Suatu waktu, dulu, bapak kehilangan setengah tabungannya karena iming-iming ulung nan usang: investasi menjanjikan, dari seorang teman. Sebulan dua bulan hasilnya memang menyenangkan dan mengenyangkan. Tapi bulan ketiga dan keempat, uang yang diterima banyak di awal itu tergerus untuk menutupi kerugian, menjelang setengah tahun teman yang dulu berjanji dengan wajah meyakinkan itu hilang. Raib. Membawa kabur semua uang bapak, “Juga kepercayaanku,” kata bapak yang bercerita kepada ibu.
Nyaris satu tahun setelahnya, di bulan yang sama saat bapak mulai berinvestasi dulu, mereka kembali bertemu, bedanya kini di kantor polisi walau sama-sama membahas investasi dan hukuman untuk teman tadi. Aku pernah ikut sekali dan pengalaman itu meninggalkan kesan tidak menyenangkan. Orang tuaku habis diteriaki oleh seorang wanita yang merupakan istri dari teman bapak. Segala macam dia katakan sambil menangis histeris, kadang sambil meringis atau malah berdengus kasar. Aku dan Marwa –yang kala itu masih SD kelas lima, duduk menunggu di luar sambil ditemani seorang polwan. Kami tercengang mendengar jeritan wanita itu dari dalam ruangan yang tertutup pintu kayu dengan jendela sangat buram. Andai saja pintu itu tidak ada ventilasi di atasnya, aku tidak perlu mendengar jeritan kasar dari dalam sana.
“Tidak apa-apa.” Ujar polwan itu setelah aku menatapnya, menuntut jawaban apakah ibu dan bapakku baik-baik saja.
Kalimat yang paling intens keluar dari mulut istri si penipu itu adalah kalimat yang semakin dewasa semakin sering aku dengar, baik di lingkungan pertemanan hingga pada serial televisi, tidak jarang juga pada tontonan religi: Tuhan saja memaafkan hambanya, masa sebagai manusia kamu tidak bisa?
Akhirnya, perkara itu selesai dengan jalur hukum, teman bapak mendekam dalam jeruji besi dan tentu, uang bapak tidak kembali.
Satu malam yang gerimis, setelah beberapa hari, ibu dan Marwa yang sejak sore belum kembali dari sebuah pusat perbelanjaan meninggalkan kami berdua di rumah dengan cemilan ubi bakar. Aku dan bapak duduk di teras belakang sambil menatap pucuk pohon mangga yang baru kami tanam. Cukup lama kami diam. Aku jelas tengah meniup-niup ubi bakar. Bapak hanya menatap butiran-butiran air menetes dari genteng. Tiba-tiba bapak berkata bagaimana bisa seseorang menyandingkan Tuhan yang jelas-jelas Maha Hebat dengan manusia yang tidak ada tandingannya jika berbicara tentang keburukan. Justru karena kita manusia, hati kita kotor, penuh amarah dan dendam. Dengan segala hal buruk itu kita tidak bisa dengan mudah berbesar hati menerima sebuah kesalahan manusia lain, bahkan mungkin hewan atau kalau mau kita bisa saja menyalahkan tumbuhan hingga benda mati lainnya hanya untuk membela diri. Begitu egois dan tamak. Penuh justifikasi dan menalar untuk memenuhi kepuasan sendiri. Bapak menatapku, “Perkara memaafkan mungkin bisa saja terjadi tapi jelas harus bersinggungan dengan tingkat kesalahan.” Lalu bapak tersenyum sambil menepuk bahuku.
Aku saat itu masih SMP kelas satu hanya manggut-manggut, kembali meniup ubi bakar. Bapak mengambil ubi itu, membelahnya menjadi beberapa bagian kecil dan ubi menjadi lebih cepat dingin.
“Kamu hati-hati. Sekilas kalimat itu memang terdengar bijak. Tapi sebenarnya itu hanyalah kalimat siasat yang digunakan orang untuk menghindari tanggung jawab. Atau bahkan membuat dia yang bersalah berubah menjadi korban. Kamu merasa hina disandingkan dengan Tuhan lalu kamu akan dengan terpaksa memaafkan. Yang bersalah merasa menang, yang korban sesungguhnya sudahlah rugi, juga harus mempertanyakan harga diri.” Ujar Bapak lagi.
Aku tercenung, mendongak menatap bapak. Bapak kembali melihat daun pucuk mangga yang mengkilap terkena tetesan hujan.
“Lagipula, seseorang itu dinilai dari teman-temannya, dari pergaulannya. Setidaknya Bapak bersyukur, tidak ada orang yang akan menilai Bapak sebagai penipu sebab teman yang seperti itu sudah musnah dari hidup Bapak.” Jelas Bapak kemudian.
Baru saja akan membuka mulut untuk bertanya, Marwa yang berlari menghampiri sambil menangis mengadukan boneka barbie yang baru dibeli tertinggal di taksi membuyarkan kisah kami sore itu. Bapak tertawa sambil mengusap-usap rambut Marwa, aku hanya garuk-garuk kepala melihat adikku menangis sebab perkara lupa.
-oOo-
Minggu kedua bulan November, sekitar pukul empat dini hari, handphone-ku berdering. Aku angkat telepon itu dalam keadaan mengantuk, mata tertutup dan masih mengais-ngais kesadaran. Suara perempuan berteriak-teriak cemas dari telepon berhasil membuat mata terbelalak. Aku bangkit untuk segera keluar dengan kesadaran sepenuhnya. Berlari ke bawah dengan sandal yang aku sadari beda sebelah setelah sampai parkiran. Tidak peduli, justru motor melaju membelah sunyi. Sepanjang jalan degup jantungku berpacuan, tidak tentu, rebutan saling mendahului dan rasanya nyaris susah bernafas.
Dan benar, sesaat rasanya degupan yang berpacuan itu mencapai garis akhir, finish dan berhenti ketika aku melihat situasi. Warna oranye menyala kuat dalam gelap dengan lidah api melambai-lambai tinggi, bahkan menjilat sana-sini pada ruko studio. Lengkingan keras sirine dan lampu yang berkedip cepat menambah ketegangan yang membuatku nyaris jatuh.
“Mas Gamma! Mas Gamma! Kata pemadamnya ada orang di dalam!” Pekik mbak penjual minuman yang tadi menelepon.
Ares?
Dia udah balik?
Dia di dalam!
Aku berlari masuk berusaha menembus api, namun dengan cepat dihadang dan kemudian didekap kuat oleh salah satu petugas. Dia sempat memukul-mukul wajahku untuk menyadarkan akan bahaya.
“Sudah ada petugas di dalam! Hei! Sudah ada yang masuk untuk mencari!” Pria berwajah sangar itu mengguncang-guncang bahuku. Aku tergagap. Tidak lama, kami sama-sama menoleh ke arah pintu kaca yang sebagian sudah pecah, melihat Ares yang pingsan sedang dipindahkan ke tandu untuk naik ke ambulans. Aku mengejarnya, sepertinya dia terluka. Dengan segera perawat memasangkan masker oksigen. “Menjauh!” Ujar seorang pria yang mengenakan baju serba putih. Pintu ambulans ditutup dan dengan dering sirine kuat Ares dibawa pergi entah ke rumah sakit mana. Aku tidak sempat membaca pada badan mobil.
“Asfiksia asap!” Kata rekan pemadam.
Aku terperangah tidak mengerti apa maksudnya.
“Dia tadi keracunan asap, kekurangan oksigen.” Jelas petugas yang mendekapku tadi.
“Dia gak mati, kan?” tanyaku memastikan.
Petugas itu diam, mungkin dia ingin tertawa tapi suasana tidak begitu menyenangkan. Aku menyadari pertanyaan itu konyol dan bodoh.
“Dia cuma koma. Gak mati. Pingsan! Kamu sadarlah, tenangkan diri dan menjauh!” Ucap petugas itu memaksa dan mendorong tubuhku menjauhi kejadian.
Aku berjalan terhuyung, berdiri di antara kerumunan orang, meremas rambut sendiri sambil menyaksikan pemandangan yang begitu menyakitkan. Signboard tulisan Gammares VisualCraft meleleh seturut api menyambar. Suara desiran air yang mencuat kencang dari selang, suara hiruk pikuk di sekitar dan nada tinggi melengking dari mobil petugas pemadam kebakaran justru membungkam suaraku. Aku hanya bisa diam menatap nanar asap hitam yang membawa mimpi dan harapan membumbung jauh tinggi dan memudar di langit kelam.
Aku ingin menangis tapi rasanya tenagaku sudah habis.
Aku ingin marah tapi tidak tahu harus kepada siapa.
Aku ingin mencaci-maki, mengumpat dan mengutuk dengan kata-kata paling kasar dan paling kurang ajar tapi aku terlalu gusar bahkan untuk sekedar berujar.
Mendadak aku menjadi bisu, aku buta dan tentu … tuli.
Benar, aku merasa begitu. Untuk sesaat bibirku kelu, penglihatanku gelap serta hanya terdengar dengungan tajam yang membuat kepala berdenyut.
Tuhan, bagaimana ini?
Aku duduk dengan lemah menyaksikan setiap tindakan petugas untuk memadamkan api. Cukup lama bagi mereka untuk menjinakkan kobaran.
Api padam, kerumunan mulai bubar, petugas memberikan kalimat penghiburan dan instruksi yang lagi-lagi terdengar bagiku bagai gaungan. Mereka menepuk pundakku bergantian. Lalu pergi setelah mengatakan mungkin polisi akan datang untuk menyelidiki penyebab kebakaran.
Matahari baru saja mengintip dari sisi timur. Dengan cahaya yang masih minim, terlihat jelas bahwa studio kini sangat menyedihkan. Berantakan. Kacau. Hitam. Langkah terasa gontai, mata bergerak dengan resah menyisir seluruh ruangan. Genangan air pada lantai yang menghitam membuatnya seperti air pada danau vulkanik. Karya yang ditinggalkan api juga tersebar luas pada dinding, seperti kanvas dengan sebaran tinta hitam. Pemandangan semakin memilukan melihat alat-alat studio dan produk klien tergeletak mengenaskan, setengah bercorak hitam, setengah lagi sudah tidak berbentuk, hangus terbakar.
“Gusti … Gusti … Sabar, ya, Mas,” ucap Mbak penjual minuman yang menyusul masuk.
“Optik gimana?” tanyaku pada salah satu pegawai optik yang juga datang melihat keadaan. “Ruang periksa kebakar setengah, Mas. Alat auto refraksi kami hangus,” jawabnya.
Aku mengangguk, “Ruko Agen Pariwisata aman?”
“Aman. Gak kena dia,” jawab pegawai optik itu lagi, “Mas, Ruko kami asuransi, mungkin ntar petugas asuransi datang memeriksa dan nanya-nanya ke Mas Gamma, gak apa-apa, ya?” ujarnya dengan ragu dan jelas sekali merasa tidak enak.
Aku menghela nafas, mau bagaimana lagi, semua ada prosedur yang harus dilewati,“Ya.”
Satu per satu mereka pergi dan sudah sibuk dengan urusan masing-masing.
Tidak lama, Aruna datang. Dia baru saja selesai dari dinas malam. Meskipun bibirnya terkatup rapat, nyala mata itu tidak dapat menyembunyikan bahwa dia sedang menangis. Sesekali dia membuang wajah untuk menyeka air mata. Aku duduk di lantai, menyandarkan tubuh pada dinding lembab. Mencoba mengatur perasaan agar dapat berpikir apa yang harus aku lakukan duluan. Aruna ikut duduk, tanpa berkata apapun dia membukakan bungkus nasi uduk yang sudah dia beli untuk sarapan.
“Gam? Makan dulu,” katanya sambil mengusap punggungku dengan penuh perhatian.
Aku menggeleng, “Belum lapar.”
Aruna diam saja, dia tahu akan sia-sia jika tetap memaksa. Nasi uduk itu dia bungkus rapi dan menyimpannya kembali dalam kantong plastik bening, “Kamu minum dulu aja,” pintanya sambil mengulurkan botol minum bercorak strawberry yang pernah aku hadiahkan.
Aku melihat botol itu, “Ini satu-satunya warna cerah sekarang di studio,” ucapku sambil menerima botol pink itu, aku minum.
Aruna berdeham membersihkan sisa kesedihan dalam tenggorokannya, “Ares aman, dia udah siuman. Luka bakar di pangkal lengan kanan.” Aku mengetahui bahwa Ares dibawa ke rumah sakit tempat Aruna bekerja setelah membaca pesan dari Aruna sebelum dia datang.
“Syukurlah,” aku menghela nafas lega.
“Tadi aku sempat cek dia. Dia masih batuk-batuk kalau bicara. Dia nanya kamu dan keadaan studio,” Aruna mengangkat tangannya untuk melihat arloji, “seharusnya sekarang dia sedang diperiksa dan minum obat.”
“Sama siapa dia di sana?”
“Tadi masih sendiri, kata teman aku keluarganya udah dihubungi.” Ujar Aruna yang kini kembali melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
Kami berada di lantai dua, duduk bersisian tepat di hadapan lemari yang tidak berbentuk sebab setengahnya hangus terbakar.
“Novel Ares udah hangus, dulu aku lempar ke atas sana dan dia gak tahu kalau novelnya hilang satu,” ujarku sambil menunjuk lemari itu. Aku sendiri bisa menangkap keputusasaan dari suara yang aku keluarkan, terdengar lemah.
Aruna dengan perhatian mengusap rambutku, menatap lamat-lamat. Kami saling berbalas pandang. Matanya bergerak kiri kanan menatap tiap sisi mataku. Dia terlihat sangat khawatir, aku sampai bertanya-tanya, raut bagaimana yang aku tunjukan padanya sehingga dia menatapku begitu. Dengan cepat dia meraih kepalaku dan membawanya bersandar pada pundaknya, lalu mendekap dengan kuat. Alih-alih tegar, aku justru gemetar. Melimpahkan tebalnya resah pada pundaknya yang tipis. Dia mengusap punggungku sambil mengatakan, “ini akan kamu lewati, gak mudah memang, tapi bisa. Kamu pasti bisa.”
Bibirku ingin mengatakan sesuatu, tapi terlalu sibuk bergetar. Justru air dari mata yang keluar, melewati pipi yang mungkin sudah bernoda kehitaman dan merembes pada baju putih Aruna.
“Menangislah, lepaskan,” ujar Aruna lagi, mengusap-usap rambut dan terus turun ke punggung, berhenti di sana dan menepuk-nepuk memberikan ketenangan.
Aku memejamkan mata sekuat-kuatnya, memeluk erat Aruna dan menenggelamkan wajah pada lehernya. Aku menangis. Walau tidak ingin, tapi ya, aku memang menangis. Tidak lama, badan Aruna ikut-ikutan bergetar dan sayup terdengar isakan. Cukup lama kami berdua terisak dalam pilu sambil berpeluk di antara puing-puing hitam.
Puas menangis, aku mencoba membersihkan studio sebisanya, semampunya, sekuatnya. Aruna membantu, dia tidak ragu walau baju seragamnya yang putih itu kini tampak abu-abu.
Aku tidak berdaya saat memegang sendiri alat-alat yang dulunya berdiri tegak dan rapi, kini hanya dalam hitungan jam telah tergeletak menyedihkan dengan noda hitam.
“Kamu dinas jam berapa nanti?” tanyaku pada Aruna yang kini berada di toilet, membuang handuk yang terbakar dan mengemas sampah-sampah lainnya.
“Aku dinas malam lagi.”
“Kamu balik. Istirahat. Semalaman gak tidur, kan?” pintaku padanya.
Tanpa melihatku dan masih sibuk memilah benda-benda, Aruna menggeleng, “Nanti kita balik sama-sama aja.”
“Aku ntar ada Fahmi katanya mau bantuin beberes, kalau itu yang kamu khawatirkan,” ujarku lagi untuk meyakinkan Aruna bahwa aku tidak sendiri, “kamu harus istirahat, harus tidur sebelum nanti kerja lagi.”
Dia memelas menatapku, seolah meminta menyudahi desakan itu.
Aku menggeleng. Perdebatan seperti ini tidak diperlukan mengingat kondisi.
“Siang. Biarkan aku di sini sampai siang,” ucapnya dengan yakin, “tapi kamu makan dulu.”
Aku mengangguk.
Aruna kembali membuka bungkusan sarapan. Kami berdua makan. Sambil makan, aku meminta pendapat Aruna apakah sebaiknya aku mengabarkan musibah ini pada ibu atau tidak.
“Telepon.” Jawab Aruna yakin, terlebih sambil mengangguk tegas.
“Aku takut ibu kepikiran. Ibu pasti akan datang. Aku khawatir kalau ibu lihat langsung keadaan studio.” Aku memijat-mijat dahi sebab bimbang.
“Keputusan ibu untuk datang itu, biarlah jadi urusan belakangan. Gimana nanti perasaannya kalau dia justru tahu dari orang? Mungkin bukan sedih lagi, tapi marah. Lagipula, yang paling kamu butuhkan sekarang adalah doa ibu. Kamu tahu? Tiga orang yang doanya tidak tertolak? Salah satunya doa seorang ibu untuk anaknya.” Ujar Aruna. Sepertinya sudah diputuskan, aku akan mengabarkan ibu.
Aruna pulang. Taksi yang dinaikinya baru saja pergi saat Fahmi dan teman-teman lain datang. Aku lega melihat mereka turun dari mobil dengan membawa peralatan masing-masing, seperti sapu, sekop, bahkan membawa karung dan kardus bekas untuk mengemas sampah.
“Begini lah dunia, Bro! Pait!” Seru Fahmi yang dari jauh sudah mengangkat karung tinggi-tinggi sambil berjalan menghampiri.
Aku tertawa kecut, lalu mereka merangkul. Mereka juga mengatakan baru saja dari rumah sakit untuk melihat keadaan Ares.
-oOo-
Aku mempersiapkan diri untuk menemui Ares di rumah sakit. Selain impian yang sama pupusnya, dia juga mendapatkan luka. Dia korban sebenarnya dalam musibah ini.
“Kamarnya di lantai dua, aku gak bisa nemenin karena harus over-an sama shift siang,” ucap Aruna saat kami berjalan di lorong rumah sakit.
“Ya, gak apa-apa.”
Setelahnya, sepanjang jalan menuju lift, aku menceritakan bagaimana reaksi ibu saat aku mengabarkan tadi siang. Benar, sesuai dugaan, ibu sedih dan menangis.
Benar lagi perkiraanku mengenai ibu yang akan datang, walau sudah aku tahan tapi tetap saja ibu memaksa.
Yang tidak aku duga adalah ibu mengirimkan sejumlah uang setelah telepon itu berakhir.
“Untuk pegangan dan jaga-jaga kata Ibu gitu.” Aku menjelaskan pada Aruna sesaat baru saja menaiki lift.
Aruna menatapku. Binar matanya itu meyakinkan bahwa aku punya kemampuan melewati situasi buruk ini. Aku tersenyum, sejujurnya tidak tahu juga harus apa. Di saat Aruna yakin aku memiliki kemampuan, justru aku dalam kebingungan. Entah apa yang harus diselesaikan duluan, apakah membenahi studio atau mengomunikasikan dengan klien, memikirkan ganti-rugi, belum lagi peralatan yang harus dibeli, atau menghadapi ibu pemilik ruko. Aku menatap pantulan buram wajahku pada dinding lift, menghembuskan nafas dengan kasar. Udara dari mulutku membuat dinding plat besi ini berembun selebar telapak tangan. Aruna seolah paham gundah yang aku rasakan, menggenggam tanganku.
Kami berpisah, aku turun duluan sedangkan Aruna harus naik dua lantai lagi untuk menjalankan tugasnya sebagai perawat ICU.
Ares sendirian.
“Mami baru aja gua suruh balik, gak papasan?” tanya Ares saat aku baru saja masuk.
Aku menggeleng.
Kasurnya pada posisi duduk. Televisi tengah menyala pelan dalam deretan iklan. Baju hijau muda khusus pasien yang berbentuk piyama ini tidak terpasang rapi. Pada bagian lengan kanan tersingkap menunjukkan perban yang membalut lukanya. Sedangkan wajahnya sudah mulus, tidak ada lagi bulu-bulu halus yang dia jaga rapi selama ini.
“Gimana?” tanyaku sambil menunjuk luka itu dengan dagu.
“O-oh? Ini? Kayak digigit semut!” Ares menjawab santai.
“Lah? Terus kenapa diperban?!” aku menepuk lengannya yang luka.
“Sakit, Goblok!” Ares meringis, lalu batuk, “Cuma ini,” dia mengusap bagian luar wajahnya, “ilang ganteng gua, mulus amat kayak bocah!”
Aku nyengir saja melihat brewok Ares sepertinya dicukur habis oleh perawat untuk memeriksa apakah terdapat luka lain pada wajahnya.
“Berapa?” Ares dengan sengaja memangkas perbincangan bagaimana keadaan studio, dia langsung lompat menanyakan total kerusakan atau mungkin total kerugian.
“Belum itung-itungan, masih berbenah. Gua mikirin gimana ngomong ke klien ntar. Jam tangan Lenkco habis semua, Res.” Satu merk jam tangan produksi lokal yang sedang naik daun dengan kualitas andal sehingga harganya menyentuh jutaan habis terbakar. Mereka menitipkan satu lusin model terbaru setelah lini pertama terjual dengan cepat karena materi iklan yang kami buat, “gua takut kehilangan kepercayaan mereka.”
“Aduuhh!” Ares memukul kasur dengan lengan kirinya.
“Lu tidur di studio? Lu inget gak gimana bisa ada api? Dari kita atau dari ruko sebelah?” tanyaku.
Ares diam, dia berfikir sejenak, “Gua tidur, Gam. Gua tahu studio kebakar justru setelah sadar. Bangun-bangun udah di rumah sakit.”
Mendengar jawabannya, kini aku yang berfikir. Walaupun tertidur, sepatutnya Ares akan bangun karena bau asap yang menusuk hidung atau mulai merasa sesak nafas sebab asap tebal. Paling tidak oleh sensasi panas yang membuat keringatnya bercucuran.
Ares diselamatkan bukan saat api masih kecil, dia justru dibawa keluar dalam keadaan pingsan saat api sudah berkobar. Rasanya tidak mungkin dia tidak terbangun karena hal-hal di atas kecuali … kecuali dalam kondisi satu hal.
“Gam?” Ares memanggil dan membuyarkan pikiran.
“Apa?”
“Bengong doang! Lu gak bawa-bawa gitu buat gua?” tanyanya dengan mata bergerak ke arah meja kecil yang tertumpuk buah tangan dari pengunjung.
“Halah! Itu aja dianggurin. Gak dimakan!” ujarku sambil menunjuk ke arah yang sama.
“TATA KRAMA. ATTITUDE, DUDE! Gini-gini gua pasien!”
“Ah! Gaya lu! Mau apa emang?”
“Trisna.”
“Monyet!”
Aku pulang setelah hampir satu jam di sana berbincang mengenai bagaimana kedepannya. Aku mengatakan lebih baik dibicarakan saat dia sudah pulang, tapi Ares mendesak, “Gammares gak punya banyak waktu, Gam. Gua bukan gak bisa mikir, yang luka lengan, bukan otak.”
Kami bertukar pikiran mengenai banyak hal. Menceritakan kronologi yang aku tahu, dampak kebakaran seperti; kerusakan peralatan, barang-barang titipan klien, penundaan proyek, potensi kerugian finansial, rencana pemulihan dan termasuk proses hukum.
“Pas gua beres-beres sama anak-anak, polisi dateng. Dua orang, hampir barengan sama orang asuransi ruko optik. Mereka minta rekaman CCTV kita.” Aku menjelaskan pada Ares. Ares manggut-manggut.
“Apa hasilnya?” tanya Ares.
“Rekamannya udah ama polisi, mungkin besok hasil temuannya diinfoin,” jawabku. Aku kembali resah mengingat kondisi pengecualian Ares. Ingin bertanya tapi ada rasa enggan, entah karena kondisi dia yang kini terbaring di kasur pasien dengan luka yang diperban atau justru karena aku takut jawabannya benar sesuai perkiraan.
-oOo-
Aku membuka laci, mengambil buku dan mencatat tanggal kebakaran pada lembaran berikutnya meski sisa halaman sebelumnya masih banyak. Sebentar-sebentar aku memejamkan mata, mengingat alat apa saja yang benar-benar rusak dan perkiraan harganya. Ini sudah dua hari sejak studio terbakar. Ibu pemilik ruko, walau berusaha tetap tenang, tapi kekesalannya tergambar jelas pada wajah. Dengan suara pelan namun tegas, dia menyampaikan bahwa kami tidak dapat menyewa tempat ini lagi. Kami harus membenahi ruko seperti semula sebelum tenggat sewa berakhir. Untuk kerusakan pada ruko, kami perlu mengecat ulang, mengganti pintu PVC kamar mandi, dan memperbaiki plafon gypsum yang sebagian terbakar.
Aku memijat-mijat alis, sebab setelah semua kerugian yang kami alami, aku takut temuan polisi terkait CCTV yang aku beri tadi pagi. Kalau memang asal api dari ruko kami, habislah sudah. Tentu alat optik yang harganya di atas tujuh puluh juta itu harus kami dahulukan penggantiannya.
Aku sempat menceritakan kepada Aruna mengenai kejanggalan Ares. Aruna juga menanggapinya dengan pikiran yang sama. Namun entah kenapa, mengetahui bukan hanya aku yang berpikiran begitu malah membuatku semakin khawatir.
Hah~
“Gam? Tadi kata Pak Yahya cat udah bisa dianter besok. Aku juga udah kirim alamat ruko ke mereka. Jam sebelas katanya. Kamu jam berapa ke studio?”
Aruna duduk di sofa dengan catatan kecilnya. Membantu mengurusi ruko dengan membuat daftar apa saja yang harus dibeli dan diperbaiki. Dengan bantuan dari Pak Yahya dan Bu Dewi, Aruna mudah menemukan solusi. Pak Yahya, setelah Aruna mengabarkan insiden kebakaran, langsung datang tadi pagi ke studio. Tanpa banyak bicara seolah tahu aku sudah jengah dengan kalimat-kalimat penghiburan, dia langsung dengan cepat membersihkan ruko. Tampak sekali dia lihai dalam urusan itu, tidak sampai tiga jam, ruko telah bersih seperti yang pernah aku dan teman-teman lakukan selama setengah hari.
Bu Dewi, yang akhirnya memasak banyak lalu memberikan padaku dan Aruna.
Jangan pikirkan soal makan. Kalian urusin aja yang harus diselesaikan. Begitu kata Bu Dewi pada kami sambil memberikan rantang empat tingkat.
Benar-benar, andai kata suatu hari aku harus pergi entah itu pindah atau entah karena kost ini tidak beroperasi lagi, aku akan tetap bersilaturahmi dengan Pak Yahya dan Bu Dewi yang beberapa tahun belakangan sudah menjadi keluarga baru bagiku.
“Ya. Besok aku juga dari pagi udah di studio. Polisi bakalan ngabarin temuan.”
Aruna menukas segera, “Semoga gak kayak yang kamu khawatirkan.”
Semoga aja.
Cangkir kopi terasa dingin begitu juga dengan isinya. Aku minum tanpa mengeluh apa-apa.
“Jangan minum itu. Biar aku bikinin yang baru.” Aruna yang melirik segera,“kopi anyep gitu udah gak baik dikonsumsi, Gam”
Aruna berdiri. Meninggalkan sofa untuk ke pantry. Lalu seseorang mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Itu suara ibu.
Pintu belum terbuka sempurna namun ibu langsung masuk dan menghambur memeluk. Tas tangannya terlepas begitu saja. Marwa mengambil tas itu bersama dengan Aruna yang menyusul. Mereka berdua mengangsur tas lainnya masuk dan saling bertanya jawab mengenai keadaan dua hari terakhir.
Ibu yang sudah melepas pelukannya kini menatapku dengan wajah sendu, “Seperti banyak hal dalam hidup, kamu hanya butuh waktu untuk menyadari bahwa kamu mampu melewati segala cobaan ini,” ujar ibu dengan lembut, mengusap pelan pundakku.
Aku mengangguk, “Iya, Bu.” Lalu membawa ibu masuk. Ibu duduk di sofa sambil menerima teh hangat dari Aruna. Setelah menyesap teh itu, Ibu mengatakan sebelum sampai di kost, ibu terlebih dahulu mampir ke studio untuk melihat keadaan di sana.
“Ibu diam-diam nangis tadi pas lihat studio, Kak.” Bisik Marwa padaku.
Marwa dan Aruna memutuskan tidur bersama di kamar Aruna sedangkan ibu tidur di kamarku. Tengah malam, aku tiba-tiba terjaga dalam keadaan cemas dan berkeringat sebab bayangan api itu masih melekat di kepala. Saat masih mengatur nafas, aku justru disuguhi pemandangan pilu. Ibu, mengenakan mukena biru, duduk beralas sajadah kecil, menengadahkan tangan dan berdoa dengan isakan tertahan. Hanya cahaya redup kekuningan dari pantry yang meneranginya. Sambil menghamba, ibu membisikkan kalimat doa agar aku diberi kekuatan dalam menghadapi musibah ini. Hatiku remuk melihat ibu begitu. Perasaan ini bagai menguliti jantung, perih. Aku merasa marah pada diri sendiri karena gagal membuat ibu bahagia. Dengan membalikkan badan menghadap sandaran sofa, aku mengendapkan air mata sembari membatin mengatakan maaf berkali-kali pada bapak karena telah membuat kekasihnya menangis di tengah kesunyian malam.
Maafkan aku, Pak. Ibu menangis.
-oOo-
Empat cat ukuran sepuluh kilo sudah datang beserta alat-alat pelengkap lainnya seperti kuas, kuas roll, baki dan scrapper. Menurut Pak Yahya, cat tembok yang awalnya berwarna krem muda ini harus dicat berkali-kali agar noda hitam lebar bekas terbakar tidak tampak lagi. Pak Yahya datang membantu dan kembali ke kost setelah mengecat satu lapis sisi dinding kanan, dinding yang bersebelahan dengan optik. Aruna sudah sibuk sejak awal merentangkan koran bekas pada lantai di bawah dinding agar cat yang jatuh menetes tidak mengotori. Ibu dan Marwa kembali ke Bogor setelah cat datang karena tiba-tiba Marwa harus merampungkan urusannya dengan dosen pembimbing. Marwa meminta maaf karena tidak banyak membantu. Ibu memaksa ingin tinggal, tapi aku juga kuat memaksa agar ibu kembali bersama Marwa saja. Aku membujuk ibu dengan segala pengertian namun gagal. Entah dengan cara apa, akhirnya ibu pulang bersama Marwa setelah berbicara dengan Aruna. Aku bersyukur sekali.
“Ares pulang sore ini,” kata Aruna sambil memisah-misahkan lembaran koran.
“Iya? Syukurlah. Aku belum sempat ke rumah sakit lagi.”
“Kemarin sebelum pulang aku mampir ke kamarnya, ada Trisna.”
“Trisna? Sendirian?”
“Iya.”
“Trisna mau ajak Tyas, tapi ternyata Tyas lagi di Singapura sekeluarga.” Jelas Aruna lagi.
Aku mengangguk karena sudah tahu. Siang pertama kejadian, setelah mengabarkan ibu, aku menelepon Tyas. Lagi pula maksud ku bertanya apakah Trisna sendirian atau bukan merujuk pada pacarnya, mengingat sudah beberapa bulan ini dia selalu dalam pengawasan. Aku tidak ingin mengomentari, juga sudah tahu jawabannya, dia datang sendirian menemui Ares. Benar-benar suatu keberanian.
“Liburan. Mamanya Tyas udah bisa jalan sendiri walau pelan. Pak Adimas kesenengan, akhirnya bawa jalan-jalan.” Sambung Aruna.
Aku mengangguk, lagi.
Aruna jadwal siang. Kami makan sebelum dia pulang untuk bersiap dan berangkat kerja. Saat aku akhirnya sedikit-sedikit bisa tertawa karena mendengar cerita lucu Aruna tentang salah satu rekan kerjanya, polisi datang bersama seseorang yang kemudian aku tahu setelah dia memperkenalkan diri sebagai unit identifikasi dan olah TKP. Menyusul di belakang mereka pegawai optik dan agen asuransi. Polisi menyalamiku sambil menanyakan kabar aku dan Ares. Aku menjawab apa adanya. Lalu mereka sempat naik ke lantai dua untuk memeriksa entah apa, menunjuk-nunjuk dinding yang bersebelahan dengan optik lalu berbincang dengan agen asuransi dengan pelan. Setiap kecipak dari bibir mereka membuat rasa cemas semakin meningkat pula.
Kami turun lagi. Aruna kembali dari kedai minuman seberang sambil membawa beberapa botol air mineral. Seorang polisi dari unit olah TKP mengeluarkan laptop dari ranselnya, menyiapkan pemutaran rekaman CCTV yang kami punya. Detik-detik berikutnya aku semakin gugup melihat laptop itu dinyalakan. Aku duduk pada kursi plastik yang sudah disiapkan oleh pegawai optik, kami semua duduk kecuali agen asuransi dan seorang polisi.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan CCTV, kami menemukan beberapa hal penting terkait kejadian kebakaran yang terjadi di lokasi ini pada tanggal 12 November 2018 dini hari. Temuan-temuan tersebut akan kami perlihatkan kepada Anda sekalian.” Ujar polisi yang berdiri dengan suara berat. Dua polisi ini saling mengangguk lalu dengan mantap menekan tombol spasi pada laptop. Semua kepala terarah kepada satu layar, semua mata bergerak sesuai objek yang ada pada rekaman. Dua menit awal tidak ada hal yang mengejutkan, semua berjalan normal selayaknya studio yang tutup. Namun frame ke frame berikutnya secara cepat memberikan ketegangan. Aku mulai gelisah dan mungkin sedikit gemetar. Saat itu juga hampir secara bersamaan mereka melihatku. Aku abaikan tatapan mereka dengan terus fokus menatap layar walau nafas mulai memburu. Aruna menggenggam tanganku yang mengepal kuat, aku mulai berkeringat. Rekaman itu dihentikan saat api mulai berkobar.
“Kami akan menemui Saudara Syahreza di rumah sakit.” Begitu ucap salah seorang polisi sambil menatap dalam-dalam seolah ingin memastikan bagaimana reaksi yang aku tunjukkan.
Aku diam, menundukkan kepala melihat kaki sendiri. Menyembunyikan apa yang wajahku tunjukkan atas segala benturan emosi yang datang serentak menghancurkan perasaan dan mengganggu pikiran.
Dua polisi tadi pergi bersama dengan agen asuransi, sepertinya mereka sengaja menjauh untuk membicarakan prosedur lain.
“Nanti kita bahas masalah penggantian alat auto refraksi, Mas,” ucap pegawai optik. Seolah memahami posisiku, dia terlihat berempati. Menepuk pundakku lalu pergi mengejar polisi dan agen asuransi yang sekarang sudah berada di dalam mobil.
Aku duduk lagi. Menatap lurus ke depan menyaksikan mobil polisi pergi. Aruna yang duduk tepat pada kursi di sampingku, memberikan satu botol air yang sudah dibukanya.
Aku menggeleng.
Sedang tangan kembali mengepal kuat, nafasku terhela berat.
“Dia tahu persis gimana Gammares ini bersusah payah di awal …,” ujarku dengan suara bergetar.
Aruna mengusap-usap punggungku.
“Gak mungkin rasanya dia pengen semua berantakan, ya?” ucapku kemudian, “ini cita-cita dia juga.”
Entahlah. Aku limbung, hilang akal dan bingung.
Marah dan kecewa.
Kesal dan sedih.
Cemas dan tegang.
Pikiranku sibuk antara ingin mempercayai atau justru tidak meyakini apa yang aku lihat sendiri pada rekaman CCTV.
“Ini ujian, Gam. Ujian bisa datang dari siapa aja bahkan teman. Kalian berdua sedang diuji.” Ujar Aruna lagi dengan suara parau. Permukaan telapak tangannya terasa seperti es saat menggenggam kepalan tanganku. Aku sontak melihatnya, baru aku sadari ternyata entah sejak kapan pipi Aruna basah oleh garis air yang merembes dari matanya. Aruna dengan lemah menjatuhkan dahinya pada bahuku. Walau berusaha menenangkan justru dia bergulat dengan kesedihan. Aruna terisak, “Sabar, Gam. Sabar …,” sambil masih menggenggam tanganku. Aku dapat merasakan bahwa tangisannya itu mewakili kesedihan yang aku terima dari seorang teman. Aku diam, berusaha membungkam hebohnya jeritan amarah dan mati-matian menyurutkan luapan kesedihan. Cukup lama aku membiarkan waktu mengendalikan perasaan. Tidak ada lagi obrolan di antara aku dan Aruna bahkan saat kami mulai mengecat dinding lagi. Sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing hingga matahari bergulir perlahan ke arah barat, ruko yang listriknya belum nyala ini mulai gelap.
Aku heran, Aruna belum juga pulang ke kost bahkan sudah melewati jam masuk dinas siang.
“Kamu gak berangkat dinas?” tanyaku sambil mengaduk cat di dalam ember.
“Aku tukeran shift sama teman, dinas malam. Mau nemenin kamu dulu,” katanya dengan santai sambil mengecat dinding menggunakan roll. Senyum ramah terukir di kedua sudut bibirnya. Aku menatapnya, tertegun hingga berhenti mengaduk cat. Sungguh, dia tidak perlu sampai begitu. Aku ingin mencegahnya melakukan itu di kemudian hari. Namun, entah mengapa, sebagian diriku merasa senang atas keputusan yang telah dia ambil diam-diam.
“Makasih, Runa.” Hanya itu yang keluar dari mulutku, “kalau capek, kamu istirahat aja.”
Dia berhenti, menyandarkan kuas roll pada dinding. Lalu berjalan mendekatiku, “Kamu yang capek, hampir 24 jam di studio. Handphone berdering terus di telepon klien, ada yang paham ada yang marah. Belum lagi tadi, menghadapi proses penyelidikan.”
Aruna ikut berjongkok di depanku. Pada wajahnya terdapat percikan noda cat yang membuatnya terlihat lucu.
“Kamu kalau masuk ke kandang panda, mereka gak kaget. Udah dipikir satu spesies karena lingkar hitam ini,” kata Aruna lagi sambil mengusap pelan mata kananku lalu mengecupnya.
Aku menerima kecupan itu sambil memejamkan mata.
Menjelang maghrib, Aruna mulai mengemas barang-barang bersiap pulang. Aku sedang menutup ember cat saat suara mobil masuk ke pekarangan. Tidak lama aku mendengar namaku dipanggil. Aruna menoleh seketika dan rautnya berubah menjadi cemas. Aku berdiri, meninggalkan cat-cat yang masih terbuka. Dengan cepat berlari menuruni anak tangga, mengepalkan tangan sekuat-kuatnya. Aku mendesis menahan gelombang emosi yang datang bagai tornado, melintir dari hati hingga kepala, dengan kilatan petir diantaranya. Aku mendengar Aruna berteriak memanggilku dan segera mengejar. Aku yang tidak peduli terus berlari.
Ares tepat berada di bawah anak tangga menengadah dan terkejut melihatku datang dengan cepat. Saat dua atau tiga anak tangga lagi aku melompat dengan pukulan kuat mendarat tepat pada pipinya. Dia jatuh tertelentang di lantai kotor. Dengan mencengkram kuat kerah kaosnya, aku siap melepas tinju lagi pada wajah yang digadang-gadang indah itu.
“BANGSAT! ANJING!!”
Hanya dua kata itu yang keluar dari mulutku, selebihnya aku membiarkan emosi tersalurkan melalui pukulan. Trisna yang baru saja masuk langsung berlari dan berteriak melihat kami. Dia berusaha melerai tapi terpental sendiri. Sayup-sayup di antara bunyi perkelahian ini, aku mendengar Trisna berteriak pada Aruna untuk menghentikanku segera.
Ares tidak melawan, bahkan seolah pasrah menerima setiap pukulan. Aku tahu jika dia melawan mungkin aku kalah. Setelah lelah, aku berhenti. Melepaskan cengkraman dengan kasar, meninggalkannya kini meraung dalam keadaan luka pada pelipis dan darah keluar dari celah bibir. Aku naik ke atas dengan terhuyung sambil diam-diam meregangkan jari-jemari yang terasa sakit. Aruna berdiri menyandarkan tubuhnya pada dinding pegangan tangga. Dia tampak terguncang menyaksikan kejadian barusan. Dengan mulut sedikit terbuka, rahangnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu tapi belum mampu.
Saat melewati Trisna, dia menarik kaosku. Lalu tiba-tiba menampar kuat. Aku yang sudah limbung harus menahan badan agar tidak jatuh dan diam saja menerima tamparan yang aku rasa memang sudah seharusnya aku terima. Aku bahkan tidak marah pada Trisna.
“KELEWATAN LU! ARES BARU KELUAR RUMAH SAKIT!” Dia berteriak tepat di wajahku sambil menangis. Aruna tidak diam, dia segera sadar dan langsung menengahi kami.
“Tris …,” ucap Aruna sambil membawanya duduk pada tangga. Trisna menangkupkan kedua tangan ke wajahnya. Duduk dan menangis tersedu.
“Ayo, Gam.” Ajak Aruna pelan menuntunku ke atas. Aku melirik Ares yang masih tergeletak, menutup kedua matanya dengan lengan, raungannya mungkin terdengar hingga ke jalan. Aku yakin itu bukan raungan sebab sakitnya pukulan, tapi sebab tahu bagaimana kekecewaan seorang teman. Gemuruh suaranya terdengar penuh penyesalan.
“Tuhan aja memaafkan hambanya, Gam. Lu sebagai manusia udah sombong!”
Begitu ujar Trisna dan ujaran itu berhasil membuat langkahku terhenti. Dia menatapku seolah aku manusia kotor dan hina. Aku menarik nafas dalam-dalam, melihatnya yang masih berurai air mata. Lalu aku membuang muka, mengabaikannya dan terus menaiki tangga.
Aku mencuci wajah, berwudhu dan sholat maghrib.
Tanganku terlipat tapi badanku gemetar hebat. Semua ingatan berputar-putar di kepala. Mengingat kenangan membuka Gammares, mengingat perjuangan di awal, tawa dan duka yang kami hadapi bersama, lalu bayangan api berkobar yang sudah beberapa hari ini masih melekat meski di alam bawah sadar. Aku meneteskan air mata, mengingat tindakan gegabah Ares yang justru menghancurkan segala yang sudah kami bangun bersama, juga merasa bersalah mengingat perlakuanku sendiri terhadap teman, mengingat bantuan-bantuan yang Aruna berikan, bahkan ingatan tentang ibu yang menangis tengah malam. Terakhir air mataku semakin deras saat mengingat kata-kata Trisna mengenai kesombongan di hadapan manusia dan Tuhan. Aku lanjutkan sholat dengan menahan setiap isakan dan berusaha mati-matian untuk khidmat.
Matahari sudah tidak tampak, malam mulai merambat. Ruangan kini terang hanya bermodalkan senter dari ponsel.
“Mereka udah pulang.” Kata Aruna yang baru saja selesai berbicara dengan Ares dan Trisna di bawah.
Aku diam saja. Memejamkan mata sambil berbaring di samping jajaran ember cat.
“Ares menyampaikan maaf. Dia baru tahu kejadiannya setelah dilihatkan rekaman CCTV tadi siang. Dia benar-benar menyesal.” Jelas Aruna lagi. “Proses hukum berjalan dengan cara mediasi, ibu pemilik ruko dan optik sebelah gak berniat melaporkan kejadian ini asal ada ganti rugi.”
Aku sudah terlalu lelah untuk memberikan komentar ataupun bereaksi.
“Kamu pulanglah, sebentar lagi jam dinas malam.” Kataku padanya.
“Kita pulang sama-sama. Ini udah malam dan kita gak bisa ngerjain apa-apa. Gelap.”
“Kamu pulanglah.” Ujarku sekali lagi menegaskan dia harus kembali dan aku belum ingin kemana-mana selain di sini.
Aku membalikkan badan menghadap ember cat agar Aruna tidak melihat wajahku yang sekarang entah bagaimana rautnya.
Badanku sangat penat dan pikiranku lelah sehingga tidak mampu lagi sekedar mengatakan terima kasih pada Aruna atas segala bantuannya hari ini.
“Aku lagi tunggu Bu Dewi yang katanya mau anterin makan malam. Nanti aku sekalian pulang sama Bu Dewi,” suara Aruna terdengar dekat. Aku menoleh, benar, dia sudah duduk persis di sampingku yang terbaring lesu, “kamu makan, ya?” Ucapnya dengan wajah memohon.
Sejujurnya aku kehilangan selera dan tidak ingin melakukan apa-apa selain baringan. Sebagai jawaban atas permohonannya, aku mengangguk saja.
Makanan dari Bu Dewi sudah datang, Aruna juga sudah pulang.
Aku masih berbaring, memejamkan mata, merenung mengingat nasihat bapak satu dekade lalu. Kini, aku mengalami apa yang dirasakan bapak saat dulu mendengar kalimat penyandingan manusia dengan kehebatan Tuhan. Benar, sesaat aku merasa goyah, bersalah, hina dan tersudut. Berkali-kali aku ingatkan diri sendiri bahwa bukan aku yang memulai segala malapetaka ini, tapi justru aku yang menyelesaikan dengan segala medan kesulitannya.
Iya, aku marah terhadap seseorang.
Iya, aku kecewa habis-habisan.
Iya, aku belum mampu memaafkan.
Dan iya, aku melepaskan resahku pada ujung tinju. Melepaskan kekecewaan pada kuatnya kepalan. Terlebih, membuang amarah melalui pukulan sebab hancurnya harapan. Mekanisme perlindungan diri yang paling aku hindari, kini aku lakukan kepada teman sendiri. Ares. Syahreza.
Video rekaman CCTV itu masih terlihat jelas seolah aku melihatnya sekali lagi dengan mata terbuka. Melihat Ares yang masuk tepat pukul tiga. Langkahnya gontai dan terjatuh beberapa kali, menabrak cool case dan cengengesan, cengar-cengir tidak jelas. Lalu membuang rokoknya begitu saja dengan api masih menyala ke tong sampah yang berisikan kertas-kertas, kain lap dan aerosol yang aku buang sebelum pulang. Api dari tong itu dengan cepat menjilat dinding yang sedang terpasang backdrop untuk syuting jam tangan Lenkco yang berjejer rapi di atas meja di sebelah tong sampah. Begitulah api merambat kemana-mana, menggapai benda-benda yang memang mudah terbakar. Ares tertidur dalam keadaan mabuk sehingga dia tidak sadar ketika api mulai membesar. Memang ini yang aku khawatirkan sejak pertama. Dia mabuk dan lalai. Menyebabkan bencana yang membuat seluruh harapan sirna.
Aku menghembuskan nafas dengan berat. Melepas kaos, menggulungnya dan membekap mulut rapat-rapat untuk kemudian berteriak sekuat-kuatnya, sekencang-kencangnya. Mencoba melepaskan perasaan negatif yang bergumul melemahkan diri. Lalu teriakan itu memudar seturut dengan terdengarnya azan isya. Aku bangkit untuk duduk, melihat pemandangan sekitar, gelap dan menyedihkan. Suara kendaraan terdengar jelas lalu lalang di jalanan sebab pintu kaca sebagai penghalang sudah tidak ada. Aku menunduk, mengucapkan dengan lirih pertanyaan menggantung yang tidak sempat aku utarakan pada Bapak dulu sebab Marwa menangis, “Pak, jika teman itu sudah seperti saudara, apa harus dimusnahkan juga?”
*Gamma & Ares (yang udah cukuran)
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)