“Ikhlas yang sebenarnya adalah ketika niat tulus sejalan dengan ucapan dan perbuatan” (Imam Abdullah bin Dhaifillah ar-Rahili)
Masih ingat dengan salah satu Gunung tertinggi di dunia, Gunung Everest ? Gunung yang menyimpan banyak kisah perjuangan para pendaki yang ingin berusaha menaklukkannya. Gunung yang memiliki tinggi 8.848 meter di atas permukaan laut ini menjadi idaman para pendaki, sebab bagi mereka pendakian ke Gunung Everest bagaikan rukun islam ke-lima. Ya, seperti berangkat haji bagi yang mampu. Jika memang pendaki itu telah mampu melakukan pendakian di banyak Gunung besar di negaranya, ia harus melakukan pendakian yang lebih hebat lagi dengan mendaki Gunung tertinggi di dunia.
Sejak ekspedisi penjelajah pertama dari Inggris yang mencoba mencapai puncak tertinggi Everest pada tahun 1921, sampai penjelajah kelima dari Swiss pada tahun 1952, belum ada satupun yang berhasil mencapai puncak tertinggi Gunung Everest. Kegagalan yang terjadi karena banyak sebab, ada yang gagal disebabkan perbekalan yang tidak mencukupi, kantong oksigen yang tidak bisa terbuka, bahkan hingga nyawa yang tidak tertolong. Memang kalau kata para pendaki profesinoal, jika bukan Gunung Everest yang ditaklukkan pendaki, maka pendakilah yang ditaklukkan Everest.
Pada tahun 1953 perang dunia baru saja mereda. Inggris melakukan ekspedisi besar-besaran dengan tujuan yang sama, mencapai puncak tertinggi Everest. Dibawah pimpinan Kolonel Jhon Hunt, dipilihlah seorang pendaki profesional bernama Edmund Hillary dan seorang sherpa (pemandu pendakian) profesional asal Nepal, Tenzing Norgay untuk melanjutkan misi pendakian. Pada tanggal 28 Mei berangkatlah Hillary dan Tenzing Norgay menuju puncak Everest.
Tugas ini tidak hanya membawa misi pencapaian pribadi, melainkan cita-cita sebuah negara yang harus bisa dilaksanakan dengan baik. Hillary sebagai seorang pendaki profesional tetap mengikuti setiap arahan yang diberikan oleh Tenzing Norgay. Begitu pun Tenzing Norgay yang telah diberi sebuah mAndat menjadi pemandu, dia melakukan yang terbaik. Mengerahkan seluruh ilmu dan kemampuannya, mencari jalan terbaik menuju puncak Everest. Mereka berdua memulai perjalanan dari base camp melewati jalur yang baru dibuat yaitu Khumbu Icefall. Tempat yang membuat 16 orang sherpa gugur pada tahun 2014.
Sampailah Hillary dan Tenzing di ketinggian 27.900 kaki. Di sana mereka mendirikan tenda untuk bermalam. Tidak seperti pendakian yang pernah Tenzing lakukan, biasanya di ketinggian ini Tenzing dan tim yang dipandunya tetap melanjutkan pendakian. Namun tidak untuk kali ini, dia lebih memilih untuk beristirahat dan memikirkan cara selanjutnya. Esok hari mereka melanjutkan perjalanan dan pada jam 9 pagi tibalah mereka di puncak selatan.
Hillary dan Tenzing terus berjalan setapak demi setapak. Sedikit lagi mereka sampai dipuncak Gunung yang mereka impikan. Kurang lebih 300 kaki lagi mereka sampai. Cuaca semakin dingin, tenaga semakin terkuras, Tetapi semangat tetap tak surut untuk sampai di puncak impian terbesar. Hillary yang saat itu tengah berjalan di belakang Tenzing mulai menggoyang-goyangkan wajahnya untuk menghela nafas.
Pukul 11.30 waktu setempat, mereka mencetak rekor dan sejarah baru dunia. Gunung tertinggi dunia berhasil mereka taklukkan. Mereka berdua berhasil menginjakkan kaki di puncak Gunung Everest. Rasa sedih, bahagia, haru dan lelah terbayar sudah dengan kesuksesan yang mereka raih. Edmund Hillary tercatat sebagai orang pertama di dunia yang berhasil mencapai puncak Gunung Everest. Berita keberhasilan Edmund Hillary tersebar cepat. Disampaikan melalui post radio di Namche Bazar yang dikirimkan ke London, hingga esok harinya seluruh dunia tahu berita yang menakjubkan ini.
Setelah merayakan keberhasilan mereka di puncak Gunung, Edmund Hillary dan Tenzing Norgay melakukan perjalanan menuruni Gunung. Di bawah, semua orang dan wartawan tidak sabar menunggu kehadiran mereka. Semua sudah bersiap menyambut dan wartawan ingin segera memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada Edmund Hillary.
Tibalah Edmund Hillary dan Tenzing Norgay, semua orang menyambut gembira, bersorak atas pencapain yang luar biasa. Wartawan satu persatu mulai bergerombol memutari Hillary, berharap mendapatkan obrolan yang pastinya akan sangat berkualitas. Namun ada satu wartawan yang menghampiri Tenzing. Wartawan ini memiliki prespektif lain dari keberhasilan pendakian Everest. Percakapan dimulai dengan pertanyaan dari wartawan yang menanyakan bagaimana perasaan Tenzing bisa mencapai puncak Everest. Tenzing menjawab bahwa dia bahagia.
“Benarkah Anda seorang sherpa?” lanjut wartawan itu bertanya.
“Iya betul saya seorang sherpa, saya yang memandu Edmung Hillary sampai puncak,” jawab Tenzing.
“Bukankah seorang pemandu harusnya berada di depan?” wartawan itu bertanya kembali.
“Iya, saya berada di depan. Saya memandu Edmund Hillary,” tegas Tenzing.
Si wartawan semakin heran dan penasaran. “Kenapa Edmund Hillary yang harus sampai di puncak terlebih dahulu bukan Anda?”
Tenzing menjawab “Pada saat satu langkah lagi sampai di puncak tertinggi Everest, saya bergeser ke kiri dan mempersilakan Hillary untuk menapakkan kakinya dan menjadi orang pertama yang sampai di puncak Everest.”
“Mengapa Anda lakukan itu? Bukankah itu kesempatan Anda untuk menjadi orang yang pertama kali sampai di puncak Gunung dan Anda bisa menjadi orang yang terkenal?” tanya wartawan.
Tenzing tersenyum, dia menjawab pertanyaan dari wartawan itu dengan santainya. Jawaban sederhana syarat dengan makna. Jawaban yang penuh dengan pembelajaran bagi yang mengetahuinya.
“Menjadi pendaki pertama yang menaklukkan Everest bukanlah mimpi saya, itu adalah mimpi Edmund Hillary. Mimpi saya adalah mengantarkannya bisa menjadi orang yang pertama yang menginjakkan kakinya di puncak tertinggi dunia.”[1]
***
Melihat cerita penaklukkan pertama Gunung Evereset, sebagian orang mungkin kagum dan berharap bisa seperti Edmund Hillary. Tapi tidak sedikit pula yang menaruh perhatian pada sosok pemandu Hillary, Tenzing Norgay. Dia sosok seorang pemandu sederhana, yang tulus dalam mengantarkan cita-cita Hillary untuk bisa mencapai puncak tertinggi Everest. Tenzing menjalanakan tugasnya dengan baik, memimpin pendakian dengan sempurna, menunjukkan arah dengan perhitungan tepat. dan yang luar biasa dia tidak menghianati Hillary dengan merampas mimpinya.
Menjadi pemimpin yang baik memang tidak mudah, nyatanya banyak dari kita yang gagal dalam memimpin diri sendiri. Buktinya, kita masih melewatkan beberapa kewajiban dan berakhir dengan menyesal. Anehnya, hal yang sama kita lakukan berulang kali.
Belajar dari kisah pendakian Edmund Hillary bersama Tenzing Norgay, kita bisa melihat bahwa sosok Tenzing adalah leader yang baik. Tidak hanya berhasil memandu Hillary dengan baik, dia juga berhasil memandu dirinya sendiri. Kemampuan menguasai diri membuatnya menjadi sosok yang tenang. Ketenangan sangat dibutuhkan oleh seorang leader. Dalam buku yang berjudul Excellent Leadership, Hegar Pangarep berkata “Ketenangan diperlukan untuk menata pikiran serta mengendalikan ketegangan dan kegentingan.”[2]
Di sisi lain sebagai seorang leader harus memiliki sifat berani berkorban. Pengorbanan bukanlah proses sekali bayar. Di mana, sekalinya kita berbuat baik, lalu berharap mendapatkan balasannya seketika. Maka untuk menjadi seorang pemimpin yang mau berkorban, dibutuhkan hati yang lapang dan tulus. Ketulusan hati bisa diraih dengan selalu berlatih fokus pada tujuan serta sadar pada kebutuhan.
Sebagai seorang hamba, apapun yang kita lakukan pastilah harus bertujuan untuk mendapatkan ridha-Nya. Begitu pun dengan kesadaran akan kebutuhan, tidak boleh lepas dari kebutuhan akan rahmat-Nya. Maka untuk menjemput rahmat dan ridha Allah Swt., kita harus melatih fokus dan kesadaran kita, dengan cara memberikan pertanyaan kepada diri sendiri, sebelum kita melakukan amal perbuatan.
Pertanyaan yang bisa kita berikan pada diri kita sendiri seperti :
Haruskah aku kerjakan hal ini?
Untuk apa aku berbuat hal ini?
Mengapa aku mengerjakannya?
Untuk siapa aku mengerjakan?
Karena siapa aku mengerjakan?[3]
Dengan mengetahui jawaban dari pertanyaan yang kita ajukan pada diri sendiri, kita akan bisa lebih fokus dan sadar apa tujuan kita melakukan sesuatu. Dengan begitu kita bisa ikhlas dalam melakukan pengorbanan sebagai seorang pemimpin.
Tenzing juga sama, dia telah menjawab berbagai pertanyaan pada dirinya. Sehingga untuk menjadi berharga dia tidak perlu merampas mimpi rekannya. Dia cukup dengan pencapaiannya, meskipun tidak ada orang mengenalnya, dan tidak penghargaan yang mendatanginya. Bagaimana denganmu? Sudahkah kamu bertanya pada diri sendiri, sebelum melakukan sesuatu? siapkah menjadi leader yang tulus? Segeralah bertanya pada dirimu!.
***
Jendela inspirasi:
Lakukan segala hal sebaik mungkin karena tidak akan percuma kebaikan yang telah kita perbuat
Jagalah amanah karena niat menjaga titipan Allah swt. bukan semata Karena pahala yang didapat, atau malah sekedar ingin dapat pujian.
Berusahalah menggapai mimpi dengan melakukan langkah-langkah kecil tanpa mengeluh
Tips menjaga keikhlasan :
Melakukan segalanya karena Allah Swt.
Sadar bahwa kita hanya seorang hamba
Tidak sering membicarakan kebaikan diri
Pasrah atas segala kehendak Allah Swt.
[1] Cerita ini saya sarikan dari beberapa penuturan kisah dari channel Youtube Abdi Suardin
[2] Hegar Pangarep, Excellent Leadership!, (Yogyakarta: Cakrawala Sketsa Mandiri, 2016), hal. 22
[3] Mahmud Ahmad Mustafa, Dahsyatnya Ikhlas, (Yogyakarta: MedPress, 2012), hal. 98