SUDAH beberapa hari ini Tika sulit memejamkan matanya bila matahari sedang menyinari belahan bumi lain. Pikirannya selalu tertuju pada pesan WhatsApp malam itu. Ia tahu benar siapa yang memanggil dirinya 'Laras'. Dan itu membuatnya gila. Bukan. Bukan dia yang gila. Tapi orang itu!
Kenapa tidak gila? Nomornya sudah diblokir dan dia tetap mencoba menghubungi dirinya dengan nomor lain? Dan, apa maksudnya coba mengirim pesan rindu?
Sungguh nggak masuk akal itu manusia. Kezzzeeel!
Fahmi.
Mengucapkan namanya saja sudah membuat Tika sakit kepala. Sudah lama Tika tidak menyebut namanya dengan lantang. Dan gara-gara itu, memori demi memori muncul kembali bagai bunga api dalam benak Tika.
Setiap pertemuan, setiap ucapan, setiap perlakuan Fahmi padanya bagai baru terjadi kemaren sore. Semua ingatan tentang dia seakan masih segar, sejenih kristal. Tika tidak sadar terus memikirkan pesan itu.
Tak ayal, produktivitas Tika pun terganggu. Jam tidur yang kurang membuat dia tidak konsentrasi mengerjakan proyek terjemahan. Biasanya satu hari, Tika bisa menyelesaikan minimal dua buku. Tapi sekarang, setengah buku saja sudah hebat.
Banyu juga mempunyai andil membuat Tika resah sepanjang malam. Terima kasih kepada Banyu yang selalu mengingatkan Tika perkembangan terjemahannya. Karena setiap yang dibicarakan Banyu di telepon atau di pesan WhatsApp hanya, Sudah sampai mana progresnya, Tik? Atau, Ingat deadline tanggal 20 Juni, Tika. Jangan kasih kendor. Pekerjaan selanjutnya menunggu lo. Kata-kata Banyu seperti bayangan yang selalu mengikutinya ke manapun Tika pergi.
Nyu, kalo bukan karena lo co-founder dan manager handal, lo udah gue pecat dari Andalusia. Just kidding, Nyu.
Andalusia adalah sebuah perusahaan jasa bergerak di bidang penyediaan interpreter multi bahasa, jasa terjemahan bersertifikat, dan kursus keterampilan Bahasa Inggris khusus percakapan. Bersama Banyu, teman kuliahnya dulu di jurusan Sastra Inggris, Tika memrakarsai pembentukan Andalusia di Batam. Kini Andalusia sudah mulai dikenal khalayak dan sering bekerja sama dengan penerbit mayor untuk menerjemahkan beberapa karya penulis luar negeri yang best seller.
Walaupun Tika pindah ke Jakarta, tidak menghambat kinerjanya sebagai penerjemah. Berkat Banyu, Andalusia selalu mendapatkan proyek-proyek yang membuat mereka tetap bekerja dan pundi-pundi selalu masuk.
Tapi, akan ada satu hari dalam satu minggu, satu saat dalam satu hari, tubuh kita tak mampu lagi berkompromi dengan waktu. Saat itu kini sedang menghampiri Tika, di mana setiap sel dalam tubuhnya menolak untuk tetap terjaga. Badannya lelah dan matanya memaksa untuk menutup. Padahal ia harus tetap siaga bila bersama Galih.
Berhubung Tante Helen sibuk memasak pesanan makanan majelis taklim untuk kelompok arisan ibu-ibu komplek sebelah, Galih diserahkan pada Tika untuk diasuh dan dijaga. Tika tidak akan keberatan sama sekali karena dia sendiri rela menyerahkan dirinya seharian bermain dengan si boneka sipit yang gemoy itu.
Namun, yang menjadi masalah adalah si boneka oriental terlalu aktif hari ini, dan dirinya terlalu mengantuk.
“Galih, yuk kita pulang. Udah waktunya bobok, lho.” Tika mengejar Galih yang masih berlari. Si kecil menunjuk-nunjuk taman bermain komplek yang berjarak empat rumah dari rumah neneknya.
"Kecitu, Ante. Kecitu."
"Tapi Galih harus pulang, Sayang. Nenek mau pergi, Lih. Nanti Nenek kecarian kita," bujuk Tika tidak menyerah. Bernegosiasi dengan anak kecil? Tidak segampang itu Rudolfo!
"Mau naik itu, Ante Ika." Galih tidak mendengarkan Ante Ikanya. Si Kecil menunjuk seluncuran jarak pendek dan tidak terlalu tinggi berwarna biru dengan tangga kecil dan gazebo dari kayu.
Haaah. Oke sabar. Masih ada cara lain. Oh, kantuk, jangan datang dulu. Gue mesti bikin Galih tidur, baru lo bisa berkompromi sama gue.
"Oke. Kita main seluncuran. Tapi habis ini janji ya sama Ante, Galih harus bobok siang."
"Ya," jawab singkat Galih. Segera saja Tika ditarik ke sana kemari oleh Galih untuk memuaskan keinginannya bermain seluncuran.
Lima belas menit yang melelahkan kemudian, setelah dibujuk istirahat untuk minum dari tumbler yang siaga dibawa di tas kecil, Tika meraih Galih dalam gendongannya. Dan kalian tahu apa yang terjadi? Galih tidak berontak. Malah dalam perjalanan ke rumah Tante Helen, kepala Galih semakin berat dan tertidur di bahu Tika bahkan sebelum mencapai pagar hitam rumah neneknya.
"Tante, aku pulang."
"Tika? Galih tidur?" tanya Tante Helen takjub dan menaikkan alisnya. Matanya membola seakan tidak percaya.
"Dia jarang banget lho, ketiduran dalam gendongan orang lain. Galih cuma mau tidur di gendongan Tante atau Om selain papanya."
"Mungkin kecapekan, Tan. Galih habis lari-larian di taman bermain."
"Mungkin dia sudah merasa cocok."
Eh, maksudnya?
"Gimana, Tan?" tanya Tika tidak paham.
"Ayok, ikut Tante." Tanpa menghiraukan pertanyaan Tika, Tante Helen masuk ke sebuah kamar yang sepertinya disulap menjadi kamar anak-anak. Ada banyak mainan dan boneka bertebaran di setiap sudut ruangan.
Ah, kamar Bang Emil.
Foto pernikahan Emil yang terpasang di dinding langsung terlihat dari pintu masuk. Beberapa foto juga tersusun rapi di meja rias. Lalu matanya menubruk kepada sebuah frame foto yang tersembunyi agak di belakang: foto Emil dan Anneke yang sedang berpelukan mesra.
Irinya. Mungkin kalau hubungan kami nggak ada masalah, dia jujur, mungkin gue dan Fahmi.... STOP Tika. Kenapa gue malah mikir yang nggak-nggak?
Tika cepat-cepat menggeleng, berharap bisa mengusir pikirannya yang sudah jauh berkelana.
"Galih ditidurin di sini aja, Tika," perintah Tante Helen. Beliau menunjuk kasur ukuran king dengan sprei biru langit motif karakter binatang. Tika kembali menjejak realita bahwa Galih, anak Emil dan Anneke sedang dalam gendongannya.
"Baik, Tan."
Galih ditelakkan dengan sangat hati-hati di atas kasur yang luas dan empuk itu. Sebuah selimut katun tipis sejuk menyelimuti si boneka sampai ke dadanya. Tak lupa, Tika meletakkan semua bantal dan guling di sekeliling Galih. Sebuah matras tebal Tika hamparkan di bawah kasur sebagai proteksi ganda bila Galih berguling turun.
"Akhirnya selesai. Galih tidur. Checked. Kasur aman. Checked. Gue ngantuk berat. Triple Checked," gumam Tika pada dirinya.
Tika melihat area kosong di sebelah Galih. Kasur empuk itu sangat mengundang dirinya untuk merebahkan badan. Matanya sudah berkunang-kunang. Bagai magnet, tubuhnya merebah dengan cepat. Dan setelah itu Tika tidak ingat apa-apa lagi.
***
"Tante Ika mana, Papa?"
"Tante Ika lagi tidur. Jangan di ganggu ya, Em."
"Yah, padahal Emi mau main."
"Boleh, tapi nanti, ya. Dan Papa yakin Tante Ika juga belum makan siang. Setelah Tante Ika launch mainnya, ya?"
"Okay, Papa."
"Em."
"Ya, Papa?"
"Emi suka Tante Ika?"
"Suka."
"Kenapa?"
"Tante Ika baik. Suka main sama Emi."
"Terus?"
"Tante Ika juga cantik, Papa. Seperti Mama."
"Iya. Tante Ika … memang cantik."
Lalu hening. Tika tidak mendengar apa-apa selama beberapa saat.
Ah, mimpi ini terlalu nyata, pikir Tika di tengah mimpi indahnya.
Dan setelahnya, hanya sayup-sayup percakapan tadi sampai ditelinganya. Soalnya Tika masih mengantuk. Sangat. Maka dari itu Tika berniat meneruskan tidurnya. Sepertinya dirinya lupa sedang berada di kamar orang lain.
Masalahnya, suara tadi tetap berdengung dari suatu tempat di rumah ini. Ditambah harum telur dadar menari-nari di hidungnya, membuatnya tidurnya tidak tenang. Sebab: Tika. Sangat. Lapar.
Mau tak mau, Tika memaksakan tubuhnya untuk bangkit dari peraduan empuk. Lama-lama suara yang ia dengar semakin jelas di telingnya. Seketika Tika terkesiap lalu segera turun dari ranjang dan berlari ke pintu.
"Abang udah datang?" Tika dengan muka bantal sekaligus wajah bersalah seperti tertangkap basah berjalan cepat menuju meja makan.
"Tante Ika," pekik Emily.
"Emi." Tika mencium puncak kepala si boneka.
"Bang..." Tika menjatuhkan bokongnya di kursi, berseberangan dengan Emil. "Aku, minta maaf. Aku ketiduran di kamar. Beneran lho, aku nggak bermaksud tidur di sana."
"Nggak apa-apa, Dek."
"Tapi kan, itu kamar Kak Emil dan..."
Sambil tersenyum, Emil menaikkan tangannya, menyuruh Tika agar tidak usah khawatir.
"Mama tadi udah cerita, kok. Kamu habis jagain anak Abang. Mama lihat kamu menguap berkali-kali, tapi kamu berusaha menahan diri biar nggak tidur. Jadi Mama biarin kamu tidur di dalam. Abang aja bisa lihat mata panda kamu, kok."
Refleks Tika menyentuh area bawah matanya.
Ugh, efek nggak cukup tidur beberapa hari ini.
"Tapi aku sungkan, Bang."
Kenapa gue pake ketiduran segala, sih? Tapi kasurnya empuk banget, jadi...
"Tika, Tika. Kamu tuh kebiasaan suka nggak enakan. Abang nggak marah, kok. Jadi santai aja."
"Tapi Bang..."
“Udah. Kamu belum makan siang, kan? Yuk makan bareng Abang.”
"Aku juga belum, sih," cicit Tika. Mata laparnya mulai menjelajah hidangan yang terhampar di meja makan persegi panjang. "Eh, nggak jadi, Bang." Tika panik dan segera beranjak dari ruang makan. "Aku lupa kalau belum salat zuhur dan mau siap-siap jemput Ikal."
"Tika, tunggu!"
Segera saja Tika rem langkahnya. "Ada apa, Bang?"
"Jangan khawatir soal Ikal. Dia sudah ada yang jemput."
"Maksud Abang?" Tika kembali ke meja makan, menatap Emil bingung bergantian dengan menyaksikan Emily yang lahap makan timun. Ia gagal fokus setelah melihat timun yang dipotong berbentuk bintang. Ternyata ada bentuk bulan dan matahari juga.
"Kamu tahu Pak Ridwan, yang jualan pentol depan komplek? Dulu kita sering jajan sama beliau?"
"Iya, aku sering minta traktir dibeliin pentol sama Abang dan Bang Bintang. Hubungannya dengan Ikal?"
"Beliau sekarang ngojek, tapi seringnya sepi pelanggan. Jadi Abang tawarin untuk jemput antar Mama ke pasar. Sekalian untuk seterusnya jemput antar Ikal . Nggak apa-apa ya, Dek?"
Ya, kan? Kak Emil lagi-lagi bertindak semaunya.
"Tapi Ayah Ibu belum tahu." Kekalutan Tika dibalas dengan senyum teduh.
"Nggak usah khawatir. Ayah dan ibu kamu sudah tahu, kok. Malah mereka lega, kamu nggak harus bermotor lagi di jalan raya. Lagian, nggak cuma mereka yang cemas, Dek."
"Memangnya siapa lagi yang cemas selain ayah dan ibu?"
"Abang."
Gadis berhijab itu mematung. Yang dilakukannya hanya menatap Emil, seakan telah kehilangan kemampuan bicara.
"Dan soal biaya, it's all on me. Okay?"
Lihat, kan? Gue nggak punya alasan untuk membantahnya. Gue bahkan nggak diberi kesempatan untuk berargumen.
"Aku nggak bisa menolak, kan?"
Emil malah tertawa lepas dan diakhiri dengan senyum pepsodent-nya.
"Tika, Tika. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah cuci muka sana. Abang akan menunggu. Abang lapar banget, by the way," ucap Emil ringan.
Tika menghembuskan napas kekalahan. Ia tidak tahu apa harus marah, kesal, atau berterima kasih pada bapak-bapak dua anak ini.
"Baiklah," ucapnya sambil memutar bola matanya samar. "Tunggu sebentar."
***
Kini Tika sedang menyaksikan Emil dalam Mode Papa. Ia menyuapi Galih dengan cekatan meski bocah oriental itu makan sambil mengitari setengah luasnya rumah lantai satu ini. Sedang Tika sendiri sedang meninabobokkan Emily yang tertidur di sofa. Emily meminta dirinya menjadi bantal di paha Tika.
Tika tidak sadar sedang melengkungkan senyum tipis melihat pria yang dalam balutan kemeja, lengan yang sudah di gulung ke siku, dan dasi longgar sedang mengejar anaknya demi sesuap nasi.
Emil, The Bapakable yang sudah menjadi bapak-bapak.
"Bang, aku kok nggak pernah ketemu Kak Anne?" tanya Tika setelah drama Galih lari-larian sambil makan selesai. Emil tengah menemani Galih bermain blok kayu di karpet.
"Anne sudah tenang di sana," jawab Emil ringan. Bibirnya melengkungkan senyum, namun tidak dengan matanya.
Bersambung
Ndak bahaya, ta?
******
Hai penikmat kisah Tika yang mencari the spark cintanya...
The Spark Between Us aku kunci mulai bab 10 dan seterusnya, ya. Bagi yang mau lanjut baca, monggo ke KaryaKarsa @KepodangKuning.
Maaci πππ