Read More >>"> RESTART [21+] (Bab 15 (Rindu)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - RESTART [21+]
MENU
About Us  

“Ini data riset pasar dan analisis pesaing. Ada tabel data  keunggulan dan kelemahan hotel. Kalian analisis aja dulu. Nanti sekitar, hmmm …,” Bu Mala mengangkat pergelangan tangannya untuk melihat arloji, “jam tiga saya kembali  buat cek preferensi materi dari kalian.” 

Aku ikut-ikut melihat  jam pada layar ponsel. Jam 11.

Pantas saja Pak Adimas menyebutnya ‘Mbak’ bukan ‘Bu’. Wanita ini masih muda dan segar. Jika diukur dari penampilannya baru berusia sekitar 26 atau maksimal 28 tahun. Rambutnya hitam legam dengan kulit cerah, sangat kontras. Juga untuk perempuan, dia termasuk tinggi, hampir menyaingi Ares, itu berarti lebih tinggi sedikit dariku. Entah karena dia memakai sepatu dengan hak tinggi. Yang jelas, jika menatap Aruna, kepalaku akan sedikit menunduk, sedangkan untuk berbicara dengan Mbak Mala, bola mataku agak ke atas.

Ah! Lagi-lagi Aruna!

Dimana pun, kapan pun, selalu Aruna.

“Oke, Mbak,” sahut Ares. Sambil menerima kembali tabletnya yang sedari tadi dipegang Mbak Mala untuk menjelaskan poin-poin penting. Mbak Mala mengangguk lalu keluar kamar diiringi senyuman manis yang membuat Ares memukul bahuku kuat.

“GILAAA! CAKEP AMAT TUH MBAK MBAK!” Seru Ares semangat.

“Baru kemarin malam lu gelut sama orang gara-gara Trisna, Nyet!” Aku mengambil tablet dari tangan Ares, segera ke meja untuk menganalisa data dari Mbak Mala. Sesekali aku meringis, luka di pinggang ini cukup mengganggu karena terasa perih. Semalaman aku hanya bisa tidur dalam posisi tertelungkup. Aku dan Ares akhirnya tidur di studio, Ares di lantai dua dan aku di sofa bawah. Trisna pulang setelah dia berbicara empat mata dengan Ares. Dengan wajah basah dan sembab Trisna tidak  menghiraukanku yang sedang  berbicara dengan Aruna di telepon. Saat aku masuk kembali, Ares sudah di kamar lantai dua. Entah apa yang terjadi diantara mereka. Pagi sekitar jam sembilan, kami berangkat dengan kendaraan masing-masing dengan ransel gemuk terpasang di punggung. 

Sampai pada hotel, kami langsung disambut oleh Mbak Mala dan segera diantar pada kamar yang telah pihak hotel janjikan. 

“Ya, kan beda. Trisna itu urusan perasaan. Kalau Mala urusan  ketertarikan!” Ares terkekeh sambil mengeluarkan kamera dan peralatan lain dari ranselnya.

“Si anying! Kerja, woy!”

“Iya iya…” celetuk Ares.

Aku diam dan meliriknya sebentar. Ares sibuk memeriksa kamera dan menyusunnya di atas kasur. Setelah kamera beres, kami berdua mulai serius  membuat rancangan konsep dan skenario materi yang menarik agar informatif dan persuasif, sesuai dengan tujuan dan sasaran pemasaran hotel.


 

Saat tengah fokus, dua orang pegawai hotel datang mengantarkan makan siang. Harus aku akui, pelayanan dan menu makanannya sangat memuaskan.  Kami istirahat dan makan. Lalu merokok sambil melihat pemandangan dari lantai lima, tidak perlu ke bawah hanya untuk sekedar merokok, ini smoking room. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang saat aku mengirimkan pesan pada Aruna, memotret pemandangan dan mengirimkannya dengan kata-kata ‘Surprise! Aku di Tangerang!’ penambahan emoticon menggemaskan –wajah kuning tersenyum lebar. Tidak mendapat balasan. Wajar. Dia kerja. Aku dan Ares juga kembali bekerja, membuat konsep.



 

 Tepat sesaat Ares menyimpan data cadangan konsep yang sudah selesai, kamar diketuk dan Mbak Mala datang. Kami bertiga duduk pada sofa yang mengepung meja bulat kecil di tengahnya, membahas rancangan konsep. Mbak Mala manggut-manggut membaca setiap tulisan pada tablet. Dengan beberapa koreksi, akhirnya rancangan itu disetujui. Mbak Mala mengatakan sebaiknya untuk pengambilan foto dan video ruangan, kamar dan fasilitas hotel, dilakukan sekarang dan usahakan agar selesai paling lama jam tujuh malam agar tidak mengganggu kenyamanan tamu yang mulai istirahat. Lalu dilanjutkan besok setelah subuh, untuk meliput kegiatan pada dapur hotel dalam mempersiapkan sarapan. Tidak luput membuat materi berupa foto dan video hidangan yang telah disusun maksimal. Ares lebih atraktif dan komunikatif menjelaskan kepada Mbak Mala setiap ada pertanyaan. Sepertinya Ares benar-benar menyukai paras wanita yang berhadapan dengannya kini. 

Ketika Ares menanyakan apakah Mbak Mala bersedia mengantar kami untuk cek lokasi shooting, jawaban Mbak Mala melegakan, “Boleh, saya kosong satu jam sebelum  pulang.”

Akan tetapi, kalimat setelahnya berhasil membuat Ares mati gaya, “Sebelum suami saya jemput.” 

Sungguh dua kalimat dengan jeda yang kurang ajar, sempat memberi Ares harapan.

Aku sudah tidak bisa menahan tawa, sehingga akhirnya tertawa dengan berusaha profesional –bibir terkatup kencang selagi dadaku bergetar akibat derai tawa dari dalam, aku membuang muka. Akhirnya setelah pembicaraan selesai,  kami bertiga berkeliling hotel dengan Ares yang sudah luntur semangatnya. 

Sesuai perkataan Mbak Mala, selama satu jam dia menemani kami shooting dan selama satu jam itu juga materi untuk empat tipe kamar sudah selesai dikumpulkan. Mbak Mala pamit saat kami akan berpindah ke lokasi berikutnya: kolam renang. 

“Kalau perlu apa-apa, kalian bisa telepon nomor ini,” ujar Mbak Mala sambil menyerahkan satu kartu nama, “Dia resepsionis yang bertugas sampai malam nanti. Tadi saya juga udah sampaikan ke dia.”

Ares menerimanya dan menyelipkan kartu nama itu pada kantong celana.

Dengan tepukan ringan pada lengan Ares, Mbak Mala pergi. Meninggalkan Ares ternganga. 

“Bahasa cinta nya physical touch! Gua belum apa-apa aja di tepuk mesra!” celetuk Ares.

“Mesra apaan? Itu basa-basi, bego!” seruku.

“Ah? Lu iri doang!” Ares berkilah

“Dih!”
 

Kolam renang selesai, kami beranjak menuju lobby. Seseorang menghampiri. Memperkenalkan diri  sebagai resepsionis yang kartu namanya diberikan Mbak Mala tadi. Rega namanya. 

“Gak apa-apa, bisa kok,” ujar Ares saat Mas Rega berusaha membantu.

“Ntar kalau perlu, kami panggil, Mas,” sambungku.

Mas Rega mengangguk. Lalu seorang tamu datang dan dia kembali pada posisinya, meja resepsionis. 


 

Handphone berdering.

Aruna menelepon.

Aku menjauh dari Ares, berjalan ke luar.


 

Hallo,” sapaku.

“Gam? Kamu beneran di Tangerang?” Suara di ujung sana terdengar antusias.

“Iya. Ada kerjaan. Kamu seneng, gak?”

“Kok gak bilang apa-apa pas tadi malam telponan?”

Aku tertawa.

“Sengaja, namanya juga surprise. Kaget, gak?”

“Kamu, ih! Ya seneng, dong. Kaget juga.”

“Syukur, deh! Kamu udah pulang?”

“Udah. Lagi duduk sebentar di puskesmas. Aku baru baca chat kamu. Hape aku di loker.”

“Malam nanti aku jemput ya, kita main.”

“Jemput di panti?”

“Iya. Kamu di panti kan nanti malam?”

“Di panti, sih… Tapi aku aja, deh, ke tempat kamu. Gak perlu dijemput.”

“O-ohh~ Oke. ntar aku kirimin nama hotelnya,” aku dengan cepat memahami situasi Aruna –tidak mau keluarga di pantinya tahu.

“Iya…”

“Aku lanjut kerja, ya? Kamu pulangnya hati-hati.”

“Iya. Miss you, Gam!” Dia mengatakan ‘miss you’ dengan berbisik.

So do I.” Aku menutup telepon dengan penuh keriaan. Lalu dengan cepat mengirimkan nama hotel beserta nomor kamar.

Kemudian masuk menemui Ares. Ares tampak mengangkat tripod.

“Udah, udah. Selesai di sini. Lanjut ke function room.” Ujar Ares.

Aku menuju resepsionis, meminta Mas Rega memberikan akses.


 

Tepat saat adzan Maghrib, pekerjaan kami selesai untuk hari ini. Sesampainya di kamar, Ares langsung rebah di kasur dengan tangan merentang ke atas, “Capek!” 

Tripod yang masih terpasang kamera, kertas-kertas, tablet bahkan beberapa kabel-kabel kami biarkan berantakan.

Aku langsung ke kamar mandi, membersihkan diri, termasuk membersihkan luka dan mengganti perbannya. 

“Kenapa gak bilang aja, sih, sama Aruna?” tanya Ares mendengar aku meringis saat membuka perban. Memanfaatkan cermin besar di kamar mandi aku melihat bahwa darah sudah tidak sebanyak sebelumnya.

“Panjang ntar urusannya. Besok aja sampai Jakarta gua cek ke rumah sakit.” jawabku seadanya. 

Sorry, Gam. Lu jadi ikut-ikutan.”

“Yop! Santai…” 

“Cepetan. Gua mau mandi.”

“Ntar…”

 

Hening, bahkan TV tidak menyala, hanya terdengar suara Ares yang mulai mendengkur pelan, dia ketiduran. Saat tengah fokus membersihkan luka aku mendengar pintu kamar diketuk beberapa kali. 

“Res! Ares! Woi!” Aku melempar kaosku pada Ares agar dia bangun.

“Hah?” Ares bangun gelagapan.

“Ada orang.” kataku.

“Hah?”

“Hah heh hah heh! Di depan ada orang!” telunjukku mengarah pintu.

“Ohhh~ oke oke!” Ares berdiri sambil mengusap wajahnya.

Terdengar Ares berbincang sebentar dan mempersilahkan seseorang masuk, aku langsung menutup rapat pintu kamar mandi yang sedari tadi terbuka sedikit.

Mungkin saja  yang datang adalah Mas Rega untuk meminta kembali akses function room. Aku kembali melanjutkan pekerjaan, kini memasang perban.

Pintu kamar mandi diketuk, “Gam?”

Aku terkejut. Itu suara yang aku kenal.
“Runa?”

“Ya. Ini aku.” Jawab Aruna cepat.

Aku membuka pintu, menyembunyikan tubuh pada balik pintu yang sengaja tidak aku buka lebar.

“Hai… Udah datang? Bentar, ya?”

Aku menutup pintu kembali dan mencari-cari kaos yang baru aku ingat baru saja aku lemparkan ke  Ares.

“Runa? Tolong ambilin itu…” Aku terkekeh sambil mengintip dari balik pintu. Aruna menyilangkan tangannya dengan tatapan menuntut penjelasan.

“Gak usah disembunyiin. Sini lihat lukanya.” Aruna mendorong pintu untuk masuk. Aku terkesiap lalu melirik Ares yang cekikikan pura-pura fokus menyusun barang. 

“Gak apa-apa, kok. Tunggu sebentar, aku dikit lagi selesai.”

“Aku mau lihat lukanya,” tatapan itu lagi,  menekan dan mendesak. Aku pasrah. Akhirnya Aruna masuk disertai siulan usil dari Ares. 

Terlihat dari pantulan cermin Aruna yang menggelengkan kepala melihat luka. Kemudian dengan sigap membersihkan luka itu, mengambil handuk dan membasahinya dengan air hangat. Saat terkena alkohol, aku meringis. Perih.

“Tahan sedikit,” pinta Aruna.

Aku diam.

“Kok bisa?” tanya Aruna.

Aku menghela nafas pelan. Tidak bisa mengelak lagi sehingga aku menceritakan kejadian kemarin malam dengan singkat. Dan benar saja, setelah menghela nafas kesal akhirnya kamar mandi ini penuh dengan gaungan omelan panjang Aruna. Dia tidak mempermasalahkan perkelahian. Aruna paham benar hal itu tidak bisa dihindarkan. Aruna hanya kesal kenapa tidak ada satu orang pun yang memberitahukan bahwa aku mendapatkan luka dari perkelahian itu, lebih kesal lagi karena ternyata aku yang meminta Ares dan Trisna untuk merahasiakannya darinya.


 

“Gam,  gua keluar bentar, yak, nyari rokok.” Ares mengintip dari pintu. Aruna masih fokus dengan luka, pandangannya tidak kemana-mana. Senyum Ares menunjukkan kepuasan terhadap sesuatu. 

Monyet  Lu! 

Bisikku pada Ares. Lagi-lagi Ares cekikikan. Sebelum pergi, dia sempat membuat gerakan dengan kedua tanganya menunjukkan isyarat dua orang berciuman dan lagi-lagi melemparkan senyum nakal dan kedipan jahil.


 

“Nah, udah.” Aruna selesai menutup luka, “kamu bersih-bersih dulu.”

“Makasi, Runa.” ujarku.

Aruna mengangguk lalu keluar sambil menutup pintu kamar mandi. Aku melihat dari cermin, luka itu tertutup rapi, beda sekali dengan yang aku lakukan. Aku mandi.


 

“Abis ini kita keluar, yuk. Main sekalian makan.” ajakku saat baru selesai dari kamar mandi, mengeringkan rambut dengan handuk. 

“Boleh, tapi aku cuma bisa sampai jam sembilan,” jawab Aruna. Dia duduk manis di kasur. Aku meraih ransel, mencari kaos yang bersih. Lalu mengeluarkan casing handphone yang di pesan Aruna dan sebuah tumbler bergambar strawberry. 

“Nih pesanan kamu,” aku mengulurkan casing handphone, “kalau yang ini kamu bawa kerja, ya…” sambungku lagi saat memberikan tumbler.

“Waahh! Thank you! Aku pasti bakal bawa ini besok ke puskesmas,” ujar Aruna sambil mengangkat botol minum itu. Dilihatnya botol itu lamat-lamat sambil tersenyum.  

“Oh, ya! Besok kamu mampir ke puskesmas, ya. Aku siapin obat luar sama obat minum,” pinta Aruna.

“Oke, besok pas mau balik aku mampir.”

“Loh? Kamu balik besok?”

“Iya. Kenapa?”

Aruna menunduk menyembunyikan kesedihannya.

“Kangen banget, ya?” godaku yang kini duduk tepat di sampingnya. Aku menyenggolnya pelan dengan bahu, membuat dia tersenyum.

“Iya, aku kangen tapi gak pakai banget, kangen aja,” Aruna kemudian berdiri tepat di hadapanku, mengambil handuk yang sedari tadi aku pegang dan membantu mengeringkan rambutku.

“Aku yang kangen BANGET!” jawabku sambil menekankan kata ‘banget’. Aruna terkekeh. 

Sejak bersama Aruna aku menyadari bahwa rindu itu konsekuensi dari cinta. Banyak hal yang bisa membangkitkan rasa rindu, bisa jadi orangnya, kenangan bersama orangnya bahkan untuk kasus rinduku, selain merindukan Aruna, aku bahkan rindu bagaimana diriku saat bersama dengannya. Aku menatapnya, dia masih tersenyum sambil mengusap-usapkan handuk pada rambutku. 

“Aku rindu, Runa.” Sekali lagi aku mengatakannya.

Aruna mengangguk, “Iya, .aku juga. Aku bercanda tadi bilang kangen biasa.”

“Nyata nya?”

“Kangen banget. Sama kayak kamu,” Aruna mencium kepalaku setelah mengucapkan itu. Aku mengangkat pinggangnya, mendudukkan dia ke pangkuan. Dia tersenyum dan membelai rambutku. Saat dia perlahan melingkarkan tangannya pada pundakku, kami berciuman.

Aku memagut bibirnya dengan gelora semangat yang lebih dari biasanya karena sedang membayar tuntas rindu yang terpendam. 


 

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu membuyarkan. Kami saling berpandangan dan tertawa malu setelahnya.  Aku bahkan sampai menyandarkan kepala pada bahu Aruna untuk menyembunyikan wajah yang memerah.

Aruna segera turun dari pangkuan. Aku membukakan pintu, Ares telah kembali. 

“Gua mau keluar, pergi makan,” ujarku pada Ares sambil meraih kemeja flanel tergantung.

“Yok!” sahut Ares.

“Lah? Siapa yang ajakin elu?” jawabku kesal.

Ares merengut dan melihat Aruna untuk  meminta dukungan.

“Gak apa-apa, Gam. Ares ikut aja,” bujuk Aruna padaku.

Seketika wajah merengutnya berubah  sumringah. Alisnya naik tinggi sekali dengan senyuman kepuasan, lagi-lagi.

Kini aku yang merengut, “Ya udah ….”

Kami bersiap. Aruna menaruh kembali handuk basah pada kamar mandi, menggantungnya. Lalu dia merapikan tampilannya pada cermin.


 

“Bibir lu lap dulu.  Pink, goblok!” bisik Ares padaku.

Aku tersentak dan langsung menyeka bibir, “Sengaja, buat manas-manasin lu,” jawabku berkilah. Sejujurnya aku tidak menyadari bahwa lipstik Aruna melekat.

Ares nyengir, “Dih? Biasa aja kali!”
 

Malam itu, kami makan dengan obrolan serba asal memburai jauh, tertawa cekikikan hingga terbahak.  Aruna dengan sangat paham situasi, dia bahkan tidak menanyakan Trisna walaupun pertanyaan itu telah sampai pada kerongkongannya. Lalu sisa waktu menjelang jam sembilan kami habiskan berkeliling Tangerang dan berhenti pada sebuah pasar malam. Aruna memilih gelang, Ares memilih ikat rambut dan aku membeli beberapa permainan gelembung tiup untuk adik-adik Aruna di panti asuhan. Aruna sangat berterima kasih.

“Mereka bakalan lompat kegirangan, nih!” kata Aruna.


 

Jam sembilan kurang sedikit, aku dan Ares berhenti beberapa meter dari panti asuhan, menurunkan Aruna yang tidak mau diantar tepat di depan pagar. Kami menunggunya hingga masuk dan Aruna melambaikan tangan sesaat sebelum dia menutup pagar. 

“Sabar banget, lu ya?” ujar Ares, dia menghisap dalam-dalam rokoknya. Akhirnya dia bisa merokok lagi setelah Aruna tidak ada. 

“Yah, mau gimana. Moga kedepannya lancar semua.”

“Gua doain, deh!”

“Kayak lu pernah berdoa aja.”

Kami tertawa. 

(Bersambung)

 

Restart ©2023 HelloHayden

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • suryade

    Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah

    Comment on chapter Bab 14 (Cukup)
  • ana_yo

    Asli. Cerita lain yang umur SMA udah nikah, yang nikah sama CEO posesif, yang sibuk urusan cinta. Cerita ini tuh beda banget. Kebagusan tauuuu 😱. Kompleks dan real banget. Tokoh utamanya gak egois tentang dia terus. Tokoh2 lain mengisi baik. Yang paling suka mereka khas remaja semua. Lincah, semangat, pintar dan jahil.

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • aprillia

    Cerita nya bagus thor 😭 tokoh utamanya berhasil menggeser standar kim soo hyun ku. mau ngefans sama si gamma tapi dia fiksi. Tolong bgt 😭

    Comment on chapter Bab 18 (Pintu Kaca)
  • hamid

    Inj bagus banget woii kata2 nya

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
WALK AMONG THE DARK
743      401     8     
Short Story
Lidya mungkin terlihat seperti gadis remaja biasa. Berangkat ke sekolah dan pulang ketika senja adalah kegiatannya sehari-hari. Namun ternyata, sebuah pekerjaan kelam menantinya ketika malam tiba. Ialah salah satu pelaku dari kasus menghilangnya para anak yatim di kota X. Sembari menahan rasa sakit dan perasaan berdosa, ia mulai tenggelam ke dalam kegelapan, menunggu sebuah cahaya datang untuk me...
My Idol Party
1061      547     2     
Romance
Serayu ingin sekali jadi pemain gim profesional meskipun terhalang restu ibunya. Menurut ibunya, perempuan tidak akan menjadi apa-apa kalau hanya bisa main gim. Oleh karena itu, Serayu berusaha membuktikan kepada ibunya, bahwa cita-citanya bisa berati sesuatu. Dalam perjalanannya, cobaan selalu datang silih berganti, termasuk ujian soal perasaan kepada laki-laki misterius yang muncul di dalam...
Niscala
299      190     14     
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.
Lost Daddy
4301      918     8     
Romance
Aku kira hidup bersama ayahku adalah keberuntungan tetapi tidak. Semua kebahagiaan telah sirna semenjak kepergian ibuku. Ayah menghilang tanpa alasan. Kakek berkata bahwa ayah sangat mencintai ibu. Oleh sebab itu, ia perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikirannya. Namun alasan itu tidak sesuai fakta. AYAH TIDAK LAGI MENCINTAIKU! (Aulia) Dari awal tidak ada niat bagiku untuk mendekati...
Orkanois
2190      850     1     
Fantasy
Ini adalah kisah yang ‘gila’. Bagaimana tidak? Kisah ini bercerita tentang seorang siswa SMA bernama Maraby, atau kerap dipanggil Mar yang dengan lantang menginginkan kiamat dipercepat. Permintaannya itu terwujud dengan kehadiran Orkanois, monster bertubuh tegap, berkepala naga, dengan tinggi 3 meter, dan ia berasal dari planet Orka, planet yang membeku. Orkanois mempunyai misi berburu tubuh ...
Story of time
1990      774     2     
Romance
kau dan semua omong kosong tentang cinta adalah alasan untuk ku bertahan. . untuk semua hal yang pernah kita lakukan bersama, aku tidak akan melepaskan mu dengan mudah. . .
AVATAR
7090      2007     17     
Romance
�Kau tahu mengapa aku memanggilmu Avatar? Karena kau memang seperti Avatar, yang tak ada saat dibutuhkan dan selalu datang di waktu yang salah. Waktu dimana aku hampir bisa melupakanmu�
Something about Destiny
123      105     1     
Romance
Devan Julio Widarta yang selalu dikenal Sherin sebagai suami yang dingin dan kurang berperasaan itu tiba-tiba berubah menjadi begitu perhatian dan bahkan mempersiapkan kencan untuk mereka berdua. Sherin Adinta Dikara, seorang wanita muda yang melepas status lajangnya pada umur 25 tahun itu pun merasa sangat heran. Tapi disisi lain, begitu senang. Dia merasa mungkin akhirnya tiba saat dia bisa mer...
Dessert
889      455     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
Ketika Kita Berdua
31622      4296     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...