Mulai pertengahan bulan Desember, beberapa kota di Indonesia mulai memasuki musim hujan. Tak terkecuali daerah Cibubur dan sekitarnya.
Pergantian seragam SMA Sakura mulai diberlakukan. Kini, semua murid SMA Sakura memakai kemeja putih panjang, rok atau celana bermotif kotak-kotak warna coklat, serta dasi bermotif sama. Tak lupa blazer berwarna coklat muda.
Hari itu Chihaya menerima hasil ulangan bahasa Jepang yang dibagikan oleh Bu Rinka, guru bahasa Jepang yang mengajar di kelasnya. Chihaya memandang kertas ulangannya. Angka 98 tertera di bagian kanan atas.
Gadis berkepang itu tersenyum. Setelah beberapa bulan ini mengikuti sesi les privat dengan Mamoru, nilai bahasa Jepang Chihaya menunjukkan peningkatan,melewati angka sembilan puluh. Ia bertekad akan menunjukkannya pada Mamoru saat waktu istirahat nanti.
Saat bel istirahat berbunyi, Chihaya langsung ke luar dari kelasnya. Ia berlari menuju ruang klub Kurotake untuk menemui Mamoru.
Chihaya tiba di depan pintu ruang klub Kurotake. Gadis berkacamata itu melihat pintu klub terbuka sedikit. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap Mamoru ada di dalam.
Tangannya mengetuk pintu klub.
"Permisi. Mamoru-senpai,"
Tak ada jawaban. Chihaya masuk ke dalam ruang klub. Baru beberapa langkah, ia melihat Mamoru yang berdiri membelakanginya.
"Mamoru-senpai?"
Mamoru terkejut mendengar suara Chihaya. Ia menoleh ke belakang. Sementara itu tangan kanannya menyembunyikan sesuatu di belakang tubuhnya.
"Oh...Haya-chan," Lelaki berambut ikal itu tersenyum ramah pada Chihaya. "Maaf, aku tidak mendengarmu,"
Chihaya menatap Mamoru curiga. Meski Mamoru tersenyum, Chihaya bisa melihat kalau pemuda itu tampak gugup. Ia melirik tangan Mamoru yang menyembunyikan sesuatu. "Apa itu?"
Mamoru menelan ludah, langsung menggeleng. "Ini bukan apa-apa,"
Chihaya tak percaya begitu saja. Ia berusaha menarik tangan Mamoru. Sementara Mamoru berontak, berusaha melepaskan tangannya dari pegangan Chihaya. Hingga akhirnya, sesuatu yang disembunyikan Mamoru terjatuh ke lantai.
Chihaya berjalan mendekati benda yang terjatuh itu. Seketika mata Chihaya membelalak begitu melihat benda yang tergeletak di lantai itu.
Kipas uchiwa Kaito Shion miliknya!
Chihaya memungutnya. Ia membeli kipas itu di event Jepang kemarin bersama Sachi. Chihaya baru ingat kalau kemarin kipas itu tertinggal di ruang klub. Namun, kini keadaan kipas itu sudah tidak utuh lagi. Ada patahan di bagian tengahnya.
"Senpai...apa yang sudah Senpai lakukan?" ucap Chihaya dengan nada bergetar.
Mamoru membeku di tempatnya.
"T-tunggu, Haya-chan, aku tidak...aku bisa jelaskan,"
Chihaya menggelengkan kepala. Ia langsung berlari keluar dari ruang klub.
"Haya-chan!"
Chihaya tidak peduli meski Mamoru memanggilnya. Ia terus berlari, hingga akhirnya sampai di atap sekolah.
Gadis berkacamata dan berambut kepang itu duduk bersandar pada pagar pembatas. Ia menangis sejadi-jadinya. Perasaannya campur aduk. Sedih, marah, frustrasi. Chihaya tak menyangka teman masa kecilnya akan berbuat setega itu. Merusak kipas miliknya yang berharga. Merusak hubungan mereka. Meruntuhkan segala kepercayaan yang selama ini sudah ia berikan kepadanya.
"Kau kenapa?"
Chihaya mengangkat kepala. Ia terkejut melihat seseorang muncul di hadapannya.
"Shiro..."
Sudah lama Chihaya tidak melihat cowok itu. Chihaya baru pertama kali melihat sosok pemuda yang merupakan mantan anggota klub Kurotake itu lebih dekat. Penampilannya sedikit mengingatkan Chihaya dengan karakter Hiro di drama Koizora yang diperankan oleh Haruma Miura.
Ini pertama kalinya Chihaya mengobrol langsung dengannya.
"Sedang apa kau sendirian di sini?" tanya Shiro untuk kedua kalinya. "Kenapa kau menangis?"
"Eh?" Chihaya buru-buru menghapus air mata dengan tangannya. Duh, payah. Dia malah terlihat menyedihkan di hadapan seorang lelaki. "Tidak apa-apa. Kau sendiri, sedang apa di sini?"
"Oh, aku hanya sedang bersantai di sini, sebelum masuk ke kelas," katanya. "Kau tumben sendirian, biasanya bersama pacarmu?"
Saat mengucapkan kalimat 'pacarmu', nadanya terdengar sedikit sinis.
Chihaya tak menjawab. Ia memandang ke bawah, ke arah kedua sepatunya. Ia tak ingin membicarakan Mamoru pada lelaki itu.
"Ini pertama kalinya aku bicara denganmu," Kata-kata Shiro memecah keheningan. "Kuperhatikan, kau selalu bersama teman-teman dekatmu. Yuji, Takeru, Asa...bahkan kau dekat dengan Mamoru,"
Chihaya sedikit heran mendengar Shiro menyebut Mamoru tanpa embel-embel 'Senpai'. Chihaya sudah mendengar cerita tentang Shiro. Entah angin apa yang membuat lelaki berambut putih seperti duri landak itu tiba-tiba mendekatinya. Chihaya berusaha menjaga jarak dari cowok yang pernah bermasalah dengan klub Kurotake itu.
"Di luar dugaan kau ternyata mudah diajak bicara,ya. Di klub kuperhatikan kau lebih banyak diam,"
Shiro terus berbicara, dan Chihaya tentu tidak berminat menanggapinya. Ia juga merasa tak nyaman.
"Maaf. Sebenarnya aku tidak banyak bicara seperti anggota lain. Kurasa, sepertinya kita punya kesamaan,"
Chihaya melongo. Baru saja Shiro mengatakan 'kita'? Terlalu sok akrab sekali cowok ini.
Bunyi bel masuk menyelamatkan Chihaya dari situasi tak nyaman itu.
"Ah, sudah masuk," ujar Chihaya. Ia berpamitan pada pemuda itu. "Aku ke kelas dulu,"
"Tunggu!" cegah Shiro. Chihaya pun menoleh.
"Kalau sepertinya sedang punya masalah. Mau coba bicara denganku, mungkin aku bisa membantu," katanya.
Chihaya tambah heran dengan gelagat Shiro yang menurutnya sangat aneh. Cowok itu tak pernah dekat dengannya seperti Yuji, Asa, dan Takeru. Bahkan Ryuto, kakak kelasnya di klub Kurotake yang suka bergonta-ganti pacar saja tidak sampai memakai cara nekat seperti ini.
Dan dari mana cowok itu tahu Chihaya sedang ada masalah?
"Kau seperti peramal saja,"
Shiro tersenyum kecut. "Kau habis menangis. Mudah saja bagi orang sepertiku untuk melihat kalau kau sedang memiliki masalah. Memendam masalah itu tidak baik, lho. Kalau kau tidak nyaman mengobrol langsung, aku bisa memberi nomor..."
"Maaf, lain kali saja,"
Gadis berkacamata itu membalikkan badannya, berjalan meninggalkan Shiro begitu saja di atap sekolah.
****
"Eeeh? Mamoru-senpai mematahkan kipasmu?" tanya Sachi begitu melihat kipas yang Chihaya bawa. Shizuka, Takeru, dan Yuji juga melihatnya.
"Bagaimana bisa dia setega itu?" tanya Yuji.
"Aku tidak percaya Mamoru-senpai berbuat begitu," komentar Takeru. "Yang kutahu, Mamoru-senpai itu baik. Dia tidak mungkin merusak barang orang lain,"
"Tapi saat aku masuk ke ruangan klub, aku menemukannya sedang memegang kipas itu," bantah Chihaya. "Mamoru-senpai lalu menyembunyikannya di belakang punggungnya. Saat kutarik tangannya, kipas itu terjatuh di lantai. Saat itulah aku melihat kipas itu sudah terbelah,"
"Mungkin tindakannya mencurigakan. Tapi belum tentu juga Mamoru-senpai pelakunya, lho," ujar Shizuka, berusaha meyakinkan Chihaya.
"Iya, kemarin kita berempat pulang terlebih dahulu, anggota lain dan para pengurus masih stay di ruang klub," dukung Takeru.
"Ada kemungkinan Mamoru-senpai masuk ke ruang klub dan menemukan kipas itu sudah dalam keadaan rusak," sahut Sachi. "Dan dia tidak ingin kau melihatnya. Lagi pula kita tidak tahu siapa yang terakhir kali memegang kipas itu, kan?"
Alasan keempat sahabatnya masuk akal, namun tentu saja itu tak membuat Chihaya menerimanya begitu saja. Memang, kemarin beberapa anggota lain sempat meminjamnya. Kipas itu berpindah-pindah tangan, dan Chihaya tidak lagi memerhatikan kipas miliknya itu karena sibuk bercengkerama dengan anggota lain. Dalam hati ia menyesal tidak menjaga kipas itu dengan baik. Ia menyesal meninggalkan kipas itu di ruang klub. Kalau saja ia tahu kipas itu akan rusak, seharusnya ia membawanya pulang ke rumah.
****
Saat pulang sekolah, Chihaya cepat-cepat berjalan ke luar kelas. Dia tak ingin bertemu dengan Mamoru, kalau-kalau pemuda itu menjemputnya ke kelas, seperti yang ia biasa lakukan selama ini.
Ia mengikuti Sachi dan yang lainnya ke ruang loker. Chihaya mengganti sepatu putihnya dengan sepatu pentofel. Ia memasukkan sepatu putihnya ke dalam loker dan mengunci pintunya. Saat gadis berkacamata itu baru selesai mengunci loker, tanpa diduga Shiro menghampirinya.
"Hai," sapa Shiro.
Chihaya terkejut melihat kehadiran pemuda itu. Dengan canggung, Chihaya membalas sapaannya. "H-hai,"
"Kau ada waktu senggang? Mau menemaniku ke suatu tempat?"
Sachi, Takeru, dan Yuji melongok dari balik pintu loker.
"Apa-apaan dia? Kenapa dia mendekati Chihaya?" tanya Sachi. Ia terlihat tidak menyukai Shiro. Teringat kembali dengan kenangan buruk saat pemuda itu mendekatinya hanya untuk bermain-main saja.
Mereka memantau Chihaya yang sedang berbicara dengan Shiro. Mereka bingung, untuk apa lelaki itu mendekati Chihaya.
"Maaf, aku...aku tidak bisa,"
Chihaya menolak ajakan Shiro untuk kedua kalinya. Ia bergegas pulang, meninggalkan Shiro yang hanya berdiri saja di sana.
****
Entah apa yang Shiro inginkan dari Chihaya. Walau sudah berkali-kali ditolak, tapi pemuda itu tetap tak menyerah. Ia terus mendekati Chihaya setiap kali ia mendapati gadis itu sedang sendirian. Modusnya sama : mencoba mengajak gadis itu pergi dengannya ke suatu tempat. Hingga akhirnya, pada hari Sabtu, Chihaya menyerah. Ia yang tak nyaman karena Shiro terus mengejarnya akhirnya menyetujui ajakan pemuda itu untuk pergi bersamanya ke suatu tempat.
Chihaya dan Shiro sepakat untuk bertemu di sebuah restoran cepat saji. Shiro sudah mengirimkan lokasinya melalui LINE.Saat makan Shiro bercerita tentang dirinya. Chihaya baru mengetahui Shiro adalah seorang otaku gim. Ia menceritakan beberapa gim kesukaannya yang namanya tidak terlalu Chihaya ingat. Ia juga banyak bercerita tentang keluarganya. Chihaya pun mengetahui informasi kalau ia memiliki seorang adik perempuan.
Selain gim, Shiro ternyata juga menyukai komik.
"Aku suka komik," ungkap Shiro. "Aku selalu membeli komik di toko buku,"
Ia mengajak Chihaya ke toko buku, menemaninya melihat-lihat komik. Chihaya sebenarnya tidak mau ke sana, tapi ia tak bisa menolak. Kaki dan bahu Chihaya terasa berat saat menelusuri rak di toko buku. Hal itu justru mengingatkan Chihaya pada kenangan sebelum bunkasai lalu, saat Mamoru mengajaknya ke toko buku.
Ah, padahal ia sedang tidak ingin memikirkan Mamoru, tapi kenapa...
Tidak seperti biasanya, saat itu Chihaya sama sekali tidak berminat membaca. Padahal, biasanya ia senang saat diajak ke toko buku.
Gadis berkacamata itu hanya berdiri melihat-lihat, sementara Shiro asyik membaca komik bergenre romansa.
Chihaya hanya bisa terpaku melihat beberapa sampul komik dengan gambar-gambar vulgar yang menbuat matanya tidak tahan memandangnya berlama-lama. Ia tidak terlalu suka membaca komik, apalagi komik dengan adegan erotis yang dipenuhi gambar tanpa sensor.
Chihaya melirik jam tangannya. Pukul 8 malam.
"Shiro," panggil Chihaya seraya mendekati pemuda itu. Shiro menoleh.
"Apa?"
"Aku...mau ke tempat lain, boleh? Maksudku, ke luar toko buku,"
"Oh,tentu," Shiro langsung menaruh komik yang sedang dibacanya,sementara Chihaya langsung berjalan meninggalkannya. Shiro baru sadar kalau dari tadi sepertinya wajah Chihaya terlihat tertekan.
"Kau baik-baik saja, Chihaya?" tanya Shiro saat mereka sudah berjalan keluar dari toko buku. Ia merasa ada yang aneh dengan perkataan Chihaya tadi, juga gelagatnya.
Chihaya menggeleng.
"Sejak awal kuperhatikan wajahmu sepertinya tidak bersemangat. Apa ada masalah?" tanya Shiro khawatir.
Chihaya menghela napas. "Sebenarnya...ya. Apa kau punya saran tempat yang biasa dikunjungi kalau suasana hati sedang tidak baik?"
Shiro heran mendengar ucapan gadis berkacamata itu. Sejurus kemudian ia tersenyum.
"Aku tahu sebuah tempat. Kau mau ikut?"
Chihaya mengangguk.
****
Shiro mengajak Chihaya ke sebuah minimarket di dekat wilayah sekolah mereka. Walau Chihaya sering melewati minimarket itu saat pergi dan pulang sekolah, ia belum pernah sekalipun mampir ke sana.
Mereka membeli es krim. Mereka kemudian duduk di luar, memakan es krim sambil menikmati pemandangan jalan raya pada malam hari.
"Chihaya," Shiro memulai pembicaraan setelah beberapa menit mereka diam.
"Hm?"
"Kau...sedang ada masalah dengan Mamoru, ya?"
Chihaya mengerjap. "Bagaimana kau tahu?"
"Mudah menebaknya. Gadis yang sedang patah hati biasanya terlihat seperti dirimu saat ini,"
Chihaya menelan ludah. Tebakan Shiro tepat sasaran. Ia pun mengangguk.
"Memang, dia kenapa?" tanya Shiro ingin tahu.
Chihaya menggeleng, bersikeras tak ingin bercerita. Namun lama-lama gadis itu pun tak bisa membendung air matanya.
Shiro terkejut melihat Chihaya yang tiba-tiba menangis. Cowok berambut putih itu menaruh mangkuk es krimnya. Ia lalu memeluk gadis itu dan mengelus kepalanya untuk menenangkannya.
Sepuluh menit kemudian, Shiro melepas pelukannya, bersamaan dengan gadis itu yang berhenti menangis.
"Sudah merasa lebih baik?" tanya Shiro. Chihaya mengangguk.
"Terima kasih Shiro. Maaf kalau aku terkesan lemah dan cengeng. Aku tak biasa menangis di depan seseorang,"
"Ah...tidak masalah. Kalau kau sedang ada masalah, cerita saja," kata Shiro. "Kalau kau belum siap untuk bercerita, tak usah memaksakan diri...tapi kalau kau sudah siap...datang saja padaku,"
Chihaya termangu.
"Ah, kalau curhat melalui chat atau telepon juga tidak masalah," tambah Shiro. "Kamu bisa curhat kapan saja, aku punya banyak waktu,"
Untuk sesaat Chihaya terpana. Di luar dugaan, ternyata Shiro adalah seorang yang sabar dan pendengar yang baik.
Shiro berhasil membuat sebagian beban di pundaknya terangkat.
"Terima kasih untuk hari ini,"
Malam itu Shiro dan Chihaya berpisah. Arah rumah mereka berlawanan. Shiro memandang punggung Shiro yang menjauh.
Tanpa sadar, Chihaya mulai merasa nyaman dengan pemuda berambut putih itu.
****