Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Spark Between Us
MENU
About Us  

BERHUBUNG tiga hari lagi Pak Fauzan, Buk Nur dan Ikal akan pulang dari liburannya, Tika berencana menyelesaikan misi bersih-bersih taman. Dan berhubung ia hapal betul kalau kedua orang tuanya tidak hobi sama sekali mengurus taman yang lumayan kecil itu--mereka hanya ingin memperindah taman agar rumah tidak terasa gersang dan tidak malu-maluin bila ada tamu yang berkunjung--otomatis alat berkebun pun tidak lengkap. Hanya ada cangkul kecil, gunting rumput dan sapu lidi. Tika berpikir untuk membeli beberapa alat lagi seperti gunting khusus dahan, sekop kecil, teko khusus penyiram tanaman, dan mungkin menambah koleksi bunga ibunya dengan beberapa tanaman hias dalam pot.

Ada satu hal yang Tika rindu dari rumah ini. James. Suaranya, pegangannya, kenyamanannya, dan keseruan menaikinya.

Tika memandang dengan binar kerinduan pada sosok hitam di depannya. "Hai James. Apa lo siap berpetualang hari ini? Kita akan shopping ke Cawang. Jadi jangan bosan ya sama gue," kata Tika sambil meraba dan mengelus permukaan body James.

"Hatciih!" Tika pun bersin berkali-kali setelahnya. Ingus mulai berproduksi dan matanya berair. Ia butuh tisu dan kemoceng sekarang juga.

Debu adalah musuh nomor dua Tika saat ini setelah kenangan masa lalu.

Eaaa.

"Sepertinya kamu benar-benar nggak pernah dipakai ya, James," kata Tika sekembalinya berlari dari dalam rumah. Ia mengapit tisu di tangan kiri dan kemoceng di tangan kanan untuk membersihkan hidungnya dan James.

By the way, James adalah nama si motor matic yang sepertinya tidak pernah di pakai lagi semenjak pemiliknya, yaitu dirinya, pergi merantau ke negeri orang.

Dengan harap-harap cemas, Tika menggenggam rem di stang kiri, lalu menekan starter dengan ibu jarinya. Setelah tiga kali mencoba, bunyi mesin James meraung kencang setelah di gas beberapa kali.

"Alhamdulillah, gue nggak perlu mengengkol lo, James. Let's Go!"

Motor Tika keluar pagar bertepatan dengan kemunculan sebuah SUV Lexus hitam mengilat yang berhenti tepat di depannya. Kaca jendela penumpang bergerak turun dan sebuah suara berat dan familiar menyapa dari kursi pengemudi.

"Tika?"

"Bang ... Emil?" sapa Tika sambil membuka penutup kaca helm. Tika memperhatikan sosok yang sudah lama tidak dia jumpai meski mereka bertetangga.

Tika merasakan sedang diperhatikan dengan saksama oleh tetangganya itu, dan dia merasa sedikit risih. Walaupun demikian, mau tak mau Tika juga ikut memperhatikan wujud pria yang turun dari mobilnya. Seingat Tika, perawakannya masih sama dengan beberapa tahun yang lalu. Kulitnya sawo, tapi sekarang sedikit lebih eksotis. Seperti terpapar matahari dari pantai. Rambut ikalnya dipotong rapi. Ada bulu-bulu halus di area rahang yang memberi kesan five o'clock shadow di wajahnya.

Pria itu menghampiri Tika yang masih setia duduk di atas motornya. Matanya mengikuti gerakan Emil hingga berhenti tepat di sampingnya.

"Pantesan Abang dengar ada yang bersin-bersin di rumah sebelah. Karena setahu Abang, yang suka bersin di rumah Om Fauzan kan, cuma Tika. Ternyata beneran kamu, Dek," ungkap Emil disertai mata teduhnya yang sedikit berbinar.

Tidak ada yang tidak tahu mengenak kebiasaan bersin Tika di rumah sebelah. Kenyataan ini membuat Tika sedikiy bersemu. 

"Iya, Bang. Itu aku." Tika menahan tangannya di udara. Ia hampir saja mau menggaruk helmnya ketika sadar yang akan digaruknya bukanlah kepalanya. "Oh, astaga!" desis Tika lirih. Baru ingat Tika betapa tidak sopannya dia karena masih saja duduk di jok motor saat menghadapi kakak lelaki sahabatnya, Alisha. Buru-buru Tika turun dari motor. 

"Kapan datangnya, Dek?"

"Kemarin, Bang." Emil mengangguk paham. Tika mengkuti arah mata Emil yang mengamati dirinya sedikit lebih lama. Lama-lama Tika bisa salah tingkah.

Bang, gue dulu memang pernah kesem-sem sama lo. Meski sekarang udah enggak, tapi gue masih manusia biasa Bang Emil, nggak kuat diplototin makhluk ganteng kayak Abang.

Suara Emil mengembalikan Tika kembali ke kesadarannya.

"Tika mau ke mana? Udah rapi banget?" tanya Emil dengan senyum kalem nan menenangkan yang dulu sempat membuat Tika susah bernapas. Tak hanya bibirnya yang tersenyum, mata Emil ikut tersenyum bertanda senyuman itu tulus. Gara-gara senyuman itu, Tika pernah memberi  Emil beberapa julukan. 'Emil, si Bapakable', 'Emil, The Husbandable Man' dan 'Emil, si pemilik senyum Pepsodent'. Bukannya iklan. Hanya saja, senyum Emil cocok dengan iklan pasta gigi itu. Gigi putih, bersih, rapi dan enak di pandang mata.

Untung nggak ngefek lagi tuh, senyum. Gue udah imun sejak bertahun-tahun yang lalu, sejak dia nikah sama Kak Anne. Alhamdulillah. No more drama, Please, Tik.

"Aku mau ke Ace Hardware, Kak. Beli perlengkapan berkebun." Tika mengarahkan jempolnya ke belakang. Emil melihat sepintas lalu kondisi taman rumah Tika yang lumayan menyedihkan tak terurus.

"Ooh, ya udah. Bareng Abang aja, yuk," ajak Emil enteng.

Berbagai opini langsung terbentuk di benak Tika detik itu juga. Di mana istri Emil? Kenapa Emil mengajak wanita lain ke dalam mobilnya? Tika tahu mereka bertetangga sejak Tika masih pakai popok. Bahkan Emil ikut menyeka ingusnya dulu. Sedekat itu hubungan Emil dan Tika. Tapi kalau istrinya cemburu, bukannya dunia bakal kiamat dibuatnya?

Perempuan itu sudah berpikir banyak macam. Over thinking adalah salah satu penyakit akut Tika stadium 5 yang belum ada obatnya.

"Eng-enggak usah, Bang. Aku bisa pergi sendiri. Sekalian mau bawa James jalan-jalan," elak Tika dengan halus.

"James?" tanya Emil heran. Ia melihat kiri, kanan, dan belakang Tika, seperti mencari sosok bernama James. Tika langsung menepok jidatnya. Malu, karena cuma dia dan keluarganya yang tahu bahwa Tika suka memberi benda mati dengan sebuah nama.

"Maksudnya aku ini, Bang." Tika buru-buru menepuk jok motornya. "Si James udah lama nggak dihidupin. Mau aku bawa jalan sekalian keliling-keliling Jakarta." Seketika wajah Emil dipenuhi kelegaan.

"Ooh, motor kamu. Tapi lagi panas-panasnya lho, Dek. Yakin mau jalan-jalan dengan James?" Emil menunjuk motor matic hitam itu. Tak sedikitpun wajah Emil menunjukkan meremehkan nama panggilan yang diberi Tika. Tika sempat tergiur dengan tawaran Emil. Memang kalau panas begini enaknya jalan-jalan dengan mobil ditemani AC, kan?

"Nggak papa, Bang. Aku udah terbiasa kok," jawab Tika bertolak belakang dengan pikirannya. Emil lagi-lagi mengangguk.

"Ya udah. Hati-hati bawa motor ya, Dek. Jangan ngebut. Perhatikan spion kiri dan kanan." Emil menepuk lembut helm Tika.

"Baik, Bang."

Emil kembali masuk mobil. Setelah mengklakson sekali sebagai tanda perpisahan, mobil hitam itu berangsur bergerak pelan meninggalkan Tika yang memandang bagian belakang Lexus Emil hingga hilang dibalik belokan.

Lo masih sama, Bang. Perhatian banget. Ya iya lah, Tik. Tika memutar bola matanya. Dari dulu juga Bang Emil udah anggep lo adeknya sendiri kayak Alisha. Dia udah baby sitting lo sejak lo belum bisa ngomong.

***
Tika sudah berada di teras rumah. Ia meletakkan barang-barang yang sudah dibelinya tadi di atas ubin granit teras. Sekop kecil berwarna merah, gunting dahan, beberapa bibit cabe, sawi, daun bawang, tomat ceri, paprika, sekarung kecil pupuk, dan sekarung tanah yang baru dibeli di toko penjual tanaman depan komplek. Tika juga membeli satu pot kaktus golden barrel dan satu pot sukulen roseum plant untuk diletakkannya di dalam kamar.

"Semoga tomat cherry-nya berbuah lebat," doa Tika tulus. 

Baru mau membongkar karung tanah, tangannya membeku di udara oleh sebuah pikiran. 

"Kenapa gue beli bibit tomat ceri? Itu kan, kesukaan ... Aargh!"

Lagi-lagi Tika mengingat kebiasaan lamanya akan tomat ceri yang suka ia beli agar bisa dimakan bersama saat makan siang dengan dia yang-namanya-tak-ingin-disebut lagi.

Tika ingin sekali membuat dia yang-namanya-tak-ingin-disebut hanya menjadi memori biasa, hanya kenangan tanpa perlu meromantisasi segala sesuatu tentang dia. Namun tanpa izin, pikirannya memunculkan kembali ingatab pertemuan pertamanya, kata-kata penyemangatnya ketika ia sedang lelah dengan pekerjaan, perhatiannya akan hal-hal kecil, dan itu sangat menyiksanya.

Ia menggelengkan kepala kuat-kuat. Berharap bisa melempar keluar ingatan itu secepat gelengan kepalanya.

Ok cukup. Gue mulai keliyengan.

Perempuan itu memutuskan untuk menyimpan bibit tomat cherry. Karena mood untuk bercocok tanam ambyar entah ke mana, Tika mulai menyapu daun kering yang jatuh dari pohon manggis. Padahal ia berharap ada buah manggis yang bisa dipetik. Ternyata masih tahap berbunga. Ok! Ia punya waktu sebanyak yang ia inginkan di sini. Ia akan menunggu dengan sabar.

Lalu Tika memotong rumput dengan gunting rumput kecil. Namun sayang, mata pisaunya sudah berkarat dan tumpul! Boro-boro mesin pemotong rumput, sabit saja Tika tidak punya. Ayah dan ibunya sama sekali tidak mempunyai minat di bidang perkebunan dan pertanahan di lahan mini mereka, sehingga alat-alat berkebun sangat minim di rumah ini.

"Apa gue pinjam gunting Tante Helen aja, ya?" Sambil menimbang opsi itu, kaki Tika justru tetap bergerak melangkah ke rumah tetangganya. Ia membuka pagar tinggi hitam itu dan mendapati Lexus hitam tadi terparkir di garasi.

"Assalamu'alaikum Tante Helen." Tika memencet bel sekali. Ia bisa mendengar suara khas bel kediaman Om Tamam yang telah ia hapal sejak Tika masih kecil. Dan melodi itu tidak berubah sampai sekarang.

Tak perlu menunggu lama. Pintu kayu berukir itu mengayun terbuka. Sosok tadi siang yang bertemu dengannya muncul lagi di depan pintu dengan pakaian lebih kasual: baju kaus putih dan celana basket selutut. Tentu saja tidak ketinggalan, sebuah senyum ramah.

"Tika? Ada apa?" Emil menyambut Tika dengan senyum pepsodent ala-alanya.

"Bang ... Emil?" Tika sempat silau dengan senyum kakak sahabatnya itu, namun ia segera menyadarkan diri dengan mengerjapkan matanya beberapa kali. "Tante ada, Bang?"

"Mama dan Papa ada keperluan ke luar kota. Tika ada perlu sama Mama?"

Kalau Om dan Tante nggak ada, terus Bang Bintang setahu gue lagi kuliah di Jogja, Alisha dinas di Kedubes Australia, berarti di rumah cuma ada Bang Emil? Tapi seharusnya ada anak-anak Bang Emil juga, kan? Atau Kak Anne? Tapi kenapa rumahnya kedengaran sepi banget?

Tika dengan cepat menyelesaikan analisa sensus penduduk rumah Om Tamam dalam hitungan detik.

"Hm, sebenarnya aku mau pinjam gunting rumput," ucap Tika to the point. Dia sudah bertekad untuk menghindari segala bentuk drama. Apalagi drama rumah tangga (orang lain).

"Ooh. Sini ikut Abang."

Emil berjalan menuju gudang yang bersebelahan dengan garasi di samping rumah utama yang halamannya bisa menampung dua mobil.

"Nih, gunting rumputnya. Hati-hati ya pakainya. Kemarin baru Abang asah." Tika menerima dengan hati-hati pula.

"Makasih. Aku pinjam dulu ya, Bang."

"Iya sama-sama. Kamu perlu alat lain?"

"Nggak. Ini aja," jawab Tika singkat.

"Butuh bantuan Abang? Kebetulan kerjaan Abang sudah selesai di belakang," tawar Emil dengan tulus. Emil memang ringan tangan dalam hal membantu orang lain, sejak dulu. Dan itu adalah satu dari sekian banyak alasan kenapa Tika sempat tidak bisa bernapas dengan benar bila berada didekat anak sulung Tamam dan Helen. Tapi itu adalah masa lalu. Zaman cinta monyet sedang mekar-mekarnya. Sekarang? Bahkan secuil pun perasaan pada Emil sudah tidak ada lagi.

"Nggak perlu, Bang. Aku masih bisa handle sendiri," tolak Tika dengan halus.

"Ya udah. Kalau ada apa-apa kasih tahu Abang. Oke?"

Tika yakin tawaran Emil tulus dari hati. Tapi tidak. Tekad Tika sudah bulat. Menghindari masalah lebih baik daripada menambah satu lagi. 

"Iya. Aku balik ke rumah, Bang. Makasih guntingnya," kata Tika sambil berjalan menjauh menuju pagar.

"Sama-sama. Oh iya, Tika."

"Ada apa?" Tika berhenti di depan pagar hitam itu dan memutar badannya.

"Kamu makin cantik pake hijab. Istiqamah ya, Dek."

Eh?

Bersambung

The Spark Between Us 2

 

BERHUBUNG tiga hari lagi Pak Fauzan, Buk Nur dan Ikal akan pulang dari liburannya, Tika berencana menyelesaikan misi bersih-bersih taman. Dan berhubung ia hapal betul kalau kedua orang tuanya tidak hobi sama sekali mengurus taman yang lumayan kecil itu--mereka hanya ingin memperindah taman agar rumah tidak terasa gersang dan tidak malu-maluin bila ada tamu yang berkunjung--otomatis alat berkebun pun tidak lengkap. Hanya ada cangkul kecil, gunting rumput dan sapu lidi. Tika berpikir untuk membeli beberapa alat lagi seperti gunting khusus dahan, sekop kecil, teko khusus penyiram tanaman, dan mungkin menambah koleksi bunga ibunya dengan beberapa tanaman hias dalam pot.

Ada satu hal yang Tika rindu dari rumah ini. James. Suaranya, pegangannya, kenyamanannya, dan keseruan menaikinya.

Tika memandang dengan binar kerinduan pada sosok hitam di depannya. "Hai James. Apa lo siap berpetualang hari ini? Kita akan shopping ke Cawang. Jadi jangan bosan ya sama gue," kata Tika sambil meraba dan mengelus permukaan body Jamesb yang berdebu. 

"Hatciih!" Tika pun bersin berkali-kali setelahnya. Ingus mulai berproduksi dan matanya berair. Ia butuh tisu dan kemoceng sekarang juga.

Debu adalah musuh nomor dua Tika saat ini setelah kenangan masa lalu.

Eaaa.

"Sepertinya kamu benar-benar nggak pernah dipakai ya, James," gumam Tika sekembalinya berlari dari dalam rumah. Ia mengapit tisu di tangan kiri dan kemoceng di tangan kanan untuk membersihkan hidungnya dan James.

By the way, James adalah nama si motor matic yang sepertinya tidak pernah dipakai lagi semenjak pemiliknya, yaitu dirinya, pergi merantau ke negeri orang.

Dengan harap-harap cemas, Tika menggenggam rem di stang kiri, lalu menekan starter dengan ibu jarinya. Setelah tiga kali mencoba, bunyi mesin James meraung kencang setelah di gas beberapa kali.

"Alhamdulillah, gue nggak perlu mengengkol lo, James. Let's go!"

Motor Tika keluar pagar bertepatan dengan kemunculan sebuah SUV Lexus hitam mengilat yang berhenti tepat di depannya. Kaca jendela penumpang bergerak turun dan sebuah suara berat dan familiar menyapa dari kursi pengemudi.

"Tika?"

"Bang ... Emil?" sapa Tika sambil membuka penutup kaca helm. Tika memperhatikan sosok yang sudah lama tidak ia jumpai meski mereka bertetangga.

Tika merasakan sedang diperhatikan dengan saksama oleh tetangganya itu, dan dia merasa sedikit risih. Walaupun demikian, mau tak mau Tika juga ikut memperhatikan wujud pria yang turun dari mobilnya. Seingat Tika, perawakannya masih sama dengan beberapa tahun yang lalu. Kulitnya sawo, sedikit lebih eksotis. Seperti terpapar matahari dari pantai. Rambut ikalnya dipotong rapi. Ada bulu-bulu halus di area rahang yang memberi kesan five o'clock shadow di wajahnya.

Pria itu menghampiri Tika yang masih setia duduk di atas motornya. Matanya mengikuti gerakan Emil hingga berhenti tepat di sampingnya.

"Pantesan Abang dengar ada yang bersin-bersin di rumah sebelah. Karena setahu Abang, yang suka bersin di rumah Om Fauzan kan, cuma Tika. Ternyata beneran kamu, Dek," ungkap Emil disertai mata teduhnya yang sedikit berbinar.

Tidak ada yang tidak tahu mengenai kebiasaan bersin Tika. Kenyataan ini membuat Tika sedikit bersemu. 

"Iya, Bang. Itu aku." Tika menahan tangannya di udara. Ia hampir saja mau menggaruk helmnya ketika sadar yang akan digaruknya bukanlah kepalanya. "Oh, astaga!" desis Tika lirih. Baru ingat Tika betapa tidak sopannya dia karena masih saja duduk di jok motor saat menghadapi kakak lelaki sahabatnya, Alisha. Buru-buru Tika turun dari motor. 

"Kapan datangnya, Dek?"

"Kemarin, Bang." Emil mengangguk paham. Tika mengkuti arah mata Emil yang mengamati dirinya sedikit lebih lama. Lama-lama Tika bisa salah tingkah.

Bang, gue dulu memang pernah kesem-sem sama lo. Meski sekarang udah enggak, tapi gue masih manusia biasa Bang Emil, nggak kuat diplototin makhluk ganteng kayak Abang.

Suara Emil mengembalikan Tika kembali ke kesadarannya.

"Tika mau ke mana? Udah rapi banget?" tanya Emil dengan senyum kalem nan menenangkan yang dulu sempat membuat Tika susah bernapas. Tak hanya bibirnya yang tersenyum, mata Emil ikut tersenyum bertanda senyuman itu tulus. Gara-gara senyuman itu, Tika pernah memberi Emil beberapa julukan. 'Emil, si Bapakable', 'Emil, The Husbandable Man' dan 'Emil, si pemilik senyum Pepsodent'. Bukannya iklan, hanya saja senyum Emil cocok dengan iklan pasta gigi itu. Gigi putih, bersih, rapi dan enak di pandang mata.

Untung nggak ngefek lagi tuh, senyum. Gue udah imun sejak bertahun-tahun yang lalu, sejak dia nikah sama Kak Anne. Alhamdulillah. No more drama, Please, Tik.

"Aku mau ke Ace Hardware, Kak. Beli perlengkapan berkebun." Tika mengarahkan jempolnya ke belakang. Emil melihat sepintas lalu kondisi taman rumah Tika yang lumayan menyedihkan tak terurus.

"Ooh, ya udah. Bareng Abang aja, yuk," ajak Emil enteng.

Berbagai opini langsung terbentuk di benak Tika detik itu juga. Di mana istri Emil? Kenapa Emil mengajak wanita lain ke dalam mobilnya? Tika tahu mereka bertetangga sejak Tika masih pakai popok. Bahkan dulu Emil ikut menyeka ingusnya. Sedekat itu hubungan Emil dan Tika. Tapi kalau istrinya cemburu, bukannya dunia bakal kiamat dibuatnya?

Perempuan itu sudah berpikir banyak macam. Over thinking adalah salah satu penyakit akut Tika stadium 5 yang belum ada obatnya.

"Eng-enggak usah, Bang. Aku bisa pergi sendiri. Sekalian mau bawa James jalan-jalan," elak Tika dengan halus.

"James?" tanya Emil heran. Ia melihat kiri, kanan, dan belakang Tika, seperti mencari sosok bernama James. Tika langsung menepuk jidatnya. Malu, karena cuma dia dan keluarganya yang tahu bahwa Tika suka memberi benda mati dengan sebuah nama.

"Maksudnya aku ini, Bang." Tika buru-buru menepuk jok motornya. "Si James udah lama nggak dihidupin. Mau aku bawa jalan sekalian keliling-keliling Jakarta." Seketika wajah Emil dipenuhi kelegaan.

"Ooh, motor kamu. Tapi lagi panas-panasnya lho, Dek. Yakin mau jalan-jalan dengan James?" Emil menunjuk motor matic hitam itu. Tak sedikitpun wajah Emil menunjukkan meremehkan nama panggilan yang diberi Tika. Tika sempat tergiur dengan tawaran Emil. Memang kalau panas begini enaknya jalan-jalan dengan mobil ditemani AC, kan?

"Nggak apa-apa, Bang. Aku udah terbiasa, kok," jawab Tika bertolak belakang dengan pikirannya. Emil lagi-lagi mengangguk.

"Ya udah. Hati-hati bawa motor ya, Dek. Jangan ngebut. Perhatikan spion kiri dan kanan." Emil menepuk lembut helm Tika.

"Baik, Bang."

Emil kembali masuk mobil. Setelah mengklakson sekali sebagai tanda perpisahan, mobil hitam itu berangsur bergerak pelan meninggalkan Tika yang memandang bagian belakang Lexus Emil hingga hilang dibalik belokan.

Lo masih sama, Bang. Perhatian banget. Ya iya lah, Tik. Tika memutar bola matanya. Dari dulu juga Bang Emil udah anggep lo adeknya sendiri kayak Alisha. Dia udah baby sitting lo sejak lo belum bisa ngomong.

***
Tika sudah berada di teras rumah. Ia meletakkan barang-barang yang sudah dibelinya tadi di atas ubin granit teras. Sekop kecil berwarna merah, gunting dahan, beberapa bibit cabe, sawi, daun bawang, tomat ceri, paprika, sekarung kecil pupuk, dan sekarung tanah yang baru dibeli di toko penjual tanaman depan komplek. Tika juga membeli satu pot kaktus golden barrel dan satu pot sukulen roseum plant untuk diletakkannya di dalam kamar.

"Semoga tomat cherry-nya berbuah lebat," doa Tika tulus. 

Baru mau membongkar karung tanah, tangannya membeku di udara oleh sebuah pikiran. 

"Kenapa gue beli bibit tomat ceri? Itu kan, kesukaan ... Aargh!"

Lagi-lagi Tika mengingat kebiasaan lamanya akan tomat ceri yang suka ia beli agar bisa dimakan bersama saat makan siang dengan dia yang-namanya-tak-ingin-disebut-lagi.

Tika ingin sekali membuat dia yang-namanya-tak-ingin-disebut-lagi hanya menjadi memori biasa, hanya kenangan tanpa perlu meromantisasi segala sesuatu tentang dia. Namun, tanpa izin pikirannya memunculkan kembali ingatan pertemuan pertamanya, kata-kata penyemangatnya ketika ia sedang lelah dengan pekerjaan, perhatiannya akan hal-hal kecil, dan itu sangat menyiksanya.

Ia menggelengkan kepala kuat-kuat. Berharap bisa melempar keluar ingatan itu secepat gelengan kepalanya.

Oke cukup. Gue mulai keliyengan.

Tika memutuskan untuk menyimpan bibit tomat cherry. Karena mood untuk bercocok tanam ambyar entah ke mana, Tika mulai menyapu daun kering yang jatuh dari pohon manggis. Padahal ia berharap ada buah manggis yang bisa dipetik. Ternyata masih tahap berbunga. Oke! Ia punya waktu sebanyak yang ia inginkan di sini. Ia akan menunggu dengan sabar.

Lalu Tika memotong rumput dengan gunting rumput kecil. Namun sayang, mata pisaunya sudah berkarat dan tumpul! Boro-boro mesin pemotong rumput, sabit saja Tika tidak punya. Ayah dan ibunya sama sekali tidak mempunyai minat di bidang perkebunan dan pertanahan di lahan mini mereka, sehingga alat-alat berkebun sangat minim di rumah ini.

"Apa gue pinjam gunting Tante Helen aja, ya?" Sambil menimbang opsi itu, kaki Tika justru tetap bergerak melangkah ke rumah tetangganya. Ia membuka pagar tinggi hitam itu dan mendapati Lexus hitam tadi terparkir di garasi.

"Assalamu'alaikum Tante Helen." Tika memencet bel sekali. Ia bisa mendengar suara khas bel kediaman Om Tamam yang telah ia hapal sejak Tika masih kecil. Dan melodi itu tidak berubah sampai sekarang.

Tak perlu menunggu lama. Pintu kayu berukir itu mengayun terbuka. Sosok tadi siang yang bertemu dengannya muncul lagi di depan pintu dengan pakaian lebih kasual: baju kaus putih dan celana basket selutut. Tentu saja tidak ketinggalan, sebuah senyum ramah.

"Tika? Ada apa?" Emil menyambut Tika dengan senyum pepsodent ala-alanya.

"Bang ... Emil?" Tika sempat silau dengan senyum kakak sahabatnya itu, tapi ia segera menyadarkan diri dengan mengerjapkan matanya beberapa kali. "Tante ada, Bang?"

"Mama dan Papa sedang ke luar kota. Tika ada perlu sama Mama?"

Kalau Om dan Tante nggak ada, terus Bang Bintang setahu gue lagi kuliah di Jogja, Alisha dinas di Kedubes Australia, berarti di rumah cuma ada Bang Emil? Tapi seharusnya ada anak-anak Bang Emil juga, kan? Atau Kak Anne? Tapi kenapa rumahnya kedengaran sepi banget?

Tika dengan cepat menyelesaikan analisa sensus penduduk rumah Om Tamam dalam hitungan detik.

"Hm, sebenarnya aku mau pinjam gunting rumput," ucap Tika to the point. Dia sudah bertekad untuk menghindari segala bentuk drama. Apalagi drama rumah tangga (orang lain).

"Ooh. Sini ikut Abang."

Emil berjalan menuju gudang yang bersebelahan dengan garasi di samping rumah utama yang halamannya bisa menampung dua mobil.

"Nih, gunting rumputnya. Hati-hati ya pakainya. Kemarin baru Abang asah." Tika menerima dengan hati-hati pula.

"Makasih. Aku pinjam dulu ya, Bang."

"Iya sama-sama. Kamu perlu alat lain?"

"Nggak. Ini aja," jawab Tika singkat.

"Butuh bantuan Abang? Kebetulan kerjaan Abang sudah selesai di belakang," tawar Emil dengan tulus. Emil memang ringan tangan dalam hal membantu orang lain sejak dulu. Dan itu adalah satu dari sekian banyak alasan kenapa Tika sempat tidak bisa bernapas dengan benar bila berada didekat anak sulung Tamam dan Helen. Tapi itu adalah masa lalu. Zaman cinta monyet sedang mekar-mekarnya. Sekarang? Bahkan secuil pun perasaan pada Emil sudah tidak ada lagi.

"Nggak perlu, Bang. Aku masih bisa handle sendiri," tolak Tika dengan halus.

"Ya udah. Kalau ada apa-apa kasih tahu Abang. Oke?"

Tika yakin tawaran Emil tulus dari hati. Tapi tidak. Tekad Tika sudah bulat. Menghindari masalah lebih baik daripada menambah satu lagi. 

"Iya. Aku balik ke rumah, Bang. Makasih guntingnya," kata Tika sambil berjalan menjauh menuju pagar.

"Sama-sama. Oh iya, Tika."

"Ada apa?" Tika berhenti di depan pagar hitam itu dan memutar badannya.

"Kamu makin cantik pake hijab. Istiqamah ya, Dek."

Eh?

Bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Secangkir Kopi dan Seteguk Kepahitan
576      323     4     
Romance
Tugas, satu kata yang membuatku dekat dengan kopi. Mau tak mau aku harus bergadang semalaman demi menyelesaikan tugas yang bejibun itu. Demi hasil yang maksimal tak tanggung-tanggung Pak Suharjo memberikan ratusan soal dengan puluhan point yang membuatku keriting. Tapi tugas ini tak selamanya buatku bosan, karenanya aku bisa bertemu si dia di perpustakaan. Namanya Raihan, yang membuatku selalu...
Bimasakti dan Antariksa
214      166     0     
Romance
Romance Comedy Story Antariksa Aira Crysan Banyak yang bilang 'Witing Tresno Jalaran Soko Kulino'. Cinta tumbuh karena terbiasa. Boro terbiasa yang ada malah apes. Punya rekan kerja yang hobinya ngegombal dan enggak pernah serius. Ditambah orang itu adalah 'MANTAN PACAR PURA-PURANYA' pas kuliah dulu. "Kamu jauh-jauh dari saya!" Bimasakti Airlangga Raditya Banyak yang bila...
Haruskah Ku Mati
52734      5848     65     
Romance
Ini adalah kisah nyata perjalanan cintaku. Sejak kecil aku mengenal lelaki itu. Nama lelaki itu Aim. Tubuhnya tinggi, kurus, kulitnya putih dan wajahnya tampan. Dia sudah menjadi temanku sejak kecil. Diam-diam ternyata dia menyukaiku. Berawal dari cinta masa kecil yang terbawa sampai kami dewasa. Lelaki yang awalnya terlihat pendiam, kaku, gak punya banyak teman, dan cuek. Ternyata seiring berjal...
Little Spoiler
1066      648     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
The Difference
9175      2016     2     
Romance
Diana, seseorang yang mempunyai nazar untuk berhijab setelah ada seseorang yang mengimami. Lantas siapakah yang akan mengimami Diana? Dion, pacar Diana yang sedang tinggal di Amerika. Davin, sahabat Diana yang selalu berasama Diana, namun berbeda agama.
Janji-Janji Masa Depan
15118      3507     12     
Romance
Silahkan, untuk kau menghadap langit, menabur bintang di angkasa, menyemai harapan tinggi-tinggi, Jika suatu saat kau tiba pada masa di mana lehermu lelah mendongak, jantungmu lemah berdegup, kakimu butuh singgah untuk memperingan langkah, Kemari, temui aku, di tempat apa pun di mana kita bisa bertemu, Kita akan bicara, tentang apa saja, Mungkin tentang anak kucing, atau tentang martabak mani...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
Hujan
140      122     0     
Romance
Test
Smitten Ghost
183      149     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
MALAM TANPA PAGI
515      384     0     
Short Story
Pernahkah kalian membayangkan bertemu malam tanpa pagi yang menyapa? Apakah itu hal yang buruk atau mungkin hal yang baik? Seperti halnya anak kucing dan manusia yang menjalani hidup dengan langkah yang berat. Mereka tak tahu bagaimana kehidupannya esok. Namun, mereka akan menemukan tempat yang pantas bagi mereka. Itu pasti!