Matahari yang menyengat tidak menyurutkan niat seorang bocah laki-laki yang sedang mengendap-endap di bawah jendela sebuah rumah. Kulitnya yang hampir keling seakan sudah kebal dengan sengatan matahati yang garang. Sengatan matahari itu dirasanya bagai elusan hangat saja di kulitnya.
“Na, Nana, ayo keluar!” bisik bocah laki-laki yang sedang menunggu di bawah jendela kamar seorang anak gadis sambil mengetuk-ngetuk jendelanya.
“Tunggu sebentar, Jo, sebentar lagi ibuku akan tidur siang. Tunggu di situ ya, sebentar lagi aku keluar.”
Lalu gadis kecil itu melongokkan kepala dari pintu kamarnya ke ruang tengah. Sekilas ia melihat ibunya sedang terduduk di sofa menonton tv dengan wajah menahan kantuk. Diperhatikannya baik-baik wajah ibunya itu. Ketika dia sudah yakin bahwa ibunya telah menyerahkan diri kepada kantuk yang dahsyat, gadis kecil itu berjinjit-jinjit berusaha untuk tidak menimbulkan suara saat dia membuka pintu kulkas.
“Jo, tangkap ini!” perintah anak gadis bernama Nadia itu atau yang lebih akrab dipanggil Nana.
“Apa ini, Na?” tanya bocah laki-laki yang dipanggil Jo ketika dia menangkap sebuah bungkusan plastik hitam yang dilempar Nana dari jendela kamarnya.
“Itu makanan buat nanti. Jo bersiaplah di bawah, aku akan melompat.”
“Hei, tunggu dulu! Bahaya!”
Namun Nana sudah terlanjur melompat dari jendela kamar yang tingginya sekitar 1 meter itu. Jo sebenarnya sudah bersiap untuk menangkap tubuh Nana andai dia tidak mendarat di atas dua kakinya dengan benar. Hanya saja, ketika Nana melompat roknya berkibar dan Jo terpaksa mengalihkan pandangannya karena tidak ingin melihat celana dalam Nana. Sedangkan Nana tidak memperhitungkan jarak dimana Jo berdiri begitu dekat ketika dia melompat. Alhasil, tubuh keduanya bertabrakan dan berguling tanah.
“Aduuhhh, kamu berdiri terlalu dekat, Jo,” rintih Nana begitu dia terduduk di samping Jo.
“Kan sudah ku bilang, tunggu dulu! Lagian kenapa kamu pakai rok, bukan celana seperti biasanya.”
“Celanaku basah semua. Sudahlah, ayo kita pergi! Kalo kelamaan dan berisik, takutnya ibuku bangun.”
Nana menarik tangan Jo yang belepotan tanah dan mengajaknya berlari melalui halaman belakang rumahnya ke tempat biasa mereka bermain. Mereka berdua berlari-lari melintasi area perkebunan singkong hingga ke jalan raya, lalu masuk lagi ke perkebunan Mang Abu, 200 meter kemudian berhenti di tepi sebuah sungai yang airnya tidak begitu dalam di mana ketiga orang temannya sudah menunggu.
“Hai, Mimi, Wahyu, Jeki!” sapa Nana kepada teman-temannya.
“Hai, Nana. Kamu bawa apa?” tanya Mimi.
“Aku dan Jo bawa roti tawar.”
“Ohh ini roti tawar,” gumam Jo yang sedari tadi penasaran dengan isi plastik hitam milik Nana.
“Ohh bagus, itu bisa buat kita tambah kenyang. Lihat, aku sudah menangkap 3 ekor ikan betok, Jeki membawa beberapa buah mangga, Mimi membawa 5 biji buah pisang, jika aku dapat ikan 2 ekor lagi, kita bisa membakarnya dan makan bersama,” kata Wahyu yang sedari tadi terlihat begitu serius memperhatikan mata pancingnya.
“Kamu pasti mencuri buah mangga ini dari kebun Mang Abu. Ya kan, Jeki?” tanya Nana penuh selidik.
“Nggaklah! Mang Abu itu keluargaku. Sesama keluarga tidak boleh pelit,” bantah Jeki.
“Tapi kamu pasti tidak bilang atau minta ijin sama Mang Abu, kan?” Nana terus mendesak Jeki.
“Sudahlah, Na. Tidak baik meributkan makanan. Mending kamu bantu aku mengumpulkan ranting dan daun-daun kering untuk membakar ikan.” Jo berusaha mendamaikan Nana dan Jeki sebelum mereka benar-benar bertengkar.
“Oke, tapi aku gak mau makan buah mangga itu. Kata Ustadz Ajo, buah hasil mencuri bisa bikin sakit perut karena tidak berkah.”
“Terserah, syukur kalo begitu, jatahmu untuk Jo saja. Kamu mau kan, Jo?” tanya Jeki kepada Jo setelah dia mendengar omelan Nana. Jo mengacungkan kedua jempol tangannya kepada Jeki sambil nyengir.
“Kamu mau makan mangga itu, Jo? Nanti sakit perut loh,” kata Nana.
“Tidak mungkin. Aku tidak pernah sakit karena makanan. Aku bisa makan apa saja dan selalu sehat.”
“Terserah. Tapi kalo kamu sakit karena buahnya Jeki, aku tidak ingin menjengukmu. Jekilah yang harus bertanggung jawab.”
“Iya, iya.”
Nana adalah anak yang sangat cerewet dalam banyak hal. Karena itu Jo selalu mengalah kepada Nana dan tidak pernah ingin bertengkar dengannya.
Jo mengeluarkan korek api kayu dari kantong celana begitu ranting dan dedaunan kering sudah terkumpul untuk membakar ikan. Wahyu yang berencana menangkap ikan hanya 5 ekor saja untuk masing-masing temannya, malah mendapat lebih karena umpan berupa cacing yang disiapkannya lumayan banyak.
Jo mulai membakar ikan betok hasil tangkapan Wahyu yang mana sebelumnya ikan tersebut sudah ditusuk terlebih dahulu menggunakan ranting kecil oleh Jeki. Mimi berusaha mengupas buah mangga sebisanya selagi Nana mengumpulkan daun nangka yang lumayan lebar untuk alas makan mereka.
Sambil menunggu ikan bakar matang, mereka berlima mulai makan bersama-sama sambil membagikan makanan yang mereka bawa sebelumnya. Nana mengambil selembar roti tawar dan meletakkan buah pisang yang telah dikupasnya di atas roti tersebut lalu menggulungnya.
“Wooaahh keren, aku juga mau coba makan roti dan pisang seperti cara Nana,” kata Wahyu setelah dia melihat cara Nana makan roti dan pisang.
“Aku juga mau coba. Kalian juga cobalah makan roti dan pisang seperti cara Nana!” Jo mengambil selembar roti lalu menawarkan sisanya kepada Jeki dan Mimi. “Na, Jeki boleh kan makan roti punyamu?” tanya Jo ragu-ragu karena mengira Nana dan Jeki masih bertengkar.
“Tentu saja boleh, itu kan bukan hasil men…,” Nana tidak meneruskan perkataannya. Tiba-tiba dia teringat bahwa roti itu pun dia ambil dari kulkas di dapur tanpa ijin ibunya. Apakah dia juga pencuri? Nana merasa sangat malu karena telah menuduh Jeki sebagai pencuri. “Ambil saja, Jeki. Roti itu untuk kita makan bersama,” kata Nana berusaha ramah untuk menutupi rasa malunya.
“Lihat ini, sandwich rasa mangga,” kata Jo ketika dia kembali mengambil selembar roti tawar dan menambahkan potongan buah mangga pada roti itu.
“Kamu harus mencoba ini, Jo.” Wahyu mencomot beberapa daging ikan bakar yang sudah matang dan menaruhnya di atas roti lalu memakannya.
“Wah benar juga, pasti sedap hahaha.” Jo segera mengikuti cara Wahyu memakan ikan dengan roti.
“Emang enak ya? Makan ikan bakar dengan roti?” tanya Nana penasaran.
“Cobalah, Na, ini gurih sekali.” Jo berusaha meyakinkan Nana sambil mengulurkan roti tawar berisi ikan bakar miliknya.
“Hmmm… rasanya aneh,” kata Nana begitu dia mencicipi roti milik Jo dari tangannya. “Kamu habiskan saja, Jo. Aku tidak begitu suka. Aku lebih suka ikan bakarnya saja.”
“Hmmp payah!” ejek Jo kepada Nana.
Makan bersama di tepi sungai adalah kegiatan yang sering mereka lakukan ketika hari Minggu. Setelah kenyang, mereka akan mandi di sungai yang dalamnya hanya sebatas pinggang orang dewasa. Jo, Wahyu dan Jeki sudah berbasah-basah ria menikmati aliran sungai yang tenang dan jernih airnya.
“Hei, apa kalian tidak ikut nyebur?” tanya Wahyu kepada Nana dan Mimi.
“Gak mau! Aku pernah dipukul Ibu karena ketahuan mandi di sungai,” jawab Mimi.
“Nana?” kini giliran Jo yang bertanya.
“Aku juga nggak mau. Kasihan Mimi kalo harus main sendiri.”
“Lalu kalian main apa?” Jeki penasaran.
“Kami sedang membuat hiasan dari daun nangka,” jawab Nana.
“Apa serunya itu?” gerutu Jeki.
“Bisakah kalian membuatkan sebuah mahkota?” tanya Jo.
“Hah?!” Mimi dan Nana heran.
“Bagaimana kalo kita lomba tahan nafas paling lama dalam air, yang menang nanti akan dianugerahi mahkota dan dipanggil Raja Buaya,” usul Jo kepada teman-temannya.
“Hahaha… Raja Buaya, kenapa harus dipanggil Raja Buaya?” Nana merasa lucu dan heran dengan ide Jo.
“Aku tadinya memikirkan Raja Hiu, tapi hiu tidak bisa berjalan di darat, kan? Hanya buaya yang bisa.”
“Ide bagus, Jo. Sekalian saja kita lomba renang, bagaimana?” usul Wahyu.
“Setuju!” Jo dan Jeki kompak mendukung ide Wahyu.
“Baiklah, kalo begitu kami akan buatkan dua buah mahkota untuk masing-masing pemenang,” usul Nana.
“Kalo begitu, ayo kita mulai lombanya!” Jo bersemangat.
Para bocah laki-laki itu sepakat untuk mulai terlebih dahulu dengan balapan renang melawan arus sungai. Mereka bertiga mulai dari jarak sekitar 10 meter dari tempat dimana Mimi dan Nana berada sebagai garis finishnya.
“Priiiitttt!!! Go! Go! Go!” teriak Jo memulai perlombaan dengan menirukan suara peluit dengan mulutnya.
Ketiga bocah itu berenang melawan arus sungai yang tenang. Jo mengungguli kedua temannya dan semakin melebarkan jarak. Jeki berusaha menyusul Jo dengan sekuat tenaga. Wahyu yang kurang pandai berenang dan hanya jago mancing tidak ingin kalah dari kedua temannya.
Sambil kedua tangannya merangkai daun-daun nangka menjadi mahkota, Mimi dan Nana menyaksikan keahlian berenang para teman laki-lakinya itu sambil berteriak-teriak menyemangati mereka.
“Ayo, Jo!”
“Semangat, Jeki!”
“Jangan mau kalah, Wahyu!”
Jo langsung mengangkat kedua tangannya di udara begitu dia sudah sampai di garis finish dimana Mimi dan Nana berada.
“Hebat, Jo! Kamu menang,” puji Nana.
Jo tersenyum dengan nafas terengah-engah mendengar pujian dari Nana. Jeki berada di tempat kedua, kemudian Wahyu. Mereka semua tersengal-sengal dan memutuskan untuk rehat sejenak sebelum memulai lomba kedua.
“Apa kalian sudah siap?” tanya Jo kepada kedua temannya.
“Ayok!!!” jawab keduanya semangat.
“Oke, kalo begitu Mimi dan Nana yang jadi wasitnya, gimana?”
“Setuju!”
“Kalo begitu aku akan menghitung dari 1 sampai 3 lalu kalian bisa mulai. Bersiap! 1… 2… 3 mulai!” teriak Nana memberi aba-aba.
Jo, Jeki dan Wahyu segera menarik nafas sedalam-dalamnya dan menenggelamkan kepala mereka di dalam air. Suara blubuk-blubuk mulai terdengar begitu mereka menenggelamkan kepalanya masing-masing.
10 detik telah berlalu dan mereka masih berusaha untuk menahan nafasnya di dalam air. Di detik ke 20, Jeki menyembulkan kepalanya dan menyerah, kini tinggal Jo dan Wahyu yang masih bertahan. Sayang, Wahyu hanya kuat menahan nafasnya di dalam air selama 29 detik lalu menyembulkan kepalanya.
Meski Jo sudah dinyatakan sebagai pemenang, namun dia tidak juga menyembulkan kepalanya dari air hingga lebih dari 30 detik. Jeki berusaha untuk meraba-raba tubuh Jo di dalam air dan memberitahunya bahwa dia telah menang. Namun Jo yang masih berada di dalam air menjadi salah paham ketika tangan Jeki menyentuh tubuhnya. Jo mengira bahwa temannya itu berusaha berbuat curang dengan cara menggelitikinya.
“Jo, Jo, keluarlah! Kamu menang!” teriak Jeki panik.
“Jo, kamu sudah menang!” Wahyu ikut berteriak dan ikutan panik.
Karena Jo tak kunjung menyembulkan kepalanya, Mimi dan Nana pun ikutan panik. Tanpa pikir panjang, Nana langsung lompat ke dalam sungai dan memburu tubuh Jo.
“Jo keluarlah! Kamu menang, kamu menang, Jo!” teriak Nana sambil berusaha menarik tubuh Jo ke atas. Karena Jo belum juga menyembulkan kepalanya, Nana langsung menenggelamkan kepalanya di depan tubuh Jo hingga wajah mereka berhadapan. Nana menepuk-nepuk pipi Jo di dalam air. Jo membuka matanya dan mendapati wajah Nana tepat berada di depan wajahnya, lalu dia memutuskan untuk menyembulkan kepalanya.
“Hah hah hah,” Jo tersengal-sengal, “sekarang aku adalah Raja Buaya!” teriaknya dengan bangga.
“Iya, Jo, kamu adalah Raja Buaya. Kamu bikin khawatir saja,” kata Jeki geram.
“Lihat! Nana sampai harus nyebur karena panik.” Wahyu tak kalah geram.
“Maaf, maaf, kalian jadi panik karena aku kelamaan di dalam air. Maaf, Na.”
“Kamu lama sekali di dalam air, apa kamu punya insang?” tanya Nana kesal.
“Mungkin Jo adalah siluman buaya hehehe,” kata Jeki sambil cengengesan.
Mereka semua pun tertawa mendengar candaan Jeki lalu memutuskan untuk keluar dari sungai. Nana mengibas-ngibaskan rambut panjangnya yang basah sambil memeras ujung bajunya.
“Baiklah, karena Jo memenangkan semua perlombaan, maka mulai sekarang dia adalah Raja Buaya,” kata Mimi sambil menyematkan mahkota buatan dari daun nangka itu di atas kepala Jo.
“Hore, hidup Raja Buaya! Hidup Raja Buaya!” teriak Wahyu, Jeki dan Nana.
“Ehh, mahkotanya masih ada satu lagi, bagaimana kalo ini untuk Ratu Buaya saja?” usul Mimi
“Nana, Nana saja yang jadi Ratu Buaya,” tunjuk Jeki seenaknya.
“Ehh, kok aku?”
“Ya kan kamu ikut basah-basahan juga. Ratu Buaya pasti tidak takut dengan air,” timpal Wahyu.
“Betul juga kata Wahyu.” Mimi mendukung argumen Wahyu. “Kalo begitu Nana adalah Ratu Buayanya. Selamat!”
Mimi memaksa Nana untuk mengenakan mahkota dan mendorongnya agar berdiri di samping Jo. Nana dan Jo terlihat malu-malu. Teman-temannya malah menganggap mereka berdua sangat lucu.
“Ini hadiah dari rakyat jelata untuk Raja dan Ratu Buaya. Semoga hidup bahagia!” goda Wahyu kepada Jo dan Nana sambil memberikan seember kaleng cat berukuran kecil yang berisi beberapa ikan hidup yang masih tersisa.
“Hidup Raja dan Ratu Buaya! Hidup Raja dan Ratu Buaya!”
Jo menerima hadiah itu dengan senang hati, sementara Nana terlihat tersipu wajahnya karena teman-temannya selalu menggoda dan menertawainya.
Ketika hari semakin senja, mereka pun berhenti bermain dan membubarkan diri ke rumah masing-masing. Jo dan Jeki pulang bersama karena rumah mereka searah. Wahyu, Mimi dan Nana menuju ke arah yang berbeda-beda.
“Apa kamu akan berangkat ngaji sore ini, Jo?” tanya Wahyu sebelum mereka berpisah.
“Gak tau, kayanya nggak,” jawab Jo.
“Kamu sering bolos ngaji, Jo, kenapa?” tanya Nana.
“Aku harus menjaga adik-adikku sementara bapak dan ibuku berjualan di pasar,” jawab Jo.
“Ngaji kan hanya setelah waktu Maghrib sampai Isya, apa orang tuamu tidak bisa menjaga adik-adikmu sekitar 1 jam saja?”
“Aku ingin membantu Ibu, adikku ada 2 dan keduanya selalu rewel, seperti kamu, Na.”
“Jahat sekali kamu mengatai aku rewel, hmmph!” Nana mulai jengkel.
“Sudah, cepatlah kalian pulang supaya tidak terlambat mengaji. Terima kasih ikan-ikannya, Wahyu”
“Yoi!” sahut Wahyu.
***
Nana kaget ketika dia sampai di depan rumah, ayah dan ibunya sudah menunggu di beranda dengan muka berang. Dengan wajah takut, Nana terpaksa harus menghadapi kemarahan orang tuanya.
“Kamu pasti habis main air di sungai ya?” tanya Ibu begitu melihat baju dan rambut Nana basah kuyup. Nana tidak bisa berkilah karena memang badannya basah. “Roti yang baru Ibu beli tadi pagi juga pasti kamu yang ambil kan?” cecar Ibunya.
“Iya, Ibu.”
“Tidak mungkin kamu habiskan sendiri roti itu. Dengan siapa kamu memakannya?”
“Dengan teman-temanku, ada Mimi, Jo…,”
“O pasti ini ulah si Jo,” potong Ayah Nana ketika dia mendengar nama Jo, “Jo si anak miskin itu pasti yang menyuruhmu untuk membawa roti, karena dia pasti kurang makan dan kelaparan.”
“Nggak, Ayah. Jo nggak pernah menyuruhku membawa makanan, itu aku sendiri. Kami berlima memakannya bersama-sama.” Nana kesal dengan tuduhan ayahnya tentang Jo.
“Kamu ini malah membantah, sudah cepat masuk! Cepat mandi dan pergi mengaji!” bentak ayahnya.
Ibu lalu menggiring Nana yang berwajah murung ke kamar mandi.
***
“Hai, Bobby, Emma! Lihat, Kak Jo pulang bawa ikan,” sapa Jo kepada kedua adiknya yang masih berusia 5 dan 3 tahun sedang bermain di halaman rumah lalu menunjukkan isi dalam kaleng cat itu.
Melihat kumpulan ikan yang menggeliat-geliat, Bobby dan Emma tertawa begitu riang gembira sehingga Jo pun merasa gemas kepada kedua adiknya.
“Jo kamu sudah pulang, wahh dapat ikan dari mana?” tanya ibunya.
“Wahyu yang memancingnya, dia dapat banyak, sebagian dikasihkan untukku.”
“Oh begitu, ya udah kamu mandi dulu, biar Ibu goreng ikannya untuk lauk dan bekal ayahmu di pasar.”
“Ok, Ibu.”
Jo langsung ngeloyor ke kamar mandi untuk membersihkan badannya.
“Nanti kalo Bobby dan Emma lapar, Ibu sudah siapin makanan ya di meja. Kalo Ibu dan Ayah belum pulang dari pasar, kamu bantu tidurin ya adik-adik kamu. Jangan malam-malam tidurnya,” pesan Ibu ketika Jo sedang mandi.
“Iyaaa!” balas Jo dari dalam kamar mandi.
Begitulah keseharian Jo setelah Maghrib. Dia harus mengurus dan menjaga kedua adiknya seorang diri di rumah ketika orang tuanya berdagang di pasar. Jo tidak punya banyak waktu untuk belajar. Adik-adiknya sangat aktif dan selalu mengajaknya bermain.
Waktu telah menunjukkan pukul 7 malam lewat 30 menit. Setelah menghabiskan sepiring nasi dengan lauk ikan goreng dan tahu goreng, Bobby langsung tertidur karena kekenyangan. Sedangkan adik bungsunya, Emma, masih aktif ingin bermain. Jo menggendong Emma dan mengajaknya bermain di beranda rumahnya sambil menunggu seseorang.
“Assalamuallaikum, Jo.”
“Waallaikumsalam, Jeki.”
“Bobby sudah tidur?”
“Iya.”
“Kalo gitu biar aku yang menggendong Emma. Sini kamu bocah lucu!”
Emma berpindah pelukan kepada Jeki. Bocah itu selalu senang bermain dengan teman kakaknya yang satu ini karena sudah tidak asing. Rumah Jeki berada di seberang rumah Jo dan sering bermain bersama adik-adiknya Jo.
“Coba buka halaman 15, Jo. Kamu baca saja sebisanya, nanti aku koreksi kalau ada yang salah,” kata Jeki ketika memberikan Jo kitab Juz’Amma yang dia selipkan di lipatan sarungnya.
“Oke.”
Ketika Jo mulai melantunkan basmallah, Jeki menyimak bacaan Jo dengan seksama selagi dia bermain dengan Emma. Sesekali Jeki akan mengkoreksi bacaan Jo jika ada yang tidak sesuai dengan tajwid atau kaidah tuntunan membaca Al-Qur’an seperti yang diajarkan Ustadz Ajo.
Jeki adalah sahabat baik Jo. Ketika Jo tidak bisa datang ke musholla untuk mengaji, Jeki akan mengajari Jo apa yang baru dia pelajari sepulang mengaji. Jeki cukup pintar mengaji dan memiliki suara yang cukup bagus ketika melantunkan ayat-ayat Al Qur’an. Dengan cara ini Jo tidak pernah ketinggalan materi dan mampu untuk membaca Al Qur’an. Sebenarnya Jo bisa saja pergi mengaji dengan menitipkan adik-adiknya pada ibunya Jeki. Namun Jo merasa tidak enak jika harus menyusahkan orang lain. Jadi dia hanya bisa pergi ngaji 2-3 kali dalam seminggu.
“Jekiii, kalau sudah selesai mengajari Jo, pulang dulu ya, makan!” teriak seorang perempuan dari seberang rumah.
“Iya, Ibu!” sahut Jeki.
“Jo sudah makan?” tanya ibunya Jeki.
“Sudah, Bibi.”
“Adik-adikmu?”
“Bobby sudah tidur, Emma juga sudah menghabiskan sebotol susu.”
“Oke, nanti kalau ada apa-apa sama adikmu, datang saja ke rumah Bibi, ya!”
“Terima kasih, Bibi.”
Rumah Jo dan Jeki hanya dipisahkan jalan selebar 5 meter. Ibunya Jeki begitu peduli dan perhatian terhadap Jo dan adik-adiknya. Maka dari itu Jo memanggil ibunya Jeki dengan sebutan Bibi.
Jo mengulangi membaca satu halaman Juz’Amma sebanyak 3 kali hingga terdengar benar menurut Jeki. Emma mulai kelelahan dan mengantuk, balita itu pun kembali ke pelukan kakaknya.
“Terima kasih, Jeki. Sampai jumpa besok di sekolah.”
“Sampai jumpa, Jo. Wassalamuallaikum!”
“Waallaikumussalam!”
Jo masuk ke kamarnya untuk menidurkan Emma di samping Bobby. Setelah Emma benar-benar tertidur, Jo membuka buku sekolahnya dan mulai mengerjakan PR.
***
Jo terburu-buru berangkat ke sekolah bersama Jeki. Mereka tidak ingin terlambat untuk upacara bendera hari Senin. Sialnya, karena terburu-buru, Jo lupa untuk mengenakan dasi merahnya.
“Duh, pasti ketinggalan di kamar!” gerutu Jo ketika dia sedang berbaris.
“Wah, gawat! Pak Abdul sedang mendekat untuk memeriksa seragam kita,” seru Jeki memperingatkan temannya.
“Aduh gimana nih?” Jo mulai panik.
“Aku ada dasi cadangan, tapi ada di tasku di dalam kelas,” kata Nana, “biar aku ambilkan!”
“Heh! Hei, kamu mau kemana? Upacara sudah mau dimulai!” bentak Pak Abdul ketika Nana terlihat akan meninggalkan barisan.
“Dasi saya ketinggalan, Pak.”
“Lalu yang di kerah bajumu itu apa?
Nana hanya terdiam panik dan tidak bisa menemukan alasan dengan cepat untuk meyakinkan Pak Abdul.
“Kembali ke barisan!” perintah Pak Abdul.
“Maaf, Jo. Kalo aja kamu bilang dari tadi, mungkin masih sempat aku pinjamkan,” bisik Nana kepada Jo ketika dia kembali ke barisan.
“Gapapa, Na. Ini salahku kok!”
Jeki berusaha dengan cepat untuk melepaskan dasi dari kerah bajunya.
“Ngapain kamu lepas dasimu, Jeki? Mau meminjamkannya padaku?” tanya Jo heran dengan tingkah Jeki.
“Ihh, ge er!” jawab Jeki sambil memasukkan dasinya ke kantong celana.
Ketika Pak Abdul memeriksa barisan anak laki-laki kelas 6 dimana Jo berada, dia langsung terlihat berang.
“Kamu ini, sudah bajumu lecek, jelek, tidak pakai dasi lagi. Baris di sana! memisahkan diri!” hardik Pak Abdul.
Jo tertunduk dan memisahkan diri dari barisan anak kelas 6 ke tempat yang ditunjuk oleh Pak Abdul. Tempat itu adalah area pojok lapangan yang paling terpapar sinar matahari sehingga terasa panas menyengat.
“Pak! Saya juga gak pake dasi!” teriak Jeki.
“Ya udah sana memisahkan diri!” bentak Pak Abdul dengan kesal.
“Pak! Saya juga tidak memakai dasi,” teriak 2 orang siswa lagi teman sekelas Jo dan Jeki.
“Hadeuuhh, sana!” Pak Abdul tambah kesal dan langsung menunjukkan jari ke area di mana Jo sedang berdiri.
“Bilal, Erry, kenapa kalian ikut-ikutan? Bukankah kalian tadi pakai dasi?” tanya Jeki ketika mereka sama-sama berlari menyusul Jo.
“Si Totti keteknya bau bangke,” jawab Bilal.
“Dakinya juga tebal menggumpal. Kami tidak tahan berbaris dekat-dekat dengannya. Lebih baik di sini walau panas,” sambung Erry.
“Si Totti itu memang jarang mandi,” tambah Jo yang mendengar obrolan mereka ketika mendekat.
“Gosipnya, Totti hanya mandi saat bulan purnama saja he he he,” ucap Bilal.
“Dia mandi saat bulan purnama biar gak jadi manusia serigala,” tambah Erry.
“Aku lebih percaya kalo si Totti gendut itu adalah siluman babi,” ucap Jo
“Pfffftttt… hihihihi!”
Mereka berempat cekikikan ketika membicarakan temannya yang terkenal jorok bernama Totti.
“Harusnya, dia sendirian yang berdiri disini,” umpat Jeki.
“Disetrap di lapangan upacara ternyata gak rugi-rugi amat ya, Jek?”
“Maksudmu, Jo?”
“Lihat ke sana!” tunjuk Jo dengan dagunya, “barisan paling depan sampingnya Nana. Isabella dari kelas 5 jadi keliatan banget cantiknya, ya?”
“Wah betul, betul!”
“Ini sih menderita untuk bahagia he he he,” timpal Erry.
“Setuju hehehe,” ucap mereka kompakan sambil terus cekikikan.
Melihat keempat siswa itu cekikikan, Pak Abdul langsung menghardik mereka. “Diam kalian! Sudah melanggar peraturan, bisa-bisanya malah cengengesan.” Mereka langsung bungkam.
Nana menjadi salah tingkah karena Jo, Jeki, Bilal dan Erry sedari tadi cengengesan sambil melirik ke arahnya karena merasa terus diperhatikan.
“Dasar Jojon!” gumam Nana sambil senyum-senyum.
Selesai upacara, mereka berempat dihukum untuk memungut sisa-sisa sampah yang ada di lapangan upacara.
***
“Jo, seragammu terlihat sudah buruk, dan terdapat bekas jahitan di beberapa tempat,” ucap Nana ketika dia pulang sekolah bersama Jo.
“Masih bisa dipake kok,” jawab Jo cuek.
“Pagi tadi, aku tidak suka dengan ucapan Pak Abdul tentang seragammu.”
“Benarkah? Terima kasih. Tapi dia benar, bajuku memang tidak sebagus siswa lainnya.”
“Apa kamu tidak merasa malu?”
“Malu? Tidak. Apa kamu malu berteman denganku yang selalu memakai seragam jelek?”
“Ehh bukan begitu, Jo. Maaf. Aku hanya kesal saja dengan ucapan Pak Abdul yang menghinamu.”
“Itu masih belum seberapa. Ronaldo pernah dihina oleh gurunya karena dia miskin, tapi dia membalas hinaan gurunya itu dengan…,”
“Dengan prestasi, kan? Yang kamu bicarakan itu pemain sepakbola terkenal bernama Christiano Ronaldo, kan?” potong Nana.
“Benar, tapi Ronaldo lebih dulu membalas hinaan gurunya itu dengan melempar kursi ke arahnya.”
“Benarkah? Aku kurang tahu kisah tentang Christiano Ronaldo. Lalu apa yang terjadi?”
“Tentunya dia dikeluarkan dari sekolah. Apa kamu ingin aku membalas hinaan Pak Abdul dengan melemparinya kursi?”
“Ehhh jangan dong! Nanti kamu dikeluarkan dari sekolah.”
“Iya kan. Hinaan dari Pak Abdul bukan apa-apa. Aku sudah biasa mendengarnya. Kan aku memang miskin, masa harus tersinggung,” ucap Jo sambil cengar-cengir.
Nana terlihat begitu terharu dengan ketegaran Jo yang selalu dihina miskin namun tidak pernah luntur keceriaannya.
“Kalau begitu, Jo,” Nana membuka resleting tasnya dan mengeluarkan seragam merah putihnya. “Seragamku untukmu saja!” sambil mengulurkan seragamnya kepada Jo.
“Ehh….” Jo kaget. “Jangan, Na!”
“Kenapa? Aku masih punya 2 pasang seragam merah putih lainnya. Apa karena ini bekas cewek jadi kamu gak mau? Baju seragam cewek dan cowok sama saja kan? Kamu mau pakai roknya juga? Hahaha.”
“Bukan begitu. Nanti gimana jika orang tuamu tanya tentang seragammu?”
“Hmmm… aku akan bilang seragamku hilang saat berganti baju dengan seragam olahraga siang tadi.”
Mereka berdua menghentikan langkah kakinya ketika berada di atas jembatan yang sungainya tidak terlalu dalam. Jo berpikir keras.
“Udah, nih ambil aja baju seragamku, Jojon!” Nana memaksa.
“Kalo kamu bilang seragammu hilang, berarti aku pencurinya. Orang akan mengira begitu kalo aku tiba-tiba pakai seragam bagus.”
Nana berpikir sejenak. Dalam hati dia membenarkan perkataan Jo. Alasannya itu justru akan membuat Jo akan terkena masalah di hari depan nantinya.
“Ya udah, kalo begitu kamu tolong pegangin tasku dan seragam putih ini,” ucap Nana tiba-tiba memberikan tas dan seragam putihnya kepada Jo namun masih memegangi rok merahnya.
Jo tidak mengerti apa yang akan dilakukan Nana. Lalu, tiba-tiba saja Nana melompat dari jembatan dan menceburkan dirinya ke sungai yang dalamnya hanya selutut orang dewasa. Tentu saja Jo sangat kaget dengan tingkah Nana yang tidak terduga ini.
“Kamu ngapain sih? Bahaya tau!” teriak Jo sedikit kesal sekaligus cemas.
“Nanti aku akan bilang ke ibuku kalo seragamku tidak sengaja jatuh ke sungai, aku sudah berusaha mengejarnya tapi hanya berhasil mendapatkan roknya saja, sedangkan bajunya sudah hanyut jauh. Bagaimana dengan alasanku itu? Keren, kan?” kata Nana sambil mencelupakan rok merah yang berada di genggaman tangannya itu ke sungai hingga basah kuyup.
“Aduh, kamu ini!” Jo hanya menggaruk-garuk kepalanya melihat tingkah Nana. Lalu dia melepas tas dan juga sepatunya lalu menaruhnya di pinggir jembatan yang dirasanya aman. Jo pun ikut melompat ke dalam sungai menyusul Nana.
“Kamu ngapain ikut-ikutan nyebur juga?” Kini Nana yang heran.
“Begini,” terang Jo, “jika kamu beralasan seragammu hilang hanyut di sungai, nanti bilang ke ibumu, aku berusaha menolong untuk mencarinya, tapi tetap tidak ketemu.”
“Ohh oke.”
“Setelah jembatan ini, kita berdua akan melewati rumahmu, jika ibumu melihat kita berdua basah dan kotor, mungkin dia akan percaya.”
“Ohh ide bagus, Jo.”
“Ayo kita naik! Kalo terlalu lama, aku takut nanti kita berdua malah dikira bermain di sungai.”
Nana dan Jo segera keluar dari sungai sambil berusaha membersihkan seragam olahraga yang mereka kenakan dari lumpur-lumpur yang melekat.
“Tapi, Na. Bagaimana dengan ibuku nanti?”
“Kenapa dengan ibumu?”
“Maksudku, bagaimana jika ibuku nanti tahu kalo aku tiba-tiba punya seragam baru? Aku harus bilang apa?”
“Bilang saja aku memberikannya untukmu. Atau begini saja, kamu pakai saja seragam lamamu saat mau berangkat dan pulang sekolah. Tapi ketika di sekolah kamu harus ganti dengan seragam pemberianku. Bagus kan ideku?”
Jo tidak mengeluarkan sepatah kata pun menanggapi ide Nana. Sepanjang jalan dia memikirkan alasan yang lebih bagus dari pada ide Nana. Meski sudah berpikir macam-macam, Jo tetap tidak menemukan alasan yang lebih bagus hingga tidak terasa mereka sudah sampai di depan halaman rumah Nana.
“Kok baju kalian basah dan kotor?” tanya ibunya Nana begitu dia melihat kondisi mereka berdua.
“Ibuuu….” Nana menundukkan kepala, lalu tiba-tiba merengek sambil berlari ke arah ibunya. Jo kaget melihat Nana yang tiba-tiba merengek.
“Ehhh, kenapa?” ibunya heran.
“Maaf, Ibu, seragam merah putihku terjatuh dan hanyut di sungai. Jo sudah berusaha menolongku untuk mencarinya, tapi yang ketemu hanya roknya saja hu hu hu.” Nana memberikan alasan kepada ibunya sambil tersedu-sedu.
Entah kenapa Jo merasa Nana terlihat begitu berlebihan sampai harus menangis segala. Namun di sisi lain dia memuji akting Nana yang rela berbohong demi dirinya.
“Kenapa bisa jatuh? Apa kamu tidak memasukkannya ke dalam tas?” tanya Ibu keheranan.
Tiba-tiba Nana terdiam terpaku, dia tidak memikirkan alasan lainnya hingga sejauh itu. Alih-alih menjawab pertanyaan ibunya, Nana malah mengeraskan suara rengekannya.
“Tadi Nana berniat untuk meminjamkan aku buku catatannya, ketika dia berusaha untuk mengeluarkan buku itu, seragam merah putihnya ikut tertarik keluar dan terjatuh ke dalam sungai, Tante,” kata Jo berusaha membantu menutupi kebohongan Nana dengan kebohongan lainnya.
“Ohh begitu. Ya sudah kalo begitu kamu pulang saja dan segera mandi, Jo. Nana juga harus segera mandi,” kata ibunya Nana yang langsung percaya dengan ucapan Jo.
Jo pun segera pamit dari rumah Nana. Ketika Jo hendak pergi, sekilas dia melihat Nana tersenyum padanya. Melihat itu Jo segera mempercepat langkah kakinya dan berlari. Dia tidak kuat lagi menahan tawa karena tingkah aneh Nana yang berhasil meyakinkan ibunya dengan kebohongannya itu.
***
Seperti saran Nana, setiap kali Jo memasuki gerbang sekolah, dia selalu pergi ke toilet lebih dulu untuk mengganti seragam putihnya yang jelek dengan seragam yang diberikan oleh Nana. Lalu ketika akan pulang, dia akan mengganti seragamnya lagi dengan seragam jeleknya. Sudah 2 minggu hal ini di lakukan oleh Jo secara terus menerus. Sebagai teman dekatnya, Jeki awalnya heran dengan tingkah Jo. Namun setelah diberitahukan alasannya, barulah Jeki memakluminya dan berjanji tidak akan memberitahukan siapa pun perihal seragam itu.
“Si Bawel itu baik banget ya sama kamu, Jo, sampai mau memberikan seragamnya,” ucap Jeki ketika pertama kali mendengar tentang seragam itu.
“Nana memang baik, Jeki.”
“Kayanya cuma sama kamu doang, Jo.”
“Ah masa sih?”
“Iyalah, kamu gak ngerasa. Jangan-jangan si cerewet itu naksir sama kamu.”
“Nggak ah. Nana memang anak baik.” Jo mulai tidak suka jika Jeki mulai menyebut Nana dengan mengatainya si Cerewet atau si Bawel, walaupun Nana memang begitu.
“Aku lihat kemaren sore, jambu air di kebun Mang Abu mulai terlihat merah-merah menggoda, Jeki,” kata Jo berusaha mengalihkan topik.
“Benar! Kemarin Mang Abu memberiku beberapa buah, jambu airnya sangat manis. Ayok kita kesana dan minta beberapa buah!”
“Memangnya boleh?”
“Jika kita beruntung langsung bertemu dengan Mang Abu, tidak minta pun kita akan dikasih, yang pelit itu istri barunya. Semenjak Mang Abu menikah lagi, aku tidak bisa bebas bermain di kebunnya seperti dulu. Mak Lampir itu selalu meneriakiku dan sering melempariku dengan kerikil atau tanah ketika bermain di kebun Mang Abu.”
“Kamu benar, Jeki. Aku juga pernah diteriaki oleh istri Mang Abu ketika sedang lewat kebunnya, padahal aku hanya sekedar lewat saja, tidak ada maksud mencuri.”
“Iya kan? Gila itu memang Mak Lampir. Aku jadi kangen almarhum Bibi Suri.”
“Iya, Bibi Suri memang baik, kita selalu diminta untuk membantunya memanen sayuran dan buah-buahan di kebun Mang Abu. Dia selalu memberi kita makan, juga buah, juga sayur, atau uang sebagai upahnya.”
“Kamu tahu, Jo? Gosipnya Bibi Suri meninggal tidak wajar karena santet.”
“Ihhh… kamu serius, Jeki? Aku baru mendengarnya.”
“Serius, Jo! Warga kampung juga membicarakannya.”
“Kira-kira siapa yang tega menyantet Bibi Suri yang baik hati itu?”
“Siapa lagi kalo bukan Mak Lampir itu!”
“Jangan suudzon, Jeki. Kata Ustadz Ajo, suudzon itu bisa jadi fitnah. Walaupun aku juga kesal dengan Mak Lampir itu.”
“Kenapa?”
“Dulu, Mang Abu dan Bibi Suri selalu mempercayakan semua hasil kebunnya untuk dijual di pasar kepada bapakku. Hasilnya sangat lumayan untuk memenuhi kebutuhan keluargaku. Tapi semenjak ada Mak Lampir itu, Mang Abu hanya memberikan sedikit saja hasil kebunnya untuk dijual oleh bapakku. Sekarang ibuku juga harus ikut jualan di pasar untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami.”
“Kamu tahu tukang sayur yang baru berjualan keliling di komplek sebelah itu, Jo? Kata ibuku, dia adalah keluarga Mak Lampir itu, sudah pasti sayuran itu dari kebun Mang Abu. Dasar perempuan jahat Mak Lampir!” umpat Jeki setelah mendengar cerita Jo.
“Kalo begitu, tukang sayur itu akan kita panggil sebagai si Grandong!”
“Ha ha ha ha, benar itu, Jo. Nama yang cocok karna dia adalah keluarga Mak Lampir, maka dia adalah si Grandong. Ha ha ha ha!” Jeki ngakak mendengar ide Jo.
Karena keasyikan ngobrol, mereka berdua akhirnya sampai di depan rumah Mang Abu. Jeki dan Jo mengambil jalan memutar mengitari rumah Mang Abu menuju kebunnya sambil celingak-celinguk mewaspadai kehadiran Mak Lampir.
“Alhamdulillah, Mang Abu ada di kebunnya. Ayo, Jo!” ucap Jeki dengan girang ketika melihat pria paruh baya berbadan gemuk sedang memupuk tanaman.
“Assalamuallaikum, Mang Abu!” ucap Jo dan Jeki bersamaan.
“Waallaikumsalam, eh Jo dan Jeki,” balas Mang Abu dengan suara kalem.
“Mang Abu, jambu air kemarin sudah matang-matang kan?” tanya Jeki.
“Sudah. Sudah Mang Abu petik semua.”
“Yaahhh!!!” Jo dan Jeki kecewa.
“Kalian mau?”
“Masih ada, Mang Abu?” tanya Jeki sambil berharap.
“Kalian berdua tunggulah di bawah pohon kelapa itu, biar Mang Abu ambilkan dari dalam rumah.”
“Siap, terima kasih, Mang Abu!” Jeki dan Jo segera berlari ke arah pohon kelapa yang ditunjuk oleh Mang Abu.
Jeki dan Jo mengerti tentang maksud Mang Abu kenapa mereka harus menunggu dan bersembunyi di balik pohon kelapa. Istrinya yang pelit sering marah-marah jika dia selalu membagikan hasil kebunnya begitu saja kepada siapa saja.
Tidak sampai memakan waktu 10 menit, Mang Abu sudah keluar dari pintu belakang rumahnya membawa sekantong plastik kresek berukuran lumayan besar penuh dengan buah jambu air yang merah-merah menggiurkan.
“Nih, Mang Abu cuman bisa kasih segini. Cepat pulang ya!”
“Waahhh, terima kasih banyak, Mang Abu!” kata Jo.
Mereka berdua langsung berlari-lari meninggalkan kebun Mang Abu dengan riang. Setelah cukup jauh, Jeki langsung mencomot dua buah jambu air dan mengoper plastik kresek itu kepada Jo.
“Nih, Jo, sisanya untuk kamu saja, adik-adikmu pasti suka jambu air yang manis-manis ini,” ucap Jeki.
“Kenapa hanya dua? Nih satu lagi biar ganjil. Allah kan suka angka ganjil.”
“Benar juga. Kalo gitu aku ambil 2 lagi biar jadi 5, kan sama-sama ganjil.”
“Ok, silakan!”
Mereka berdua menikmati buah jambu air pemberian Mang Abu dengan begitu gembira sepanjang jalan menuju rumah mereka. Mang Abu memang terkenal sebagai petani yang tekun, ulet dan hebat. Semua buah dan sayuran dari hasil kebunnya selalu berkualitas baik.
Sesampainya di rumah, Jo langsung mencuci jambu air tersebut dan memberikannya kepada Bobby dan Emma. Kedua adiknya terlihat begitu senang memakan buah jambu air yang manis-manis itu. Ibunya sedang sibuk memasak lauk pauk yang nantinya akan dijual di pasar.
Sebenarnya Jo ingin segera mencuci baju seragam pemberian Nana. Karena ibunya masih di rumah, Jo mengurungkan niatnya itu dan menunggu sampai ibunya pergi ke pasar. Jo masih merahasiakan tentang baju seragam itu dari ibunya. Dia tidak ingin ibunya berpikiran buruk jika tiba-tiba dia memiliki seragam baru.
Setelah selesai masak, ibunya jo beristirahat sebentar di ruang tamu. Dia duduk selonjoran sambil menikmati jambu air pemberian Mang Abu. Jo pergi ke dapur untuk mengambil beberapa nampan dan kantong plastik serta karet gelang untuk membungkus lauk. Jo selalu membantu ibunya untuk membungkus lauk pauk itu sebelum dijual di pasar.
“Jo,” ucap ibunya, “biar Ibu saja. Kamu jangan capek-capek.”
“Gak capek kok, Bu. Kan udah biasa.”
“Kamu harusnya banyakin belajar, Nak. Bukankah ujian nasional sudah dekat?”
“Nilai Jo baik-baik aja kok, Bu. Meski tidak pernah mendapat nilai bagus, tapi Jo selalu lulus setiap ulangan.”
“Nah itu dia, Nak. Kamu harus perbagus nilaimu, Ibu pengen kamu masuk SMP yang bagus juga.”
“Masuk SMP mana aja gak masalah buat Jo. Bukankah sekolah bagus selalu membutuhkan uang yang banyak, Bu? Jo tidak ingin merepotkan Bapak dan Ibu. Bisa terus lanjut sekolah aja udah cukup buat Jo.”
Hati Ibu bergetar mendengar perkataan dari anak sulungnya itu. Seorang ibu selalu ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Akan tetapi Jo adalah anak yang selalu mawas diri dengan kondisi ekonomi orang tuanya.
“Assalamuallaikum!”
Terdengar salam dari depan pintu rumah. Jo langsung berlari ke arah pintu karena dia sangat hafal suara itu.
“Waallaikumsalam, Mimi, eh ada Nana juga. Maaf aku tidak bisa ikut main, aku sedang membantu Ibu menyiapkan dagangan.”
“Ohh syukurlah ibumu belum berangkat ke pasar,” kata Mimi gembira. “Kami tidak harus jalan jauh ke pasar. Mamaku menyuruhku untuk membeli lauk dari ibumu.”
“O gitu, ya udah ayo masuk!” ajak Jo. “Ibu, Mimi kemari untuk membeli lauk disuruh mamanya.”
“Lauk apa, Mimi?” tanya ibunya Jo.
“Ini daftarnya, Mamanya Jo,” jawab Mimi sambil mengeluarkan kertas catatan dari ibunya, “dan ini uangnya!”
“Wah lumayan banyak yah!” ibunya Jo girang.
“Nanti sore kakek dan nenekku akan datang berkunjung, karena datangnya mendadak, Mama jadi tidak sempat masak banyak.”
“Oh begitu, ya sudah tunggu ya, Mimi. Biar nanti dibungkuskan.”
“Kalo Nana?” tanya Jo tiba-tiba.
“Aku sedang bosan di rumah, lihat Mimi yang sedang jalan sendirian, lalu aku ikut menemaninya.”
“Oh, gitu. Apa kalian mau jambu air? ini manis-manis loh. Lihat! adik-adikku sangat menyukainya. Ini pemberian Mang Abu. Ayo coba cicipi!” kata Jo sambil memberikan buah jambu air kepada Mimi dan Nana.
“Wah Mang Abu baik ya,” ucap Nana.
“Mang Abu memang selalu baik, yang pelit itu,” Jo mendekati Mimi dan Nana lalu berbisik sambil menutupi sebagian mulutnya, “Mak Lampir yang tinggal di rumahnya.”
“Pffftttttt ha ha ha ha!” Mimi dan Nana tergelak mendengar Jo menyebut istri Mang Abu yang terkenal pelit itu dengan sebutan Mak Lampir.
Sambil menunggu, Mimi dan Nana mengajak main Bobby dan Emma. Emma senang sekali bermain bersama Nana, sedangkan Bobby masih asyik menguyah jambu air dan tidak ingin diganggu. Pipi Bobby yang penuh terlihat sangat lucu bagi Mimi, sehingga memancingnya untuk mentowal-towel pipi bulat Bobby. Bobby mulai terlihat risih dengan jemari Mimi lalu merengutkan wajah. Justru ekspresi Bobby semakin terlihat lucu sehingga semakin menggoda Mimi untuk terus menjahilinya.
“Hati-hati, Mimi! Bobby bisa menggigit dan air liurnya beracun,” canda Jo memperingatkan Mimi.
“Tidak heran, kakaknya saja Raja Buaya ha ha ha ha,” balas Mimi berkelakar.
“Emma suka bermain dan akrab dengan siapa saja ya, Jo,” kata Nana.
“Benar, tapi biasanya dia suka mencakar. Asalkan dikasih makan dan dielus-elus kepala dan perutnya, maka dia langsung jinak.”
“Kaya kucing dong!”
“Memang ha ha ha.”
Mimi dan Nana tertawa terpingkal-pingkal mendengar kelakar Jo tentang adik-adiknya. Ibu yang mendengar candaan mereka juga ikut tertawa.
“Terima kasih, Mamanya Jo,” ucap Mimi.
“Terima kasih, Jo,” ucap Nana.
“Terima kasih juga, Mimi. Salam ya buat mamamu di rumah,” balas ibunya Jo.
“Wassalamuallaikum!”
“Waallaikumsalam!”
Mimi dan Nana pun pamit setelah ibunya Jo memberikan pesanan mereka. Sebelum pamit, Mimi mentowel pipi Bobby sekali lagi.
“Alhamdulillah, karena sebagian sudah diborong oleh mamanya Mimi, mungkin Ibu bisa pulang cepat. Jadi kamu bisa belajar lebih lama untuk mempersiapkan ujian nasional, Jo,” kata Ibu.
“Iya, Ibu.”
Justru Jo tidak begitu mengharapkan ibunya pulang cepat. Dia harus cepat-cepat mencuci baju seragam itu saat ibunya pergi ke pasar.
“Kalo gitu, Ibu berangkat sekarang saja biar dagangan Ibu cepat habis,” kata Ibu. Jo semakin kaget hingga matanya melotot mendengar rencana ibunya itu.
Ketika ibunya sudah pergi ke pasar, Jo langsung menutup pintu dan menguncinya. Hal itu dilakukan agar Emma dan Bobby tetap di dalam rumah dan tidak keluyuran ke sembarang tempat sementara dia mencuci baju di kamar mandi belakang.
Biasanya, orang tua Jo pulang berjualan dari pasar sekitar pukul 9-10 malam. Namun hari itu, Ibu sudah kembali ke rumah tepat setelah maghrib. Jo menyambut ibunya di depan pintu sambil menggendong Emma sedangkan Bobby langsung berlari-lari kecil memburu ibunya.
“Alhamdulillah, kamu sudah mencuci baju, bahkan baju adik-adikmu juga,” kata Ibu ketika melihat jemuran pakaian di depan rumahnya. “Kamu memang anak hebat dan berbakti, Nak!” puji Ibu kepada putra sulungnya sambil bergantian menciumi Bobby dan Emma. Jo sangat senang mendengar pujian dari Ibu.
“Kamu sudah makan?”
“Sudah.”
“Sholat?”
“Sudah.”
“Kalo begitu pergilah belajar, biar Ibu yang jaga adik-adikmu.”
“Bapak kemana, Bu? Apa dagangannya belum habis?”
“Sudah. Mungkin bapakmu pulang malam.”
“Pasti Bapak pergi mabuk dan berjudi lagi!” ucap Jo dengan nada kesal dan kecewa dengan kebiasaan buruk bapaknya itu. “Kenapa sih Bapak suka sekali mabuk dan judi jika punya uang, Bu?”
Ibu hanya terdiam dan tidak bisa menjawab pertanyaan anaknya. Dia sendiri pun sudah kewalahan dengan kebiasaan buruk suaminya itu.
“Sudah jangan ngurusin bapakmu. Kamu belajar saja yang rajin agar tidak seperti bapakmu!” perintah ibu.
Sebelum belajar, Jo membuka jendela kamarnya dan melongok keluar. Disentuhnya seragam putih yang masih basah pemberian dari Nana itu. Jo sengaja memisahkan dan menjemur seragam itu di samping jendela kamarnya agar tidak diketahui oleh ibunya.
“Sip! Aman!” gumamnya dengan bangga kepada dirinya sendiri.
***
Ketika Jo merebahkan tubuh di samping adik-adiknya yang sudah tertidur, terdengar suara bapaknya baru pulang. Ibu langsung marah-marah karena mendapati suaminya pulang dalam keadaan mabuk berat. Karena tidak terima dimarahi, akhirnya Bapak tersulut emosinya dan marah. Pertengkaran pun terjadi. Ibu sangat marah karena suaminya itu tidak sadar diri dan sering menghambur-hamburkan uang untuk mabuk dan berjudi, sedangkan Jo sebentar lagi lulus SD dan akan masuk SMP yang pastinya butuh biaya. Jo yang mendengarkan pertengkaran orang tuanya langsung memeluk Emma dan Bobby yang tidur sangat lelap sambil berusaha menutupi telinga kedua adiknya dengan kedua tangannya sebisanya. Jo mendengar suara pukulan yang disusul rintihan ibunya dari tembok tipis yang terbuat dari triplek yang membatasi kamarnya. Bocah kecil itu berusaha keras untuk tidur dengan membenamkan kepalanya di bantal dengan penuh kesedihan.
***
Pagi hari sebelum berangkat sekolah, Jo panik sambil beberapa kali mengitari rumah. Seragam putih yang dijemurnya semalam tidak ada di dekat jendela. Semalam dia lupa untuk mengangkat jemuran rahasianya. Setelah beberapa kali dicari dan tidak ketemu, dengan berat hati dan kecewa, akhirnya Jo mengikhlaskan dan menganggapnya hilang. Hatinya sedih karena tidak bisa menjaga barang pemberian Nana. Dengan langkah gontai Jo masuk kembali ke rumahnya.
“Apa kamu sedang mencari ini, Jo?” tanya bapaknya sambil menggenggam seragam putih yang sedari tadi dicarinya. Jo kaget. Belum juga menjawab, tangan bapaknya sudah mampir duluan ke pipinya. Plaakkk!
“Kamu mencurinya dari siapa, hah?” bentak bapaknya.
“Nggak, Pak. Jo tidak pernah mencuri,” jawab Jo sambil meringis menahan perih di pipinya.
“Jangan bohong kamu! Lalu kenapa kamu sembunyikan?”
Ibu yang mendengar keributan itu langsung bergegas menghampiri Jo dan memeluknya.
“Bisa gak sih kamu dengerin dulu penjelasan anakmu. Dikit-dikit mukul. Bapak macam apa kamu ini?” bentak Ibu membela Jo.
“Dia itu laki-laki. Kalau tidak kuat menahan pukulan, apa gunanya?”
“Biar pun laki-laki, tapi dia masih anak-anak. Pergilah!” hardik Ibu.
Bapak yang masih kesal lalu melemparkan seragam itu ke arah Jo dan pergi begitu saja. Jo menangis tersedu-sedu di pelukan ibunya.
“Jo, kita ini memang miskin, dan Ibu memang belum sanggup untuk memberikanmu seragam baru, tapi jangan sekali-kali kamu mencuri ya, Nak,” bisik Ibu tanpa melepaskan pelukannya kepada Jo.
“Sumpah demi Allah, Ibu! Jo tidak pernah mencuri,” ucap Jo sambil berlinangan air mata.
“Kalau begitu, seragam ini punya siapa?” tanya Ibu sambil menatap wajah putra sulungnya.
“Seragam ini milik Nana. Dia memberikannya padaku.”
“Lalu kenapa kamu tidak pernah memakainya?”
“Aku hanya memakainya saat di sekolah. Aku tidak ingin Ibu dan Bapak tahu, kalau aku tiba-tiba punya seragam baru, aku pasti dianggap sebagai pencuri.”
“Harusnya kamu jujur dari awal, Nak, biar tidak terjadi salah paham.”
“Maaf, Ibu. Jo memang salah.”
“Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus pakai seragam ini. Tunjukkan pada Nana bahwa kamu bangga memakainya.”
Ibu memungut seragam itu dan memakaikannya di badan Jo sambil mengusap air matanya.
“Sudah, jangan nangis lagi! Kamu sarapan dulu lalu berangkat sekolah,” ucap Ibu sambil menciumi pipi Jo.
“Kamu baik-baik saja, Jo?” tanya Jeki yang sedari tadi menunggu di depan rumah begitu melihat pipi Jo yang merah.
“Gapapa, Jeki,” jawab Jo berusaha untuk menutupinya.
“Bapakmu memukulimu lagi ya?”
Jo hanya diam dan tidak ingin menjawab pertanyaan Jeki. Melihat Jo yang murung, Jeki pun tidak berusaha untuk memaksa Jo bercerita.
“Kamu tahu, Jo, sepulang sekolah, Mang Abu meminta bantuan kita untuk memanen pohon rambutannya,” kata Jeki sambil jalan kaki menuju sekolah.
“Benarkah? Tapi bukannya nanti Mak Lampir jadi marah-marah.”
“Tenang saja, Jo. Mang Abu bilang kalo istrinya itu sedang pulang kampung.”
“Waahh asyik! Pasti Mak Lampir itu sedang kembali ke gunung tempat dia berasal untuk bersemedi demi menyempurnakan ilmu santetnya.”
“Benar juga. Pasti bersama si Grandong.”
“Ya, si Grandong juga ha ha ha!”
“Ha ha ha ha!”
***
Sepanjang jalan, Nana tertidur lelap di dalam mobil karena kecapean sehabis mengikuti acara di kantor ayahnya. Ayahnya yang seorang pegawai negeri sipil baru saja naik pangkat.
Krruuuukkkk… tiba-tiba terdengar suara perut berbunyi.
“Duh kok jadi lapar lagi ya, Bu,” ucap Ayah sembari mengendarai mobil.
“Hah, kok bisa-bisanya Ayah lapar lagi padahal di acara tadi makan banyak?”
“Yah namanya lapar, ya lapar aja.”
“Duh Ibu sengaja gak masak apa pun hari ini karena pasti kita akan makan-makan di acara tadi.”
“Ayah kurang selera dengan rasa makanan tadi, Bu.”
“Gak selera kok makan banyak. Ya udah, sebelum pulang kita lewat pasar aja.”
“Makanan yang enak di pasar apa, Bu?”
“Ibu mau cobain ayam bakar madu bikinan Bu Desi. Kata mamanya Mimi, ayam bakar madunya Bu Desi enak sekali.”
“Bu Desi? Ibunya Jonathan yang miskin itu? Yang sering main sama Nana untuk mendapatkan makanannya?”
“Iya, iya. Ayah bisa gak sih gak ngatain miskin terus ke anak itu. Bagaimanapun dia salah satu teman akrab Nana.”
“Ya gimana ya, Ayah gak suka sama anak itu. Dekil, kumal dan selalu cengar-cengir gak jelas. Bapaknya suka mabok dan gila judi. Jangan-jangan jualan ibunya juga pake jin penglaris. Biar enak, biar laris.”
“Husss, Ayah kok jadi ngaco gitu. Jangan fitnah gitu, ah!”
“Kalo gitu kita buktiin aja, biasanya kalo yang jual makanan dengan penglaris, makanan itu hanya enak saat dimakan di tempat. Tapi pas di bawa pulang pasti rasanya hambar dan gak enak. Nanti dibungkus aja!”
Ibu tidak ingin meladeni ocehan suaminya yang dirasa semakin ngelantur. Tapi bagaimana pun, suaminya itu membelokkan setir ke arah pasar sebelum sampai rumah.
“Hai, Bu Fitri. Dari mana? cantik sekali,” sapa ibunya Jo sangat ramah begitu melihat ibunya Nana keluar dari mobil.
“Terima kasih, habis dari acara kantor suami saya.”
“Ohh gitu.”
“Bu Desi, saya dengar dari mamanya Mimi, ayam bakar madu ala Bu Desi enak sekali. Saya mau coba dong!”
“Ohh boleh boleh, syukur kalo lidahnya mamanya Mimi cocok dengan masakan saya. Bu Fitri mau bagian yang mana?”
“Bagian dada 2 potong, sama nasinya 1, bungkus semuanya ya. Yang laper mah suami saya, saya cuman penasaran aja mau cobain he he he.”
“Ok, ditunggu ya. Ngomong-ngomong, Nana mau lanjut ke SMP mana setelah lulus SD?” tanya Bu Desi basa-basi sambil membakar ayam.
“Ohh itu, rencananya Nana akan dimasukkan ke pesantren di kampung kakeknya di Jawa Tengah.”
“Wahh bagus itu, semoga Nana menjadi anak yang sholehah dan berbakti kepada kedua orang tuanya.”
“Aamiinn, kalo Jonathan gimana?”
“Kalo Jo, kemungkinan akan lanjut ke SMP terdekat saja.”
“Ohh gitu, Jonathan memang anak yang baik dan berbakti kepada orang tuanya.” Bu Fitri berusaha memuji Jonathan. Mengingat kondisi ekonomi keluarga mereka, dia mengerti bahwa SMP terdekat adalah sekolah murah yang terkenal karena muridnya bandel-bandel.
“Ini sudah siap, Bu Fitri!”
“Berapa semuanya, Bu Desi?”
“Tidak perlu, ini gratis khusus untuk keluarga Bu Fitri.”
“Jangan gitu ah, masa dagangan digratisin. Rugi dong!”
“Tidak apa-apa. Saya memaksa. Anggap saja ini bentuk rasa terima kasih saya kepada Nana yang sudah mau memberikan seragamnya cuma-cuma untuk Jonathan. Bu Fitri sungguh telah membesarkan anak yang cantik dan baik hatinya.”
“O, oh, begitukah?... Ya sudah kalo begitu, terima kasih banyak, Bu Desi.”
“Sama-sama!”
Ibunya Nana sungguh terkejut mendengar ucapan dari Bu Desi tentang seragam itu. Namun dia berusaha sebisa mungkin menyembunyikan ekspresi wajahnya. Sesungguhnya hal itu bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh putrinya tempo hari.
“Mmmm… betul kata mamanya Mimi, ayam bakar madu ini memang enak. Ya kan, Ayah?” tanya Bu Fitri meminta persetujuan suaminya sesampainya mereka di rumah dan sedang menyantap makanan.
“Biasa aja,” kata Ayah menjaga gengsinya tapi begitu lahap dan terlihat rakus.
“Dan ayam bakar madu ini pun gratis.”
“Ahh bohong!”
“Yeee gak percaya.”
“Kok bisa?”
“Ingat tempo hari Nana pernah bilang bahwa seragamnya hilang hanyut di sungai?”
“Ya. Apa hubungannya?”
“Ternyata Nana berbohong. Nana sendirilah yang memberikan seragamnya untuk Jo. Ayam bakar madu ini adalah ungkapan rasa terima kasih dari Bu Desi.”
“Tidak, Nana tidak mungkin berbohong. Pasti bocah miskin itu yang memperdaya putri kita, atau bahkan mengancamnya, untuk memberikan seragamnya secara cuma-cuma,” kata Ayah sewot.
“Sudah, tidak perlu dipermasalahkan. Lagian Nana punya 2 setel seragam, dan sebentar lagi juga akan lulus SD, memang lebih baik seragam itu disumbangkan saja.” Ibu mencoba memadamkan emosi suaminya.
“Tidak bisa,” bentak Ayah, “seragam itu dibeli dengan uang, bukan dengan daun. Harusnya Ibu paham bahwa Ayah kerja keras selama ini untuk keluarga kita, untuk masa depan Nana, bukan untuk anak dari seorang pemabuk dan penjudi. Dasar, anak dan bapak sama saja.”
“Iya iya, Ibu paham dan menghargai kerja keras Ayah. Jangan keras-keras, nanti Nana bangun.” Kini Ibu mulai kewalahan meredakan emosi suaminya. Dia menyesal telah bercerita tentang seragam itu kepada suaminya.
“Tiba-tiba ayam ini rasanya kaya taik. Sudah pasti dia pakai penglaris agar cepat kaya dengan cara yang tidak halal. Jangan dibeli lagi!” umpatnya serampangan.
Meski ayahnya Nana telah menghina ayam bakar madu buatan ibunya Jo, tapi hinaan itu keluar dari mulutnya setelah dia menandaskan sepiring nasi dan dada ayam hingga licin.
***
“Hai, Jo, Jeki!” sapa wahyu sambil membawa alat pancingnya pada hari minggu yang cerah.
“Hai, Wahyu. Wah, Erry dan Bilal juga ikut,” balas Jo bersemangat.
“Kata Wahyu, sungai di kampung kalian ikannya masih banyak. Makanya kami juga membawa alat pancing,” ucap Erry.
“Aku suka memancing bersama ayahku, hanya saja ayahku selalu mengajakku memancing di tempat pemancingan berbayar, karena sungai di kampung kami jarang ada ikannya,” ucap Bilal.
“Bukan hanya banyak ikannya, sungai kampung kami airnya masih jernih dan asyik untuk berenang,” balas Jeki.
“Betul itu. Orang yang paling pandai berenang adalah Jo, dia sangat cepat di air, dia adalah Raja Buaya kami, betulkan Jo?” kata Wahyu.
Jo mengangkat dagu dan menepuk dada tanda dia sangat bangga dengan gelar Raja Buaya yang disandingnya.
“Kalau begitu, Jo, aku akan menantangmu lomba berenang. Jika aku menang, maka kalian semua harus memanggilku Maha Raja Buaya,” tantang Erry.
“Boleh saja, tapi jika aku yang menang, maka kamu harus memberikan semua ikan hasil tangkapanmu dan aku ingin dipanggil Super Raja Buaya, setuju?” balas Jo.
“Setuju!” jawab Erry.
“Ngomong-ngomong, Mimi dan Nana tidak ikut?” tanya Wahyu.
“Mereka akan datang, Mimi sedang ke rumah Nana, nanti kita bertemu di pinggir sungai,” jawab Jo.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor mencegat kelima bocah itu dan memaksa langkah kaki mereka untuk berhenti.
“Heh, kamu!” bentak lelaki separuh baya pengendara sepeda motor tersebut sambil telunjuknya menunjuk langsung wajah Jo.
“Siapa dia?” tanya Bilal berbisik-bisik.
“Dia ayahnya Nana,” jawab Wahyu.
“Dasar bocah miskin,” hardiknya, “apakah orang tuamu semiskin itu hingga tidak mampu untuk membelikanmu seragam sampai harus mencuri seragam milik putriku?”
“Jangan sembarangan bicara ya!” balas Jeki langsung geram karena dia satu-satunya yang paham dengan tuduhan ayahnya Nana.
“Diam, kamu! Saya sedang bicara dengan si bocah miskin ini,” ucapnya sambil tetap menunjuk Jo yang sedari tadi hanya diam saja.
“Saya tidak pernah mencurinya, Nana yang memberikannya padaku,” kata Jo akhirnya buka suara.
“Kamu ini, bukan hanya pencuri tapi juga pembohong.”
Plaakkkk!!!!
Sebuah tamparan mendarat dengan keras ke pipi kiri Jo hingga membuatnya terhuyung-huyung hilang keseimbangan dan terjatuh.
“Kurang ajar! Dasar anjing, babi!” seketika Jeki murka melihat Jo ditampar begitu saja. Jeki berusaha memukul dan menendang ayahnya Nana namun serangannya tidak membuahkan hasil.
Karena semua serangannya tidak ada yang kena, Jeki sontak memungut kerikil yang berserak di sekitar jalan dan melempari ayahnya Nana. Lemparan Jeki berhasil mengenai tubuh gendut itu dan juga spion sepeda motornya hingga pecah.
Kini giliran ayahnya Nana yang marah, dia berniat untuk memberi pelajaran kepada Jeki juga. Namun hal itu segera diurungkannya, Jeki kini memungut batu yang lebih besar dan mengancam untuk melemparkannya. Ditambah lagi Erry dan Bilal yang tidak suka temannya disakiti juga siap menimpuk ayahnya Nana dengan batu-batu yang ada di tangan mereka. Wahyu berusaha membantu Jo yang sedang meringis kesakitan.
Dengan menimbang keadaan, ayahnya Nana pun memilih untuk pergi. Meskipun motornya sedikit rusak, namun niatnya sudah terlaksana. Sehingga tak perlu lagi lebih lama berada di sana dan beresiko dikeroyok anak-anak.
“Jangan lagi kamu bermain dengan Nana!” teriak ayah Nana memberi peringatan.
“Pergi, Bangsat! Dasar babi!” maki Jeki sangat geram.
Jo tidak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa menundukkan kepala berusaha menyembunyikan muka dengan kedua tangan sambil bertopang pada dengkulnya. Sesekali dia meraba pipi kirinya yang perih dan sekuat tenaga untuk menahan air matanya.
“Jo, kamu tidak apa-apa?” tanya Wahyu dengan cemas sambil mengusap-usap punggung Jo.
“Jo,” panggil Jeki, Bilal dan Erry bersahut-sahutan sambil berusaha mencari tahu keadaan Jo.
“Jo? Apa kamu bisa berdiri? Kalo kamu tidak bisa berdiri, ayo aku gendong. Aku akan mengantarmu pulang,” ucap Jeki.
“Tidak! Aku tidak ingin pulang. Ibuku pasti sedih jika melihat mukaku, aku tidak ingin berbohong lagi pada Ibu,” jawab Jo.
“Kalo gitu, Wahyu, Erry, Bilal, kalian tolong bawa Jo ke tepi sungai tempat biasa kita berkumpul. Aku akan pulang sebentar untuk mengambil es batu di rumahku. Aku dengar es batu bisa meredakan bengkak-bengkak,” usul Jeki.
“Ya, benar itu, Jeki. Es batu memang bisa meredakan bengkaknya. Ayo, Jo!” kata Bilal.
Jeki berlari sekuat tenaga ke rumahnya untuk mengambil es batu yang tersedia di kulkas. Sementara Jo, Erry, Wahyu dan Bilal pergi berkumpul di tepi sungai.
“Aku tidak menyangka ayahnya Nana sejahat itu,” ucap Erry.
“Iya, padahal Nana adalah anak yang baik,” timpal Bilal.
“Ayahnya Nana memang terkenal sombong. Dia adalah orang yang paling kaya di kampung kami,” jelas Wahyu.
“Apakah dia lebih kaya dari Haji Mahmud?” tanya Erry.
“Siapa Haji Mahmud?” Wahyu bertanya balik.
“Haji Mahmud adalah orang yang paling kaya di kampung kami. Tanahnya sangat luas dan dimana-mana, dia punya peternakan kambing dan sapi, juragan kontrakan, mobilnya ada 5, dan rumahnya sangat besar bercat putih bagai istana,” jelas Bilal.
“Ohh rumah besar putih itu adalah milik Haji Mahmud? Aku pernah melihatnya ketika lewat kampung kalian saat naik motor bersama ayahku,” ucap Wahyu.
“Ya itulah rumah Haji Mahmud. Orang paling dermawan di kampung kami. Kami sering bermain di kebun dan peternakannya. Jika kami membantu memberi makan sapi dan kambing di peternakannya, Haji Mahmud pasti memberi upah pada kami. Anak-anak di kampung kami senang membantu jika dimintai tolong oleh Haji Mahmud karena dia tidak pelit,” kata Erry begitu bangga.
“Dan juga tidak sombong,” timpal Bilal.
“Aku rasa ayahnya Nana tidak sekaya Haji Mahmud. Rumahnya tidak begitu besar, punya 1 mobil, 2 motor dan aku dengar dia bekerja untuk negara,” kata Wahyu.
“Maksudmu ayahnya Nana seorang PNS? Ayahku juga PNS,” kata Erry.
“Ayahku juga punya sebuah mobil bak dan 2 motor,” timpal Bilal.
“Kalo kekayaan ayahnya Nana hanya segitu, di kampung kami juga banyak,” Erry berbangga diri. “Ngomong-ngomong, Mimi dan Nana kemana? Kok gak datang-datang?” tanya Erry.
“Sewaktu kejadian tadi, sepertinya aku melihat Mimi sendirian dari jauh. Tapi tiba-tiba dia lari menjauh. Aku tidak yakin sih, sepertinya aku salah lihat,” kata Wahyu meragukan penglihatannya.
“Lebih baik Nana tidak datang,” kata Jeki ketika dia kembali dengan membawa es batu berukuran cukup besar. “Ini, Jo! Tempelkan es batu ini di pipimu!” Jeki memberikan es batu itu kepada Jo. “Jika dia ada di sini, aku akan menamparnya, seperti ayahnya menampar Jo!”
“Jika kamu menampar Nana, maka aku akan memukulmu, Jeki!” Jo tiba-tiba bersuara setelah sekian lama bungkam.
“Tapi Jo,”
“Jangan pernah menyakiti Nana, Jeki. Dan kalian juga, aku ingin kalian semua berjanji, bahwa kalian tidak akan menceritakan hal ini kepada Nana. Berjanjilah!”
“Baik, Jo!” jawab mereka serempak.
***
Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 11 malam, namun kedua bola mata Jo menolak untuk tidur. Untung saja bengkak di pipi Jo sudah mereda dan hanya menyisakan bekas merah yang nampak tidak begitu jelas. Lampu di rumah Jo yang bersinar tidak begitu terang mampu menyamarkan bekas tamparan di pipinya.
Kepala dan dada Jo terasa kalut. Diambilnya seragam putih pemberian Nana yang tersimpan rapih di lemari pakaiannya yang lapuk. Dipandanginya lama dan dalam kepada seragam itu. Dipeluknya seragam itu erat-erat. Air matanya mengalir deras dan terisak-isak. Jo berusaha keras untuk tidak menimbulkan suara agar Bobby dan Emma yang sedang tidur di sampingnya tidak terbangun. Seragam itu sedikit basah oleh air mata yang mengalir karena luka hatinya.
Ketika semua keluarganya sudah terlelap, Jo mengendap-endap keluar dari rumahnya sambil memeluk seragam itu. Jo perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati menutup pintu rumahnya. Jo segera berlari kencang meninggalkan rumahnya. Dia berlari sangat kencang, sekencang yang dia bisa sambil memeluk erat baju seragam itu.
Jo berhenti pada sebuah rumah yang telah menjadi tujuannya. Kepalanya menengok ke segala arah untuk memastikan bahwa suasana aman dan masih sepi seperti biasanya. Dipeluk dan diciumnya seragam itu untuk terakhir kalinya. Tanpa membuang banyak waktu, Jo memanjat pagar rumah itu dengan cepat. Kemudian, diletakkannya baju seragam itu tepat di depan pintu rumah dan segera kembali memanjat pagar.
Jo berlari lebih kencang dari sebelumnya. Jo merasa kakinya sangat ringan hingga membawanya dengan cepat kembali ke rumahnya. Setelah sampai di kamarnya dengan kondisi badan banjir keringat. Ditatapnya kedua adiknya yang masih tertidur lelap.
“Bobby, Emma, do’akanlah agar Kak Jo menjadi orang sukses bagaimana pun caranya. Supaya kalian tidak perlu lagi terhina seperti ini. Supaya Bapak dan Ibu tidak perlu bekerja keras lagi,” bisik Jo kepada kedua adiknya itu lalu mencium masing-masing keningnya.
Tiba-tiba Bobby dan Emma menggeliatkan badan dan merubah posisi tidurnya hingga saling berhadapan satu sama lain. Meski masih tertidur lelap, tanpa sadar tangan keduanya berpegangan erat. Kemudian, keduanya tersenyum meski matanya tertutup. Jo segera merebahkan dirinya di samping Emma dan berusaha untuk tidur sambil memeluk kedua adiknya.
***
Seorang pria dengan perut gendut keluar dari rumahnya. Tiba-tiba dia terbangun dari tidurnya pada tengah malam dan merasa kesal. Karena sudah terbangun, maka dia memutuskan untuk merokok sebatang dua batang di beranda rumahnya sambil cari angin.
Ketika kakinya melangkah keluar, tanpa sengaja dia menginjak seragam yang tergeletak di depan pintu. Dipungutnya seragam itu, lalu dilemparkannya ke tempat sampah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Cih! Menjijikkan!” umpatnya.
Kemudian dia duduk di bangku sambil menyalakan sebatang rokok. Dihisapnya dalam-dalam lalu dihembuskannya asap dari rokok itu hingga mengepul. Dalam kepalanya, dia mengetahui siapa yang telah menaruh seragam itu di depan pintu rumahnya. Lalu dia tersenyum dan tertawa terkekeh karena merasa puas hatinya.
***
“Kenapa kamu pakai seragam lamamu, Jo? Apa seragam itu belum kering?” tanya Nana ketika jam istirahat.
Mendengar pertanyaan Nana, Jo kaget. Namun dia berasumsi bahwa Nana tidak tahu bahwa seragam darinya itu sudah dia kembalikan semalam.
“I-iya,” jawab Jo singkat saja.
“Yang pasti seragam ini tidak bikin luka dan juga tidak harus terhina,” celetuk Jeki yang mendengar obrolan Jo dan Nana.
“Apa maksudmu, Jeki?” Nana sama sekali tidak mengerti maksud omongan Jeki.
“Sudahlah, Jeki! Kamu sudah berjanji,” potong Jo sebelum Jeki berbicara lebih jauh.
“Maaf, Jo! Intinya seragam ini lebih nyaman. Ayo kita bermain bola, Jo! Ayo Erry, Bilal, Wahyu!” kata Jeki.
“Apa maksudnya itu? Jadi seragam barunya Jo tidak nyaman maksudmu, Jeki?” Nana masih penasaran dengan ucapan Jeki. Namun Jeki tidak menggubris omongan Nana dan malah menatap sinis padanya. Begitu juga Erry dan Bilal yang menatap Nana dengan tatapan sama. Sedangkan Wahyu hanya menundukkan kepalanya.
“Kenapa dengan mereka semua?” Nana semakin bertanya-tanya.
“Na,” kata Mimi, “sepertinya aku tahu kenapa mereka begitu.”
“Kenapa? Coba kamu jelaskan, Mimi! Aku kesal sekali dengan Jeki, dan kenapa Bilal dan Erry juga seperti memusuhiku”
“Kemarin, ketika aku datang ke rumahmu untuk mengajakmu makan-makan di pinggir sungai seperti biasanya, ibumu tidak mengijinkanmu pergi bermain. Alasannya sebentar lagi mau ujian nasional dan kamu disuruh banyak belajar.”
“Oh ya, aku minta maaf soal itu. Sebenarnya itu perintah ayahku.”
“Aku pikir, kalo kamu gak bisa ikut, ya sudahlah. Lalu aku pergi untuk menemui Wahyu, Jo, dan Jeki di tepi sungai. Di jalan, aku melihat mereka sedang berbicara dengan ayahmu. Awalnya aku pikir ayahmu hanya sekedar berbicara saja. Namun yang membuatku kaget adalah… ayahmu tiba-tiba menampar Jo sampai terjatuh.”
“Astaghfirullah! Benarkah?!”
“Sumpah, Na! Aku tidak bohong. Meski aku melihatnya dari jauh, aku yakin sekali kalo ayahmu memang menampar Jo. Lalu Jeki menjadi marah, dia berusaha memukul ayahmu dan melemparinya dengan batu. Begitu juga Erry dan Bilal yang ada di sana. Aku juga kaget melihatnya. Saking kagetnya, aku sampai memilih untuk pulang saja ke rumah.”
Setelah mendengar cerita Mimi tentang Jo, Nana tidak bisa berkata-kata. Tiba-tiba tenggorokannya terasa tercekat dan pipinya basah. Nana menundukkan kepala dan merasa sedih karena kini teman-temannya membenci dirinya karena kelakuan ayahnya itu.
“Ayahku jahat sekali. Ayahku memang jahat, dia selalu mengatai Jo sebagai orang miskin,” gumam Nana.
“Kamu harus bicara dengan ayahmu.”
“Tentu saja. Aku juga akan minta maaf kepada Jo.”
“Ya, memang begitu.”
Semenjak saat itu, Jo selalu menghindari Nana. Apalagi jika ada Jeki. Jeki selalu menjadi tembok besar penghalang antara Nana dan Jo. Jika Nana sedikit saja mendekati Jo, Jeki selalu ada di sana berusaha untuk memisahkan mereka.
“Aku benci sama Ayah!” kata Nana dengan marah sambil melemparkan tasnya ketika dia baru pulang dari rumah Mimi setelah selesai belajar bersama.
“Heh kenapa ini? Kenapa kamu ngomong begitu?” tanya Ayah bingung dengan perangai putrinya.
“Nana kenapa?” tanya Ibu.
“Ayah harus minta maaf sama Jo.”
“Astaga, lagi-lagi tentang bocah miskin itu.”
“Kenapa? Kenapa Ayah harus minta maaf sama Jo. Coba Nana cerita sama Ibu!”
“Kemarin Ayah memukul Jo.”
“Astaga, Ayah! Ayah kok tega mukul anak kecil begitu. Apa Ayah gak malu?” bela Ibu.
“Kemarin Ayah juga hampir di pukul sama teman-temannya. Lihat tuh, spion motor Ayah sampai pecah.” Ayah mencoba berkilah.
“Tapi kan Ayah yang memulai duluan. Apa sih salahnya Jo? Apa karena dia miskin Ayah boleh memukul Jo seenaknya?” cecar Nana.
“Nana benar. Ayah sangat keterlaluan. Ingat, Ayah! tidak selamanya hidup kita selalu di atas. Ibu sangat kecewa sama Ayah. Sangat-sangat kecewa. Ternyata Ibu menikahi seorang pecundang yang hanya berani memukul anak kecil. Ayah harus minta maaf sama Jo dan juga keluarganya.”
“Kalian ini… Arrgggghhh!” ayah sangat kesal mendengar omelan anak dan istrinya. Lalu memutuskan untuk keluar rumah begitu saja.
***
Nana berusaha menyembunyikan dirinya di balik pohon kelapa yang berukuran cukup besar yang berada agak jauh dari rumah Jo. Dilihatnya dari jauh halaman rumah Jo, Jeki ada disana sedang bermain dengan Emma dan Bobby, sementara Jo sedang membaca Juz’Amma. Nana mengagumi antusiasme Jo yang masih mau belajar mengaji walaupun dia harus menjaga kedua adiknya. Nana juga mengagumi Jeki yang mau mengajari Jo belajar mengaji. Akhirnya dia tahu, walaupun Jo sering bolos mengaji, tapi berkat Jeki, Jo masih bisa belajar membaca huruf arab. Pertemanan keduanya mengundang rasa iri di hati Nana.
“Jo, aku pikir kamu sudah bisa membaca Al Qur’an dengan lancar,” kata Jeki setelah Jo menamatkan bacaannya.
“Benarkah?”
“Ya, aku tidak perlu lagi mengajarimu. Kamu hanya perlu sering-sering membacanya saja agar semakin bagus. Mungkin, sekarang kita harus fokus belajar untuk ujian nasional.”
“Kamu benar, Jeki. Bagaimana kalau mulai besok kita belajar bersama saja untuk persiapan ujian nasional.”
“Ide bagus, Jo. Aku akan ajak Wahyu, dia pasti mau. Bilal dan Erry mungkin juga mereka mau.”
“Dan Mimi, juga Na…,” tiba-tiba Jo terdiam dan tidak meneruskan kalimatnya.
“Kita tidak butuh dia, Jo. Meski dia pintar dan selalu ranking 1, Wahyu dan Mimi juga tidak kalah pintar untuk mengajari kita.”
“Iya, kamu benar,” kata Jo lemas. “Apa kamu tidak merasakan sesuatu yang aneh dari tadi, Jeki?”
“Aneh? Apa maksudmu?”
“Entahlah, tapi dari balik pohon kelapa itu, aku seperti melihat sosok putih.”
“Kamu jangan menakut-nakutiku, Jo!”
“Aku juga tidak yakin. Tapi, aku berkali-kali melihat sosok putih dari balik pohon kelapa itu.”
“Ya sudah, kalo gitu aku pulang dulu, Jo. Sepertinya Ibu memanggilku untuk makan. Wassalamuallaikum!”
“Waallaikumsalam! sepertinya Emma juga mulai mengantuk, ayo Bobby kita masuk!”
Jeki langsung menggulung sarungnya dan bersiap lari ke rumahnya. Jo langsung menggendong Emma dan Bobby masuk ke rumah. Keduanya sama-sama takut dengan halusinasi mereka sendiri.
Melihat Jeki sudah pergi, Nana yang sedari tadi menunggu di balik pohon kelapa yang letaknya agak jauh dari rumah Jo, mulai menampakkan diri dan mendekati rumah Jo.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamuallaikum, Jo!”
Karena mendengar suara yang berat seperti sedang menangis sambil memanggil namanya, Jo semakin merinding ketakutan. Dia merasa ragu untuk membukakan pintu. Namun, sesuatu tiba-tiba terlintas di pikirannya. Kalau itu setan, tidak mungkin setan itu mengucapkan salam. Akhirnya Jo memberanikan diri untuk mendekati pintu.
“Hah?! Nana? Kenapa kamu ada di sini? Kenapa kamu menangis?” tanya Jo ketika melihat Nana yang mengenakan kerudung putih sedang berdiri di depan pintu rumahnya.
“Jo… aku sudah mendengarnya dari Mimi, kemarin ayahku memukulmu hingga terjatuh. Aku sungguh minta maaf untuk itu. Aku minta maaf, Jo,” kata Nana sambil sesenggukan.
“Oh itu, aku sudah memaafkanmu. Kamu tidak salah kok. Harusnya dulu aku menolak seragam pemberianmu itu.”
“Tidak, Jo, aku yang salah. Harusnya aku tidak berbohong kepada Ibu tentang seragam itu.”
“Ya, kita berdua yang salah karena berbohong.”
“Apa kamu membenciku, Jo.”
“Tidak!”
“Jika kamu tidak ingin lagi berteman denganku, itu tidak apa-apa, Jo. Tapi tolong jangan benci aku.”
“Tidak, Na, sungguh! Aku tidak membencimu. Mungkin kamu benar, kita tidak bisa berteman lagi. Aku sudah terbiasa dipukul ayahku, dan itu rasanya sakit. Tapi, ketika dipukul sekaligus juga dihina oleh orang lain, rasanya jauh lebih sakit. Aku tidak ingin rasa sakit itu terulang lagi, Na.”
“Aku tahu, Jo. Ayahku memang keterlaluan, dia jahat, aku sangat membencinya. Dan juga Jo, setelah lulus SD, aku akan masuk pesantren di kampung kakekku. Mungkin ini adalah perpisahan. Jadi… terima kasih Jo karena tidak pernah membenciku.”
“Benarkah?” Jo kaget mendengarnya. “Kalo begitu, semoga kamu selalu sehat di sana, Na.”
“Terima kasih, Jo. Kalo gitu aku pamit. Wassalamuallaikum!”
“Waallaikumsalam, Na!”
Nana segera berlari meski masih menyisakan isak tangis ketika meninggalkan rumah Jo. Nana takut dimarahai oleh ibu dan ayahnya karena pulang terlalu malam. Sementara itu, Jo tiba-tiba menjadi lemas ketika mendengar dari mulut Nana sendiri bahwa dia akan masuk pesantren di luar kota setelah lulus SD.
***
Pesan hangat dari penulis,
Hai kamu! Iya, kamu!
Suka sama ceritanya? Penasaran gimana hubungan antara Jo dan Nana? Oke, deh! Silahkan lanjut!