahun, satu-satunya pemuda yang waktu itu percaya bahwa Cak Son tidak ada sangkut pautnya, datang ke Jakarta karena diterima bekerja di satu pabrik penghasil pupuk, mengunjungi Cak Son dan mengabarkan bahwa tidak lama setelah Cak Son pergi, perempuan kekasih Cak Son menikah dengan anak kepala desa. Malangnya, satu desa tahu dia menerima perlakuan kasar dari suaminya tapi tidak ada yang berani membela, termasuk orang tuanya.
“Gua pernah mikir pengen mati,” ujar Cak Son tiba-tiba.
“HAH?” Ares menyambar cepat.
“Waktu dengar kabar dia dipukulin suaminya, gua kayaknya makin depresi,” kata Cak Son lagi.
“Terus?” tanyaku penasaran.
“Gua nyobain obat nyamuk.”
“Diminum, Cak?” Ares terlihat ngeri dengan cara yang menarik. Dia tampak antusias tahu nyawa orang yang hampir lepas.
“Gak. Dimakan. Gua jadiin kerupuk makan pakai nasi.”
Cak Son menjawab santai sambil menoleh ke arah Mbak Sundari yang kini sedang berfoto dengan teman-teman, lalu membalas lambaian tangan istrinya dengan semringah.
“Maksudnya, Cak?” tanyaku yang ternyata lebih antusias dari Ares. Sedangkan Ares mengangguk-angguk dengan cepat, setengah mati menginginkan jawaban.
“Aduuhh, lu pada! Itu loh, obat nyamuk yang melingkar warna ijo, yang dibakar, tahu kan?”
Kami berdua mengangguk seperti anak kecil yang baru diberi tahu bahwa satu tambah satu adalah dua.
“Gua remuk, gua makan pakai nasi. Seenggaknya kalau gua mati, ya dalam keadaan kenyang,” ujar Cak Son dengan tampang malas dan sebal karena kami tidak langsung tahu obat nyamuk jenis itu.
Ares yang terkejut dengan cara sedikit blo’on, menanyakan, “Kok gak jadi mati, Cak?”
Saat itu aku benar-benar ingin menempelengnya dengan kuat. Aku menoleh pada teman goblokku, ternyata wajahnya memiliki keingintahuan yang besar, sepertinya dengan sungguh-sungguh ingin mendengar jawaban teoritis secara medis alasan kenapa seseorang tidak jadi mati bahkan setelah mengonsumsi obat nyamuk. Lalu Cak Son menjawab tidak kalah kalem, “Kayaknya kalah banyak sama nasi …,” sambil berpikir dan mengingat-ingat.
Astaga.
Aku hanya menghela napas melihat dua makhluk ajaib yang kini tampak blo’on bersama.
“Tapi lu tahu, gak? Tuhan ternyata nunda ajal gua untuk sesuatu yang lebih baik.”
Cak Son memajukan lagi kepalanya yang membuat kami juga melakukan hal yang sama. Dahi kami bertiga hampir saja beradu.
“Perempuan itu sekarang di sini, jadi istri gua mulai hari ini,” bisik Cak Son lagi sambil tersenyum puas karena telah berhasil mempermainkan kami. Dia tertawa terbahak-bahak sambil memukul meja. Wajah Ares memendam kekesalan maksimal. Mbak Sundari melihat kami dan datang menghampiri sambil bertanya ada apa dan kenapa tertawa begitu kerasnya. Lalu mereka saling berbicara yang entah apa, tidak terdengar sebab Cak Son mengajak istrinya pergi menjauhi meja, masih dengan terkikik.
Aku kembali teringat cerita Cak Son mengenai Mbak Sundari yang ex-con karena kasus penganiayaan terhadap suami.
Oh, jadi begitu.
Luar biasa memang bagaimana jodoh menemukan jalan.
Hingga pulang, Ares tampak lebih banyak diam. Merenung dan menerawang jauh. Aku mengira-ngira, mungkin dia terharu mendengar cerita Cak Son, atau setidaknya merenungkan bagaimana Tuhan mengatur setiap adegan hingga memberikan plot mengejutkan. Ternyata aku salah sebab tiba-tiba dia mengatakan, lagi-lagi dengan kebodohan yang mengagumkan, “Jadi, kalau pengen matinya wangi, makan nasi pake kamper kali, ya?” dia menatapku yang bengong mendengar pertanyaannya.
“Gak cuma wangi. Awet lu ampe usus-usus!” kataku, lalu mengumpat kasar.
Suatu malam, masih di minggu acara pernikahan Cak Son, aku dan Ares duduk di bar. Rega tidak tampak. Pulang kampung, kata bartender lain yang tidak kami kenal. Cocktail-ku terasa sedikit asam sedang Ares mengeluhkan pahit pada vodka pesanannya.
“Res?”
“Hmm?” jawabnya cuek sambil membalas pesan Trisna.
“Let it go by letting go itu gimana?”
Wajahnya yang sedari tadi tampak putih cerah karena cahaya layar handphone, kini mendongak, membuat wajahnya gelap namun berganti-ganti warna sesuai lampu bar, “Pasrah, goblok!” Kemudian dia menunduk lagi, menatap layar handphone, melanjutkan membalas pesan.
Aku menyeringai, “Tahu!”
Bahunya naik karena terkikik, “Yah, gini deh. Lu gak masalah kalau sesuatu terjadi dan juga gak kenapa-napa kalau sesuatu itu gak terjadi. Itu pasrah, Man!” katanya lagi sambil bangkit dan menepuk bahuku saat melewatiku berjalan menuju panggung, menyalami temannya yang baru saja selesai membawakan lagu. Syahreza, dia bisa bodoh dan bisa cerdas secara mengesankan.
-oOo-
Aruna, ini sudah lewat tiga bulan, tetapi aku masih merasa kesusahan melawan ketiadaan. Aku belum menemukan cara bagaimana membunuh rasa yang ada untukmu juga masih belajar bagaimana melupakan banyak hal yang biasanya kita ingat selalu. Tentu, aku tidak menyalahkanmu, biar ini menjadi pikulan atas apa yang sudah aku putuskan.
Aruna, aku tidak minta diingat atau dikenang, hanya saja tolong jangan menghilang. Aku butuh tahu apa keputusanku itu sudah sesuai dengan harapan yang menyertainya. Kamu bahagia dan aku hanya perlu melihatnya barang sekali atau dua kali saja. Demi menenteramkan dada dan mendamaikan kepala.
Aruna, Idul Fitri tahun lalu kamu datang mengejutkan tidak hanya untukku tapi juga ibu dan Marwa. Masih teringat jelas olehku bagaimana wajah senang ibu dan suara girang Marwa melihat kamu datang siang itu. Kemarin, di malam Idul Fitri yang entah keberapa, aku duduk sendiri, di teras dengan cahaya temaram lampu yang hampir putus. Begitu deras kenangan datang hingga membanjiri pipiku. Tentang bagaimana kamu mampu berada di tengah antara ibu dan adikku, tentang makan siang bersama serta tawa yang berganti-ganti sebab cerita yang tidak ada habisnya, lalu pada momen yang aku tangkap melalui kamera lama. Ah, apa kamu tahu? Aku memotretmu bersama ibu saat kalian berdua memilih minuman dingin di kedai pinggir jalan? Tentu tidak. Bukan aku tidak mau menunjukkan padamu, tapi saat itu aku pikir kamu akan melihatnya sendiri suatu hari nanti di kemudian tahun ketika sedang menggunakan komputer di rumah kita sendiri. Astaga, aku berkhayal lagi. Maafkan aku.
Baiklah, aku akan bertanya hal lain saja. Bagaimana Idul Fitri-mu tahun ini? Apa meja makanmu penuh dengan berbagai hidangan?
Aku harap rumahmu ramai dikunjungi teman dan saudara-saudaramu dari panti asuhan, serta dapurmu yang selalu wangi masakan.
Apapun itu, bahagialah, Sayang.
Kamu tahu? Aku sedang berdiri di lorong, di depan pintu kamarmu. Mengusap pintu kayu ini, memegang gagang pintu besi yang sudah terasa dingin. Juga mengingat bagaimana aku terbiasa keluar masuk kamarmu dengan langkah ringan dan hati riang. Lalu kamu duduk di meja belajar, entah sedang berkutat dengan laptopmu atau menuliskan sesuatu pada buku. Kamu terlihat tidak peduli saat aku masuk, tapi aku tahu, kedua ujung bibir mungilmu itu selalu terangkat naik.
Kamu akan bertanya tanpa menoleh. Entah gengsi apa yang ingin kamu pertahankan, tapi aku menyukainya. Kamu justru semakin terlihat menggemaskan.
Kamu udah makan?
Ada cerita apa hari ini?
atau kamu akan berhenti sibuk, lalu memulai cerita lain.
Eh, kamu tahu gak?
Kalau sudah begitu, gosip remeh temeh rumah sakit akan selalu berakhir dengan cerita lain yang lebih nyeleneh. Lain waktu kita hanya saling pandang kemudian saling menimang.
Runa, Ares pernah bilang kalau aku sedang dihadapkan pada pilihan bergegas melupakan atau selamanya mengingat. Setelah aku renungkan, dia salah. Keduanya bukan pilihan untukku. Aku berada di tengah. Hanya ingin teringat bukan mengingat. Seperti –mungkin– di masa datang aku sedang memilih menu makanan pada sebuah restoran, maka aku akan tersenyum karena melihat gambar milkshake strawberry pada buku menu, atau seperti saat sedang menonton pertandingan tinju yang disiarkan salah satu saluran televisi di pagi Minggu, lalu aku akan tersenyum mengingat kamu –terlalu sering dan mengkhususkan – menonton bagaimana Dmitry Bivol mengalahkan lawannya, lalu kamu belajar otodidak hanya bermodal youtube dan sarung tinju murahan. Kita pernah bertengkar kekanak-kanakan hanya karena aku menggodamu dengan mengatakan kamu menyukai tubuh petinju Rusia itu, lalu kamu menyangkal habis-habisan yang membuatku semakin yakin, kamu memang menyukainya. Ah, benar-benar waktu yang menyenangkan.
Runa, aku berusaha tidak menyusahkanmu lagi, baik kamu ketahui ataupun tidak. Kenyataannya, aku tidak hanya butuh waktu, namun juga suasana baru. Sudahlah tidak terasa seperti rumah lagi, tempat ini mencengkeram kenangan kita terlalu banyak hingga melimpahkannya hanya padaku. Aku telah dikuasai segala macam ratapan kesedihan dan rutukan kebencian selama tiga bulan belakangan, terkikis dari hari ke hari, hingga membuatku takut jika harus kehilangan diri sendiri. Juga sudah muak menggugat dan menghakimi, untuk sebongkah harga diri. Menyadari bahwa tidak seharusnya tempat ini menjadi ajang ratap diri, aku pergi. Tidak perlu menunggu hingga akhir tahun, aku sudah menemukan kost lain, Runa. Tempat dimana kamu tidak di sana dan tidak pernah berada di sana. Kurasa itu lah tempat terbaik saat ini.
Aku pamit, Sayang.
Semoga jalanku mudah ke depan.
Dan mungkin jika kita bertemu lagi suatu hari nanti, kita akan sama-sama setuju bahwa kisah kita di masa lampau hanya sebuah perjalanan cinta biasa Lalu seperti halnya cinta monyet yang dirindu-dendamkan pada masa-masa mengalaminya, kita hanya akan mengingat cerita yang lucu-lucu saja setelah melewatinya.
Aku berjalan, meninggalkan kamar 301 dan 303, lalu melewati pintu 302, menarik koper melewati lorong yang sudah sunyi dan kosong. Kenangan datang deras bagai hujan. Diriku dan dirinya di masa lalu terlihat dalam bentuk hologram, dan melewatiku seperti hantu. Menabrak tanpa belas kasihan. Suara-suara menggema dengan jelas, aku dan Aruna yang cekikikan berdua, tertawa dan bersenda-gurau bersama, aku dan Aruna yang saling berpegangan tangan, juga kami yang kesusahan membawa barang belanjaan, kami yang bertengkar di depan pintu kamarnya, kami yang saling mengecup pipi dan berakhir dengan ciuman panjang.
Dengan perasaan yang sudah pegal, aku meninggalkan semua kenangan di belakang, berusaha keras untuk tidak menoleh lagi. Namun, ketabahan hatiku tidak sekuat yang kupikirkan. Tepat sebelum turun, aku yang lemah ini menoleh kebelakang. Di sana, di depan pintu kamarku yang terbuka hanya sejengkal, Aruna berdiri, membawa dua kotak kue.
“Hai, maaf mengganggu sebentar. Kenalin, aku Aruna, tetangga baru.”
Air mataku menggantung.
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)