Bagi seseorang yang memegang palu, segalanya terlihat seperti paku. Itu kalimat Mark Twain. Kalimat itu mungkin tepat untuk merepresentasikan bagaimana hubungan Ares dengan kedua orang tuanya. Orang tuanya memegang palu, lalu kebetulan, saat ini paku paling tampak mencuat bagi mereka adalah Ares.
Dua hari setelah kami kembali dari Tangerang, tepatnya Selasa siang, Mami Ares datang ke studio, sendirian, mengemudikan Camry hitam, sama hitamnya dengan set blazer yang dia kenakan. Seingatku memang siang itu serba hitam. Aku sendiri mengenakan kaos hitam. Mami Ares masuk saat aku tengah menata set untuk memotret produk-produk sepatu bespoke –sepatu buatan tangan.
Ares sedang keluar membeli peralatan dan kalau sempat, dia akan menemui seorang food stylist untuk memesan beberapa produk replika makanan untuk kebutuhan fotografi. Mami Ares masuk ke ruang kerja sebentar, menyapaku yang tidak tahu sedang kedatangan tamu. Dengan sedikit tercengang, aku menghentikan pekerjaan, menyambut mami. Aku memanggilnya dengan sebutan mami sebab sejak pertama ia yang meminta. Walau saat pertama kali mulutku terasa asing, aku tetap mengikutinya hingga kini menjadi terbiasa. Aku mengatakan Ares sedang keluar, dia membalas dengan mengatakan bahwa Ares tidak mengangkat teleponnya. Lalu aku sadar bahwa kalimat itu merupakan sebuah desakan agar aku menghubungi Ares, mengatakan maminya di sini. Ares hanya mengatakan ‘halo’ saat dia mengangkat telepom dan diam saja saat aku menyampaikan maksud menelepon. Telepon itu mati tanpa aku ketahui Ares akan segera kembali atau tidak.
Tidak enak membiarkan tamu sendiri lantas aku menemani mami menunggu Ares. Mami tampak resah, dia menyedot minumannya sambil sesekali melihat ke luar, memeriksa jika motor Ares datang. Sesekali juga mami berusaha menyamarkan kegelisahannya dengan menanyakan kabar ibu dan Marwa, menanyakan bagaimana ujianku berakhir dan kapan jadwal wisuda. Kebanyakan obrolan ini menuju ke satu titik: tamat kuliah. Sepanjang pembicaraan –mami yang lebih banyak bicara, rautnya tampak menahan amarah menyimpulkan sendiri bahwa Ares seolah sepele terhadap kuliah.
“Padahal dia yang keras banget milih kampus dan jurusan ini. Mami pikir dia bakalan serius!” Begitu ujar mami dengan kesal.
Aku diam, paham benar ini bukan posisiku bahkan untuk sekedar membela Ares. Walau sebenarnya kata-kata untuk menyanggah perkataan mami sudah sampai pada ujung lidah, tapi aku urung dan menelan saja kata-kata itu.
“Berani dia gak pulang sebulan! Telepon gak diangkat, chat Mami gak dibalas. Besar kepala karena anak satu-satunya! Melawan orang tua pakai cara kampungan!”
Bukan. Justru dia sedang menghindari keributan.
Tentu saja itu aku ucapkan dalam hati.
“Dia nyogok mami, beliin kacamata. Mami lebih kesal karena dia sengaja pulang siang-siang biar gak ketemu mami, nitipin ini cuma ke Mbok Rah!” cecar mami sambil menunjuk-nunjuk sendiri kacamata yang sedang dia pakai.
Itu kacamata yang Ares beli, dipesan dari optik sebelah. Bukan untuk membujuk atau bahkan bukan sebuah sogokan agar kesal mami redam. Ares tahu benar bahwa sudah beberapa hari sebelum Ares memutuskan untuk menginap di studio, mami mengeluh kepada asisten rumah tangga mereka bahwa lensa kacamatanya sudah banyak goresan halus sehingga kurang nyaman saat digunakan. Dengan mengantongi ukuran lensa mami yang ada di ponselnya, Ares berkunjung ke optik sebelah. Sesaat kami baru kembali dari Tangerang, pegawai optik datang dan menyerahkan kacamata yang sudah selesai. Saat itu siang kira-kira pukul dua, Ares sengaja pulang sebab dia tahu kedua orang tuanya tidak berada di rumah. Lalu menitipkan kacamata itu ke Mbok Rah – seorang asisten rumah tangga. Sebelum Ares pergi, Mbok Rah membekali makan siang yang Ares bawa ke studio. Kami makan bersama saat itu.
Nyatanya, walau dicap sebagai sogokan, kacamata itu tetap dipakai oleh Mami. Dia suka apa yang anaknya beri atau memang sedang sangat butuh lalu mau tidak mau dipakai saja. Entahlah.
Beberapa kali mami mengangkat pergelangan tangannya untuk memeriksa jam. Mami kesini di sela-sela jam istirahat kantor. Dia bekerja sebagai konsultan pada sebuah Lembaga Keuangan Non-Bank. Mungkin jam istirahatnya sudah menipis sehingga tampak makin resah. Lututnya bergerak naik turun dengan cepat dan kepalanya terus menoleh keluar, melintasi pintu kaca besar. Tepat saat mami memutuskan menyerah dan berdiri untuk kembali, motor Ares masuk ke parkiran depan. Mami tergesa berjalan ke pintu dengan menggenggam kuat tas tangannya. Mereka bertemu di ambang pintu, Ares masuk sambil menerima pukulan pada wajah dengan tas tangan. Bunyinya padat, sepertinya di dalam tas tangan mami itu berisi note book tebal dan juga hanphone. Dua kali. Mami memukulnya dua kali pada pipi kiri dengan jeda yang cukup singkat. Aku terperanjat sejak melihat pukulan pertama. Hanya bisa mematung. Bahkan tidak tahu harus berbuat apa. Melerai? Membiarkan? Memberi Ares minum? Mempersilahkan mereka untuk duduk dulu? Tidak tahu, aku masih bingung. Ares diam terpaku, wajahnya tidak dia angkat setelah dipukul, tetap begitu. Mami berseru, bukan, berteriak sebenarnya, kepada Ares dengan kata-kata yang menyakitkan. Bahkan untukku itu perih. Di tengah kebingungan, secara otomatis aku melangkah menjauhi mereka, menaiki tangga ke lantai dua, duduk pada kasur yang Ares gunakan untuk tidur. Suara mereka sayup terdengar, suara mami saja tepatnya. Ares mendapatkan pukulan dari dua orang berbeda dalam waktu kurang dari seminggu. Namun untuk kali ini walau wajahnya tidak sampai lebam namun hatinya bersimbah darah oleh luka sebab perkataan ibu sendiri.
Aku melihat kiri dan kanan, sejak Ares tidur di sini, ruangan yang awalnya hanya tempat sementara menjadi tempat yang lebih layak disebut sebagai kamar. Pada meja kecil terdapat buku-buku yang Ares baca, kebanyakan diantaranya tentang prinsip dan panduan periklanan lalu novel American Psycho itu masih terselip diantaranya. Tiba-tiba pikiranku berkecamuk, novel itu mengganggu, walau tidak saling berkaitan tapi entah kenapa aku tetap menyalahkan novel itu atas perilaku impulsif Ares tempo lalu. Ambil. Tidak. Sembunyikan. Jangan. Buang. Biarkan. Ah! Akhirnya aku mengambil novel itu dan melemparnya pada atas salah satu lemari tinggi di luar kamar ini, lemari untuk menyimpan alat-alat dekorasi yang belum terpakai.
“Ngapain, lu?”
Tiba-tiba dari arah belakang Ares datang, dia bahkan belum tuntas menaiki anak tangga saat mengatakan itu. Aku diam, tidak menjawab pertanyaannya, lantas bertanya hal lain, “gimana?”
“Mami udah balik.”
Aku mengangguk. Sebenarnya ingin bertanya lebih banyak namun aku lagi-lagi mengurungkannya. Ares masuk ke kamar, duduk pada tepi kasur seperti yang aku lakukan barusan.
“Ntar lagi gua turun,” ujar Ares pelan.
“Aman?”
Ares tidak segera menjawab, dia menunduk sebentar sebelum mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
“Aman,” Ares berdehem membersihkan kerongkongan. Mungkin juga menghindari suaranya agar tidak parau.
Dia mengatakan aman dengan raut kusut. Jelas sekali itu jawaban seadanya untuk menyudahi pembicaraan. Kepalanya bertumpu dengan tangan, kemudian jarinya memijat–mijat dahi. Selain kusut, Ares juga tampak lelah.
Aku segera turun, melirik sebentar ke arah dua orang ibu dan anak tadi berdiri, kemudian bergidik ngeri mengingat bagaimana mami memukul anak sendiri. Pada meja terdapat dua bungkus makanan, sepertinya Ares sempat membeli makan siang sebelum kembali. Masih terbungkus rapi bahkan dia belum menyentuh miliknya. Aku yang sudah kehilangan selera makan memindahkannya ke bawah meja reservasi.
Siang menjelang sore, aku bekerja sendirian. Ares turun tepat saat aku hendak merokok ke luar. Dia mengikuti. Menghisap rokok, diam, sama-sama menghembuskan asap putih.
“Gua ntar pulang,” lontar Ares diantara kebulan asap.
Aku mengangguk.
Kami menatap jalanan. Sore itu ramai. Segerombolan anak SMA tampak baru pulang sekolah. Mereka ceria berboncengan, ada yang bersama teman bahkan sepertinya bersama pacar. Sebagian cekikikan.
“Gua begitu dulu pas SMA,” celetuk Ares sambil menunjuk mereka dengan selipan rokok di antara telunjuk dan jari tengahnya. Aku melihat sekali lagi anak-anak itu. Entah apa yang spesial, seingatku semua anak pada usia SMA memang selalu begitu, termasuk aku dulu. Mungkin secara tidak langsung Ares mengatakan bahwa dia dulu tidak memikirkan hal selain sekolah dan bermain. Dulu dia tidak mendapat tekanan apapun dari orang tuanya dalam bertanggung jawab atas keputusan sendiri. Dulu dia tidak mendapat hujatan apapun sebab salah memilih. Yah, menurut orang tua Ares memilih jurusan DKV adalah suatu kesalahan sebab baik dari keluarga mami maupun papi Ares, seluruhnya mengambil jurusan eksakta, mempelajari ilmu pasti yang tidak dipengaruhi oleh manusia. Satu-satunya orang yang memiliki jiwa seni hanya lah nenek Ares di Magelang, ibu dari papinya.
Bagi seseorang yang memegang palu, segalanya terlihat seperti paku.
Orang tua Ares hanya melihat dari sudut pandang mereka tanpa memperhatikan alternatif lain dan perspektif dari Ares sendiri. Menganggap bahwa semuanya akan baik-baik saja jika mengikuti cara mereka. Kini palu itu bekerja dengan cara yang selalu sama: mengetuk kuat paku –memukul Ares baik secara fisik dan mental.
Aku ingin bertanya bagaimana urusan dengan mami terselesaikan, tapi juga tidak terlalu ingin tahu. Aku ingin menanyakan bagaimana keadaan Ares saat ini, tapi rasanya janggal sekali. Toh, dia tampak lebih baik sekarang, wajahnya lebih segar. Mungkin dia tertidur sebentar. Semuanya terasa hambar, terasa di awang-awang. Begitu-begitu saja sehingga tidak terlalu penting untuk kami bicarakan. Aku juga bukan orang yang akan giat bertanya-tanya duluan agar seseorang bercerita. Aku memilih bungkam, menghisap rokok dalam-dalam lalu melepaskan asapnya dengan lega.
“Kerjaan yang dekat deadline ada berapa?” tanya Ares.
Aku berpikir sebentar, “Yah, paling yang hotel sama kafe. Sabtu ini.”
“Gua gak sempat ketemu Cak Son, jadi replika es batunya belum tahu gimana dan berapa,” ujar Ares mengernyit sebab matahari menembak matanya.
“Ya, besok aja, bisa gua bisa lu, terserah,” jawabku sambil mengetuk-ngetuk abu rokok.
“Lagian tuh orang susah amat di hubungi, percuma punya hape!” Ares kesal, membuang puntung rokoknya.
Cak Son adalah senior kami, jurusan seni rupa. Entah berapa tahun di atas kami, tidak tahu. Kami juga tidak ingin tahu. Sekilas dia seperti pria berusia tiga puluh akhir atau empat puluh awal. Akhir Januari tahun 2015 aku bertemu dengan Cak Son. Saat itu aku bekerja untuk sebuah situs berita online meliput keseruan proses shooting sebuah film yang cukup terkenal dengan konsep kedai kopi. Disanalah Cak Son hadir sebagai food stylist, menata setiap makanan dan minuman untuk kepentingan film. Dengan rambut ikal, tebal dan panjang hingga menutup punggungnya, dia menghampiriku sambil membawakan satu kopi. Seolah telah kenal lama, dia kemudian duduk bersamaku di lantai menyaksikan huru-hara proses pembuatan film. Cak Son diberikan Tuhan sepasang mata yang jika kamu bertemu dengannya untuk pertama kali, kamu tidak akan ragu menyimpulkan bahwa dia orang yang baik. Dia bercerita bahwa ayahnya orang Madura dan ibunya berdarah Australia. Namun jika dibandingkan dengan nama aslinya yang bule sekali: Mason, dia memiliki ciri fisik yang sangat kental Madura. Kulitnya coklat, wajahnya oval dengan tulang rahang menonjol, walau pendek dia terlihat tegap. Dia memperkenalkan diri sebagai Son dan kru di lokasi shooting memanggilnya dengan sapaan ‘Cak’. Setelah hari itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya hingga kemarin, aku mencari-cari kontaknya melalui sosial media, tidak ada. Aku mencoba menghubungi teman-teman yang sekiranya tahu, ada. Satu orang teman pernah bekerja dengannya untuk urusan tugas akhir, namun teman itu mengatakan bahwa kondisi Cak Son sedang tidak baik satu tahun terakhir. Dia sempat masuk rumah sakit dan butuh waktu untuk pulih. Mendengar itu, aku hendak mengurungkan niat untuk menemuinya, merasa tidak enak jika membuatnya bekerja dalam kondisi tidak baik. Namun temanku mengatakan Cak Son akan menerima jika pekerjaan itu tidak mengharuskan dia keluar rumah. Saat aku bertanya Cak Son sakit apa, temanku diam cukup lama sebelum akhirnya menjawab tidak tahu.
“Gua aja besok ke rumahnya,” jawabku santai.
Aku membuang rokok dan bersama Ares kembali masuk, melanjutkan pekerjaan. Menjelang jam studio tutup, Ares tampak tergesa-gesa, dia mengerjakan apa yang dia rasa bisa selesai malam ini. Berpindah dari komputer ke tablet, sesekali membaca kertas konsep. Saat dia bekerja dengan komputer, stylus pen nya dia sisipkan di atas telinga, jika tiba-tiba dia punya ide untuk mengerjakan apa yang ada di tabletnya, lantas dia segera berpindah. Begitu terus. Tablet, komputer, tablet, komputer. Dia mengerjakan dua proyek sekaligus. Ares selalu begitu, jika dia merasa sempat abai pada tanggungjawab, di lain kesempatan dia akan membayarnya dengan menumpuk. Entah itu bisa dikategorikan sebagai sifat baik atau buruk.
Aku sedang makan malam dengan makanan yang dibawa Ares saat siang, nasi goreng ini sudah dingin. Tapi lapar tetaplah lapar, aku tidak mempermasalahkan selagi masih bisa dimakan.
“Dikejar setan, lu?” tanyaku iseng sambil menyeringai melihat Ares terburu-buru.
“Dikejar madam,” jawabnya santai tanpa mengalihkan perhatian dari layar komputer. Kami sama-sama tahu bahwa madam yang dimaksud adalah mami Ares.
Saat itu aku langsung tertawa mendengar jawaban Ares. Begitupun Ares, dia tertawa karena melihatku tiba-tiba tersedak.
Lalu setelah aku bisa mengendalikan tawa. Ares mengatakan bahwa dia meminta waktu seminggu untuk merampungkan karya tugas akhir. “Mungkin siang lu kebanyakan sendirian tapi kalau malam atau pas studio tutup, gua kerjain apa yang belum selesai,” jelas Ares lagi.
“Lu fokus aja, Res.”
Ares diam. Dia terlihat bimbang antara pekerjaan dan kuliah. Saat seperti ini tidak mungkin baginya mengerjakan keduanya bersamaan.
“Atau gini, urusan materi hotel gua aja yang kerjain, kan tinggal editing,” pinta Ares. Dalam nada bicaranya terselip perasaan tidak enak, sedikit cemas dan khawatir.
“Atur aja, deh.”
Begitulah, sejak Rabu aku sendirian. Saat keluar, aku menutup studio sebentar sebab tidak ada rekan yang menjaga. Cak Son berhasil ditemui di rumahnya. Dia memang terlihat lebih kurus, rambutnya kini dipangkas pendek. Walaupun sayu, matanya masih memancarkan keramahan. Bicara dengan tempo yang lambat walau tetap masih terdengar semangat. Aku tidak menanyakan perihal sakitnya. Bukan aku tidak acuh, namun aku merasa tentang hal itu Cak Son yang berhak menentukan kepada siapa dia akan bercerita. Cak Son tinggal sendirian, dia memang belum menikah dan orang tuanya jauh di Madura. Rumahnya walau sedikit gelap namun tertata rapi dan bersih. Pintunya selalu ditutup, begitu juga jendela. Salib besar dengan LED kuning hangat tergantung tepat di atas televisi, menjadi satu-satunya cahaya pada ruang tamu yang cukup gelap. Tidak ada pendingin ruangan, hanya kipas gantung yang bisa aku katakan hampir tidak ada fungsinya walaupun menyala. Pengap.
Kami duduk di ruang kerja Cak Son. Berbeda dengan ruang tamu, studionya berantakan dan sedikit kotor, menandakan dia sedang bekerja dan menerima pekerjaan. Di atas meja di tengah ruangan ini terdapat beberapa replika makanan dan sebuah kamera, serta pada sudut ruangan terdapat spanram dengan canvas terpasang secara tidak beraturan digores dengan tinta minyak merah dan hitam. Setelah menyampaikan maksud kedatangan, Cak Son menyanggupi permintaan untuk membuat beberapa replika makanan.
“Besok malam lu ke sini jemput pesanan,” ujarnya.
Aku lega mengetahui Cak Son bisa mengerjakan dengan cepat, mungkin dia juga menimbang bahwa deadline juga semakin dekat.
Aku mengangguk dan sambil mengatakan terima kasih aku bangkit hendak kembali. Cak Son mengikuti.
“Lu besok ke sini, bawain gua bir sepuluh botol,” dia menepuk pundakku
“Siap, Cak!” aku tersenyum mendengarnya permintaannya. Setidaknya walau dia terlihat lemah, namun sisi lainnya tampil kuat.
Sedari tadi saat aku menanyakan harga atas replika, dia hanya menggeleng. Mungkin bir ini lah sebagai gantinya.
Keluar dari rumah Cak Son, masih di dalam gang, aku menepi untuk menelepon Ares. “Bajingan!” Ujar Ares tertawa saat mendengar permintaan Cak Son yang eksentrik, lalu Ares mengatakan bahwa dia yang akan membeli bir tersebut.
Besoknya saat aku membuka studio, sudah tersusun bir pada cool case. Saat aku hitung jumlahnya lebih dari sepuluh. Aku mengirimkan pesan kepada Ares mengatakan bir nya aman dan akan sampai pada Cak Son. Ares membalas, ‘Sepuluh jatah Cak Son, sisanya lu’.
Kembali ke studio, aku bekerja. Telepon berdering, calon klien datang untuk membuat kerjasama, membuat Mou baru, keluar membeli perlengkapan, membalas pesan dan e-mail masuk, revisi pekerjaan Ares mengenai materi hotel yang disimpan di google drive milik studio. Tidak pulang ke kost, kini giliranku yang tidur di studio. Tidak jarang aku bekerja hingga lewat tengah malam, lalu besoknya sebelum studio buka aku sudah bangun lebih awal untuk mengangsur pekerjaan. Begitu setiap hari menjelang Sabtu. Sibuk, hampir tidak ada waktu sekedar mengirimkan pesan pada Aruna. Aku lega sebab Aruna paham, aku menceritakan pada Aruna masalah di studio. Ternyata itu tidak menyurutkan Aruna, malah dia semakin semangat mengirimkan pesan untuk mengingatkan makan. Aku membalas iya, walau sebenarnya lebih sering terlambat makan hingga akhirnya kehilangan rasa lapar.
Pukul dua dini hari pada Sabtu, saat tengah merampungkan materi untuk kafe, handphone menyala sebab notifikasi singkat. Sebuah e-mail masuk dari Aruna, dengan subject tertulis ‘Titip’. Dia selalu menggunakan cara seperti itu untuk berjaga-jaga agar datanya tidak hilang. Kebanyakan adalah data-data kepentingan kuliahnya. Aku tidak membuka email itu, karena sudah bisa menebak apa isinya. Yang membuatku tergelitik adalah mengetahui bahwa dia belum tidur pada jam ini. Lantas tanpa pikir panjang aku menelponnya.
“Hai, kok belum tidur?” tanyaku sesaat telepon itu diangkat.
“Iya, nih. Masih ada yang dikerjain," jawab Aruna.
“Data puskesmas lagi?”
“Hmmm, ada deh!” Aruna menjawab dengan cara menggemaskan. Aku tertawa.
“Obatnya kamu minum? Salep nya di pakai gak? Jujur aku ragu, sih.” Pertanyaan Aruna beruntun nyaris tanpa jeda. Aku memang mampir ke puskesmas seperti yang Aruna minta, mengambil obat. Saat itu bukan dia yang melayani. Aruna tampak sibuk wara-wiri karena sedang jadwal posyandu. Dia hanya tersenyum melihatku. Lalu menghampiri sebentar saat aku sudah di parkiran untuk segera kembali ke Jakarta.
“Tau aja. Obat makan jarang, karena harus makan dulu, kan? Kalau salep pakai terus.”
“Nah? Berarti makan kamu berantakan, kan?”
“Tapi tiap abis makan, aku minum obatnya.”
“Makan yang sekali sehari itu?” desak Aruna
Aku terkekeh.
Aruna membalas dengan berdecak kesal.
“Masih nginap di studio?” tanya Aruna lagi.
“Masih. Ini lagi cek kerjaan. Besok harus udah selesai.”
“Wah? Buru-buru, dong?”
“Iya. Ngebut banget!”
Setelahnya Aruna menceritakan kejadian lucu di puskesmas tentang dokter yang salah pasien, sudah terlanjur diperiksa baru lah wanita itu mengatakan bahwa sebenarnya bukan dia yang sakit tapi kakaknya yang sedang di kamar mandi. Si adik hanya sedang numpang berbaring karena lelah. Aku tertawa mendengarnya. Tawa yang sudah lama tidak aku dapatkan beberapa hari ini. Tawa itu aku tutup dengan helaan nafas.
“Kenapa? Capek banget, ya?” tanya Aruna.
“Capek, sih udah biasa. Kangennya ini gak bisa dianggap biasa,” godaku.
Aruna terkekeh pelan. Tidak menjawab.
“Ya, udah. Aku mau tidur dulu, ya. Kamu semangat kerjanya. Jangan tidur pas perut kosong. Isi pelan-pelan sebelum tidur, oke?” pesan Aruna.
“Siap, Nona.”
Telepon itu mati lalu tak lama Aruna mengirimkan pesan ‘Aku kangeeen banget sama kamu’, deretan huruf e itu juga membuatku membacanya panjang. Malam itu aku terus bekerja hingga adzan subuh terdengar berkumandang.
Sabtu siang, Mbak Mala video call setelah dia mendapatkan materi iklan untuk hotel. Dia senang dan mengucapkan terima kasih lebih dari lima kali. Materi kali ini lebih segar katanya.
“Fresh banget, ya!” begitu kira-kira kata Mbak Mala.
Lalu menjelang sore, aku menuju kafe klien menempuh jarak kurang lebih empat puluh menit. Sesampainya di sana, pemilik kafe itu belum tiba, setelah ditelepon pegawainya dia beralasan macet. Iya, memang macet. Aku maklum dan menunggu sekitar dua puluh menit dengan suguhan es kopi.
Klienku menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Dia meminta maaf atas keterlambatannya dan juga atas ketidakpahamannya menggunakan penyimpanan online, sebab itu lah aku datang langsung ke kafe menemuinya, untuk memberikan dan menjelaskan materi secara langsung. Dia mengeluarkan tablet lalu memintaku untuk membuka file penyimpanan online dari akunnya. Materi itu diperhatikan dengan seksama oleh pria yang kira-kira berusia sama dengan Pak Yahya. Bagian yang paling aku suka dari pekerjaan ini adalah melihat ekspresi klien yang tampak antusias dan senang atas pekerjaan yang aku selesaikan untuk mereka.
Sebelum kembali ke studio, Kak Amy menelepon agar aku mampir sebentar ke pabrik garmen. Karena sudah terlanjur di luar tanpa pikir panjang dan mengesampingkan pegal-pegal, aku datang. Kak Amy meminta perubahan pada isi MoU dan akan dibahas bersama tidak hanya dengan Kak Amy sebagai kepala marketing, namun juga bersama kepala keuangan. Mereka meminta pembayaran per bulan, bukan per proyek. Aku sedikit keberatan, sebab pembayaran per bulan itu besarannya tetap, mau banyak atau sedikit materi yang dihasilkan. Bisa ditebak bahwa mereka sudah pasti akan meminta materi lebih banyak. Kak Amy sebagai kepala marketing tidak memungkiri bahwa respon dan umpan balik pelanggan terhadap media sosial mereka sejak menggunakan jasa kami semakin baik, namun kembali lagi, kepala keuangan hanya berusaha menekan biaya dengan mendapatkan keunggulan yang sama. Memang itu sudah tugasnya. Aku berdalih akan membicarakan ini kepada Ares terlebih dahulu dan akan memberikan jawaban dalam tiga hari. Kepala keuangan mengangguk yakin, Kak Amy tampak ragu.
“Bukan mau kakak, Gam,” jelas Kak Amy saat mengantarku keluar. Langit cepat sekali menggelap, saat aku baru sampai di pabrik ini rasanya masih terdapat semburat cahaya matahari.
“Iya, kak. Paham.”
Jalan macet total sebab akhir pekan. Aku memutuskan berhenti makan malam pada warung sate ayam pinggir jalan sambil menunggu lalu lintas sedikit lengang. Suasana hiruk-pikuk. Pada kiri dan kanan orang-orang berpasangan. Ingatan tentang Aruna menyusup, kami lebih suka makan di pinggir jalan, kalau kata Aruna lebih enak. Aruna suka makan, terlebih jika makanan itu sesuai seleranya dia akan menandainya segera di aplikasi pesan antar. Walau entah kapan dia pesan, nyatanya Aruna hampir selalu masak atau aku bawakan saat pulang malam. Aku mengirimkan foto sate ayam ini dengan pesan:
‘nemu sate enak! kapan kamu balik kita ke sini.’
Aruna membalas segera, ‘bawain, dong!’
Aku terkekeh sambil mengetik, ‘sampai di Tangerang keburu basi’
‘tidur di studio lagi?’ balasan Aruna mengabaikan sate.
‘kayaknya gitu. Kamu makan apa malam ini?’ jawabku.
‘makan ikan bakar, tadi beli. Kamu pulang dong ke kost, kan lebih nyaman.’
‘gak lebih nyaman karena kamu gak ada.’ Balasku
Lalu Aruna membalas dengan mengirimkan emoticon dengan wajah kuning menitikkan air mata. Sebuah visual sedih yang menggemaskan disertai kalimat ‘kangen, ya?’
Membaca pesannya itu lantas membuatku merespons langsung “Pake nanya!” sambil tersenyum, membuat pasangan di kiri menoleh sebentar ke arahku. Lalu aku segera menyimpan handphone kembali setelah membalas pertanyaan Aruna dengan emoticon wajah kuning dengan bibir melengkung ke bawah. Sate ayam segera aku habiskan.
Sampai di studio lagi nyaris pukul sembilan malam. Mengambil satu botol bir dan minum seperti orang kesetanan. Pahit bir sudah tidak terasa sebab haus sekali. Walau sudah menunggu, lalu lintas tidak juga lengang. Baru saja telentang pada sofa, handphone-ku berdering. Pak Yahya menelepon, mengatakan ada yang tidak beres pada kamarku. Seperti mengeluarkan bau tidak sedap.
Mendengar itu, lagi-lagi dengan mengesampingkan lelah, aku memaksa diri untuk bangkit dan kembali berkendara menuju kost. Sepanjang jalan pikiranku berkecamuk memikirkan kemungkinan apa yang bisa membuat kamarku bau, apakah ada tikus mati atau semacamnya? Pikiran paling jelek adalah bangkai manusia. Pikiran orang yang sedang lelah, kurang tidur dan menghabiskan bir satu botol.
Saat sampai, Pak Yahya sudah tidak tampak.
Aku tergesa menaiki tangga. Sesampainya di lantai tiga hidungku mengendus-endus, melacak bau yang tidak sedap. Tidak tercium apa-apa. Hanya bau lorong seperti biasa.
Sesampainya di pintu, hidung kembali mengendus, bahkan di pintu Aruna. Sama, tidak ada bau yang dimaksud Pak Yahya, bahkan dari celah pintu Aruna tercium wangi khasnya, entah karena sangat merindukannya atau memang biasanya mengeluarkan wangi atau jangan-jangan karena baru saja minum bir aku jadi berhalusinasi. Entahlah. Tapi sejauh ini tidak ada bau yang mengganggu.
Aku beralih ke pintu kamar, membukanya.
Menguar wangi strawberry-vanilla yang lebih kuat. Ah! Biarlah walau ini hanya halusinasi, aku justru menikmati dan menghirupnya sedalam mungkin.
Sambil masuk, aku menyalakan lampu, membuka sepatu dan menaruh ransel, menuju pantry, minum. Anehnya walau hanya halusinasi wangi Aruna bertahan lama. Aku diam sebentar, berpikir. Apa jangan-jangan sebenarnya ini bau busuk yang dikatakan Pak Yahya namun karena mabuk hidungku jadi salah fungsi sensitivitasnya. Aku ingin segera membasuh wajah untuk menenangkan pikiran.
“Baaaa!!”
Suara ceria itu mengagetkan tepat saat aku mendorong pintu kamar mandi. Aruna!
Aku benar-benar terkejut, terkesiap. Dia bersembunyi di kamar mandi? Sudah berapa lama?
“Kaget, kan?” ujarnya dengan wajah manis sambil menyentuh hidungku dengan telunjuknya. Aku sontak langsung memeluknya erat kemudian mengayunkannya kiri kanan dengan pelan.
“Kangen,” ucapku lemah.
“Sama, aku juga, “ jawabnya lembut, mengusap-usap punggungku.
Sambil memeluk, aku membawanya ke kasur. Langkah Aruna mundur kecil-kecil dan tampak takut akan terjatuh. Dia tertawa pelan dengan keriaan.
“Mulai mesum. Mulai mesum!” katanya di sela-sela tawa pelannya.
“Enggak …,” bujukku.
Badan kami berdua jatuh ke permukaan kasur yang lembut. Aku tengkurap di sisinya yang terlentang. Kepalaku menghadap Aruna, menatap wajah yang aku rindukan. Kami berbalas pandang. Aku melingkarkan tangan di pinggangnya
“Aku butuh begini sebentar,” ujarku sambil memejamkan mata kemudian.
“Iya …,” Aruna memiringkan tubuhnya, mengusap kepalaku pelan.
“Aku ngajak Pak Yahya ngerjain kamu, biar pulang.”
“Pantesan. Aku pikir aku halusinasi nyium aroma kamu.”
“Halusinasi? Kamu abis minum?” Aruna terdengar kesal.
Aku mengangguk dengan senyum lebar berharap itu bisa menahan Aruna agar tidak marah.
“Bir?” tanya Aruna sedikit mendesak.
Aku mengangguk lagi dan tersenyum lebih lebar dari tadi.
Aruna menghembuskan nafas, walau tidak melihat, aku tahu dia sangat kesal.
“Capek banget, ya?” tanya Aruna kemudian, mungkin setelah menimbang-nimbang bahwa saat-saat seperti ini tidak untuk mengurarakan kalimat kekesalan. “Udah ilang, pas kamu datang,”
“Ah? Masa?”
“Iya. Kamu minta apa aja aku bisa. Apa? Cium? Bisa.” Mataku yang sedari tadi terpejam, kini terbuka lebar.
“Itu, sih maunya kamu!” mendarat cubitan kecil di pinggangku.
“Aduh!” aku berseru lirih.
“Eh? Maaf, kena lukanya, ya?” Aruna hendak bangkit memeriksanya. Aku menahan dia untuk tidak kemana-mana.
“Udah, gak apa-apa. Baringan aja sini,” ujarku sambil menggeser badan mendekat kepadanya.
“Kapan kamu sampai?” tanyaku
“Tuh, kan? Kamu, sih, cuek banget. Gak baca isi e-mail aku, ya?”
“Isinya titipan dokumen kayak biasa, kan?” aku memastikan.
“Iya, sih. Tapi di sana aku tulisin kantor baru aku. Pokoknya aku gak kerja di puskesmas lagi, kemarin terakhir dinas.”
“Kantor?”tanyaku heran.
“Iya. Perusahaan gitu, penyedia jasa home care. Gina yang info ke aku kalau mereka lagi rekrut," jelas Aruna dengan bangga.
“Jadi kamu bakalan di sini lagi?” aku sebenarnya antusias dan senang sekali, tapi mungkin karena lelah, suaraku terdengar tidak begitu bersemangat.
Aruna tersenyum, mengelus kepalaku, “Besok aja ceritanya, yang pasti aku bakalan di sini.”
“Pasti?”
“Hmmmm … mungkin, sih~” Aruna tertawa iseng.
Aku cemberut dengan cara yang bisa menggoda Aruna, membuatnya lagi-lagi menyentuh hidungku gemas, “lagian bentar lagi ada yang ulang tahun, nih!” sambungnya. Aku tersenyum simpul mendengar ujaran Aruna tentang ulang tahun. Terdengar kekanak-kanakan tapi di saat yang sama terasa menyenangkan.
Aruna kembali mengusap kepalaku dengan lembut, terasa sangat nyaman sehingga lelahku luruh.
Aku tertidur.
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)