Memilih menyerah dibanding harus berdebat tidak jelas dengan orang yang sudah tua disebelahku ini.
"Bagas, Rafi, sudahi debat gaje kalian. Bantu kakak sini urus si Bima nih, kakak mau belanja"
Kakak perempuan pertamaku yang sudah berkeluarga, dia bertambah cerewet semenjak sudah punya anak. Aku berpikir semua cewe pasti begitu bakalan ribet banget, pantesan bang Bagas belum mau cari cewe.
Alasannya pasti, 'Mau fokus kerja dulu sama seneng-seneng, cewek mah belakangan'. Dasar otak pekerja.
"Raf," panggil bang Bagas yang lagi ngegendong anaknya kak Bulan, siapa lagi kalau bukan si Bima. Bocil botak yang cocok banget di buat bahan ngepet.
Aku berdehem sembari membuatkan susu botol untuk Bima. Adukkanku terhenti saat mendengar pertanyaan bang Bagas yang membuat satu tubuh ku kaku.
"Kamu masih jadi ketua geng jalanan itu?"
Terakhir kali aku ketahuan tawuran, bang Bagas tidak segan-segan untuk membawa kawanan polisinya dan menembaki teman-temanku. Bahkan sampai banyak yang terbunuh dan aku juga hampir dibunuh oleh abangku sendiri.
"Raf? Masih ya"
"Engga!" Spontan aku berteriak dengan keringat yang mengucur dari dahiku. Takut, trauma, duka. Tiga hal yang sudah 2 tahun ini aku hindari. Bahkan aku sudah sering mengunjungi dokter untuk terapi kesehatan mentalku.