Sudah seminggu Nana selalu diantar-jemput oleh Pak Rano. Hal ini pun menjadi pertanyaan bagi segenap koleganya. Termasuk dokter Maya, sahabat dekatnya.
“Nana… sejak kapan kamu punya supir pribadi?” tanya dokter Maya.
“Semenjak minggu lalu.”
“Wah, enak ya. Pantas saja kamu selalu datang lebih awal akhir-akhir ini.”
“Pak Rano, supir itu, dia hafal betul jalanan Jakarta. Dia tahu semua titik-titik macet di Jakarta dan jalan alternatifnya.”
“Apakah Pak Rano itu bekerja pada ayahmu?”
“Tidak.”
“Apakah kamu sendiri yang menggajinya? Wah keren sekali kamu ini bisa menggaji supir pribadi.”
“Bukan, kamu salah paham. Pak Rano itu bekerja untuk temanku.”
“Temanmu?” dokter Maya penasaran.
“Aduh, pokoknya ribet deh kalo dijelasin.”
Nana tidak ingin menjelaskan asal muasal bagaimana Pak Rano bisa menjadi supir pribadinya. Karena, dia juga belum bisa mendapatkan penjelasan dari Jo. Dia tidak ingin mengatakan terang-terangan kepada siapapun tentang perjodohannya dengan Jo.
“Ya udah deh, kalo mau main rahasia-rahasiaan.”
“Bukan gitu, May. Nanti aku ceritain.”
“Okelah kalo begitu. Ngomong-ngomong, ada film terbaru yang tayang di bioskop. Mau nonton gak?”
“Maksudmu film tentang boneka mainan yang bisa hidup itu?”
“Betul!”
“Wah, aku sudah lama menantikannya.”
“Kalo gitu pulang kerja kita langsung cusss ya!”
“Siap!”
Setelah selesai kerja, dokter Maya menghampiri Nana di ruangannya. Dia datang bersama dokter Rudi.
“Na, dokter Rudi mau ikut nonton juga, boleh ikut kan?”
“Oh, boleh boleh, semakin banyak semakin seru,” jawab Nana.
“Kalo gitu, kalian tunggu saja di lobby ya, saya akan ngambil mobil dulu.”
“Oh, gak perlu, dokter Rudi. Bagaimana kalo kita diantar supir saya saja?” ajak Nana.
“Ohh ide bagus, Na,” ucap dokter Maya. “Lagi pula, bukankah dokter Rudi habis mengoperasi seorang pasien hingga memakan waktu berjam-jam. Pasti itu sangat melelahkan.”
“Memang betul, tapi kalo sekedar untuk menyetir mobil saja, saya masih bisa kok!” kata dokter Rudi.
“Sudah, lebih baik kita pakai supirnya Nana saja, aku ingin merasakan naik mobil mewah itu.” Dokter maya memaksa.
“Iya betul! Pak Rano sudah menunggu di depan,” ajak Nana.
Mereka bertiga jalan bersama ke depan lobby di mana Pak Rano sudah menunggu dengan mobilnya.
“Film ini mendapat ulasan positif di berbagai media, dan berkesempatan besar untuk menjadi pemenang nominasi Oscar menurut beberapa kritikus,” ucap dokter Rudi ketika mereka sedang berjalan menuju lobby.
“Aku dengar sutradaranya sudah mendapatkan 5 piala Oscar selama karirnya,” ucap Nana ketika mengomentari omongan dokter Rudi.
“Oh, dokter Nadia ternyata penggemar film-film besutan Christofer Bolan?”
“Ya betul, Christofer Bolan selalu pandai menarasikan sebuah cerita dengan cara yang luar biasa.”
“Wah kalian seru sekali membahas film ini, terlihat begitu serasi,” ucap dokter Maya mengomentari obrolan Nana dan dokter Rudi.
“Ahh dokter Maya bisa saja.” Dokter Rudi sedikit tersipu.
“Lalu apa alasanmu mengajakku menonton film ini?” tanya Nana.
“Oh, itu FOMO saja. Film ini banyak dibahas di media sosial. Katanya sangat bagus, rugi kalo kita tidak pernah menontonnya walau hanya sekali seumur hidup,” jelas dokter Maya.
“Wah mobil dokter Nadia sangat bagus!” puji dokter Rudi setelah melihat mobil hitam Mercedez yang dikemudikan Pak Rano.
“Ohh, bukan. Itu bukan mobil saya, bukan juga supir pribadi saya. Jangan tanya banyak hal tentang mobil dan supir itu. Saya akan ceritakan semuanya kalau saya sudah memiliki penjelasan.”
“Oh gitu!” kata dokter Rudi. “Ke bioskop XXL, Pak!” kata dokter Rudi seenaknya pada Pak Rano saat mereka semua sudah berada di dalam mobil.
Pak Rano tidak menanggapi omongan dokter Rudi. Pak Rano hanya menatap tajam dokter Rudi tanpa bicara sedikitpun. Seketika nyali dokter Rudi menciut.
“Pak, tolong antar kami ke bioskop XXL dulu ya! Habis itu, kalo Pak Rano mau langsung pulang juga nggak apa-apa,” ucap Nana.
“Siap, Bu! Biar saya tunggu dan antar sampai rumah saja,” jawab Pak Rano.
Nana tidak ingin mendebat keinginan Pak Rano yang bersedia menunggunya menonton film. Tidak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di sebuah mall yang terdapat bioskop di dalamnya.
“Tiketnya biar saya yang traktir,” kata dokter Rudi ketika mereka sedang antri.
“Terima kasih banyak. Kalau begitu, pop corn dan minumannya biar saya yang beli,” kata Nana.
“Weitss tidak bisa,” sela dokter Maya. “Urusan makan dan minum biar aku yang traktir. Kalau dokter Rudi sudah mentraktir tiket, Nana sudah mengantar dengan mobil mewahnya, masa aku gak ada kontribusi apa-apa.” Dokter maya memaksa dan langsung nyelonong membeli pop corn dan minuman.
“Dokter Maya sepertinya tidak ingin kalah ya,” kata dokter Rudi.
“Begitulah dia! Semenjak kuliah, dia orangnya kompetitif, bahkan dalam kebaikan pun dia selalu ingin menang.”
Sepanjang film diputar, Nana begitu ekspresif menikmati alur cerita. Kadang-kadang matanya melotot, kadang dia terlihat sedih, kadang dia penasaran, kadang dia terlihat kesal sendiri. Terlihat sekali bahwa Nana begitu menikmati film itu.
Dokter Rudi selalu curi-curi pandang kepada Nana. Semua ekspresi Nana yang berubah-ubah baginya sangat lucu dan menggemaskan. Hingga bisa dibilang, dokter Rudi setengah menonton film, setengahnya lagi menonton Nana.
Sedangkan dokter Maya hanya terlihat antusias ketika ada adegan mesra saja, atau ketika ada adegan yang membuat kaget. Selebihnya ia terlihat bosan dan kadang-kadang mengantuk. Terlihat dari mukanya yang beberapa kali menguap.
“Pak Rano, nanti kita antar pulang Maya dulu ya ke rumahnya di daerah Gondangdia,” kata Nana kepada Pak Rano yang menunggunya di depan gedung.
“Siap, Bu!” jawab Pak Rano bersemangat. “Lalu, Pak dokter ini, apa mau diantar juga sampai ke rumahnya?” tanya Pak Rano seketika ekspresi mukanya berubah menjadi datar dengan tatapan tajam mengarah kepada dokter Rudi.
“Ehh, gak perlu, Pak! Saya mesti balik lagi ke rumah sakit, mobil saya masih ada di sana. Saya pulang pake mobil sendiri saja, Pak. Lebih enak,” jawab dokter Rudi sedikit kikuk.
“Mobil jenis apa yang pak dokter punya sampai bilang bahwa mobil yang saya kendarai tidak enak?” tanya Pak Rano sambil berusaha menyembunyikan kekesalannya dengan matanya yang tajam.
“Eh, maksud saya bukan begitu.” Dokter Rudi menjadi gugup dan terintimidasi dengan tatapan mata Pak Rano.
“Sudah sudah, kalau begitu sampai jumpa besok, dokter Rudi!” kata Nana meredam percikan api Pak Rano sambil berpamitan dengan dokter Rudi.
Nana menyadari bahwa Pak Rano tidak menyukai dokter Rudi. Setiap kali dia berbicara dengan dokter Rudi, raut wajah Pak Rano langsung berubah dingin dengan tatapan mata tajam.
“Pak Rano, terima kasih, ya. Na, terima kasih, ya. Sampai jumpa besok, Ibu Negara. Wassalamuallaikum”! kata dokter Maya begitu sudah sampai di depan rumahnya.
“Waallaikumsalam!” Jawab Nana dan Pak Rano.
“Tuh, Pak, denger gak? Saya dikatain Ibu Negara sama temen saya gara-gara Pak Rano selalu antar-jemput saya terus pake mobil ini,” keluh Nana dengan nada bercanda.
“Lah bagus dong, Bu. Siapa tahu besok Pak Jonathan diangkat jadi Presiden, kan sudah terbiasa.”
“Hahaha bisa aja Pak Rano ini. Ngomong-ngomong, Jonathan masih di luar negeri ya, Pak?”
“Masih, Bu! Kayanya Pak Jonathan masih belum puas main pasir di Arab.”
“Ha ha ha… Pak Rano,” panggil Nana. “Pak Rano tidak suka ya dengan dokter Rudi?” tanyanya.
“Yang mana, Bu?”
“Itu loh teman saya yang laki-laki tadi.”
“Lah kalo yang perempuan tadi namanya siapa?”
“Itu Maya.”
“Ohh gitu. Oke deh saya coba inget-inget, temen Bu dokter Nadia yang cantik itu namanya Maya, sedangkan yang tengil itu namanya Rudi. Sip, sudah saya ingat. Maklum, Bu, sudah mulai tua,” ucap Pak Rano dengan gayanya yang jenaka.
“Tengil?”
“Iya, Bu, Tengil! Baru pertama ketemu aja udah berani nyuruh-nyuruh saya. Pak Jonathan saja yang bos saya, selalu memperlakukan saya dengan baik dan sopan. Untung saja saya sudah makan banyak hari ini, jadi gak begitu emosi ngelihatnya. Kalo laper, bisa saya gado tuh orang.” Pak Rano begitu blak-blakan mengungkapkan perasaannya.
Sikap Pak Rano yang ceplas-ceplos dan dengan karakternya yang jenaka membuat Nana betah kemana-mana disupirinya. Tidak hanya hafal tentang jalan, Pak Rano juga tahu tempat-tempat kuliner enak di Jakarta.
“Pak, tempat jual mie ayam yang enak di mana ya? Sekalian mampir dulu ya cari makan,” kata Nana.
“Oh siap, Bu! Saya rekomendasiin tempat mie ayam legendaris di Jakarta. Saya, Pak Jonathan dan teman-temannya biasa makan di situ.”
“Oh gitu!”
Pak Rano segera membelokkan kemudi mobilnya ke sebuah jalan yang ramai dengan para pedagang kaki lima.
“Udah tengil, belagu, tapi anak orang gak dikasih makan!” gerutu Pak Rano. Nana yang mendengarnya hanya tertawa-tawa kecil saja.
***
“Siang, dokter Nadia,” sapa dokter Rudi.
“Siang juga, dokter Rudi,” balas Nana begitu ramah.
“Apa dokter Nadia akan istirahat makan siang?”
“Iya.”
“Bagaimana kalau makan siang bersama?”
“Ohh boleh. Wah dokter Rudi membawa bekal,” ucap Nana begitu melihat tangan dokter Rudi menjinjing bekal.
“Iya, saya selalu bawa bekal kalau lagi bangun lebih awal dan sempat untuk memasak.”
“Wah dokter Rudi bisa memasak?” tanya Nana kagum.
“Sekedar bisa saja, tidak sampai jago seperti cheff.”
“Kalau jago masak, harusnya dipanggil Cheff Rudi, dong! Bukannya dokter Rudi ha ha ha.”
“Betul ha ha ha. Mari!” ajak dokter Rudi ke arah kantin rumah sakit.
Sepanjang mereka berjalan ke arah kantin, dokter Rudi selalu celingak-celinguk. Hal ini pun mengundang rasa penasaran Nana.
“Dokter Rudi cari siapa?” tanya Nana.
“Anu, supir kamu gak ngeliatin kita kan?”
“Eh, maksudnya pak Rano? Dia mungkin sedang makan siang juga di suatu tempat.”
“Supir kamu kayanya galak ya?”
“Sebenarnya nggak, dia orangnya ramah dan jenaka. Mungkin karena dia bekas anggota polisi, galaknya masih sisa.”
“Ohh jadi dia bekas polisi. Pantas rasanya kaya mau ditembak kalo dekat-dekat dengannya.”
“Ha ha ha dokter Rudi bisa aja.”
Nana tertawa riang mendengar komentar dokter Rudi tentang pak Rano. Hal inilah yang disukai oleh dokter Rudi tentang Nana yang periang. Ketika mereka berdua telah duduk semeja di kantin. Terlihat dokter Maya dari jauh dan Nana pun berteriak untuk mengajaknya makan siang juga. Namun karena dilihatnya dokter Rudi memberi kode-kode tertentu kepada dokter Maya, dia pun langsung memberikan kode ke Nana dari jauh bahwa dia tiba-tiba sakit perut namun pergi ke arah berlawanan dengan toilet.
“Dasar aneh!” gerutu Nana melihat tingkah sahabatnya.
“Siapa? Dokter Maya?”
“Betul! Mules kok larinya malah ke luar.”
“Mungkin dia tidak betah dengan toilet kantin.”
“Semua toilet di rumah sakit ini sama bersihnya. Saya lebih percaya kalo dia sedang menyembunyikan sesuatu.”
“Kalau saya perhatikan dari cara jalan dokter Maya, tangannya selalu melipat ke belakang seperti orang sedang menggendong. Mungkin tadi tuyulnya lepas.”
“Ha ha ha dokter Rudi benar. Saya lebih percaya hal itu!”
Nana tidak bisa menahan tawanya mendengar lelucon dokter Rudi. Wajah dokter Rudi langsung sumringah melihat Nana menertawakan leluconnya.
“Dokter Nadia suka mie ayam?” tanya dokter Rudi ketika pesanan mie ayam Nana datang.
“Ya. Semalam Pak Rano merekomendasikan saya mie ayam yang paling enak di Jakarta. Saya ingin mengadunya dengan mie ayam di kantin rumah sakit ini.”
Nana pun langsung menyeruput mie dan kuah dari mangkok mie ayam itu. Cara Nana menikmati makanannya membuat dokter Rudi begitu gemas. Pipi Nana langsung membulat lucu ketika menikmati setiap rasa yang ditawarkan oleh semangkok mie ayam itu.
“Hmmm… kalah jauh. Mie ayam legendaris menang,” komentar Nana ketika menyantap mie ayam itu.
“Maksud dokter Nadia mie ayam legendaris di jalan Jaksa itu?”
“Betul! Dokter Rudi pernah mencobanya?”
“Pernah sekali dan butuh usaha ekstra untuk sekedar menikmati semangkoknya.”
“Benarkah? Kenapa?”
“Penggemar mie ayam legendaris itu sangat banyak dan selalu antri. Katanya, pelanggan mie ayam legendaris itu berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari pejabat hingga para penjahat.”
“Ah dokter Rudi pasti mengada-ada.”
“Apakah dokter Nadia tidak pernah mendengar tentang penangkapan Fatur Budiman sang gembong narkoba? Katanya, Fatur Budiman ditangkap tidak jauh dari kios mie ayam legendaris setelah dia makan siang di sana.”
“Ohhhh!!!” Nana menyimak cerita dokter Rudi dengan sungguh-sungguh.
“Bagaimana kalau kita makan mie ayam legendaris lagi bersama-sama?”
“Boleh saja.”
“Kalau bisa, dokter Nadia ikut mobil saya saja tanpa melibatkan Pak Rano, bagaimana?”
“Pak Rano hanya libur ketika saya libur kerja. Kenapa gitu?”
“Saya takut kalau tiba-tiba ditangkap Pak Rano setelah makan.”
“Ha ha ha, tidak mungkin. Dia tidak lagi seorang polisi. Mungkin bisa kapan-kapan.”
“Sip. Janji ya?” kata dokter Rudi dengan memasang muka manis.
“Gak janji juga.”
“Hmmfft jahatnya,” kata dokter Rudi memanja. “Apa dokter Nana mau coba masakan saya? Silakan aaaa.”
Dokter Rudi langsung menyuapkan sepotong telur gulung ke mulut Nana. Nana kaget dan ragu-ragu dengan tindakan dokter Rudi yang terbilang agresif. Namun karena jarak mereka begitu dekat, dan sepotong telur gulung itu sudah meluncur cepat, maka mau tidak mau Nana harus membuka mulutnya.
“Mmmm, enak juga masakan dokter Rudi. Bekal dokter Rudi terlihat seperti bento khas Jepang.”
“Betul, saya suka dengan resep masakan Jepang.”
“Ohh begitu!”
“Tumben sekali,” gumam dokter Rudi ketika pandangannya terarah pada meja kantin paling pojok.
“Apanya?” tanya Nana heran.
“Meja paling pojok di belakang kamu. Dokter Bran sedang ngopi di sana.”
“Lalu?”
“Biasanya dokter Bran tidak pernah makan atau pun minum di kantin. Semua makanan dan minuman yang dokter Bran mau, pasti selalu diantarkan ke ruangannya.”
“Benarkah?”
Nana langsung memutar kepalanya ke belakang mencari sosok dokter Bran. Pandangan mata dokter Bran dan Nana sekilas bertemu. Mengingat dokter Bran adalah temannya Jo, Nana berasumsi bahwa dokter Bran sedang memata-matainya.
***
“Cieee, yang habis PDKT sama dokter Rudi,” goda dokter Maya kepada Nana.
“Ohh jadi itu alasan anehmu saat istirahat makan siang tadi?”
“He he he… gimana?” tanya dokter Maya cengengesan.
“Ya nggak gimana-gimana, dokter Rudi memang baik dan masakannya juga enak.”
“Hmmm, masa cuman gitu doang?”
“Kamu mengharapkan apa memang?”
“Kamu tahu, Na. Dokter Rudi adalah dokter muda yang paling populer di rumah sakit ini. Banyak orang yang bergenit-genit ria padanya, mulai dari staff, sesama dokter, ataupun pasien. Dari sekian banyak makhluk hidup di rumah sakit ini, dia hanya menaruh perhatiannya padamu. Harusnya kamu gembira, Na?” dokter Maya mulai bertingkah bagai seorang sales marketing yang sedang menunjukkan kualitas barang dagangannya.
“Aku tidak ingin memberi harapan pada siapapun.”
“Kenapa?” tanya dokter Maya penasaran.
Nana ragu-ragu untuk menceritakan alasannya kepada Maya. Hanya saja, dokter Maya adalah sahabatnya semenjak dari kuliah.
“Begini, May,” kata Nana memulai cerita, “sebelum Pak Rano mengantar-jemputku, kamu pernah melihatku pulang pada malam itu diantar oleh teman lelakiku yang berpakaian hitam itu kan?”
Dokter Maya menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Nana. Namun perhatiannya ia pusatkan pada cerita penting yang akan diutarakan oleh Nana. Dokter Maya hafal dengan perilaku Nana. Jika Nana memulai kalimat dengan kata “Begini, May” padanya, maka cerita itu pasti sangat penting baginya.
“Pak Rano bekerja untuk temanku itu, namanya Jonathan.”
“Oh, ksatria kegelapan itu bernama Jonathan.”
“Ksatria kegelapan?”
“Ya karena dia selalu berpakaian gelap seperti dokter Bran.”
“Dia memang teman baik dokter Bran.”
“Masuk akal! Lalu, lalu?” dia penasaran dengan kelanjutan cerita Nana.
“Orang tua kami berusaha menjodohkan kami berdua.”
“WHAATTT?” dokter Maya kaget, “kamu akan menikah dengannya?”
“Belum pasti, kami sedang proses ta’aruf.”
“Oh my god, oh my god, Nanaku, sahabatku yang cantik akan segera menikah. Lalu bagaimana proses ta’aruf kalian?” Dokter Maya begitu antusias dengan berita ini.
“Di situlah masalahnya, May. Kami sepertinya tidak ada kemajuan, bagai jalan di tempat. Dia sulit sekali ditemui dan selalu sibuk dengan pekerjaannya. Jangankan bertemu, aku berusaha menghubunginya saja tidak pernah direspon. Kamu tahu sekarang dia ada di mana?”
“Di mana?”
“Qatar!”
“Apakah dia sedang berbisnis minyak di sana?”
“Gak tahu.”
“Tapi, Na. Menurutku dia punya niat baik padamu?”
“Maksudmu?”
“Pak Rano. Bukankah dia mengirim Pak Rano untuk mengantar-jemput kamu? Kalau bukan niat baik, lalu apa?”
“Mungkin begitu, May. Tapi setiap kali dia berbicara padaku, dia sangat dingin. Tanpa ekspresi. Bagai tidak menunjukkan keseriusannya. Aku tidak tahu apa niatnya.”
“Kalau begitu, dia adalah Drakula sang Ksatria Kegelapan.”
“Apalagi itu? Bahkan Drakula saja pernah tersenyum.”
“Lalu bagaimana perasaanmu?”
“Hmmm,” gumam Nana sambil mengangkat kedua bahunya. Nana tidak ingin menceritakan lebih lanjut tentang sosok Jo sebagai teman masa kecilnya, atau pun tentang utang keluarganya pada keluarga Jo. Bagi Nana, itu semua adalah aib yang tak pantas diceritakan kepada siapapun.
“Berarti dokter Rudi masih punya kesempatan dong?”
Nana langsung menatap dalam mata sahabatnya.
“Kamu ini,” ucapnya sambil sedikit tersipu.
“Tuh kan! Kamu tersipu saat aku menyinggung tentang dokter Rudi. Jika kamu lebih punya perasaan, walaupun sedikit saja, kepada dokter Rudi ketimbang sang Drakula Jonathan itu. Aku pikir kamu harus membuat keputusan, Na. Ohh, aku iri sekali dengan dirimu yang didekati cowok-cowok keren.”
Nana tidak begitu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh dokter Maya. Namun dari beberapa kalimat itu, dokter Maya benar bahwa Nana harus segera membuat keputusan dengan Jo.
“May, Sabtu ini apa kamu bisa menggantikan shift malamku?”
“Kamu lupa ya, kan aku juga masuk malam Sabtu ini.”
“Oh, begitu ya.”
“Kenapa kamu tidak meminta tolong dokter Rudi saja. Sepertinya dia libur Sabtu ini.”
“Hmmm,” Nana meragu.
“Kamu tanya saja padanya. Sekalian untuk menguji keseriusan dokter Rudi padamu.”
“Ah, kamu ini, May.”
Nana berniat untuk mengunjungi rumah orang tuanya akhir pekan ini. Dia ingin mendiskusikan masalah ini pada ayah dan ibunya.
***
“Assalamuallaikum, Ibu!”
“Waallaikumsalam, anakku yang paling cantik! Muach muach,” jawab Ibu sambil memeluk dan menciumi pipi putrinya dengan gemas.
“Ayo, kita makan dulu!” ajak Ibu.
“Kemana Ayah? Kenapa kita tidak menunggunya?” Nana menanyakan keberadaan ayahnya yang tidak nampak di rumah.
“Oh, maaf, Sayang. Ayahmu baru saja pergi 2 jam yang lalu, katanya dia akan bertemu dengan orang penting. Dia pergi dengan wajah yang begitu serius. 15 menit yang lalu, ayahmu chat Ibu bahwa dia mungkin pulang agak malam.”
“Oh, gitu? Semoga bukan hal buruk.”
“Aamiin!”
Setelah makan malam, Nana dan ibunya duduk berdua di ruang tengah untuk mendiskusikan hubungannya dengan Jo.
“Serius kamu, Na?” tanya Ibu kaget, “Jonathan mengirimkan supirnya untuk kamu?” Ibu terkagum-kagum. Nana mengangguk-anggukkan kepala.
“Tapi, Ibu,” rengek Nana, “aku meragukan niat Jo terhadap diriku.”
“Kenapa? Bukankah memberikan supirnya sudah menunjukkan niatnya padamu.”
Kata-kata yang keluar dari mulut Ibu sudah diduga oleh Nana. Kalimat bernada sama seperti yang diucapkan sahabatnya, dokter Maya.
“Jika Jo memiliki keseriusan terhadapku, aku ingin dia meluangkan waktunya. Aku ingin dia terbuka padaku. Aku ingin dia menunjukkan ekspresinya. Aku ingin dia mengungkapkan isi hatinya padaku. Beberapa kali aku berbicara dengannya, dia berbicara sekehendaknya saja, tidak pernah sungguh-sungguh merespon ucapanku atau pun tidak pernah menaruh perhatiannya padaku. Seakan-akan dia pikir dunia berotasi di dekatnya. Caranya itu sangat tidak ku sukai, Ibu. Semua yang telah dilakukannya, seakan berkata bahwa dia tidak membutuhkanku, akulah yang membutuhkannya. Bukankah hal seperti itu terlihat bagai merendahkanku, Ibu?”
“Mungkin dia memang sangat sibuk. Apa kamu pernah bertanya padanya kapan dia punya waktu luang untuk membicarakan hal ini?” tanya Ibu sambil memeluk putrinya.
“Sudah, Ibu. Dia sedang di Qatar, entah kapan dia kembali.”
“Qatar?”
“Ya, aku mengetahuinya dari Bobby, dan meminta Bobby untuk menyampaikan pesanku padanya. Bahkan untuk hal sesimpel ini saja, aku harus berbicara kepada Bobby. Dia tidak pernah mengangkat telponku atau membalas pesan-pesanku.”
“Beri kesempatan padanya sekali lagi. Satu kali saja. Kalian obrolkan hal ini baik-baik nanti. Setelah kalian sudah mencapai kesepakatan, apa pun keputusan kamu terhadap diri Jonathan, Ibu akan membelamu.”
“Terima kasih, Ibu. Aku akan berusaha untuk memberinya kesempatan sekali lagi.”
“Ibu sungguh tidak ingin kamu memilih orang yang tidak ingin kamu nikahi. Soal utang kita terhadap keluarga Jonathan, biar kami yang tanggung. Kamu tidak perlu memikirkannya.”
“Ibu,” ucap Nana.
“Ya?”
“Bagaimana jika….” Kalimat yang akan keluar dari mulut Nana tertahan.
“Kenapa?”
“Nggak ah. Nanti aja.”
Nana ragu-ragu untuk menceritakan tentang dokter Rudi kepada ibunya.
“Sudah malam tapi Ayah belum juga pulang.” Nana mengalihkan pembicaraan.
“Mungkin sebentar lagi. Kalo kamu ngantuk, kamu tidur aja duluan. Besok kita obrolin lagi bertiga dengan ayahmu.”
Tanpa berkata lebih lanjut, Nana langsung mencium pipi ibunya sebelum dia pergi ke kamar lamanya. Sepertinya rasa kantuk telah menawan hatinya yang lelah. Nana langsung membaringkan tubuhnya di kasur. Ditatapnya langit-langit dengan pandangan kosong dan mata berat. Setelah bosan menatap langit-langit, digulingkan tubuhnya ke arah kanan hingga kini dia menatap jendela. Kantuknya langsung hilang begitu matanya menangkap jendela. Tubuhnya segera bangun memburu jendela itu. Sebuah hal misterius telah memberinya kekuatan secara tiba-tiba. Jendela itu, ya jendela itu adalah tempat favorit Jo menunggu ketika akan mengajak dirinya bermain sewaktu mereka kanak-kanak. Lalu Nana membuka jendela itu dan duduk di atasnya. Tidak seperti teman-teman masa kecilnya yang lain yang ketika mereka akan mengajaknya bermain selalu lewat pintu depan, maka Jo selalu mengajaknya keluar rumah untuk bermain lewat jendela ini secara diam-diam. Jo sangat paham, jika dia mengajak Nana bermain pada siang hari lewat pintu depan, ibunya pasti melarangnya atau membuat alasan bahwa Nana sedang tidur siang. Apalagi jika Ayah yang dihadapinya, pasti Jo langsung dimaki. Satu-satunya benda mati yang bisa berkata jujur tentang kondisi Nana saat itu hanyalah jendela ini.
Dirabanya kedua daun jendela itu. Setelah puas, Nana mengalihkan pandangannya pada tanah di bawah jendela kamarnya. Tanah gembur yang dulu sering jadi tempatnya mendarat ketika melompat, atau tempatnya dulu pernah berguling-guling bersama Jo. Sebuah senyum terkembang di bibir Nana mengingat adegan itu. Bahkan dia sedikit tertawa ketika mengingat alasan Jo gagal menangkap dirinya waktu itu.
Nana memeluk dirinya sendiri sambil memandang jauh ke langit malam dan bintang-bintang.
“Jo, bagaimana langit Qatar?
Kapan kamu pulang?
Ada hal-hal penting yang ingin aku ungkapkan
Jo… apa maumu?”
Tiba-tiba Nana ingin menaiki jendela itu. Ketika kedua kakinya sudah di atas jendela dengan posisi nongkrong, dia menengok ke bawah dan membayangkan seorang bocah lelaki yang sedang menunggunya di sana. Nana tersenyum kepada bocah dalam bayangannya dan dengan ajaib serasa dapat mengembalikan waktu pada hari itu. Karena larut dalam imajinasinya, kaki Nana terpeleset dan jatuh ke belakang dengan posisi punggung menghantam lantai.
“Aduuhhh… Jo,” erang Nana kesakitan. Dia kaget sekaligus malu kepada dirinya sendiri ketika memanggil-manggil nama Jo.
Setelah puas, Nana menutup kembali jendela kamarnya. Kantuknya kembali datang. Ketika dia telah memejamkan matanya, terdengar suara mobil terparkir di depan rumah. Ayahnya sudah pulang, namun Nana tidak berminat untuk bangun dan menyambut ayahnya. Dia lebih memilih tidur dan mengobati lelah hatinya.
“Ayah kok pulang malam sekali? Siapa sih yang Ayah temui akhir pekan begini? tidak biasanya,” tanya istrinya rewel.
“Lebih baik Ayah pulang malam, Bu, daripada kesalahan yang sama terjadi.”
“Maksudnya?” istrinya penasaran.
“Nana mana?”
“Dia sudah tidur.”
“Ya sudahlah, nanti Ayah ceritakan besok saja. Orang yang Ayah temui tadi, berhubungan dengan calon menantu kita, Bu. Jonathan!”
“Sebaiknya jangan terlalu berharap, Ayah. Memang apa yang dilakukan Jonathan?”
“Nanti sajalah! Kalian harus mendengarkan bersama tindak-tanduk calon menantu kita itu. Sekarang Ayah lapar, mau makan.”
***
“Aaaa!!! Kak Jo pulang!” teriak Emma histeris dan riang gembira sambil memeluk sosok kakak sulungnya ketika dia pulang ke rumah ibunya malam itu.
“Bagaimana skripsimu, Emma?” tanya Jo.
“Lancar, aku hanya butuh riset lebih dalam lagi. Kata dosenku, keragaman budaya Indonesia sangat mendukung perkembangan risetku.”
“Lalu kapan kamu akan kembali ke Jepang?”
“Sepertinya masih lama, Kak Jo. Dosenku bilang, dia juga akan ke Bali untuk liburan dan aku diundang untuk menemaninya, sekalian membahas skripsiku.”
“Bagus!”
“Ayok kita makan dulu! Jarang-jarang kita makan bareng,” ajak Ibu.
“Betul itu! Kak Jo sangat sibuk sekali, bahkan kata Kak Bobby, Kak Jo tidak pernah mengangkat telpon dari Kak Nadia. Kak Jo ini jahat sekali pada wanita secantik Kak Nadia.”
Mendengar perkataan Emma, Jo langsung memutar kepalanya menatap tajam Bobby yang sedari tadi berdiri di belakangnya. Bobby merasa ngeri karena ditatap sedemikian rupa oleh kakak yang begitu dihormatinya. Dia pun segera berlari ke arah meja makan. Saat dia melewati Emma, Bobby menjewer kuping adik perempuannya itu.
“Dasar ember!” kata Bobby.
“Aduh sakit ih, Kak Bobby!” Emma segera mengejar Bobby untuk membalas perbuatannya. Ibu tersenyum melihat kerukunan putra-putrinya. Kemudian Ibu menggamit lengan Jo dan menuntunnya ke meja makan.
“Bagaimana hubunganmu dengan Nadia, Jo?” tanya Ibu.
“Nanti kita bicarakan setelah makan, Ibu. Aku butuh nasihat Ibu tentang Nadia,” jawab Jo.
“Tentunya Ibu akan sangat senang jika mendapat menantu secantik dan seanggun Nadia. Apalagi dia seorang perempuan yang baik dan juga seorang dokter.”
“Begitukah?!”
Jo dan keluarganya sedang makan malam. Tampak Jo sangat menikmati makanan yang terhidang di atas meja itu. Melihat ekspresi kakak sulungnya itu. Emma berusaha memancingnya.
“Tebak ini makanan siapa yang masak, Kak Jo?” tanya Emma sedikit usil.
“Kalian berdua kurasa. Karena masakan Ibu selalu enak, dan masakan Emma sudah seenak punya Ibu.”
Emma pun tersenyum gembira mendengar jawaban kakaknya itu, begitu juga Ibu.
“Tapi aku tahu bedanya makanan mana yang dimasak Ibu dan yang dimasak Emma,” sela Bobby.
“Oh ya? Coba buktikan!” tantang Emma.
“Kamu taruh 3 potong tempe goreng dan 3 potong tahu goreng pada satu piring ini,” ucap Bobby sambil memberikan sebuah piring kosong pada Emma. Emma mengikuti perintah Bobby.
“Lihat ini! Perhatikan baik-baik! Kak Jo atau Ibu apakah bisa melihat perbedaan pada tempe dan tahu goreng ini?” tanya Bobby kepada Jo dan Ibu.
“Tahu dan tempe memang memiliki rasa dan tektur yang berbeda walaupun sama-sama berasal dari kedelai kan, Bobby?”
“Ibu benar, walaupun bumbunya juga sama, namun tahu dan tempe memiliki tekstur dan rasa yang berbeda. Tapi ada satu hal yang membuat tahu dan tempe ini memiliki ciri khas dari orang yang memasaknya…. Kak Jo?” tanya Bobby kepada kakaknya. Jo dengan cermat memahami maksud Bobby setelah dia menatap kumpulan tahu dan tempe goreng itu, namun dia lebih memilih diam dan hanya tersenyum simpul.
“Yang tempe ini dimasak oleh Ibu, sedangkan yang tahu ini oleh Emma.”
“Kok bisa tahu, Bobby?” tanya ibunya.
“Perbedaan dari kedua tahu dan tempe ini adalah pada ketebalan potongannya. Coba perhatikan tahu ini, hasil ketebalan potongannya tidak konsisten. Yang ini sedikit lebih tebal, yang ini cukup ideal, sedangkan yang ini sedikit lebih tipis. Sedangkan 3 potong tempe ini memiliki ketebalan yang sama. Seumur hidup aku menikmati masakan Ibu, satu hal yang aku sadari, Ibu memiliki teknik memotong makanan yang rapih dan konsisten pada setiap masakannya.”
Jo hanya tersenyum dan segera menyelesaikan makannya. Ibu tersenyum bahagia melihat kemampuan yang dimiliki anak tengahnya. Sedangkan Emma hanya manyun saja sambil melahap makanannya.
“Ibu, jika sudah selesai makan, tolong temui aku di perpustakaan lantai atas, aku ingin bicara berdua dengan Ibu,” ucap Jo meninggalkan meja makan. Ibu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum kepada Jo.
Setelah selesai makan, Ibu segera menyusul Jo sambil membawakan dua cangkir teh panas. Emma dan Bobby masih di meja makan sambil berusaha menyelesaikan makan malam mereka.
“Kenapa cemberut gitu, Emma? Kamu marah pada kritikan Kak Bobby?” tanya Bobby menanggapi ekspresi adiknya.
“Dih, ge er!”
“Sebenarnya kemampuan memasak kamu luar biasa, Emma. Kamu sudah bisa mengingat setiap bumbu-bumbu masakan Ibu. Hanya saja kamu kurang memperhatikan teknik Ibu.”
“Masa sih?”
“Kamu tahu, Emma. Ibu memiliki semacam bakat atletik pada tubuhnya, buktinya adalah bagaimana cara ibu menggunakan pisau jika kamu sungguh-sungguh memperhatikannya. Sedangkan almarhum Bapak, kata kak Jo, memiliki ingatan yang kuat. Kamu memiliki bakat Ibu jika kamu bisa fokus dan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Sedangkan Kak Bobby sendiri memiliki ingatan kuat seperti almarhum Bapak. Setiap kali Ibu memiliki resep baru, Ibu hanya perlu menelponku dan mendiktekannya untukku. Aku akan ingat berapa gram garam, gula, cabai atau bumbu-bumbu lainnya dengan tepat. Kamu hanya perlu mengasah dan jam terbang yang tinggi saja untuk menyamai Ibu.”
“Iya, terima kasih, Kak Bobby!”
“Sedangkan Kak Jo memiliki bakat dari kedua orang tua kita. Apa kamu pernah menyaksikan bakat luar biasa Kak Jo, Emma?”
“Jarang, tapi sewaktu kecil, aku pernah melihat kak Jo meniru gerakan petinju yang ditontonnya dari tv dengan sama persis.”
“Betul sekali. Aku sering ikut Kak Jo berlatih beladiri bersama teman-temannya atau rekan bisnisnya di gym. Suatu hari, ada rekan bisnis Kak Jo yang berhasil mengalahkan 2 orang temannya dengan sebuah jurus silat. Aku melihat Kak Jo sangat fokus melihat setiap gerakan silat orang itu. Lalu ketika orang itu menantang Kak Jo, orang itu kaget dan heran karena Kak Jo melawannya dengan gerakan yang sama persis.”
“Kak Jo memang istimewa. Aku ingin menguping pembicaraan Kak Jo dengan Ibu, pasti tentang Kak Nadia. Apa Kak Bobby mau ikut?”
“Sebaiknya jangan, Emma. Kak Jo memiliki indera yang sangat sensitif. Dia bisa menyadari kehadiran orang lain yang berjarak sekitar 10 meter darinya walau tanpa melihat.”
“Bodo amat weee! Aku penasaran.”
“Duh, kamu ini!”
Emma segera menaiki tangga lantai 2 dan dengan berjinjit-jinjit mendekati pintu ruang perpustakaan. Bobby menyusulnya di belakang.
“Bagaimana menurutmu tentang Nadia, Jo?” tanya Ibu sambil sesekali menyesap tehnya.
“Dia baik, berpendidikan, cantik dan masih sama seperti Nadia yang ku kenal sewaktu kecil.”
“Lalu?”
“Entahlah, Ibu. Sepertinya dia tidak menyukaiku, dan aku pun tidak memiliki perasaan yang berlebihan padanya. Biasa-biasa saja.”
“Apa kamu sudah pernah ngobrol dengannya?”
“Sayangnya, waktuku tersita karena pekerjaan, aku hanya beberapa kali bertemu dengannya dan berbicara singkat saja.”
“Nah, itulah salahmu, Jo!” ucap Ibu. “Coba kamu luangkan waktu bersamanya. Tidak perlu mengobrol hal-hal penting dulu, ngobrol saja hal-hal sederhana. Kalian adalah teman masa kecil yang terpisah begitu lama, ceritakan saja hal-hal sederhana seperti itu dengannya. Buatlah dia nyaman berbicara denganmu.”
“Begitukah?” Jo sedikit meragukan nasihat ibunya.
“Akan tetapi, jujur pada Ibu, Jo. Bagaimana perasaanmu terhadap Nadia? Apakah kamu ada keinginan walau sedikit saja untuk menjadikannya istrimu.”
Jo terdiam sejenak mendengar pertanyaan dari ibunya. Dia tidak ingin apa pun yang keluar dari mulutnya nanti bisa melukai hati ibunya. Dia pun menyesap teh buatan ibunya sambil memikirkan kata-kata yang pantas.
“Ibu… kenapa Ibu menginginkan sekali aku beristri?” tanya Jo dengan nada lembut.
Ibu mendesah lalu berkata, “Kamu adalah anak kebanggaan Ibu, Nak. Ibu sangat sayang padamu. Selama ini kamu selalu bekerja keras untuk keluarga tanpa memikirkan dirimu sendiri. Kamu menempuh jalan terjal dan gelap untuk menghidupi keluargamu. Adik-adikmu sangat hormat dan sayang padamu. Ibu pikir, sudah waktunya kamu memikirkan dirimu sendiri dan kehidupanmu nantinya. Ibu ingin kamu memiliki seseorang yang dapat mencintai kamu, memanjakan kamu, dan membahagiakan kamu.”
Jo termenung mendengar ungkapan kasih sayang dari ibunya.
“Baiklah, Ibu. Aku punya waktu senggang beberapa hari minggu depan. Aku akan berusaha untuk menemui dan berbicara kepada Nadia dengan selayaknya.”
“Satu lagi, Jo. Apakah kamu belum bisa membuka hatimu kepada Nadia karena kamu masih mencintai wanita itu?”
“Apakah Emma yang menceritakannya pada Ibu?” Sepasang mata Jo beralih ke arah pintu. “Ya kan, Emma?” Jo menaikkan intonasi suaranya agar dapat terdengar dari luar.
“Tuh, kan! Apa aku bilang,” ucap Bobby.
“Cabut! Cabut! Cabut!” ajak Emma.
Bobby dan Emma segera menjauhkan telinganya dari pintu perpustakaan dengan terburu-buru hingga meninggalkan suara kaki yang riuh menuruni tangga.
“Itu hanya cinta monyet, Ibu. Masing-masing dari kami telah memilih takdir dan jalannya masing-masing,” kilah Jo. Namun jauh di dasar hati Jo, dia memang memiliki nama wanita yang sangat dicintainya, dan itu bukan Nadia Maharani.
“Ibu, jika Nadia juga tidak menginginkanku sebagai suaminya, janganlah Ibu bersedih hati.”
“Tentu saja, Nak. Itu adalah haknya Nadia untuk memilih. Kita tidak bisa memaksanya.”
“Terima kasih, Ibu.”
***