Mamoru mengantar Chihaya ke rumahnya. Sesampainya di rumah keluarga Hamada, Chihaya dan Mamoru melihat rumah itu tampak ramai. Kedua orangtua Chihaya tampak sedang mengobrol dengan satu keluarga. Saat Chihaya dan Mamoru mendekat, mereka sangat terkejut.
"Lho, Mamoru?" Tamu wanita itu terkejut melihat Mamoru. "Kamu baru pulang,Nak?"
Chihaya heran mendengar wanita itu memanggil Mamoru. Sementara kedua orangtua Chihaya tampak terkejut saat melihat Chihaya yang pulang bersama Mamoru.
"Dia Mamoru?" tanya Amaya, ibu Chihaya.
"Iya, dia putraku,"
Ternyata tamu yang berkunjung ke rumah Chihaya adalah Bibi Denisa, ibu kandung Mamoru.
Kedua orangtua Chihaya lantas menyambut Mamoru dengan haru. Sudah lama mereka tak bertemu dengan Mamoru, dan kini melihat bocah kecil yang dulu selalu bermain bersama putri mereka sudah tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Mereka juga tak menyangka Chihaya kini satu sekolah dengan Mamoru.
"Lama tidak bertemu, tak kusangka dia sudah sebesar ini," kata Dokter Shintaro, ayah Chihaya begitu melihat Mamoru.
Mamoru tersenyum sambil memberi salam kepada kedua orangtua Chihaya. "Lama tidak bertemu, Paman,Bibi,"
"Ya ampun, aku tidak menyangka anak kamu jadi setampan ini, Nis," puji Amaya. Sementara itu Chihaya juga memberi salam pada Bibi Denisa dan suaminya.
Malam itu, Amaya memasakkan makanan spesial untuk menjamu Mamoru dan kedua orangtuanya. Tak hanya Bibi Denisa, ada juga kedua kakak kandung Mamoru, serta ayah dan adik sambungnya. Malam itu, keluarga Hamada dan keluarga Azai makan malam bersama untuk merayakan reuni mereka setelah sekian lama tak bertemu.
Chihaya juga bertemu kembali dengan dengan kedua kakak Mamoru. Kakak perempuan Mamoru bernama Haruko, sementara kakak laki-lakinya bernama Haruki. Haruko bertubuh mungil, rambut hitamnya dipotong model pixie dengan ujung runcing. Wajahnya mengingatkan Chihaya pada Okada Nana, mantan anggota AKB48. Sementara Haruki bertubuh tinggi dan berwajah mirip dengan Haruko. Haruko dan Haruki merupakan saudara kembar. Usia mereka tiga tahun lebih tua dari Mamoru. Saat ini keduanya berkuliah sambil bekerja paruh waktu.
Mamoru juga mengenalkan Chihaya dengan adik sambungnya.
"Namaku Tata. Salam kenal," Seorang anak laki-laki dengan tinggi 170 sentimeter dan sebaya dengan Chihaya memperkenalkan diri. Ia memakai kemeja kotak-kotak berwarna biru, dan rambutnya dicat merah. Senyumnya manis, Chihaya sempat tak berkedip saat memandangnya.
"Ah, salam kenal," balas Chihaya ramah.
Setelah makan malam, ibu Chihaya mengobrol dengan bibi Denisa, sementara dokter Shintaro mengobrol dengan Paman Utara, suami Bibi Denisa di teras.
Dari cerita Bibi Denisa, diketahui bahwa kakek Mamoru meninggal saat Mamoru duduk di kelas enam SD. Bibi Denisa bercerai dengan Minoru Azai --ayah kandung Mamoru yang berkewarganegaraan Jepang-- saat Mamoru duduk di bangku SMP. Setelah itu beliau menikah dengan Paman Utara, pria keturunan Indonesia yang menjadi suaminya saat ini. Beliau seorang duda yang memiliki anak laki-laki dari istri pertamanya yang sudah meninggal dunia, yang tak lain dan tak bukan adalah Tata.
Setelah makan, Chihaya membawakan Azami ke hadapan Mamoru dan Haruko. Mereka tampak senang melihat boneka yang dulu mereka berikan sebagai hadiah ulang tahunnya masih tersimpan.
Haruko bercerita pada Chihaya kalau dulu Mamoru membeli boneka itu bersama kakek dan kakak perempuannya di sebuah toko boneka. Haruko yang membantu memilihkan boneka itu, sementara kakeknya membantunya membungkus boneka itu menjadi kado.
Hal yang lebih mengejutkan bagi Chihaya dan kedua orangtuanya, Mamoru dan keluarganya kini tinggal di cluster yang sama. Rumah keluarga Azai hanya terpaut satu blok dari rumah keluarga Hamada.
"Senangnya, kita jadi tetangga lagi, walau beda blok," ucap Mamoru. "Kapan-kapan, kamu boleh ke rumahku juga,"
"Ya, Senpai,"
Maka, setelah mereka selesai bertamu, Chihaya berjalan kaki mengantarkan Mamoru hingga ke jalan yang merupakan perbatasan antara blok tempat tinggalnya dengan blok dimana Mamoru tinggal. Bibi Denisa dan suaminya sudah pulang terlebih dahulu, sementara Mamoru sengaja tinggal disana untuk mengobrol dengan Chihaya lebih lama.
Sepanjang jalan mereka mengobrol.
"Kemarin Ouka-senpai menceritakan beberapa hal tentang Mamoru-senpai. Dia bilang, kalian sekelas waktu kelas sepuluh," tutur Chihaya.
"Iya, benar. Tapi waktu kenaikan kelas aku dan dia sempat berpisah. Dia masuk kelas IPA, aku masuk kelas Bahasa," jawab Mamoru.
"Kenapa tidak masuk IPA atau IPS?" tanya Chihaya.
"Aku lebih berminat belajar bahasa," jawab Mamoru. Chihaya manggut-manggut, lalu bertanya lagi,
"Mamoru-senpai pernah suka pada Ouka-senpai? Atau kakak kelas perempuan lainnya di Klub Kurotake?"
Pemuda berambut ikal hitam itu menggeleng sambil berkata, "Tidak pernah. Hubunganku dengan Ouka sebatas teman dekat saja. Begitu juga dengan Izumi, Akemi, Nozomi... Ouka sering curhat padaku tentang masalahnya. Aku juga dulu selalu bertanya tentang pelajaran padanya,"
Chihaya kembali teringat pada Izumi yang ternyata menyimpan perasaan sepihak pada Mamoru. Sementara Mamoru kemudian bercerita lebih banyak tentang Ouka pada Chihaya.
Ouka adalah teman perempuan pertama Mamoru di SMA Sakura. Ia mungkin satu-satunya perempuan yang melihat Mamoru sebagai sahabat, tanpa pernah melibatkan perasaan. Dulu, Ouka sering curhat pada Mamoru tentang keluarganya yang berantakan. Orangtuanya bercerai saat ia masih kecil. Ayahnya menikah lagi dan diketahui sudah memiliki anak dari istri barunya. Sementara ibunya melarikan diri, meninggalkan Ouka begitu saja. Ouka sampai sekarang tidak tahu kemana ibunya pergi. Ia kemudian dibawa untuk tinggal bersama bibi dan pamannya.
Saat SMP Ouka sempat mengalami depresi. Saat itu, ia merasa kalau ia lebih baik mati saja karena merasa bahwa ia adalah penyebab orangtuanya bercerai.
Ouka mencoba berbagai cara untuk bunuh diri, mulai dari menusuk diri sendiri dengan cutter, meminum pencuci pakaian hingga pembersih lantai, hingga yang paling ekstrim, mencoba melompat dari atap sekolah. Saat akan melakukan hal nekat itu, Ouka selalu berhasil diselamatkan oleh paman, bibi, dan juga teman SMP nya. Bibinya yang kebetulan bekerja sebagai psikiater memberinya pengobatan, juga memotivasi dan memberi semangat pada Ouka untuk tidak menyerah dan menyia-nyiakan hidup karena masih ada hal baik dari kehidupan serta masih ada orang yang menyayanginya. Atas dorongan dari bibinya itu Ouka akhirnya bisa melewati fase depresinya dan berubah. Saat kelas 9 SMP, ia belajar dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya dia berhasil diterima di SMA Sakura.
Chihaya menahan napas mendengarnya. Chihaya benar-benar tak tahu kalau Ouka ternyata memiliki masa lalu yang menyedihkan.
"...aku bersyukur dia berhasil sembuh berkat bibinya. Dan selama dia bergabung di klub Kurotake, kuperhatikan ia jauh terlihat lebih baik saat berkumpul bersamaku dan juga yang lain. Tapi terkadang ia masih selalu curhat padaku.Pernah juga, suatu ketika ayahnya mendatanginya setiap pulang sekolah untuk mengajaknya makan dan memberinya uang. Ayahnya pernah menawarkan pada Ouka untuk tinggal bersamanya. Tapi Ouka menolak. Berkali-kali ayahnya membujuknya, tapi Ouka tetap tidak mau. Ouka akhirnya menceritakan masalah itu pada bibinya. Bibi dan pamannya pun mendatangi ayahnya. Mereka memintanya untuk tidak menemui Ouka lagi karena Ouka sudah banyak menderita karena sikap ayahnya yang tidak bertanggung jawab dan tidak pernah ada untuknya,"
"Aku jadi kasihan pada Ouka-senpai," kata Chihaya.
"Jangan terlalu memikirkannya. Dia sudah bahagia sejak tinggal bersama paman dan bibinya," ujar Mamoru.
"Syukurlah kalau begitu," komentar Chihaya.
"Oh ya, Haya-chan," panggil Mamoru. Chihaya menoleh.
"Apa kau...punya orang yang kau suka di sekolah?"
"Eh? Orang yang aku sukai?" ulang gadis berkacamata itu.
"Iya,orang yang disukai. Lawan jenis maksudku," jelas Mamoru.
Chihaya menggeleng. "...Sejauh ini kurasa belum." Ia menatap Mamoru dan tersenyum.
"Aku kan, masih murid baru di SMA Sakura. Aku belum menemukan seseorang yang menarik perhatianku. Sampai sekarang aku juga belum pernah merasakan suka pada seseorang. Senpai sendiri bagaimana?"
Mamoru tampak menerawang."Sebenarnya... dulu ada...tapi sayangnya ia lebih memilih untuk bersama orang lain."
"Eh? Apa dia sekolah di SMA Sakura juga?"
Mamoru menggeleng.
"Waktu SMP, aku sempat suka pada gadis yang sekelas denganku. Namanya Minami. Tapi...perasaanku tidak berbalas. Begitu juga dengan Nika,"
Chihaya terbeliak mendengar cerita Mamoru.
"Aku tidak menyangka orang seperti Mamoru-senpai pernah ditolak oleh seorang gadis,"
Mamoru memiringkan kepala, bingung mendengar ucapan Chihaya. "Maksudmu?"
"Maksudku...padahal Mamoru-senpai orang yang lumayan populer di sekolah,"
"Sebenarnya itu salah satu hal yang menyebalkan untukku, sih," keluh Mamoru. "Tidak selamanya orang suka menjadi populer, Haya-chan. Termasuk aku. Yah...sebenarnya aku merasa canggung saat awal masuk ke SMA Sakura. Maksudku, bagaimana tidak, aku yang awalnya terbiasa dengan kehidupan sekolah khusus laki-laki, tiba-tiba masuk ke sekolah umum dimana murid lelaki dan perempuan berbaur satu sama lain,"
Chihaya mengangguk paham.
"Aku merasa canggung, bahkan ketika berinteraksi dengan murid perempuan. Mereka selalu bersikap ramah, mencoba mendekatiku, meminta bantuanku, bersikap sok perhatian padaku. Setiap kali pergi ke mana pun, aku selalu dikuntit. Bahkan, beberapa dari mereka mencegatku saat pulang sekolah hanya untuk mengatakan suka padaku," Mamoru menghela napas.
Dari ekspresinya jelas ia tak suka saat mengingat hal tersebut, bahkan menceritakannya.
"Serius, Senpai?" tanya Chihaya tak percaya.
"Ya,"
Chihaya tercengang mendengar cerita Mamoru. "Mau bagaimana lagi, wajah Mamoru-senpai menarik,sih,"
Mamoru terpana sesaat. Ia yang tak suka dipuji entah kenapa malah senang mendengar Chihaya memujinya. Namun Mamoru memilih menyembunyikan perasaannya, dan melanjutkan ceritanya.
"Mungkin itu salah satu faktornya. Sejak dulu, saat aku masuk ke sekolah SMP khusus laki-laki di Jepang, tetap saja banyak gadis dari sekolah sebelah yang naksir padaku. Namun saat di SMA Sakura, aku tidak menduga kalau gadis-gadis di sini juga lumayan agresif. Lama-lama aku merasa risih ketika berada dekat dengan murid perempuan. Aku berpikir gadis-gadis itu tertarik karena melihat wajahku saja. Mereka menyalahartikan perhatian dan bantuan yang kuberikan pada mereka. Padahal aku tak punya niat lebih. Kebanyakan dari mereka hanya ingin memanfaatkanku,"
"Itukah alasan Senpai menolak semua cewek di SMA Sakura?"
Mamoru mengangguk. "Pengalaman ditolak dan takut dimanfaatkan membuatku tak tertarik untuk menjalin hubungan dan berpacaran dengan siapapun. Aku memilih fokus belajar dan fokus di kegiatan organisasi sekolah,"
Chihaya manggut-manggut. Ia dapat membayangkan hal-hal yang dialami Mamoru dan memahami perasaan lelaki itu.
"Ngomong-ngomong...apa yang Senpai suka dari Minami dan Nika?" tanya Chihaya yang penasaran.
"Aku dulu suka Minami karena...apa ya? Dia pintar dan populer di sekolah. Aku tertarik padanya. Tapi aku tak sempat mengutarakan perasaanku. Ada temanku yang juga menyukai Minami, dia melakukan banyak hal untuk menarik perhatian gadis itu. Aku pun sadar kalau perasaan yang ia rasakan untuk Minami jauh lebih besar daripada perasaanku. Karena itu aku mundur, pada akhirnya tak pernah menyatakan perasaanku padanya. Kalau Nika, kebetulan dia dulu tinggal di dekat asrama sekolahku. Sifatnya dewasa, juga manis. Aku mencoba mengajaknya jalan-jalan. Ketika aku memberitahu perasaanku, dia menolakku. Dia bilang kalau dia sudah punya orang lain yang dia suka,"
"Ditolak rasanya menyakitkan,ya." komentar Chihaya.
Mamoru mengangguk. "Tapi setelah Kouji-senpai memilihku untuk menggantikan dia sebagai Ketua Klub Kurotake, aku bisa melupakan sakit hatiku. Ya, aku sadar terkadang perasaan bisa membuatmu melupakan hal yang lebih penting,"
Obrolan berakhir ketika mereka berdua berpisah di persimpangan jalan. Mamoru berpamitan pada Chihaya, lalu berjalan meninggalkan Chihaya. Setelah punggung Mamoru terlihat menjauh, Chihaya pun berbalik, berjalan kembali menuju rumahnya.
****