"KAK, tolong antar ke rumah Mbak Helen, ya." Tika menerima dua plastik berisi oleh-oleh dari ibunya.
"Baik Bu."
Saat berjalan menuju pagar hitam tinggi itu membuat ingatan Tika kembali kepada pujian seorang pemilik senyum pepsodent menyebalkan. Tapi ketika dia tahu Emil tidak lagi tinggal bersama orang tuanya, hatinya jadi lega. Lega karena tidak akan lagi bertemu dengan bapak-bapak rese dua anak itu.
"Pagi, Om Tamam."
Kepala beruban muncul dari balik koran yang sedang dibaca. Sekonyong-konyong Om Tamam tersenyum semringah, seakan-akan memang sedang menunggu kehadiranmya.
"Tika?" Om Tamam sampai berdiri menyambut uluran tangan Tika. "Om sempat pangling lho, tadi. Memang bener kamu makin cantik kalau berhijab begini."
"Makasih, Om Tamam." Tika yakin wajahnya bersemu merah sekarang.
"Semoga istiqamah, ya."
Sambil tersenyum mengangguk, Tika menjawab, "Insyaallah, Om."
Kok gue merasa déjà vu ya?
"Bawa apa itu?" Om Tamam menunjuk kedua tangan Tika yang berisi.
"Ini oleh-oleh dari Bali, Om. Dari Ayah dan Ibu. Tika tarok langsung ke dalam ya, Om."
"Alhamdulillah. Bilangin makasih sama Fauzan dan Nur ya, Tika. Tante Helen ada di dalam. Masuk saja."
"Baik, Om."
Menginjakkan kaki pertama kali ke rumah Om Tamam dan Tante Helen setelah sekian lama, Tika didera perasaan rindu yang menghangatkan sanubarinya. Ingatan demi ingatan kembali muncul ketika ia sering menghabiskan waktu di rumah ini bersama Alisha sambil menunggu ayah dan bundanya pulang kantor. Emil dan Bintang turut mengisi memorinya.
Tika melihatnya. Punggung wanita paruh baya berhijab yang ia anggap ibu kedua setelah Buk Nur. Beliau sedang mengaduk-aduk sesuatu dalam panci di atas kompor.
"Tante Helen, lagi masak apa?" sapa Tika ceria.
Terkesiap, yang disapa segera memutar badan. Wajahnya tak kalah terkejut dengan Om Tamam tadi. Beliau segera mematikan kompor dan berjalan cepat ke arah Tika.
"Masyaallah, Tika. Makin cantik aja, Nak. Sejak kapan pakai hijab?" Tika juga mendekat dan mencium tangan Tante Helen. Rona kemerahan tadi saja masih belum hilang, kini rona itu semakin bertambah di pipinya.
"Makasih Tante. Baru beberapa bulan, Tan. Doakan ya, Tan, biar dipake terus."
"Lha iya. Pasti itu. Semoga istiqamah pakenya, ya."
Tiga kali. Tiga kali sudah gue mendengar doa yang sama. Ada apa sih, ini? Doa dan pujian mereka sama. Sangat kompak. Kalau sampai Banv Bintang dan Alisha juga mengucapkan doa dan pujian yang sama, gue harus dihadiahi payung cantik plus sebungkus deterjen ukuran 1.7 kilo.
Meski demikian, Tika amat terharu mendapatkan dukungan moril dari mereka.
"Sebentar ya, Tika. Bintang video call Tante. Hai anak mama nun jauh di Jogja. Kok mukanya kusut gitu?" Ternyata ada panggilan video dari Bintang yang sedang melanjutkan program magister ilmu sastranya-nya di sana.
"Bintang puyeng, Ma. Disertasi Bintang banyak banget revisinya. Ini mau minta doa Mama sama Papa dulu sebelum menghadap dospem. Eh, siapa tuh, Ma?" Bintang menunjuk-nunjuk sosok yang berdiri di belakang Tante Helen. Tahu-tahu Tika ditarik mendekat ke layar gawai Tante Helen.
"Ini Tika, Bin. Sapa, dong. Ada yang berubah, kan?"
Oh Tuhan, ada apa dengan keluarga ini? Gue dipamerin, gitu?
Di layar kecil itu, Bintang menganga dengan mata membelalak, tapi dengan cepat ia menguasai dirinya lagi. "Tika? Lo beneran pake hijab?"
Wait a sec! Nih Si Bintang Toedjeo kayak yang udah tahu aja gue pake hijab.
"Hai Bintang Toedj... Eh, Bang Bintang." Tika hampir keceplosan memanggil anak Tante Helen dengan Bintang Toedjoe. Hanya Tika yang memanggil Bintang dengan merek obat sakit kepala itu. "Sebagaimana yang lo lihat, Bang." Tika meringis. Lagi, ia mendapat pujian karena hijabnya. Mungkin pipinya bukan lagi merona. Tapi sudah seperti kepiting rebus.
Mengapa gue punya firasat semua anggota keluarga Bachtiar udah tahu kalau gue berhijab? Kan kemaren cuma Kak Emil yang tahu. Apa jangan-jangan mereka ngegosipin gue?
"Alhamdulillah. Makin cakep, lo Tik. Istiqamah ya."
Nah, tu kaaan? Empat kali.
"Sebentar, gue tambah satu panggilan lagi. Sebentar ya, Ma," kata Bintang di layar kecil itu. Tak lama satu kotak lagi muncul. Profil teman kecilnya muncul dengan nama Anakku Alisha. Seketika profil tadi berganti dengan seorang gadis cantik berhijab putih muncul di sebelah Bintang. Sepertinya Alisha sedang berada di rest room.
Tika menghitung cepat perbedaan waktu Indonesia-Australia. Berarti di sana sedang pukul sebelas siang.
"Bang, gue lagi kerja. Kenapa vid-call segala? Eh, Mama." Alisha nampak melambaikan tangan dan dengan cepat mengubah wajahnya dengan senyum manis dan menampilkan gigi putih berseri. Tante Helen menyapa Alisha dengan senyum khas beliau, tangannya juga bergerak ke arah layar. Sepertinya senyum menawan adalah warisan genetik keluarga Bachtiar pada anak-anaknya.
"Wait! Karla? Beneran ternyata. Sumpah lo makin cantik, Kar. Selamat ya. Akhirnya lo pake Hijab. Alhamdulillah. Istiqamah ya, Karla. Sini peluk online." Si pemilik nama Karla senyum salah tingkah sambil menggaruk kepalanya. Hanya Alisha yang memanggil Tika dengan nama Karla, yaitu singkatan dari Kartika Larasati.
Lima kali! Ya. Nggak salah lagi. Dugaan gue pasti benar. Pasti Kak Emil deh, biang keroknya. Apa sih yang nggak dibicarakan di keluarga ini? Gue jadi trending topic keluarga Bachtiar saudara-saudara. Dan satu hal yang gue syukuri, untung gue nggak cerita apa-apa mengenai dia yang-namanya-tak-ingin-disebut ke Alisha.
Diam-diam Tika menghembuskan napas lega.
"Makasih Al, makasih Bang, atas support-nya. Udahan, ah. Gue jadi malu, ni." Mulut Tika sampai pegal karena senyum terus sejak memasuki rumah ini.
"Lo pantas diberi selamat kok, Kar. Lo tahu, gue selalu berdoa lo bakal nyusul gue pake hijab." Alisha menampilkan raut seriusnya dalam layar gawai.
"Makasih Alisha sayang," sembur Tika tulus.
"Masama juga Karla sayang." Kemudian Alisha beralih ke mamanya. "Ma, Al nggak bisa lama-lama. Bentar lagi ada rapat sama Bapak Dubes."
"Iya, Nak. Kalau sudah lowong telepon Mama sama Papa ya, Nak."
"Baik, Ma."
"Kar, nanti gue hubungi lo, ya. Lagi hectic banget soalnya."
"Siap Calon Bu Dubes. Gue tunggu," jawab Tika dan dibalas Alisha dengan senyum tulus dan kata 'amin'.
"Al, kirim salam sama Pak Dubes. Trus jangan lupa, kenalin gue sama temen-temen diplomat lo yang cantik-cantik, ya."
"You Wish, Bang. Wleee," jawab Alisha sarkas. "Udah ah Kak. Gue sibuk. Karlaaa cantiiik, gue cabut. Dah Mamaaa. Bhay semua." Dan sekarang hanya ada Bintang di layar gawai Tante Helen.
Tika meninggalkan Tante Helen untuk bicara berdua saja. Sementara dia sendiri menata oleh-oleh makanan ke atas piring. Tindakannya tidak lancang sama sekali. Rumah Om Taman sudah menjadi rumah keduanya setelah rumahnya sendiri. Tante Helen yang meminta Tika sedari awal agar tidak boleh sungkan bila sedang berada di rumahnya.
Dari arah pintu masuk, terdengar suara ramai. Ada yang datang. Sayup terdengar suara anak kecil memanggil-manggil kata 'nenek'. Makin lama suara itu makin mendekati area dapur.
"Nenek."
Tika terkesima akan suara gemerincing lonceng yang bersumber dari seorang gadis cilik nan cantik jelita bagai boneka. Lagi-lagi Tika juga terhipnotis saat si kecil Ia berlari lincah memeluk kaki Tante Helen. Wanita paruh baya tersebut meletakkan gawainya di meja.
"Sudah datang cucunya Nenek. Sudah siap ke sekolah?" kata Tante Helen usai mengecup kedua pipi gembul itu. Si kecil berkepang dua itu terlihat imut dalam balutan baju seragam PAUD Matahari dan tas ransel hijau boneka monster inc.
"Sudah, Nek." Si cucu tersenyum sehingga hilanglah matanya. Mata oriental cantik dan kulit putih bening itu pasti diwarisi dari mamanya, pikir Tika menyaksikan kecantikan si bocah, karena papanya memiliki mata besar tajam sekaligus teduh di saat yang sama dengan kulit coklat khas petualang.
"Emily?" sapa Tika lamat-lamat. Ternyata si bocah meresponnya. Mata itu menilik penuh tanda tanya pada sosok yang baru ia temui.
"Salim sama Tante Tika, Emi," perintah Tante Helen pada Emily.
Tika menumpukan badannya pada kedua lutut dan menyodorkan tangannya. Ternyata Si bocah boneka langsung mengambil tangan Tika dan membawanya ke dahi. Jiwa kebucinan Tika terhadap anak kecil meronta-ronta melihat keimutan terhaqiqi ini.
"Ya Allah. Pengen Tika peluk, Tan. Lucu banget. Tante boleh peluk Emi?" Emily mengangguk dan kedua kuncir rambutnya ikut bergoyang.
Langsung saja Tika memeluk lembut tubuh mungil itu sembari mengendus bau lembut shampo bayi yang khas pada rambutnya.
Ah, jadi kepengen punya anak. Tapi bapaknya manaaa? Kalau nggak ada bapaknya, bagaimana seorang anak bisa hadir ke dunia ini, Tika?
"Pagi-pagi udah ada Tante Tika, nih." Sontak Tika memutar kepalanya ke arah suara berat itu. Mau tak mau, Tika meneliti sosok yang sangat berbeda dari hari kemarin. Pria itu memakai setelan jas navy dengan dasi senada, dan kemeja putih yang pas di badannya. Ia tengah menggendong seorang balita yang matanya mirip Emily di tangan kanannya. Dalam sepersekian detik, Tika sempat terpana melihat pemandangan ini. An executive look of a hot dad and an adorable, cute baby in one firm hand? Kombinasi seperti apa lagi yang diperlukan untuk meluluhlantakkan hati wanita single? Sebelum hati Tika megap-megap tak berdaya, ia segera menepis pikiran itu jauh, jauuuh sekali.
Memang kegantengan Bang Emil tak terbantahkan. ASTAGA. Pikiran gue. Tolong dikondisikan Tika! Ini nih, yang gue maksud Emil si Bapakable. Terbukti kan, sekarang? Dan di gendongan Bang Emil pasti...
Dengan cepat Tika berdiri menghadap Emil.
"Galih? Dia Galih kan, Bang?" cicit Tika kelewat senang sambil menggigit bibir bawahnya. Another cute baby!
Emil menaikkan alisnya sebelah.
"Iya. Ayo salim, Nak, sama Tante Tika." Boneka lain bermata oriental itu pun patuh dan memberikan tangannya pada Tika.
"Ulululuuu, lutuna. Bang, aku boleh gendong?" pinta Tika dengan mata berbinar berharap diberi izin oleh Emil. Kakinya bergerak sendiri tanda tidak sabar.
"Boleh. Nih." Dan si imut segera saja merentangkan kedua tangannya ke Tika. Tika menyambut dengan hati-hati. Senyum tak lepas dari wajahnya. Bola matanya membesar ketika kedua tangan mungil nan pendek itu memeluk leher Tika erat. Dan senyumnya terus mengembang sembari mengajak Galih berbicara, walaupun yang diajak ngobrol hanya memperhatikan dengan mata sipitnya yang menggemaskan. Sesekali bibir pink mungil itu tersenyum. Wangi yang sama seperti Emily Tika dapati pada Galih. Tika bakal betah seharian dengan wangi lembut ini!
Tika tidak ingat lagi alasannya kenapa ia datang ke rumah Tante Helen dan Om Tamam. Ia juga tidak ingat lagi bahwa dirinya tidak mau bertemu dengan sosok Emil untuk kedua kalinya di rumah ini. Yang ia tahu, Emily dan Galih telah mengambil alih dunianya.
Bersambung