"Semoga kelak kita dipertemukan dengan seorang laki-laki yang pandai bersyukur hanya dengan satu wanita di hidupnya, laki-laki yang bisa membimbing di dunia maupun di akhirat."
***
Kiayi Ahsan dan bu nyai Maryam memiliki 4 anak, tiga di antara nya Perempuan dan satu putri. Putra pertama Bernama Faiq Hisyam Karim, pria berusia 32 tahun menikah dengan ning Maira dan dikarunia seorang putra Bernama gus Haikal Ramadhan.
Sedangkang putra keduanya Bernama Muhammad Azmir Hakim kerap di panggil gus Azmir, pria matang berusia 27 tahun. Gus Azmir inilah yang paling susah memilih pasangan hidup walaupun banyak ning-ning dan ustadzah yang sudah ia tolak.
Sedangkan putra ketiga nya bernama Abbas Nasir Imran kerap di panggil gus Abbas, usia nya menginjak 23 tahun. Gus Abbas jarang sekali pulang ke pesantren karena sudah merasa nyaman tinggal di tarim, disana gus Abbas selain melanjutkan Pendidikan nya juga mengajar di sebuah pondok pesantren, hal itulah yang membuat gus Abbas jarang pulang ke Indonesia.
Almira Azzahra Alfianissa, seorang gadis cantik berusia 18 tahun kerap di panggil ning Zahra. Adalah salah satu adik bungsu Perempuan di keluarga pesantren. Terlihat aneh karena disini ning Zahra menikah lebih dulu karena sebuah insiden yang mengharus kan nya menikah lebih awal dari kedua abang nya.
Ning Zahra sedang berada di dalam kamar nya sambil menunggu suaminya datang, hal yang paling berbeda adalah suami ning Zahra bukan lah seorang gus maupun ustadz. Suami ning Zahra adalah seorang santri biasa, hal itu tidak menjadi masalah bagi keluarga pesantren meskipun pernikahan mereka tidak sekufu asalkan bisa membimbing putrinya, kiayi Ahsan menyetujui pernikhan ini.
Arkan baru masuk ke kamar dan langsung merebahkan badan nya di atas kasur karena merasa lelah sebab baru saja di ajak bu nyai Maryam keluar pesantren untuk membeli jamuan para tamu nanti.
"Haby gak mau mandi dulu?"
"Bentar haby mau merebahkan punggung haby."
Zahra langsung duduk di samping Arkan dan meminta Arkan tiduran di pangkuan nya Zahra mengusap lembut kepala suami nya.
"Mau Zahra pijetin gak by?"
"Memang nya istri haby bisa mijat?"
Zahra mengangguk pelan, "Bisa tapi nggak sehandal tukang pijat." Kekek Zahra.
Arkan ikut terkekeh mendengar nya, "Pasti beda karena istri haby seorang ning, bukan tukang pijat." Sauth Arkan sambil mengusap lembut wajah istri nya.
"Hehehhh."
"Habibati boleh buka cadar nya?"
Zahra mengangguk pelan, "Sebentar Zahra kunci dulu pintu nya by takut nya ada yang masuk saat Zahra gak pakai cadar."
"Enggh pinter." Sauth Arkan.
Zahra segera berdiri dan mengunci pintu kamar nya setelah itu ia segera melepas kain cadar nya.
"MasyaAllah bidadari haby memang kecantikan nya makin hari makin tambah." Puji Arkan.
"Haby mulai muji lagi hmm."
Arkan hanya terkekeh pelan saja, dan kembali merebahkan kepala nya di pangkuan Zahra.
"Buruan tengkurap haby, biar Zahra pijetin."
"Mboten."
"Kok mboten? Tadi bilang nya capek."
"Sudah gak capek soalnya lihat wajah bidadari haby."
Zahra hanya bisa menahan rasa salting nya ia takut jika pipi nya memerah lagi karena saat ini ia tidak mengenakan cadar.
"Zahra mau tanya by."
"He'em tanya apa habibati?"
"Haby belum menceritakan kalau dulu pernah di pesantren juga."
"Ternyata benar ingatan wanita itu tajam kalau soal beginian." Celetuk Arkan dalam hati nya.
"Enggh, dulu haby pernah mondok tapi cuma sebentar."
"Dimana haby?"
"Apa nya hmm?"
"Nama pesantren nya."
"Pondok Salafiyah Jombang."
"Pesantren milik nya gus Azar sama ning Zaima bukan by?"
Arkan mengangguk pelan, "Sebenar nya dulu ayah dan umma menginginkan haby tetap belajar di sana, karena memang di pesantren nya gus Azar santri nya terhubung dengan Tarim."
"Emmm maksud nya gimana?"
"Jadi gini disana ada santri pilihan yang nantinya gus Azar sendiri yang mengirim santri nya untuk belajar di Tarim. Putri pertama beliau juga sejak SMA nya sudah belajar di tarim."
"MasyaAllah Zahra juga pengen by belajar di kota Tarim, salah satu impian Zahra sejak dulu."
"Habibati ingin belajar disana?"
Zahra manggut-manggut dengan mata yang penuh binar.
"Setelah lulus tahfidz nya, haby akan mendaftarkan kamu kuliah di Tarim atau mau lewat jalur gus Azar? Nanti biar haby yang mengatakan nya."
"M-a... emmm di pikir-pikir dulu deh by." Sauth Zahra.
Arkan langsung duduk di samping istri nya, "Kenapa?? Tadi antusias sekali hmm."
"Zahra sekarang sudah mempunyai suami, dan kewajiban Zahra jauh lebih utama yakni melayani suami nya."
Arkan menarik pipi Zahra dengan gemas, "Al ummu madrasatul ula."
"Kamu nanti nya akan menjadi sekolah pertama, pendakwa pertama, ustadzah pertama, guru pertama untuk putra putri kita kela. Haby ingin putra putri kita nanti memiliki madrasah yang baik."
"Zahra juga menginginkan wal abu mudiruha yang mampu mencetak kurikulum yang baik, sosok ayah juga penting karena akan menjadi kepala sekolah nya." Sauth Zahra.
Arkan mengangguk pelan, "Maka dari itu haby ingin kamu belajar banyak ilmu agama dan juga umum, untuk mengajarkan nya pada putra putri kita habibati."
"Tidak hanya ilmu saja yang haby inginkan melainkan adab juga, karena haby tahu menjadi wanita tidak lah mudah."
"Kelak kamu harus menanamkan tauhid pada hati anak kita, juga kamu akan mengajarkan bagaimana cara paling elegan dalam menghadapi luka dan ujian dari Allah."
"Tidak hanya itu saja, jika anak kita kelak laki-laki ia akan belajar melihat wanita dari umma nya, jika kamu baik ia akan belajar bagaimana cara memuliakan wanita yang baik."
"Jika anak kita perempuan, ia akan belajar menjadi seorang wanita dari kamu juga. Bagaimana menjadi sebaik-baik nya wanita yang sadar akan kemuliaan nya." Sambung Arkan sambil mengulas senyum.
"MasyaAllah, Zahra gak nyangka pemikiran haby bisa sedewasa ini."
"Usia tidak menjadi patokan kedewasaan seseorang habibati."
"Sudah seharusnya karena haby kepala rumah tangga, haby yang akan membawa keluarga kecil haby menuju jalan yang baik."
"MasyaAllah, Zahra amat bersyukur ternyata Allah tidak cuma-cuma menghadirkan haby menjadi suami Zahra."
"Haby juga bersyukur karena mendapatkan sosok seorang ning menjadi istri haby, itu artinya kelak keturunan haby akan menjadi gus dan ning."
Zahra lagi-lagi menyunggingkan senyuman nya yang amat manis itu.
"Tapi haby apa tidak akan belajar setelah lulus?!"
"Apa hanya Zahra saja yang haby minta untuk belajar." Lanjut Zahra.
"Haby tetap akan belajar, tapi waktu nya juga terbagi bekerja juga untuk memberikan nafkah kepada kamu."
"Jadi haby akan memperioritaskan pendidikan kamu lebih dulu, haby yakin kamu bisa mendidikan putra putri kita yang baik." Lanjut Arkan.
“MasyaAllah calon ayah yang baik.” Puji ning Zahra sambil mengulas senyum.
Tokk... tok... tok...
"Zahra buka pintu nya sebentar haby." Ujar Zahra.
"Hmm." Sauth Arkan sambil mengangguk pelan.
"Sayang pakai cadar nya dulu." Ujar Arkan sebelum Zahra memegang kenopi pintu.
"Astaghfirullah, Zahra hampir lupa." Cicit Zahra tanpa menatap ke arah Arkan, karena ia masih dalam mode gugup dan salting.
Setelah memakai nya Zahra segera membuka pintu, Zahra sengaja hanya membuka sedikit lalu ia keluar dan menutup nya kembali.
"Maaf ning menganggu waktu nya."
"Iya mbk gakpapa, ada apa ya?" Tanya Zahra pada mbk ndalem.
"Tamu abah yai sudah datang ning, saya di minta untuk memanggil ning Zahra dan gus Arkan untuk menemui beliau di ruang tamu." Sauth mbk Citra sambil menunduk sopan.
"Eh iya mbk makasih ya, bentar lagi saya ke sana."
"Enggh ning,kalau gitu saya permisi."
"Enggh monggo mbk." Sauth ning Zahra sopan.
Zahra kembali masuk ke dalam kamar nya, "Siapa habibati?"
"Mbk Citra, mbk ndalem yang biasa di sini by."
"Hmm, mengganggu saja." Gerutu Arkan.
Zahra terkekeh pelan, "Haby cuci muka gih terus ganti pakai sarung."
"Memang nya mau mengajak haby kemana?"
"Tamu nya abah sudah datang, mangkanya mbk Citra manggil kita buat keluar."
Arkan manggut-manggut sambil melingkarkan tangan nya kepinggang ramping ning Zahra.
Deggh...
Sontak saja hal itu membuat Zahra membulatkan mata nya sempurna karena pelukan mendadak daari suaminya.
Cupp...
Arkan meninggalkan ciuman di pipi Zahra singkat, "Siapkan sarung nya, haby akan cuci muka sebentar." Ujar Arkan lagi.
"E-nggh haby." Sauth Zahra terbata-bata.
Zahra segera bergegas mencari sarung yang pas untuk suami nya, ia juga mencarikan baju muslim yang pas karena Arkan tidak suka memakai jubah.
Ning Zahra mengirimkan pesan lagi pada gus Azmir mengingat agar pulang nya tidak sampai telat. Hal yang baru diketahui oleh ning Zahra adalah ternyata suaminya juga satu guru dengan abang nya, mungkin karena inilah abah nya dulu menjodohkan nya dengan Arkan.
Meskipun suaminya bukan dari nasab kiayi tetapi adab dan akhlak nya tidak perlu diragukan lagi. Bahkan setelah menjadi suaminya wibawa Arkan semakin terlihat, para santri pun menghormati Arkan dan memanggilnya dengan sebutuan gus layaknya keluarga ning Zahra.
Tok… tok… tok…
Pintu kamar Zahra Kembali di ketuk, tapi kedengaran nya terlihat pelan seperti seorang anak kecil yang mengetuknya. Ning Zahra pun segera membuka pintu kamar nya.
Ceklek…
Mata Zahra menyipit tatkala yang dating mengetuk kamar nya adalah putra abang nya. “Haikal kenapa datang kesini sendirian?” Tanya ning Zahra sambil membungkuk menyetarakan tinggi badan gus Haikal yang baru berusia 5 tahun.
“Haikal datang Bersama umma.”
“Sekarang umma Dimana?”
“Ada di kamar mbah putri.”
Zahra mengangguk pelan, kemudian menggendong Haikal masuk ke dalam kamar nya. “Haikal mau coklat?”
“Mau ante.” Sauth Haikal masih belum terbiasa memanggil tante.
“Emmm… sebentar ante lihatkan stok coklat nya.”
Ning Zahra segera berjalan kea rah rak jajan nya, sudah lama ning Zahra tidak menempati kamar nya karena sudah memiliki rumah sendiri bersama suami nya. Selama satu minggu ini ning Zahra tinggal di pesantren karena sedang libur sekolah.
“Coklat ante tinggal satu sayang.” Ucap ning Zahra sambil memberikan coklat pad gus kecilnya.
“Telima kasih ante.” Sauth gus Haikal sambil mengambil coklat yang di berikang ning Zahra pada nya.
“Sama-sama.”
“Sebentar Haikal mau ndak video call sama paman Az?? Kita minta beliin coklat.” Kekeh ning Zahra sambil menaik turunkan alis nya kea rah gus Haikal.
Ning Zahra dan gus Haikal sangat menyukai coklat, diantara semua keluaraga hanya ning Zahra dan gus kecil ini yang terus memalak coklat pada gus Azmir.
“Mau-mau ante.” Sauth gus Haikal sambil kegirangan.
“Oke, sekarang Haikal turun dulu ante mau ambil ponsel dulu.”
Gus Haikal mengangguk pelan kemudian duduk di atas kasur sambil menunggu ning Zahra mengambil ponsel di atas nakas. Lantas ning Zahra segera menelfon gus Azmir lagi sedangkan gus Haikal sudah duduk di hadapan ponsel ning Zahra karena gus Azmir tak kunjung mengangkat ponsel nya.
Dreett…
“Ante kenapa lama cekali.” Rengek gus Haikal.
“Sabar sayang mungkin paman Az sedang mengemudi mobil.”
“Coba cekali lagi ante.”
Ning Zahra mengangguk pelan kemudian kembali menelfon gus Azmir, terhitung sudah 3 kali ning Zahra menghubungi gus Azmir.
Drett…
Dan percobaan terakhirnya diangkat juga oleh gus Azmir. “Hallo, Assalamu’alaikum.” Ucap gus Azmir dari sebrang telfon.
Dari tadi gus Azmir sedang mengemudikan mobilnya karena mendengar ponselnya berdering terus, akhirnya gus Azmir menepikan mobilnya sebentar.
“Wa’alaikumsalam paman Az.”
“Wa’alaikumsalam bang.”
Sauth keduanya serempak, “Kenapa jagoan paman telfon hmm?”
“Aikal mau coklat paman, ante juga heheh.” Kekeh gus Haikal.
“Coklat yang abang beliin sudah habis dek?” Tanya gus Azmir pada adiknya.
“Heheheh sudah habis, ini tinggal satu adek kasih sama Haikal bang.”
Gus Azmir mengangguk pelan, “Mau di belikan berapa coklat nya?” Tanya gus Azmir.
“Aikal mau yang banyak paman.”
Dari samping gus Azam langsung ikut bergabung panggilan dengan ning Zahra dan Haikal juga. “Hay jagoan apa kabar?” Celetuk gus Azam.
“Astaghfirullah, Kebiasaan ente langsung muncul aja.” Tegur gus Azmir.
Gus Azam hanya terkekeh pelan mendengarnya, sedangkan ning Zahra langsung menyembunyikan wajah nya dan membiarkan ponselnya di pegang oleh keponakan nya.
“Aikal baik om.” Sauth gus Haikal.
“Alhamdulillah, tadi Haikal pengen coklat??”
“Iya om.”
“Nanti om belikan yang banyak.”
“Yeayy telima kasih om.”
“Sama-sama.” Sauth gus Azam sambil terkekeh.
“Jadi, pajak nya dari om Zam aja wkwkkw.”
“Yang penting nanti Aikal dapat coklat sama ante.”
“Iya, sekarang ponselnya berikan pada ante dulu.”
Gus Haikal mengangguk pelan kemudian memberikan ponsselnya pada ning Zahra lagi. “Ante ini.” Ucap nya pelan.
Ning Zahra menerima ponsel yang di berikan keponakan nya, kemudian berpamitan untuk mematikan ponselnya.
“Abang pulang cepat jangan sampai lupa nanti Zahra yang dimarahi abah, sama satu lagi coklat pesanan Haikal sama Zahra jangan lupa.”
“Iya dek, dasar adek sama ponakan sama aja tukang palak coklat.” Kekeh gus Azmir.
Ning Zahra terkekeh pelan di balik kain cadarnya, gus Azmir pun membalasnya dengan kekehan pelan juga dan segera mengakhiri panggilan video call nya.
Gus Azmir segera melanjutkan perjalanan nya menuju supermarket untuk membelikan coklat untuk adik dan keponakan nya juga. Sedangkan gus Azam jadi terpenung karena tadi saat ia muncul ning Zahra malah menghilang.
Namun seperti inilah sikap ning Zahra jika lawan bicarany bukan mahram nya, lebih bai kia menghindarinya. Akan tetapi dulu gus Azam sempat memiliki niat untuk mengkhitbah adik sahabat nya ini.
Tetapi takdir Allah memiliki kehendak lain melalui kecelakan itu ning Zahra telah zuad bersama pria lain, namun gus Azam juga tidak bisa menyalahkan atas semua yang terjadi, mungking inilah cara Allah untuk memisahkan keduanya. Selama itu juga ning Zahra tidak pernah mengtahui niat baik gus Azam tersebut, karena memang ning Zahra membatasi dirinya dengan lawan jenis.
Rara yg sabar ya kamu harus ikhlas walupun sulit kamu harus bsa menerima qodo dari Allah SWT.
Comment on chapter Bab 14- Hilangnya Separuh JiwaMenguras Air mata nih ka El cerita ny🤭😭