...
"Mmm, sebelumnya aku minta maaf 'ni ...." Lagi dan lagi, ucapannya terhenti. Karina benar-benar merasa tak enak hati.
Ya, ucapannya itu lekas terhenti, tepat setelah ia kembali melihat ke arah Zahra. Pandangan sayup dari Zahra kala itu, seakan telah kembali membuatnya merasa tak enak, untuk bisa mengatakan hal yang terkesan sensitif ini terhadapnya.
Hening dalam beberapa detik. Lalu setelahnya, Zahra yang sempat tertunduk dalam hitungan detik setelahnya pun, ia turut berupaya untuk bisa tersenyum—melawan kata hatinya—berusaha membuat hatinya dan suasana di antara mereka tetap tenang, karena yang sebenarnya, apa yang sempat Karina duga mengenai ibunya Zahra, hal itu terasa sejalan dengan apa yang juga sempat Zahra pikirkan. Meski sejatinya, Ibunya Zahra sangat-sangatlah baik pada sang anak sematawayangnya ini—jauh dari kata kriminal atau sisi negatif—bila mana memang benar, bahwa Zahra merupakan korban dari penculikannya.
Ya, ini benar-benar terkesan ambigu. Mungkinkah asumsi itu benar? Jika saja benar, apa motifnya? Untuk apa semua ini dilakukan, oleh seorang ibu yang telah dengan sebaik mungkin merawat Zahra. Bahkan kini, Zahra yang dulunya masih dalam gendongan dan timangan pun, telah tumbuh menjadi remaja yang baik hati dan pintar. Lalu apa? Ada apa?
Benar-benar begitu penuh dengan keambiguitas. Semua clue memang belum bisa pas dibenarkan, semuanya memang belum memiliki bukti yang spesifik mengenai hal ini. Entah apa yang telah terjadi sebenarnya. Namun meskipun begitu, pastinya akan ada waktu, di mana semua kebenaran akan terungkap dengan jelas.
Kini setelahnya, tepat setelah keheningan itu terjadi, tepat setelah Zahra berupaya mengulas senyuman di bibirnya, lantas ia pun lekas kembali melihat ke arah Karina. "Sebenarnya aku tahu, kamu mau bilang apa soal Ibu. Maybe, kita juga sepemikiran." Setelah ia mengatakan hal ini, Zahra pun kembali tertunduk—benar-benar merasa bingung.
"M-maksudnya? Sepemikiran?" Karina cukup terkejut, setelah ia mendengar hal ini dari Zahra.
"Mmm, sebenarnya aku masih belum ngerti, tapi di sisi lainnya, aku juga sempat mikir, kalau aku bukan anak kandungnya Ibu. Ya ... meskipun Ibu baik banget sama aku, seakan-akan seratus persen ... bahwa aku memang benaran anaknya, tapi untuk bisa mengatakan bahwa aku memang benar-benar anak kandungnya Ibu, rasanya ... soal ingatan aku sendiri, aku masih belum bisa menemukan ingatan apa pun tentang Ibu, tentang Ayah, maupun tentang siapa orang tua aku yang sebenarnya.
"Semua ini benar-benar aneh, dan susah untuk bisa aku pastikan. Entah hal-hal apa yang sebenarnya udah aku alami selama ini, aku benar-benar nggak paham," keluh Zahra, sembari berupaya menekankan, bahwa asumsi itu pun belum tentu bisa dibenarkan—mengingat dirinya memang benar-benar tidak bisa mengingat apa pun itu—suatu hal yang kiranya jelas, menetukan siapa dirinya yang sebenarnya, di dalam ruang ingatannya sendiri.
Mendengar hal itu, tentu saja Karina lekas mampu memahami, akan apa yang sebenarnya ingin Zahra sampaikan—meskipun kalimatnya Zahra barusan, cukup terdengar tersirat, bahwa ia pribadi pun sempat beranggapan yang sama, tapi meskipun begitu, ia pun tetap tak mampu mengatakan, bahwa kecurigaan itu bisa terduga benar, apalagi sampai ikut mengatakan, bahwa dugaan ini bisa saja benar dalam jumlah sekian persen. Ya, tentunya Zahra sama sekali tak mampu mengatakan hal ini. Sungguh, kisahnya ini benar-benar terkesan plot twist, bahkan bagi dirinya sendiri.
Kini, Karina kembali melihat ke arahnya, turut kembali memegang tangannya Zahra.
"Umm, oke. Aku bisa paham, apa yang kamu maksud. Jujur, aku juga pasti bingung, dan bahkan benar-benar ngerasa aneh dengan itu semua ... kalau aja aku yang lagi ada di posisnya kamu. Mmm, selain itu, aku juga nggak bisa berkomentar lebih.
"Apa pun itu, aku cuma bisa bantu kamu. Ya ... aku memang nggak bisa paham soal ini dengan pasti, tapi aku janji, aku bakalan berusaha untuk terus bantu kamu sebisa aku, dan aku janji, InsyaAllah pastinya ... aku bakalan jadi orang pertama yang bisa ngelihat kamu tersenyum, di hadapan orang-orang yang dulunya mungkin pernah kamu cintai, dan sebisa mungkin kita akan terus bersama-sama lebih dari ini, menemukan banyak kebenaran tentang segalanya." Karina mengatakan kalimat panjangnya ini dengan penuh ketulusan, turut melihat ke arahnya dalam senyuman, lalu ia pun lekas memeluk Zahra.
Melihat hal itu, serta turut merasakan kesan ketulusan itu darinya, sontak Zahra pun turut tersenyum haru—lekas membalas pelukan itu darinya—merasa ia memang benar-benar telah memiliki tempat yang tepat, untuk bisa selalu mendapatkan dukungan.
"Thanks, Rin. Aku nggak tahu bisa cerita senyaman ini ke siapa lagi, selain ke kamu. Makasih banyak, ya. InsyaAllah, You are always the best for me. Aku juga benar-benar pengen, kalau kita bakalan bisa jauh lebih dekat, dari kita yang sekarang." Zahra.
"Iya, Za. Sama-sama. InsyaAllah kita pasti bisa." Karina menyudahi pelukan itu, dan kembali melihat ke arah Zahra dalam senyuman.
Tak hanya Karina, tentunya Zahra pun turut tersenyum tulus bersamanya.
***
Hijau, putih dan biru, adalah warna yang telah mengajaknya, sebagai bentuk proses untuk bisa mengingat, dan menemukan siapa dia. Ya, dia yang selalu hadir menemani dirinya, dalam alam mimpi yang tak begitu ia pahami, dan ia bagaikan suatu misteri terbesar bagi Zahra, untuk bisa kembali ia ingat. Ya, itulah si dia yang telah cukup lama membentuk rasa penasaran, dan juga rasa rindu, yang telah membenak pada hati serta alam pikirnya.
...
"Makasih ya, untuk ini."
"Iya sama-sama. kamu masih ingat 'kan tentang foto ini?"
"Masih dong, waktu itu ... kita ngejar kupu-kupu di taman, tapi sayangnya nggak dapat-dapat."
"Iya, mau foto aja susah, dan akhirnya malah kita yang foto. Sempat jatuh lagi."
....
Bugh!
"Astagfirullah ...."
Suara orang terjatuh itu, berasal dari kamarnya Zahra. Ya, setelah tadi ia menghabiskan waktu bersama Karina, dan setelah ia menunaikan kewajibannya, ia memang memilih untuk beristirahat sejenak.
Kejadian yang sebelumnya, tepat setelah karina pulang, Zahra pun kembali berada sendirian di dalam kamarnya. Kala itu, ia tak sengaja tertidur, setelah ia kembali mengingat beberapa hal, yang sejatinya belum bisa ia ingat dengan jelas.
Suara jatuhnya dia dari tempat tidurnya, serta kalimat ucapan 'Astagfirullah' yang sempat ia gumamkan tadinya, kedua suara itu memang tak begitu keras terdengar, tapi bertepatan pada saat itu pula, Ibunya Zahra turut membuka pintu kamarnya Zahra—melihat putrinya tengah duduk di bawah sana, dengan kondisi raut wajah yang seakan perlu untuk dipertanyakan.
"Kamu kenapa?" tanya Ibunya Zahra, cukup merasa khawatir—melihat ekspresi keheranan dari putrinya—bahkan pada saat itu juga, fokus Zahra benar-benar buyar—tak menyadari, bahwa Ibunya telah masuk sepenuhnya, ke dalam kamarnya itu.
Awalnya, Zahra memang tak menyadari kehadirannya. Namun tentunya, tepat setelah ia mendengar suara ibunya, Zahra pun lekas tersadar—lekas melihat ke arahnya, dan turut berkata, "I-iya, Bu?"
Lantas setelahnya, Ibunya Zahra pun tampak mengernyitkan alisnya—merasa heran. Lalu kemudian, ia pun lekas melangkah lebih masuk—hendak menghampiri Zahra. "Kamu kenapa, Nak? Ada apa? Hmm?" Dengan lembut dan penuh perhatian, Ibunya Zahra memegang pundak putrinya—ingin mengetahui alasan, kenapa Zahra bisa tampak seheran itu, meski tak ada apa pun, yang rasanya dapat ia acukan sebagai objek yang tepat.
"Mmm," -Zahra tampak berupaya mengulas senyuman, meski di dalam hatinya sendiri, tengah banyak pertanyaan yang mencuat- "ng-nggak apa-apa kok Bu. T-tadi, tadi Zahra cuman mimpi doang."
"Mimpi?"
"I-iya, tadi Zahra mimpi. Mungkin, salahnya Zahra juga, karena udah tidur di jam-jam segini. Harusnya, Zahra nggak boleh tidur setelah jam asar. Mmm, oh ya Bu ... Zahra mau salat magrib dulu, ya, Bu. Udah masuk waktu magrib, 'kan? Terus setelahnya, Zahra mau buat tugasnya Zahra yang belum selesai."
Zahra benar-benar terkesan gelisah akan hal ini—begitu banyak pertanyaan yang hadir di dalam benaknya. Ini semua kembali terjadi, sebab potongan mimpinya yang tadi—sebuah dialog antara ia dengan seseorang yang benar-benar terasa nyata, tapi rupanya tak mampu ia ingat dengan jelas.
Lantas sebab hal ini, tepat setelah ia mengatakan kalimatnya yang tadi, Zahra pun lekas tegak dan melangkah—meninggalkan ibunya.
Melihat putrinya yang tengah melangkah kala itu, dengan belum berhenti heran akan kejanggalan tersebut—mengenai apa alasannya, Zahra kembali bertingkah demikian, alhasil Buk Sekar pun lekas ikut melangkah, turut meraih tangan putrinya. "Kamu benar-benar nggak apa-apa, Nak?" lagi dan lagi, intonasi rasa kecemasan pun turut hadir pada nada bicaranya.
Mendengar hal ini, sontak Zahra memilih berbalik arah—kembali melihat ke arah ibunya. "Iya, Bu. Zahra nggak apa-apa, kok."
"Kamu serius? Kamu nggak bohong sama Ibu?" tanya-nya kembali.
"I-iya, Bu. Ibu tenang aja, Zahra nggak apa-apa, kok." Zahra kembali berupaya untuk bisa meyakinkannya.
Setelah mendengar jawaban ini berulang kali dari Zahra, lantas ia pun melepaskan pegangan tangannya itu padanya—meski masih banyak hal yang membuat hatinya merasa tak enak.
Melihat hal ini, Zahra pun lekas berkata, "Mmm, Ibu udah salat?"
Ibunya Zahra—Buk Sekar, ia kembali melihat ke arahnya, lalu ia pun lekas menggeleng—sebagai jawaban.
"Belum? Oke, kalau gitu, Zahra ambil wudu dulu, terus Ibu juga, dan kita bakalan salat magrib sama-sama. Gimana, Bu?" Zahra.
"I-iya," singkatnya.
Lalu setelahnya, Zahra pun lebih dulu melangkah, hendak mengambil air wudu. Sementara Buk Sekar, ia masih terdiam sejenak—seakan ada suatu beban pikiran, yang tengah kembali menghantui ruang pikirnya. "Ada apa dengan Zahra? Apa dia ... apa dia memang udah mulai ingat sesuatu?" batinnya.
Muncul fakta lainnya. Next up, Kak 🙏🏻🤍
Comment on chapter Chapter 10. Dea?