Di lobby Fakultas Seni Rupa dan Desain, aku duduk bersama teman-teman yang tidak aku kenal—hanya tahu wajah. Walau ini sudah libur semester genap, namun mahasiswa yang akan ujian akhir diminta datang untuk sesi bimbingan terakhir. Kami duduk dengan sabar, sebagian membuka laptop, sebagian membaca jurnal, sebagian lagi diam saja (atau bisa aku katakan berkontemplasi) sambil menunggu giliran bertemu dengan dosen pembimbing. Aku mendapatkan jadwal mempresentasikan karya sebagai ujian akhir pada bulan Agustus minggu ke tiga, empat hari setelah peringatan kemerdekaan, dua minggu perkuliahan semester ganjil baru di mulai. Aku harus mencoret tulisan pada buku bersampul cokelat yang tertulis akan ujian pada semester delapan, nyatanya karena sibuk membangun bisnis baru akhirnya aku harus rela jadwal ujian mundur, tidak sesuai rencana awal. Sudah hampir jam tiga sore, berarti sepuluh menit lagi tepat satu jam sudah aku duduk di kursi ini. Mungkin jika kursi ini bisa mengeluarkan tangan, dia akan mendorong bokongku untuk segera berdiri, terasa mulai panas di bawah sini.
Sudah lewat sebulan sejak kejadian Aruna lari tiba-tiba meninggalkanku di parkiran bersama Pak Yahya ketika mendengar Bu Sarah datang. Saat aku sampai pada lantai tiga, terlihat Aruna berdiri di depan pintu bersama Bu Sarah. Bu Sarah memperhatikanku dengan kulit di antara alisnya mengerut. Tatapan Bu Sarah sedikit menekan. Aruna, tanpa sempat berganti pakaian pergi beberapa hari dengan Bu Sarah yang kemudian aku ketahui bahwa saat itu mereka ke Tangerang. Kami berpapasan, Aruna hanya menunduk namun Bu Sarah masih memperhatikanku dengan tatapan yang lebih mengintimidasi lagi. Aku sengaja tidak masuk kamar, memacu diri sendiri dengan tebakan yang bahkan aku sendiri tahu jika tidak tepat maka menimbulkan kekecewaan. Apakah Aruna akan menoleh barang sebentar?
Benar. Aruna menoleh sesaat sebelum kakinya menginjak anak tangga pertama. Walaupun tebakanku benar, namun ternyata bukan kesenangan yang datang, bukan juga kekecewaan, tetapi rasa perih dengan cepat merayap masuk melalui sela-sela rusuk. Tatapannya bak kolam yang permukaannya licin membeku karena suhu yang jauh di bawah nol derajat, datar dan dingin. Selalu begitu jika sudah berkaitan dengan hadirnya Bu Sarah. Setelahnya tidak ada telepon dan pesan masuk selama dua hari—selama dia di Tangerang. Aku juga dengan enggan memulai duluan, saat pesan sudah siap akan dikirimkan, jempolku kembali menghapus huruf-huruf itu atau saat ingin sekali meneleponnya aku justru akan mencari-cari kesibukkan agar segera lupa. Aku hanya merasa bahwa aku berhak atas penjelasan sehingga dia yang seharusnya memulai duluan. Namun tetap saja, tiap sepuluh hingga lima belas menit aku selalu mengetuk layar ponsel, berharap ada notifikasi entah pesan atau sebuah panggilan tidak terjawab dari Aruna. Memang sedari dulu, sudah ku sadari –lalu terbiasa, bahwa hubungan ini tidak hidup dari saling mengirim pesan mesra atau telponan hingga larut malam membicarakan hal-hal trivial yang bisa dilupakan dengan mudah besoknya. Hubungan ini mengalir dalam rutinitas normal. Kencan kami kebanyakan hanya berakhir pada minimarket, belanja bulanan atau sekedar memenuhi kebutuhan camilan, meributkan mana merk roti yang paling baik atau rasa keripik kentang yang paling enak atau hal-hal semacamnya, dengan tidak ada kesimpulan akhir, justru kami memilih merk atau rasa yang tidak kami ributkan. Aruna juga bukan tipe suka jalan-jalan menghabiskan waktu tanpa tujuan jelas. Jika ingin nonton film terbaru, kami akan menjambangi mal, jika tidak, Aruna akan enggan untuk sekedar berkeliling. Lagipula kami sudah disibukkan dengan segala persiapan untuk kelulusan sehingga mungkin memang belum waktunya untuk lebih banyak bermain.
Aku sepenuhnya percaya pada Aruna, aku juga melihat jelas bahwa Aruna juga begitu terhadapku. Tapi makin kesini kata ‘percaya’ itu tidak lagi sejelas di awal-awal, sudah memudar. Aku bukan ragu dia akan bersama pria lain di sana, ini bahkan tidak pernah masuk kedalam konteks, menyentuhpun tidak. Aku meragukan diri sendiri apakah kepercayaanku padanya terlalu permisif? Pertanyaan ini memunculkan kekhawatiran dan pertimbangan. Bayangkan saja sudah delapan bulan kami menjalani hubungan kekasih, mungkin sudah saatnya aku mengetahui cerita Aruna. Aku sudah menceritakan semuanya tentang diriku, tidak ada lagi rahasia, bahkan jika dia menanyakan sesuatu, aku akan dengan sangat cepat menanggapi dan memuaskan rasa penasarannya.
Ibu sempat bertanya mengenai orang tua Aruna dan aku mengatakan bahwa aku tidak tahu—sambil mengangkat bahu, Aruna tidak bercerita lalu dengan singkat aku menyampaikan bahwa Aruna tumbuh dan besar di panti asuhan. Raut wajah ibu tampak ragu, bukan ragu dengan Aruna, ibu justru ragu bahwa aku tidak serius dalam hubungan ini. “Kamu jangan main-main sama perasaan perempuan.” Pesan ibu. Saat itu aku hanya diam lalu setelah ibu dan Marwa pulang, perkataan ibu membuat pikiranku melayang dan tenggelam dalam ingatan meresahkan, mengait-ngaitkan setiap peristiwa ganjil yang pernah terjadi antara aku dan Aruna, lalu selalu berujung pada kesimpulan yang sama: Aruna belum sepenuhnya percaya untuk berbagi cerita.
Selasa pagi, hujan mengguyur Jakarta. Saat aku memesan taksi online menuju studio, Aruna kembali. Aku melihatnya dari jendela, perasaanku sedikit berat sehingga nafas terhembus panjang, memantul pada jendela kaca dan meninggalkan embun. Mobil sedan Bu Sarah masuk mengantar hingga tepat di depan gedung untuk menghindari Aruna terkena hujan saat keluar. Sebenarnya aku ingin sekali turun untuk menjemputnya. Dalam bayanganku, aku akan menyambutnya dengan senyuman dan rentangan tangan yang lebar, lalu dia berlari kecil untuk masuk dalam pelukan. Itu akan cukup hangat apalagi saat hujan. Tapi aku ingat, dalam hubungan kami tidak pernah terjadi hal romantis sedramatis itu. Tidak perlu berharap hal muluk, cukup dengan aku turun untuk menyambutnya saat ada Bu Sarah di sisinya rasanya sudah menjadi kejadian luar biasa. Beberapa kali aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan terkait dengan Bu Sarah, bisa saja Aruna akan rikuh jika Bu Sarah –orang yang berpengaruh dalam pendidikannya, mengetahui jika disini anak angkatnya memiliki pacar. Seolah memiliki pacar berarti bersenang-senang terus-terusan tanpa memikirkan peran dan tanggung jawab.
Aku diam di tempat dan tidak memutuskan untuk turun, memilih fokus pada taksi online dan berharap sampai tepat waktu pada studio untuk membalik tanda ‘Closed’ ke ‘Open’ tepat jam sepuluh.
Saat bekerja, memotret sebuah produk makanan olahan rumahan, tanganku memang lincah menekan tombol shutter, namun Aruna tetap berhasil menyusup dalam pikiran. Aku berharap cukup besar mengingat Aruna penuh kejutan, ingat saat Aruna tidak membalas pesanku dulu, saat-saat awal aku mencoba mendekatinya, tepat aku memutuskan untuk menyusul Ares bekerja pada sebuah mal, Aruna datang dengan mengatakan dia ingin mengunjungiku dan beralasan handphone nya jatuh dan rusak sehingga tidak bisa membalas pesan. Lalu saat dia tiba-tiba berbisik dekat telinga, saat dia membelikan makan siang, saat dia mengirimkan pesan hanya untuk memastikan perasaanku padanya hanya candaan atau sungguhan, saat dia justru memilih minuman bersoda daripada jus agar aku yang meminum jus tersebut, saat dia tiba-tiba diam melihatku mengenakan baju tanpa lengan, yang aku tahu setelah dia mengakui bahwa saat itu sebenarnya dia gugup dan malu, tapi dia juga suka “Lebih cakep!” katanya. Semuanya kejutan, setidaknya hal itu membuatku senang dan berdebar. Kali ini, mengetahui kunci kamarku dia pegang satu membuat harapanku muncul: melihat Aruna duduk santai dengan TV menyala di kamarku saat aku kembali dari studio malam hari dan menyapa “Hai, Gam?” sambil tersenyum manis. Itu saja, hanya itu saja. Aku rasa itu bukan harapan yang besar. Kenyataannya tidak, bahkan setelah tiga hari dia sampai di Jakarta. Dia hanya keluar untuk kuliah, itupun pagi sekali, sehingga aku tidak bisa bertemu dengannya sebelum berangkat ke studio. Dia memberitahuku dengan singkat melalui pesan, atau mengabarkan akan belajar bersama teman-teman. Jangankan datang ke studio sekedar bermain atau melihatku bekerja, dia bahkan tidak mengetuk pintu kamarku walau dia tahu aku sudah kembali dari studio.
Suatu malam, aku mulai resah dengan keadaan ini, saat Ares mengambil alih pekerjaan, aku istirahat, menghempaskan diri pada sofa depan, meraih handphone dengan kasar dari kantong celana. Jempolku mengetuk kuat layar ponsel karena ada sedikit emosi menyertainya, mengirimkan pesan pada Aruna, ‘kamarku, studioku, bebas kamu datangi kapan aja.’ Setelah tiga puluh menit saat aku berpikir tidak akan mendapatkan balasan, Aruna menjawab dengan mengirimkan foto dirinya yang sedang duduk dilantai bersandar pada dipan kasurku, tampak buku-buku di sampingnya, termasuk buku tebal 600 halaman itu, wajahnya tersenyum manis, matanya berbinar, dia mengenakan kaos abu-abu kebesaran dan celana pendek selutut. Sebuah foto sederhana, namun karena beberapa hari ini situasi kami membingungkan—setidaknya begitu menurutku, melihat foto itu saja sudah mampu membuatku lemah. Aku melihat foto itu berkali-kali, membesarkannya tepat hanya pada wajah, terkhusus matanya. Perasaan ganjil muncul, aku merasa tolol dengan cara yang menyenangkan. Rasanya aku ingin marah tapi sambil tertawa, aku ingin menangis tapi sambil bersuka-cita. Namun semuanya aku tahan dengan memejamkan mata sambil kembali mengatur perasaan, lalu membalas pesannya segera, ‘tetap di sana sampai aku datang, aku bawain makan malam.’ Aruna tampak membacanya segera dan tidak membalas lagi. Benar kata Ares, cinta akan membuatmu merasakan kebahagiaan dan kesedihan di waktu yang sama. Empat puluh lima menit kemudian aku pulang. Melihat Aruna duduk di lantai dengan senyuman manis dan menyapaku, “Hai, Gam…” rasanya nafasku benar-benar lepas. Lalu perlahan menghampirinya, tiap langkah yang kuambil, menyadarkanku bahwa ternyata aku bisa sebodoh ini dalam mencintai seseorang.
“Runa, aku rindu.”
Dari banyaknya pertanyaan yang menggebu-gebu, justru satu kalimat itu yang terlontarkan dari bibir yang gemetaran. Aku duduk bersisian dengannya, memeluk lutut sendiri. Walau sangat dekat tapi seolah ada batas lagi diantara kami. Batas yang dulu membumbung tinggi dan telah berhasil rubuh, kini perlahan mulai berdiri lagi. Setidaknya dia tahu dia berhutang penjelasan, terlihat dari caranya menatapku, penuh rasa bersalah. Dengan gerakan bibir, tanpa suara dia mengatakan “Aku juga rindu.” Lalu jari-jemarinya menyisir rambutku, “kamu bisa pakai ikat rambut aku,” katanya. Aku tidak tertarik membahas masalah rambut, atau masalah pinjam meminjam ikat rambut, atau bahkan gedung sebelah yang masih renovasi. Semua hal lain tidak terasa penting saat ini.
“Boleh aku peluk?” tanyaku ragu. Lihat? Bahkan batas itu kini jelas, aku sampai bertanya dulu untuk memeluk pacar sendiri.
Mendengar itu, Aruna diam, tangannya bahkan berhenti menyisir rambutku. Tangan itu perlahan turun ke pipi, mengusapnya dengan jempol, aku menjatuhkan kepala ke arah tangannya berada. Dia tersenyum. Kemudian wajahnya maju mendekati bibirku. Aku menerimanya dengan perasaan haru. Setelah ciuman singkat itu aku memeluknya, mendekapnya erat-erat, mataku terpejam sambil menghirup aroma strawberry-vanilla dari tubuhnya. Aku bahkan bersandar manja pada pundaknya. Semua yang terlewati dengan tidak baik diantara kami rasanya luruh hanya dalam satu dekapan erat. Cukup lama aku mendekapnya hingga dia mengatakan, “kalau lebih lama, aku bakalan berakhir di rumah sakit.”
“Kenapa?” tanyaku, masih sambil memeluknya.
“Aku kehabisan nafas,” jawabnya cepat. Lalu aku tertawa pelan sambil melepas pelukan, tawa pertama setelah seminggu ini banyak bingungnya. “Aku siap sedia kasih nafas buatan,” aku menyela.
Saat makan, Aruna meminta maaf berkali-kali. Permintaan maafnya terdengar sangat tulus, suaranya parau dan berkali-kali dia berdeham untuk membersihkan tenggorokannya yang sudah mulai tebal oleh rasa bersalah. Benar, dia rikuh jika Bu Sarah tahu hubungan ini.
“Aku terkesan kurang ajar kalau Bu Sarah tau aku pacaran,” jelasnya lagi. Dia juga menyampaikan akan tetap merahasiakan ini tidak hanya dari Bu Sarah, tapi juga dari semua yang berkaitan dengan panti asuhan. Lalu aku dengan hati-hati menanyakan orang tua Aruna. Aruna mengangguk, “Aku paham, aku bakalan cerita. Kamu berhak tahu, Gam.”
Aku mengangguk. Tidak sabar menunggu dia menceritakan kisahnya.
“Tapi syaratnya makan kali ini kamu harus habis,” Aruna menunjuk dengan dagunya bahwa sate ayam yang kubawa baru sesuap saja masuk perut.
“Siap, Nona!” Seruku, sambil membuat gerakan hormat komandan.
Kami melanjutkan makan. Aku yang dengan susah payah menghabiskan sate itu membuat Aruna tertawa. Aku mengatakan bahwa bisa saja aku muntah setelah ini. Namun Aruna tetap memaksa dengan mengatakan itu tidak akan terjadi, kalau sampai muntah perjanjian awal batal. Aku meringis. Tak jarang aku tolak makanan ini dengan minum yang banyak. Aruna berseru mengatakan, “Yaiyalah cepat kenyang, makannya satu suap, minumnya habis satu gelas!”
Akhirnya setelah menguatkan mulut untuk mengunyah, meyakinkan lambung bahwa ini perjuangan bersama dan menyemangati tangan sendiri untuk tetap menyuap, sate ayam itu habis tandas hingga ke kuahnya. Suapan terakhir diiringi dengan tepukan tangan Aruna.
“Nih,” Aruna memperlihatkan sebuah foto ketika dia kembali dari kamarnya. Selembar foto dengan latar belakang tugu monas, diambil dengan kamera analog, semburat merah khas foto analog pada sisi kiri menutup sebagian wajah dan badan pria di gambar itu. Sisi kanan memperlihatkan seorang ibu menggendong anak perempuan berusia dua atau tiga tahun.
“Ini aku,” Aruna menunjuk anak kecil itu. Aku manggut-manggut.
“Ini orang tua kamu?” tanyaku sambil menunjuk bergantian dua orang dewasa dalam gambar itu
Aruna mengangguk pelan, lalu dia menceritakan bahwa foto itu diambil saat dia berusia dua tahun, ketika lebaran idul fitri tahun 1997. Mereka hidup dari usaha bengkel ayah Aruna. Namun caturwulan terakhir di tahun yang sama, usaha bengkel itu tersendat dan setelah mati-matian bertahan akhirnya bengkel itu tutup tepat pada akhir tahun. Bukan tanpa alasan, krisis moneter telah menjatuhkan perekonomian. Lalu ayah Aruna beralih profesi sebagai juru parkir dan pekerjaan serabutan lain untuk menghidupi keluarga. Nasib buruk tidak berhenti sampai di sana, ibu Aruna menjadi korban desakan dan himpitan oleh massa yang berdemo menuntut reformasi ekonomi dan politik saat kembali dari mengantarkan makan siang untuk ayahnya. Ibunya sempat dibawa ke rumah sakit. Setelah bertahan dua hari, ibu Aruna meninggal.
“Meninggal? Ibu kamu?” Aku terkejut. Aku akui jika mendengar kata ‘panti asuhan’ yang terlintas dalam pikiranku sendiri adalah ‘orang tua meninggal’, namun mengetahui bahwa ibu Aruna meninggal karena karut marut negara saat itu sungguh memberikan efek kejut luar biasa.
“Iya. 18 Mei 1998, demo massa di Tangerang, Massa Forkot sekitar 9.000 orang melakukan aksi ke gedung DPR. Itu yang aku baca.” Aruna menunduk, menatap kakinya yang dia silangkan, “Ibuk aku meninggal dua hari setelahnya.”
Krisis moneter 1997, praktik KKN, dan pembatasan hak asasi manusia terlebih kebebasan berpendapat oleh pers, menjadi alasan utama rakyat menginginkan era Orde Baru berakhir. Demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa, tindakan represif dari pemerintah, hingga puncaknya pada kerusuhan Mei 1998 berujung pada turunnya Presiden Soeharto dari jabatannya.
Hening sejenak. Aruna sesekali mengusap dahinya, atau meremas jari-jarinya, atau mengalihkan pandangan ke jendela walaupun tidak ada yang bisa dilihatnya dari balik jendela itu, hanya pekatnya malam. Dia hanya berusaha mengeringkan air mata yang sudah melapisi bola matanya.
Ayah Aruna yang sendirian menjadi bingung dan kewalahan merawat Aruna sambil bekerja. Selain harus menutupi biaya sehari-hari ayahnya juga dikejar oleh pihak bank untuk melakukan pelunasan hutang. Bengkel mereka dulu dibuka atas modal pinjaman dari bank. Menurut Aruna, dia hanya ingat sekilas bahwa sejak ibunya meninggal, ayahnya sering melempar barang saat malam sambil berteriak tidak karuan. Saat itu dia akui dia sangat takut, dia ingat suatu malam tertidur di kolong kasur karena menyembunyikan tangis. Ibu Hafsari, ibu panti Aruna kini, merupakan seorang tetangga dan seorang teman bagi ayah dan ibu Aruna, dulunya. Ibu Hafsari bekerja sebagai staff pada panti asuhan. Melihat keadaan itu, Ibu Hafsari mendatangi rumah Aruna, menyarankan agar ayahnya mengadu kepada lembaga yang tepat, dinas sosial. Ayahnya hanya diam, lalu mengatakan tidak punya banyak waktu lagi.
“Beberapa hari setelah Ibu Hafsari datang, aku dibawa bapak ke panti asuhan tempat Ibu Hafsari bekerja. Itulah kebersamaan terakhirku dengan bapak,” papar Aruna dengan wajah yang setengah mati terlihat menahan tangisan.
“Itu kamu ingat semuanya?” Tanyaku pelan menatapnya lekat.
Aruna menggeleng cepat. “Enggak. Ini Ibu Hafsari yang bercerita setelah dia merasa aku mampu menerima semuanya. Aku SMP kelas dua waktu itu.”
Aku mengusap wajah lalu mengusap belakang leher, mengusap ujung hidungku seolah ada cairan yang akan turun, berkali-kali begitu. Menahan sesak di dada mendengar cerita Aruna. Benar-benar menyedihkan. Bolehkah aku mengatakan itu langsung padanya? Tidak. Dia sudah cukup menahan semuanya selama ini sendirian.
Setelah minum, Aruna menyambung ceritanya, dia mengatakan bahwa ayahnya bernama Ari dan ibunya bernama Suhaina, sering dipanggil Una oleh para tetangga, termasuk oleh Ibu Hafsari. Menurut Ibu Hafsari nama Aruna sendiri merupakan perpaduan antara Ari dan Una. Ibu Hafsari mengatakan bahwa ayah Aruna akan pergi sementara meninggalkan Tangerang. Seorang teman mengajak ayahnya bekerja di Palembang. Pak Ari mengatakan akan kembali menjemput Aruna saat semuanya sudah baik-baik saja.
Aruna mengatakan bahwa dia sejatinya orang Tangerang, ayah dan ibunya setahu Ibu Hafsari sudah sejak lama berada di Tangerang, mereka bertetangga bahkan saat ibu dan ayahnya belum menikah. Lalu akta kelahiran Aruna menyatakan bahwa dia lahir pada sebuah klinik bidan di Tangerang. Mendengar cerita Aruna, kami sama-sama berpendapat bahwa jauh sebelum semuanya runyam, ayah dan ibu Aruna adalah pasangan mesra, keluarga harmonis, terlihat dari bagaimana mereka menamai Aruna. Selain perpaduan nama kedua orang tuanya, arti Aruna sendiri dalam banyak cara adalah cahaya, merah, dan lambang kecerdasan. Lalu dalam hati, aku menyetujui, bahwa Aruna telah tumbuh sesuai dengan harapan orang tuanya yang disematkan pada namanya.
“Dimana Pak Ari sekarang?” tanyaku pelan sambil mengusap pipinya yang telah basah oleh setetes dua tetes air mata. Airmata yang jatuh dari mata kiri, melambangkan kesedihan dengan emosi paling dalam, menurut mitos yunani –setidaknya begitu yang pernah aku baca. Entah itu mitos atau tidak, nyatanya jikapun Aruna akan meneteskan airmata pada mata kanannya atau bahkan keduanya, itu sangat wajar. Ini benar-benar kisah hidup yang memilukan.
Aruna menggeleng lemah, “Gak pernah datang, Gam. Aku bahkan gak tahu ayah dimana.” Setelah mengatakan itu air mata Aruna tumpah. Dia menangis namun terlihat berusaha menahannya, dia sesenggukan dengan mengunci kedua bibir membuat badannya bergetar menahan gelombang kesedihan. Aku merasakan bagaimana getaran itu menghancurkan perasaan, aku pernah begitu saat bapak meninggal. Saat itu bagiku situasinya bapak meninggal namun bagi Aruna, ayahnya meninggalkan.
“Nangis aja, Runa. Jangan ditahan,” kedua tanganku mengusap air matanya dan dengan cepat membawa kepalanya mendekap pada dada, membiarkannya menangis dan menyerahkan semua air matanya pada baju kaos yang kukenakan, tidak hanya air mata, air dari rongga hidungnya turut serta membentuk pola. Dia menangis cukup lama, membuatku bertanya-tanya, kapan terakhir kali dia menangisi hidup? Apakah saat itu ada bahu tempat dia menangis? Atau justru dia telan semua tangisnya ke dalam? Pikiranku bodoh. Aku sempat berfikir mungkin saja badannya kecil sebab menelan semua kesedihan sendirian. Pilu telah berhasil menghambat pertumbuhan. Bisakah begitu? Entahlah. Dalam banyak kasus, orang akan semakin kurus jika beban pikirannya terlalu besar.
Sambil sesegukan Aruna masih melanjutkan cerita seolah tidak ingin ada lagi yang membuatku bertanya-tanya. Bahwa foto itu diambil oleh Ibu Hafsari saat mereka bermain bersama-sama ke monas. Bahwa aku tidak perlu khawatir, karena dia punya asal-usul yang jelas. Bahwa Bu Sarah menatapku saat itu justru karena dia seperti pernah melihatku. Tentu saja, aku pernah merekamnya saat wawancara –acara festival makanan, namun Aruna tidak menjelaskan lebih kepada Bu Sarah, membiarkan Bu Sarah mengingat-ingat dalam diam. Lalu dia juga menyampaikan pada awalnya dia ragu akan perasaannya sendiri, apa dia mampu mencintai dengan segala tanggung jawab yang dia bawa pada pundaknya dan dengan segala kisah sedih di hidupnya. Mendengar semua yang diceritakan Aruna membuat dadaku berdegup dengan tidak nyaman, pipiku terasa panas, mataku dilapisi air walaupun tidak sampai turun, tenggorokanku perih menahan emosi. Dia dalam pelukan menangisi semuanya, aku yang memeluknya berusaha menahan semuanya.
Usapan-usapan lembut tidak putus aku berikan pada punggungnya yang bergerak naik turun karena tangisan hingga tahu-tahu Aruna sudah diam dan tenang. Tidak terdengar lagi sesegukan, kaosku tidak terasa hangat lagi sebab tidak ada air yang keluar dari mata atau rongga hidungnya. Aku mengintip sedikit, Aruna tertidur karena telah lelah menangis. Aku menggendongnya dengan hati-hati, dia terbangun sebentar saat aku sudah berdiri, “Gam?” katanya dengan setengah kesadaran. Matanya yang sembab tidak sepenuhnya terbuka. Aku membalas dengan senyuman, saat aku berjalan menuju kasur, Aruna sudah memejamkan matanya lagi.
Malam itu untuk pertama kali, Aruna tidur dikamarku, di kasur berselimut tebal hingga menutup lehernya dan aku memilih tidur pada sofa. Menjelang subuh aku susah tidur, lalu membuka jendela, merokok satu dua, membuang asapnya jauh ke udara, melihat kendaraan yang sudah tidak banyak lalu lalang sambil merenungkan semua cerita Aruna, menyambung-nyambungkan kepada cerita sebelumnya mengenai pertemuannya dan hubungannya dengan Bu Sarah. Memang benar, sangat wajar Aruna memutuskan untuk merahasiakan hubungan ini, menjauhi hal-hal yang terasa tidak akan pantas dia dengar serta menjaga hubungan baiknya dengan keluarga nya di panti, terlebih Bu Sarah.
Lalu tanpa sadar aku mendoakan Pak Ari dan Ibu Una, untuk Pak Ari semoga dalam keadaan baik dan untuk Ibu Una semoga tenang di alam sana. Sebelum memutuskan untuk tidur, aku berbalik menatap Aruna yang tampak pulas. Bagiku malam ini, setelah dia mencurahkan segalanya melalui tangisan yang menyesakkan, seperti memulai ulang kisahku dengannya. Esok terasa seperti hari baru bagi kami. Aku yang sudah sempat uring-uringan menghadapi sikapnya yang penuh ketidakpastian, merasa bersalah setelah mengetahui semua ini. Aku dekati dia, memastikannya tidur tanpa mimpi buruk, memperbaiki selimutnya, mengusap kepalanya. Aruna, semoga aku bisa membuat kamu bahagia, batinku sambil mencium dahinya.
Dua hari setelah itu Aruna ujian kompetensi, sebelum itu hari-hari dilewatinya dengan membuka modul dan buku-buku, tak jarang aku menjadi bahan praktiknya atau malah menjadi samsak tinju saat dia kesal tidak paham materi yang sedang dia baca. Kami sama sekali tidak membahas cerita masa lalu lagi. Sudah cukup bagiku.
“Kalau ujian kamu hasilnya bagus, aku beliin hadiah,” ujarku
“Beneran, ya? Apa?” Aruna tampak bersemangat.
“Sarung tinju. Kamu aku liat-liat ada bakat jadi atlet boxing,” aku terkekeh, tak lama setelah itu lenganku kena hantaman kuat darinya. Benar-benar kuat kali ini.
Sebelum berangkat ke studio aku mengantarkannya ke kampus untuk ujian. Sejak malam dia tidur dikamarku, tidak habis ocehannya mengenai hal itu, bahkan sambil berboncengan begini,“kamu gak ngapa-ngapain, kan?”, “kamu beneran tidur di sofa? Gak yang tiba-tiba pindah menjelang pagi?”, “masa aku gak semenarik itu sih, sampai kamu milih tidur di sofa?”, “iya deh, aku tau aku biasa-biasa aja.” Semua ucapannya kontradiktif, dia khawatir aku melakukan hal buruk terhadapnya, tapi di saat bersamaan dia merasa tidak menarik di mataku karena lebih memilih tidur di sofa.
“Yaudah, besok kalau aku apa-apain, kamu gak boleh marah,” jawabku yang sudah mulai jengah.
“MESUM KAMU!” Serunya saat motor berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah, membuat pengendara lain melihat ke arah kami. Ada yang tersenyum tipis namun banyak juga yang melihat sinis. Aku serba salah.
Aruna keluar dari ruangan ujian dengan wajah ditekuk, dia berujar ujiannya sulit dan tidak terbayangkan sebelumnya. Dia bahkan tidak yakin akan lulus. Sore itu aku izin sebentar dari studio untuk menjemputnya, Ares mengatakan bahwa tidak perlu kembali, pergi saja main bersama Aruna. Sesuai janji, aku membawanya makan es krim, double.
Aku sedikit beruntung ada ujian ini, sebab ocehannya mengenai ‘tidur sekamar’ sudah tidak terdengar lagi. Kini lebih banyak tentang kekhawatirannya mengenai apakah dia akan lulus atau tidak.
“Mana pengumumannya masih dua minggu lagi. Menjelang itu aku bisa gila.” Aruna sedikit berseru. “Eh? Kamu gak balik ke studio?” tanyanya tiba-tiba.
“Gak. Aku mau lihat kamu jadi gila,” jawabku terkekeh. Lalu Aruna tampak makin sebal. Dengan menggerutu dia menghabiskan es krim strawberry yang menggunung di depannya. Tidak habis-habisnya aku tertawa.
-oOo-
“Gamma Aditya.” Panggil salah satu staff yang bekerja pada gedung fakultas.
Aku masuk ke ruang bimbingan setelah hampir satu jam duduk. Ini akan menjadi bimbingan terakhir sebelum ujian presentasi karya tugas akhir pada tanggal 22 Agustus nanti, sehari setelah pengumuman kelulusan Aruna. Saat berdiri, aku menoleh kebelakang, kepada kursi yang telah menemaniku mengingat cerita tentang Aruna. Lalu selayaknya orang tidak waras aku memberikan senyum pada kursi yang tadi aku duduki.
(Bersambung)
Restart ©2023 HelloHayden
Baca cerita ini udah kayak masuk ke kedai all you can eat. Daging semua. Sbg cowok baca ini gk merasa aneh sama sekali untuk crita roman dan rasa kembali ke masa kuliah. Mantap lah
Comment on chapter Bab 14 (Cukup)