Loading...
Logo TinLit
Read Story - Desire Of The Star
MENU
About Us  

Banyak pertanyaan di kepalaku yang terus menghantui.

Apakah kamu masih menjadi wanita dengan senyum manis yang seringkali keindahannya aku curi secara diam - diam? Apakah kamu masih menjadi orang yang sama, wanita yang mampu melayangkan bayang - bayang menjadi kebahagiaan yang mengalir secara perlahan? Ceritakan padaku apa yang kamu alami selama tiga tahun terakhir. Kebahagiaan yang berlipat - lipatkah? Aku harap kamu selalu bahagia, sebab kebahagiaanmu masih sering kurapalkan dalam do'a.

***

Pagi itu tetesan embun masih menempel di kaca jendela kamarku. Udara dingin seperti biasa menyelimuti diri agar enggan untuk bangun. Terkadang aku malu pada embun yang seolah menertawakan aku setiap pagi. Mereka seolah berkata “Bangunlah Mahesa! Masih saja kau sembunyikan rindu di balik selimutmu itu. Bangunlah! Kau bisa menitipkan rindu pada angin.”

Suara khotbah di TV terdengar jelas sampai kamarku. Siapa lagi pelakunya jika bukan ibu. Aku langsung teringat bahwa ayah dan ibu akan berangkat pagi ke rumah eyang Ti. Aku bangun dan terduduk di samping tempat tidurku dan melihat ke arah kotak yang akan aku berikan pada Aceline. Kotak itu aku wrap dengan beberapa kali lilitan pita perekat berwarna bening, agar tidak ada yang bisa buka selain Aceline. 

Aku menuruni anak tangga dengan mata yang masih berat.

“Bintang… Ibu dan Ayah berangkat pukul tujuh ya nak, adikmu juga ikut.” Suara ibu terdengar kala melihatku di tangga.

“Lho Lita ikut?” tanyaku.

Lita menoleh padaku dari arah meja makan. “Ikutlah bang…” balas Lita

“Kamu hati – hati di rumah ya, ibu sudah siapkan makanan untuk dua hari kedepan tinggal kamu panaskan saja.” Ucap ibu sambil menaruh sarapan yang baru saja ibu buat. Menunya roti kukus pagi ini, juga ada makanan berat lain seperti nasi goreng dan tak lupa dengan telur matasapinya. 

“Ada yang akan kamu titip tidak, nak?” Ayah bertanya dari arah ruang TV.

“Oh ada yah.” Aku segera pergi menuju kamarku untuk membawa kotak untuk Aceline.

Aku memperlihatkan kotak itu pada ibu, “Ibu, aku titip ini untuk Aceline ya.” 

“Masukkan ke dalam tas coklat di kursi depan agar tidak tertinggal.” Ucap ibu sambil melihat ke arahku.

Aku berjalan menuju ruang tamu. Mataku menyisir beberapa tas yang akan mereka bawa. Bu…. Tas coklat yang besar ini?” Tanyaku dengan suara yang agak kencang.

“Iya…” Katanya. 

Aku langsung menyimpan kotak itu di dalam tas yang akan ibu bawa. Aku menyimpannya dengan rapih lalu aku pastikan tidak akan ada guncangan yang akan membuat kotak itu rusak.

Setelah ayah, ibu dan Lita selesai siap – siap dan sarapan, tibalah waktu perpisahan sementara ini dimulai. Aku akan sendirian di rumah selama dua hari. “Sudah sepi, makin sepi” batinku. Namun tidak apa – apa, sebab perpisahan ini akan membuahkan hasil. Mereka bertiga berpamitan. Aku menyalami dan mencium tangan ibu juga ayah, juga Lita yang berpamitan denganku

“Hati – hati di rumah ya Bintang, jangan lupa kunci semua pintu.” Ucap ayah mewanti – wanti sambil memasukan tas serta barang - barang yang akan mereka bawa.

Kita berangkat dulu ya, nak” Ibu mengusap kepalaku.

Sebelum berangkat ibu membuka kaca mobil dan mengangguk padaku, seolah tau apa maksudku. Kini aku menaruh harap besar pada ibu. Semoga Aceline membuka dan membaca kotak berisi yang aku titipkan pada ibu. 

Hari ini ada kelas pukul sepuluh pagi. Aku bergegas membereskan meja makan. Sebelum mandi dan bersiap – siap aku membereskan kamarku dulu, sebab biasanya setelah pulang kuliah aku selalu ingin langsung merebahkan diri di kamar. Aku ingat hari ini akan membantu Gopal pindah ke tempat kosnya yang baru. Jadi aku memutuskan untuk mempersiapkan baju ganti serta jas hujan khawatir akan pulang larut malam.

***

Selesai kelas aku dan Gopal pergi ke warung teh Lina. Cuaca sore itu masih cukup cerah. Aku memesan satu gelas es teh tarik, sedang Gopal memesan satu  gelas kopi hitam. Gopal mengantuk rupanya. Dari kejauhan aku melihat Aca datang menghampiri kami berdua sambil melambaikan tangan.

Ia menghampiri kami berdua. “teh Lina, Aca pesan es jeruk satu ya…” Katanya pada teh Lina lalu duduk di samping Gopal.

“Sudah lama tidak bertemu ya…” Ucap Aca sambil bersalaman denganku juga Gopal

“Lah kamu kan si paling sibuk Ca.” Gopal menimpali.

“Iya nih! Baru saja mulai kuliah aku sudah diberi berbagai macam tugas oleh dosen.” Aca mengeluh membalas ucapan Gopal.

Yah, namanya juga mahasiswa baru Ca.” Balasku sambil sesekali menyeruput minumanku.

“Ditambah beberapa senior menyebalkan gila hormat. Gila saja! Tempo hari, aku mengirim pesan pada kaka tingkat pembimbingku saat orientasi untuk bertanya apa saja yang dibutuhkan untuk nanti acara kelasku malah dibalas …. “Kalau mengirim pesan pada senior itu yang sopan dan bla .. bla .. bla” Aca bercerita sambil menggerutu, seolah rem di mulutnya sudah habis. Sesekali meneguk es jeruk yang ia pesan.

“Lah memang kamu tidak pakai salam?” tanyaku pada Aca.

“Yaampun Sa, lihat deh pesanku. Kurang sopan bagaimana coba?” Aca memperlihatkan chat di ponselnya padaku juga Gopal. Kalau aku lihat sih memang sudah cukup sopan.

“Hahaha….” Gopal tertawa. “Kamu memang salah Ca, harusnya awalan pesannya begini…. Selamat siang … Tuanku Yang Mulia, saya Aca mahasiswa baru yang dari Prodi Seni L-,” Belum selesai Gopal berbicara aku dan Aca sudah tertawa.

“Dasar kamu Gopal… Hahaha…” Aca tertawa sambil memukul pundak Gopal. Sore itu kami bertiga bercerita banyak hal.

“Gopal… Mahesa…” Ada suara yang memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan rupanya itu Narendra. 

“Eh Rend, darimana kamu?” tanya Gopal.

“Baru selesai kelas.” balasnya.

“Lho sore begini?” tanyaku pada Narendra.

“Iya, kelas dimulai pukul satu siang tadi.” Ucap Narendra sambil duduk di sampingku dan bersalaman sekaligus berkenalan dengan Aca.

“Narendra..” katanya sambil menjabat tangan Aca.

“Clara, panggil saja Aca.” Aca membalas jabat tangan Narendra.

“Hari ini jadi pindahan Pal? Tanya Narendra pada Gopal.

“Jadi Rend habis ini langsung ke tempatku yang lama mengambil barang. Barangku nda banyak sih, hanya satu buah koper dan satu ransel saja.” balas Gopal pada Narendra

Aku meneguk habis minumanku, “Ayo Pal, jangan terlalu sore.” Ajakku pada Gopal.

“Ayo Sa…” Gopal menghabiskan minuman di mejanya. Lalu kami berdua pamit meninggalkan Aca juga Narendra disana.

Aca kami tinggalkan sebab katanya ia masih menunggu Sekar temannya, sedang Narendra akan pergi ke Ruang Seni Kriya. 

Aku dan Gopal pergi ke tempat saat ini ia tinggal untuk membawa barang – barangnya mengendarai motorku. Sesampainya disana aku berpikir dan mengatur bagaimana bisa membawa koper Gopal dan satu ranselnya. Setelah berbagai percobaan akhirnya kami meninggalkan tempat Gopal yang lama dan pergi ke tempat kos Gopal yang baru.

“Pal… beri tahu aku jalannya.” Ucapku pada Gopal sambil mengendarai sepeda motorku yang dipenuhi oleh tas di bagian depan, sedang Gopal memegang kopernya di antara aku dan Gopal.

“Iya…” Katanya.

Lagi – lagi aku melewati halte bus itu kembali. Setiap melewatinya entah mengapa untaian saraf motorikku seolah – olah memaksaku untuk menoleh ke arahnya. Laju motorku cukup kencang, saat aku menoleh persekian detik dan aku merasa melihat wanita yang aku temui tempo hari. 

Sesampainya di kos baru Gopal sekitar pukul tujuh malam, aku melihat – lihat sekitar kamarnya. Rumah tiga tingkat bewarna putih dan coklat dengan interior luarnya bergaya American classic ini lumayan cukup besar. Rupanya dihuni beberapa mahasiswa maupun mahasiswi, juga tidak sedikit beberapa karyawan tinggal disini. Lingkungannya cukup rapih dan bersih. Terlihat ada dua penjaga di kos Gopal yang baru. Sepertinya rumah ini sengaja di design untuk dijadikan kamar kos – kosan. 

Kamar Gopal terletak di lantai dua dekat tangga. “Kamar kamu kok tidak di bawah atau di atas Pal?” Tanyaku pada Gopal sambil memperhatikan beberapa kamar lain dari balkon kamarnya.

“Yang masih kosong hanya ini, dan lagi di atas hanya khusus perempuan. Kalau di bawah ini campur antara laki – laki dan perempuan, nah kalau di lantai dua ini khusus lelaki. Gopal menjelaskan sambil menyapu kamar barunya.

“Lumayan besar dan bagus kan Sa?” tanya Gopal.

“Iya, ini sih bukan lumayan lagi Pal, elite….” balasku pada Gopal.

“Katanya Narendra, yang punya kos ini tinggal di luar negeri.” Balasnya. “Tuh kamar nya Narend nomor 18.” Gopal menunjuk kamar Narendra yang hanya beda dua kamar darinya. 

“Ohhh… “ Balasku sambil membuka ponsel, sebab sejak tadi ponselku bergetar namun karena masih dalam perjalanan aku tidak membukanya.

[*Panggilan tidak terjawab* IBU (3x)]

“Haduh ibu….” Batinku. Aku langsung membuka pesan dari ibu. Rupanya ibu memberi kabar bahwa ibu, ayah juga Lita sudah sampai di rumah eyang Ti. Aku segera membalasnya dengan memberi tau bahwa aku sedang membantu Gopal pindah ke tempat kosnya yang baru. Aku menunggu ibu membalas pesanku tidak tenang sebab ingin tahu bagaimana reaksi Aceline saat ibu memberikan kotak surat yang aku buat.

TRING !!! [Pesan diterima]

Ibu : Iya nak, sudah makan?

Mahesa : Sudah. Bu bagaimana sudah ibu berikan pada Aceline?

Ibu :“Sudah. Ibu juga sudah memberikan nomormu pada Acel. Dia semakin cantik lho nak… hehehe…”

Mahesa : Terimakasih ya bu. Oh iya bu, Acel ada di rumah?

Ibu : Sekarang sih tidak ada, tadi di jemput teman – temannya. Katanya ada acara.

Aku tidak membalas lagi pesan ibu, lalu membantu Gopal melipat baju – bajunya. 

Gopal melihat ke arahku, “Kenapa senyam - senyum sendiri gitu Sa? Kesambet kowe?” Tanya nya dengan heran melihatku yang sedari tadi terlihat salah tingkah memandang ponsel.

“Mau tahu saja.” balasku cuek

Setelah kamar Gopal sudah terlihat rapih aku merasa perutku keroncongan. Pal, cari makan ayo?” Aku mengajak Gopal untuk mencari makan keluar.

“Ayo Sa, karena kamu sudah bantu aku, tak traktir makan malam…” katanya, dan aku setuju.

Aku dan Gopal turun dan berjalan ke arah parkiran, tidak sengaja bertemu dengan Narendra dan satu temannya. 

“Lho, pada mau kemana?” tanya Narendra.

“Cari makan Rend ke depan, sekalian pulang.” Sambil aku menyalakan motorku.

“Oh iya hati – hati di jalan Sa.” balas Narendra padaku.

“Tak tinggal dulu yo Rend.. ucap Gopal pada Narendra.

Setelah selesai makan tidak jauh dari kos Gopal, aku mengantar Gopal pulang dan langsung pamit pulang padanya. Aku tidak sabar untuk sampai dirumah, merebahkan badanku dan menunggu pesan dari Aceline. Aku penasaran bagaimana reaksi Aceline saat membaca surat dariku. Apakah ia akan senang atau malah biasa saja, bahkan bisa jadi Aceline sudah mempunyai pacar disana? Ah! Pikiranku menjadi tidak tenang. Berlarian kesana kemari menduga – duga apa reaksinya.

Jalanan malam itu tidak begitu padat, mungkin karena sudah larut malam. Aku hanya menghabiskan waktu kurang dari satu jam untuk sampai dirumah, rupanya lebih cepat dari biasanya. Setelah mandi, aku merebahkan badan yang lelah ini di kasurku. Rasanya begitu nyaman di tambah udara Bandung yang kian dingin. Beberapa kali aku melihat ponsel menunggu pesan dari Aceline. “Kok dia belum juga mengirim pesan padaku ya? Apa dia belum baca suratnya?” Batinku berbicara sambil memperhatikan ruang pesan tanpa ada foto profile nya. Ternyata rasa lelahku mengalahkan penantian itu. Sampai akhirnya aku tertidur dengan ponsel berada di dadaku. 

***

Malam pun sudah berlalu, aku bangun dengan terkejut. Tanganku meraih jam di meja samping kasurku. “Haduh kesiangan…” Ucapku dalam hati. Waktu menunjukan pukul delapan pagi. Tidak ada suara khotbah dan suara ibu yang memanggilku seperti biasa, ditambah badanku mungkin terlalu lelah setelah kegiatan seharian kemarin. Aku tidak pergi ke kampus hari itu karena tidak ada jadwal. 

Aku membuka semua jendela dan pintu ruang tamu, bagaskara begitu gagah sudah menampakan sinarnya. Menyeduh segelas kopi dan duduk di teras sambil berjemur adalah salah satu caraku me-recharge energi. Aku teringat sesuatu, lalu mengambil ponselku di kamar. Lalu aku kembali ke teras untuk berjemur sambil membuka ruang pesan di ponselku, ada satu pesan dari nomor tidak dikenal masuk.

“Mahesa…” Hanya itu isi pesan yang ia kirim pukul dua pagi. Entah mengapa perasaanku kuat sekali berkata kalau itu Aceline, namun mengapa ia mengirim pesan selarut itu pikirku. Aku langsung membalasnya tanpa pikir panjang “Aceline?”. Aku menunggu balasannya beberapa menit, dengan perasaanku yang begitu gundah. Satu jam berlalu, dua jam berlalu hingga jam menunjukan pukul sebelas siang. 

TRING !!! [Pesan diterima]

Aceline : Mahesa aku sudah baca surat darimu.

Mahesa : Syukurlah. bagaimana kabarmu? Aku rindu Cel.

Aceline : Baik.

Mahesa : Acel, apa aku mengganggumu?

Aceline : Tidak, bagaimana kabarmu Mahesa?

Mahesa : Aku baik Cel. Aku mencoba menjalani kehidupan sebagai mahasiswa baru sebaik mungkin. Oh iya kamu jadi kuliah dimana Cel?

Aceline : Belom Sa, aku tidak lulus masuk perguruan tinggi yang aku mau. Jadi aku memutuskan untuk mengikuti seleksi lagi tahun depan.

Mahesa : Oh begitu, kalau boleh tau memang kamu pilih dimana?

Setelah pesan terakhirku itu Acel tidak lagi membalas pesanku. Aku menunggu balasan Acel dengan cemas. Ingin rasanya aku langsung bertanya mengapa sikapnya berubah padaku, aku merasa seperti bukan Aceline yang aku kenal dulu dan ia pun tidak seceria dulu jika dilihat dari pesan – pesan yang ia kirim, begitu singkat dan dingin. Ya, aku paham walau bagaimana pun akan ada rasa canggung antara kami berdua semenjak tidak pernah berkomunikasi selama tiga tahun lebih walau sudah bersahabat sejak kecil. 

Aku dan Aceline sudah lama tidak saling bertatap mata bahkan berkomunikasi via telepon pun tidak pernah, tapi aku tidak pernah lupa sinar matanya ketika menatapku dengan penuh keceriaan itu. Aku tidak bisa melupakan senyumnya yang seringkali membuatku bertanya-tanya, tidak ada diksi yang pas untuk mengungkapkan perasaanku dulu. Mungkin, kita dulu masih sangat kecil untuk berbicara dan berbincang tentang cinta. Karena hatinya dan hatiku belum siap memahami yang telah terjadi saat itu. Setiap pertemuan dengannya adalah goresan baru dalam kertas putih, aku berharap tidak ada penghapus yang mampu menghilangkan hari-hari menyenangkan yang pernah aku dan dia lalui dulu.

***

 

Notes from author :

Hai teman - teman, terimakasih sudah menyempatkan waktu di chapter 4 ini. Kalo di pikir - pikir dari chapter awal, Mahesa Bintang sad boy banget ya. Pengen deh rasanya comblangin Mahesa sama temen kampusnya, biar ngga mikirin Acel terus. Ya, walaupun kita juga belum tau sih POV dari Acel bagaimana, kenapa dia hilang kabar dan secuek itu sama Mahesa padahal mereka udah sama - sama sejak kecil. Jadi ngga sabar ingin tau kenapa Acel jadi berubah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • dei.frp

    Cant wait to the next chapter!!!

    Comment on chapter DOTS - Chapter 1 : Missing Aceline Kalea
Similar Tags
Acropolis Athens
5500      2061     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.
Partnershift
426      298     4     
Romance
"Kerja dalam shift adalah ujian kesabaran, dan Wahyu adalah instruktur utamanya." Bagi Miska, bekerja di minimarket Primamart yang ramai di sudut pedesaan bukan hanya soal melayani pelanggan, tetapi juga menghadapi Wahyu—rekan kerja yang selalu memanggilnya “Nyonya” dengan gaya lebay. Di antara lelucon receh dan perdebatan kecil yang sering muncul, tanpa disadari mereka membangun kenyama...
Mutiara -BOOK 1 OF MUTIARA TRILOGY [PUBLISHING]
14156      2882     7     
Science Fiction
Have you ever imagined living in the future where your countries have been sunk under water? In the year 2518, humanity has almost been wiped off the face of the Earth. Indonesia sent 10 ships when the first "apocalypse" hit in the year 2150. As for today, only 3 ships representing the New Kingdom of Indonesia remain sailing the ocean.
Melody Impian
639      437     3     
Short Story
Aku tak pernah menginginkan perpisahan diantara kami. Aku masih perlu waktu untuk memberanikan diri mengungkapkan perasaanku padanya tanpa takut penolakan. Namun sepertinya waktu tak peduli itu, dunia pun sama, seakan sengaja membuat kami berjauhan. Impian terbesarku adalah ia datang dan menyaksikan pertunjukan piano perdanaku. Sekali saja, aku ingin membuatnya bangga terhadapku. Namun, apakah it...
Le Papillon
3230      1271     0     
Romance
Victoria Rawles atau biasa di panggil Tory tidak sabar untuk memulai kehidupan perkuliahannya di Franco University, London. Sejak kecil ia bermimpi untuk bisa belajar seni lukis disana. Menjalani hari-hari di kampus ternyata tidak mudah. Apalagi saat saingan Tory adalah putra-putri dari seorang seniman yang sangat terkenal dan kaya raya. Sampai akhirnya Tory bertemu dengan Juno, senior yang terli...
Unending Love (End)
17221      2566     9     
Fantasy
Berawal dari hutang-hutang ayahnya, Elena Taylor dipaksa bekerja sebagai wanita penghibur. Disanalah ia bertemua makhluk buas yang seharusnya ada sebagai fantasi semata. Tanpa disangka makhluk buas itu menyelematkan Elena dari tempat terkutuk. Ia hanya melepaskan Elena kemudian ia tangkap kembali agar masuk dalam kehidupan makhluk buas tersebut. Lalu bagaimana kehidupan Elena di dalam dunia tanpa...
ATHALEA
1403      629     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
Luka di Atas Luka
451      303     0     
Short Story
DO NOT COPY MY STORY THANKS.
THROUGH YOU
1341      852     14     
Short Story
Sometimes beautiful things are not seen; but felt.
Letter From Who?
488      339     1     
Short Story
Semua ini berawal dari gadis bernama Aria yang mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Semua ini juga menjawab pertanyaan yang selama ini Aria tanyakan.