Read More >>"> Desire Of The Star (DOTS - Chapter 6 : Jatuh Hati Memang Rumit) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Desire Of The Star
MENU
About Us  

Sesak terlalu lama bersemayam di dada. Hingga akhirnya rasa itupun bicara ketika semua tidak berjalan sesuai  dengan yang kita inginkan. Mungkin memang aku tidak berada dalam daftar keinginannya. Aku menjaga perasaan ini untuknya, namun ia memilih menjadikannya kenangan. Tidak masalah bagiku, karena akupun tidak tau apa saja yang telah ia lalui selama ini. 

Dengan penuh harap, semoga kelak ia menemukan seseorang yang menyabarinya sesabar yang pernah aku lakukan padanya. Semoga kelak ada yang memperjuangkannya sekeras aku berjuang untuknya dulu. Semua impianku dengannya biarlah menjadi kenangan. Satu hal yang pasti, aku akan terus berjuang untuk hal apapun itu di hidupku, meski pada akhirnya pun harus pulang sendiri.

***

 

Pagi itu sekitar pukul tujuh pagi tidak biasanya aku duduk di balkon kamarku yang menghadap langsung ke pekarangan rumah Aceline. Ingatanku kembali pada memori saat aku kecil, menghabiskan waktu bermain bersamanya; entah itu bermain basket, mandi hujan, atau sekedar duduk bersama di Gazebo menikmati pie buatan bunda Aceline. Saat itu rasanya cukup bahagia, tidak ada pikiran lain selain sekolah dan bermain.

Aku melihat ayah Aceline dengan satu wanita dan satu lelaki yang tidak aku kenal, jika aku perhatikan mereka seperti sepasang suami istri, kira-kira usianya sekitar 35 tahun. Mereka berkeliling di pekarangan rumah Aceline, nampak ayah Aceline seperti sedang menjelaskan sesuatu.

“Bintang …,” ayah Aceline menyapaku dari pekarangan rumahnya, memang sedekat itu rumahku dengannya.

“Eh … Ayah, kapan pulang?” balasku sambil melambaikan tangan.

“Kemarin, ada yang mau lihat rumah,” katanya.

 “Oh iya, Yah.” Aku langsung masuk dan menutup pintu balkon kamar. Lihat rumah? batinku, segera aku turun menemui ibu barangkali ibu tau info terkini tentang rumah Aceline.

“Ibuuuu!!!” Aku menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa, tampak ibu sedang menyeka debu – debu di rak TV.

“Kenapa, Nak?” tanya ibu.

“Ada ayah Aceline di rumahnya, tapi kok katanya ada yang mau lihat rumah?” tanyaku pada ibu dengan kening yang mengkerut.

“Kemarin sih ayahmu bilang memang rumah pak Arif mau dijual.” Balas ibu yang sibuk dengan kegiatannya.

“Di-dijual?” tanyaku sedikit shock.

“Iya, katanya mereka memang mau menjual rumah itu sebab akan tinggal menetap di rumah eyang Ti,” ucap ibu sambil melirik, “sayang sekali ya, Nak …, “ sambungnya.

Aku terdiam sejenak mencoba mencerna perkataan ibu, berarti Aceline tidak akan kembali batinku. Lalu aku pergi ke kamarku dengan pikiran yang dipenuhi kenyataan bahwa Aceline memang tidak akan kembali, namun aku masih bingung kenapa pak Arif menjual rumahnya. Apa ia tidak sayang dengan semua kenangan di rumah itu? Ucapku dalam hati. 

Hari ini ada kelas pukul sepuluh pagi, aku tidak ada waktu lagi untuk berleha – leha atau sekedar memikirkan mengapa rumah Aceline akan dijual. Segera aku bersiap – siap untuk berangkat ke kampus. Lalu terdengar ibu berteriak dari ruang makan, “Nak … Ibu pergi ke sekolah Lita dulu ya, jangan lupa kunci pintu kalau berangkat!”

***

Kelas selesai pukul satu siang, aku dan Gopal pergi ke Kantin Pojok sebab katanya hari ini adalah pengumuman struktur kepanitiaan. Sesampainya disana ternyata sudah banyak anak – anak dari berbagai fakultas berkumpul disana. Terlihat Narendra pun sudah ada disana. “Guys, kumpul di Bengkel … Ayo!” seru Gibran. Kami semua berjalan menuju Bengkel, ternyata disana sudah tersusun rapi kursi – kursi untuk panitia, juga terlihat perwakilan dosen yang terlibat dalam acara ini. Kami semua mengatur posisi sedemikian rupa, terlihat Gibran begitu sibuk mengatur berlangsungnya acara ini. Ia mulai menaiki podium dadakan yang entah kapan dibuatnya.

Gibran mulai membuka acara dengan sambutannya :

“Assalamu'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh,

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan juga kesehatan sehingga kita dapat berkumpul bersama pada kesempatan kali ini.  Tak lupa shalawat serta salam kita haturkan untuk baginda Nabi Besar Muhammad SAW.

Bapak dan Ibu yang saya hormati, serta teman-teman yang saya kasihi. Terimakasih sudah bersedia untuk ikut berpartisipasi dalam acara tahunan kami. Pada kesempatan kali ini saya Gibran Askara, selaku ketua dari acara Festival Seni Maha Kreasi tahun 2018 akan mengumumkan struktur kepanitiaan untuk acara ini. Mohon teman-teman menyimak dengan baik … ”

Ternyata Gibran adalah ketua dari acara ini, itu mengapa ia terlihat paling antusias dan sibuk sejak kemarin. Aku mendengarkan dengan seksama pengumuman dari Gibran dan tibalah giliranku. Divisi pengumpulan dan seleksi karya.

“Divisi pengumpulan dan seleksi karya … ada Mahesa Bintang dari seni rupa murni, Raka Adimulya dari seni kriya, Regina dari seni kriya, dengan penanggung jawab Laura Zed Rainnatasya dari seni kriya,” ucap Gibran.

Aku terkejut sebab tenyata Laura menjadi penanggung jawab dari divisiku. Entah mengapa dadaku berdegup kencang mendengarnya. Setelah itu Gibran meminta kami untuk saling berkumpul antar divisi. Jujur saat itu aku mendadak gugup. Aku rasa penyebabnya karena satu divisi dengan Laura. Aku tidak mau terlalu terlihat gugup di depannya, jadi aku memutuskan untuk pergi ke toilet alih – alih agar telat bergabung dengan divisiku. 

Setelah beberapa menit berlalu, aku berjalan mendatangi kumpulan divisiku. Terlihat disana Laura sedang menjelaskan sesuatu. ”Sorry telat habis dari toilet,” ucapku. Padahal aku sengaja pergi untuk meredam kegugupanku.

Okay, langsung bergabung saja ya. Catat yang perlu dicatat.” Matanya melirik ke arahku lalu melanjutkan kembali penjelasannya.

Saat itu Laura memposisikan dirinya sebagai penanggung jawab yang kelihatannya sudah pengalaman dalam acara ini. Ia menjelaskan teknis kerja untuk divisi ini. Sepertinya ia melupakan perkenalan kami minggu lalu. Tidak ada basa – basi sebagai teman atau apapun itu. Aku maklum sebab memang kami sedang berdiskusi formal di dalam forum.

“Mahesa… “ ia memanggilku.

“I-iya?” balasku membuyarkan lamunan.

“Sudah paham?” Tanyanya sambil memutar – mutar pulpennya di meja.

“Su-sudah,” balasku agak gugup. Sejujurnya aku tidak terlalu fokus dengan penjelasannya. Aku hanya fokus pada caranya berbicara, wajahnya, serta keindahan lainnya yang membuatku tidak fokus.

Okay …, paling itu saja penjelasan dariku. Untuk lebih lanjutnya nanti kita bahas lagi, ya,” ucap Laura.

“Ra, nanti bikin grup chat saja, agar lebih mudah berkomunikasi,” usul Regina.

“Boleh tuh,” sambung Raka.

Dengan ramah Laura mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya padaku. “Maaf, nomormu Sa?” Ia memintaku memasukan nomor di ponselnya. Dengan senang hati aku menekan nomorku di ponselnya lalu aku hubungi menggunakan ponselnya, agar nomornya juga bisa aku simpan.

*** 

Langit sepertinya sedang berbahagia. Sore itu cahaya matahari masih begitu terang padahal jam sudah menunjukan pukul lima sore. Diskusi hari itu dicukupkan saja. Kami semua sudah bubar untuk pulang kecuali beberapa mahasiswa yang masih ada kegiatan di Bengkel Seni. Aku berjalan menuju Kantin Pojok. Akhirnya aku punya nomor ponsel Laura, batinku.

Saat itu aku tidak langsung pulang, sebab aku yakin betul jalanan pasti sedang macet – macetnya ditambah hari Jum’at, pukul lima sore pula. Jam- jam karyawan pulang kantor. Aku memutuskan untuk duduk di Kantin menunggu jam crucial berlalu. Memesan satu gelas kopi untuk mengurangi kantuk adalah pilihan yang tepat. Aku tidak lagi bertemu Gopal atau teman yang lainnya lagi, 

Aku menunggu sambil memperhatikan beberapa mahasiswa bermain basket. Rasanya aku ingin juga mengikuti UKM basket. Mungkin nanti setelah acara festival selesai, agar waktunya lebih longgar. Satu jam berlalu, sudah pukul enam lewat saat itu. Aku memutuskan untuk pulang, sepertinya jalanan tidak terlalu padat pikirku. Aku membereskan barang-barangku sambil berharap hujan tidak turun malam ini.

Indahnya senja masih terlihat walau sudah pukul setengah tujuh malam, seperti matahari enggan bergantian dengan bulan. Motorku melaju perlahan, menikmati angin sepoi-sepoi di bawah senja yang siap digantikan dengan pekatnya malam. Sambil mengingat hari ini durasiku bertemu dengan Laura lumayan panjang, ditambah kami satu divisi. Artinya aku dan dia akan sering bertemu. Ah! Hari yang indah.

Entah mengapa hari itu sepertinya semesta mendukungku untuk move on. Aku melihat Laura di STISI Buahbatu, sebuah perhentian bus di Bandung. Laju motorku mengencang seolah ingin segera menghampirinya. 

Aku berhenti tepat di depannya. “Laura, sedang apa?” tanyaku.

“Menunggu dijemput Dimas nih! Lama juga,” jawabnya sambil sesekali melihat ke arah jam tangannya.

Aku langsung teringat ucapan Narendra, bahwa Dimas adalah kakaknya Laura.

“Pulang denganku saja, sepertinya akan turun hujan. Lagian arah rumahku juga sama denganmu.” Aku mencoba mengajak Laura untuk pulang bersama walau sebenarnya arah rumahku dan Laura berbeda.

“Tidak usah, Sa. Aku tunggu Dimas saja,” katanya.

Aku tidak menyerah begitu saja. “Coba kamu hubungi Dimas, bahaya disini jika terlalu malam.” Aku mencoba sedikit menakutinya. Laura mencoba menghubungi Dimas, rupanya Dimas masih mengurus kepanitiaan dengan Gibran katanya. Yes!!!, ucapku dalam hati.

“Tuh … Ayo pulang denganku saja!” Aku mengajaknya kembali, dengan raut wajah yang terlihat canggung ia menaiki motorku. Jantungku mulai tidak karuan kembali, berdegup layaknya dubstep. 

Motorku melaju perlahan, akal-akalan agar lebih lama dengan Laura. “Ra, beri tau arahnya, ya!” ucapku. “Lho … katanya searah dengan rumahmu?” tanyanya. Oh iya aku tadi bilang searah dengannya, batinku. 

“I-iya, maksudnya takut terlewat.” Aku mencari alasan lain.

“Ini masih lurus, kok,” katanya.

Beberapa menit berlalu, akhirnya sampai juga di rumah Laura. “Sa, terima kasih sudah antar aku pulang. Mau mampir?” Laura membuka helm, membuat rambutnya tergerai. Masih indah rupanya. Aku tersenyum, “Sama-sama Ra, aku langsung pulang saja. Khawatir turun hujan.” Padahal malam itu bintang terlihat jelas begitu bersinar. 

Dalam perjalanan pulang, aku masih tidak menyangka akan melewati hari yang cukup membuatku bahagia. Satu divisi dengan Laura, mempunyai nomor ponselnya, bahkan hari ini aku mengantarnya pulang. Aku tersadar bahwa aku sudah jatuh cinta padanya. Sejak aku bertemu dengannya secara tidak sengaja, semenjak itu aku menanti untuk bertemu kembali. Aku selalu memperhatikannya diam-diam, atau mungkin ia sadar namun pura-pura tidak tau. Tidak jarang aku selalu gugup saat di dekatnya, seperti aliran darah mengalir begitu kencang ketika bercakap dengannya. Iya! Sudah aku pastikan, aku jatuh cinta. Tapi mengapa secepat ini? batinku.

***

Sesampainya dirumah aku langsung menaiki anak tangga menuju kamarku. Langkahku terhenti sebab ibu memanggil. “Bintang, sini dulu, Nak!” katanya. Aku segera menghampiri ibu, “Ada apa, bu?” tanyaku.

“Tadi pak Arif mampir kesini, ada titipan dari Aceline untuk Bintang katanya.” Ibu memberikan amplop berwarna putih, di depannya tertulis “Untuk Mahesa Bintang … “

“Terimakasih, Bu.” Dengan raut wajahku yang sedikit bingung, aku mengambil surat itu dari tangan ibu dan pergi ke kamarku untuk bersih-bersih.

Aku menaruh surat dari Aceline di laci meja belajarku paling bawah, rencananya akan aku baca nanti setelah selesai mandi. Setelah selesai mandi aku duduk di kursi meja belajarku menatap laci tempat surat itu aku simpan. Mengapa Aceline mengirim surat padaku? Padahal dia sudah punya nomor ponselku, batinku. Belum sempat tanganku membuka laci tiba – tiba suara ponselku berbunyi. Dengan segera aku beranjak ke kasur mengambil ponselku.

TRING!!!

[Obrolan Grup]

(08:20 pm) Laura : Malam teman-teman, grup ini dipakai untuk koordinasi ya…

(08:25 pm) Laura : Raka, Regina, Mahesa?

(08:26 pm) Regina : Okay Ra.

(08:26 pm) Raka : Thanks Lau.

(08:27 pm) Mahesa : Thankyou Laura.

(08:27 pm) Laura : Besok pukul tiga sore apa bisa kita kumpul di Coffeeshop dekat kampus untuk bahas system pendaftaran karya?

(08:28 pm) Raka : Boleh tuh, lagian besok tidak ada kelas.

(08:28 pm) Regina : Bisa Ra, berkabar saja ya.

(08:29 pm) Mahesa : Boleh, besok free. Berkabar saja.

Schedule-ku untuk besok sudah pasti. Malam minggu besok aku akan bertemu Laura. Yah, walau dengan Regina juga Raka. Aku baringkan tubuhku yang begitu lelah di kasur. Rasanya nikmat. Sambil aku mencari media sosial Laura di instagram dengan nama panjangnya. Laura Zed Rainnatasya. Beberapa menit mencari, yes!!! Akhirnya aku mendapat media sosialnya. Jika dilihat dari feeds instagramnya sepertinya Laura  bukan typical orang yang aktif bermain media sosial. Di beranda instagramnya hanya terdapat dua foto yang terakhir kali ia unggah di tahun 2016. Satu fotonya bersama Dimas, satunya lagi foto dirinya duduk di taman. Cantik sekali.

***

Jika diibaratkan warna, hari ini mungkin warna merah muda. Walau begitu lelah namun membuat bahagia. Begitulah perasaan jika berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Walau hanya melalui obrolan grup, namun rasanya menyenangkan berbincang dengannya. Aku menikmati setiap pembicaraan dengannya yang mungkin terkesan kaku. Menutup dan membuka ruang pesannya hanya untuk memastikan Laura masih dalam status online. Aku bahkan mengetik beberapa kata di ruang pesannya sekedar mengucapkan selamat tidur, lalu menghapusnya. Berulang-ulang sampai tidak jadi aku kirim.

Kembali aku melihat media sosialnya hanya untuk melihat lagi dua fotonya itu. Namun, ternyata hanya sekedar mengirim pesan saja aku tidak berani. Ah! Apa setiap hal yang mengikutsertakan hati memang begini? batinku. Aku bahkan lebih grogi saat bercakap langsung dengannya. Tidak tau harus mulai dari mana. Padahal jika dengan teman yang lain aku biasa saja, santai. Sangat santai malahan. Proses jatuh hati memang sulit dimengerti. Apa semua orang jatuh hati selalu seperti ini? Takut melakukan kesalahan.

***

Notes from author :

Thankyou sudah mampir di chapter 6. Gimana Mahesa menurut kalian di chapter ini? Semoga setelah chapter ini Mahesa tidak jadi sadboy lagi ya guys, #MahesaBerhakBahagia.

Jangan lupa tinggalin like dan comment biar authornya lebih semangat. >,<

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dei.frp

    Cant wait to the next chapter!!!

    Comment on chapter DOTS - Chapter 1 : Missing Aceline Kalea
Similar Tags
love like you
399      279     1     
Short Story
Gray Paper
489      263     2     
Short Story
Cinta pertama, cinta manis yang tak terlupakan. Tapi apa yang akan kamu lakukan jika cinta itu berlabuh pada orang yang tidak seharusnya? Akankah cinta itu kau simpan hingga ke liang lahat?
Hoping For More Good Days
433      290     7     
Short Story
Kelly Sharon adalah seorang gadis baik dan mandiri yang disukai oleh banyak orang. Ia adalah gadis yang tidak suka dengan masalah apapun, sehingga ia selalu kesulitan saat mengahadapinya. Tapi Yuka dan Varel berhasil mengubah hidup Sharon menjadi lebih baik dalam menghadapi segala rintangan.Jujur dan saling percaya, hanya itu kunci dari sebuah tali persahabatan..
Awal Akhir
649      403     0     
Short Story
Tentang pilihan, antara meninggalkan cinta selamanya, atau meninggalkan untuk kembali pada cinta.
Si Mungil I Love You
539      311     2     
Humor
Decha gadis mungil yang terlahir sebagai anak tunggal. Ia selalu bermain dengan kakak beradik, tetangganya-Kak Chaka dan Choki-yang memiliki dua perbedaan, pertama, usia Kak Chaka terpaut tujuh tahun dengan Decha, sementara Choki sebayanya; kedua, dari cara memperlakukan Decha, Kak Chaka sangat baik, sementara Choki, entah kenapa lelaki itu selalu menyebalkan. "Impianku sangat sederhana, ...
Today, I Come Back!
3220      1041     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
CORAT-CORET MASA SMA
408      284     3     
Short Story
Masa SMA, masa paling bahagia! Tapi sayangnya tidak untuk selamanya. Masa depan sudah di depan mata, dan Adinda pun harus berpikir ulang mengenai cita-citanya.
Nonsens
450      331     3     
Short Story
\"bukan satu dua, tiga kali aku mencoba, tapi hasilnya nonsens. lagi dan lagi gadis itu kudekati, tetap saja ia tak menggubrisku, heh, hasilnya nonsens\".
Rain, Maple, dan Senja
877      519     3     
Short Story
Takdir mempertemukan Dean dengan Rain di bawah pohon maple dan indahnya langit senja. Takdir pula yang memisahkan mereka. Atau mungkin tidak?
The Journey is Love
556      382     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.