Di lapangan basket, nampak para anggota Black Spider tengah berlatih keras di tengah teriknya panas matahari pagi, ini semua harus mereka lakukan agar bisa tampil maksimal pada ajang turnamen basket esok hari.
"Genandra," panggil Pak pelatih.
"Iya Pak?" balas Genandra menghadap, rambut laki-laki itu basah karena keringat, begitupun juga dengan pakaian yang ia kenakan.
"Saya senang kamu bisa berlatih baik lagi sama seperti sebelumnya, semoga perfoma kamu semakin meningkat sampai hari H besok," senang Pak pelatih, karena beberapa hari yang lalu sempat dibuat khawatir dengan cara bermain Genandra yang tidak sebagus biasanya.
"Baik Pak, saya akan berusaha," balas Genandra.
"Kalau boleh saya tahu, apa kemarin kamu sedang ada masalah? Bukannya saya mau ikut campur dalam masalah pribadi kamu, hanya saja, saya juga merasa khawatir sebagai pelatih," tanya Pak pelatih. "Mungkin kalau iya, kamu bisa cerita, siapa tahu saya bisa bantu."
"Ah tidak kok Pak, Bapak tidak perlu repot-repot, kemarin saya cuman merasa kurang sehat saja, selebihnya tidak ada apa-apa," balas Genandra lebih memilih tertutup, daripada menceritakan masalahnya kepada laki-laki tersebut.
Memang benar, hari-hari kemarin performa permainan Genandra menurun, bahkan cukup drastis sampai membuat semua orang khawatir. Ini semua karena pikiran Genandra yang selalu saja dipenuhi oleh rasa bersalahnya kepada Akira, dan waktu itu juga tidak ada seorangpun yang mau mendengarkan keluh kesahnya.
Tapi sekarang, dia dapat bermain seperti biasanya. Sedikit demi sedikit dia mulai mendapatkan bukti-bukti yang semakin memperkuat dugaannya kepada Bella, serta keberadaan sang Ayah yang mau mendukung rencananya tersebut. Peran Tuan Rio seolah-olah membawa dampak besar dalam diri laki-laki tersebut.
"Kalian semua boleh istirahat dulu ya! Latihannya sudah cukup sampai di sini, nanti kita lanjut lagi," seru Pak pelatih kepada seluruh anggota Black Spider.
Untuk beristirahat, Genandra bersama kedua temannya yakni Anggasta dan Javas, memilih untuk duduk-duduk santai di tribun penonton yang setengah mengelilingi area lapangan.
Hingga tak lama kemudian, Bella datang ke arah mereka seraya membawa kotak bekal yang rencananya ingin ia berikan kepada Genandra.
"Hadeh, nenek lampir datang bro," bisik Javas dan dibalas tawa oleh Anggasta, sedangkan Genandra hanya diam saja dengan ekspresi dinginnya.
"Halo Genan, aku bawakan bekal spesial nih buat kamu," ucap Bella yang sudah berdiri di hadapan laki-laki tersebut, senyuman lebar terlukis indah pada bibir Bella, dia selalu berusaha menunjukkan yang terbaik di depan anak itu. "Aku masakin sendiri lho, hebat kan?" sambung Bella berharap mendapatkan sanjungan dari Genandra, namun hanya wajah datar yang ia dapat.
"Hm thanks, taruh aja di sana, entar gue makan, gue masih kenyang," balas Genandra ketus, daripada memandang wajah Bella, bagi Genandra, rumput-rumput liar yang tumbuh di tepi lapangan basket jauh lebih menarik.
"Oke, janji dimakan ya," ujar Bella menuruti perkataan Genandra, dia menaruh kotak bekal tersebut di dekat laki-laki itu. Anggasta dan Javas tersenyum miring, baru kali ini ia bertemu dengan perempuan yang tahan dengan sikap dingin temannya. Apakah dipikirannya tidak pernah terlintas, kalau daripada suka, Genandra lebih memilih acuh dan tidak perduli.
"HALO BEB!" teriak Zizy dari kejauhan sembari berlari ke arah mereka, senyuman lebar langsung merekah sempurna di bibir Anggasta.
"HALO JUGA AYANG!" balas Anggasta bersemangat, menyaksikan manusia yang ia cintai datang, dan berdiri di hadapannya sekarang.
"Hadeh, pasangan sesat nambah satu lagi," batin Javas menopang kepalanya dengan tangan. Kalau dilihat-lihat, di antara mereka bertiga cuman Javas lah yang belum mendapatkan pasangan.
Kira-kira kenapa ya? Apa tidak ada satupun perempuan yang tertarik kepada putra anak tunggal kaya raya itu? Jawabannya tidak, kalau mau tahu, bahkan loker anak itu tidak pernah kosong dari surat cinta. Ketampanan Javas juga sebelas dua belas dengan Genandra.
Hanya saja, Javas memiliki Ayah yang begitu penurut kepada Ibunya yang cerewet. Di rumahnya, dia selalu melihat Ayahnya yang diberi wejangan kehidupan oleh sang Ibu. Ayah Javas sama sekali tidak memiliki keberanian untuk melawan, suami takut istri, lebih tepatnya.
Javas tidak dapat membayangkan bagaimana kalau nanti ia juga mendapatkan jodoh yang sama cerewetnya seperti Ibunya, satu aja ribet, apalagi kalau sampai di combo, makin ribet!
"Gue masakin makanan spesial lho buat lo," ujar Zizy menyodorkan sekotak bekal makanan tersebut kepada Anggasta, dengan senang hati ia pun menerimanya.
"Wah thanks banget, pasti langsung gue habisin," balas Anggasta, lalu menoleh disertai senyum meledek ke arah Javas.
Javas yang menyadari akan senyuman mematikan itu, mengerutkan keningnya bingung. "Kenapa bibir lo? Keseleo?" balas Javas pedas.
"Dapat bekal dari ayang bro, punya lo mana," ujar Anggasta menyindir.
"Emak gue pinter masak, buat apa gue harus ngerepotin orang lain," balas Javas.
"Udahlah Vas, ngaku aja mah kalau lo iri, hati lo panas kan sekarang? Tahu gue mah."
"Lo ngomong sekali lagi gue getok pakai pagar sekolah, benjol kelamaan, meninggal aja sekalian," sebal Javas.
"Waduh serem amat Mas," takut Anggasta lebih sayang nyawa, daripada harus melanjutkan candaannya kepada Javas. Javas itu terkenal bicara sesuai kenyataan, jadi Anggasta khawatir kalau anak itu akan benar-benar melakukannya.
"Eh, bekalnya kok ada dua? Satunya buat siapa?" tanya Anggasta mendapati ada satu bekal lagi yang Zizy pegang.
"Owh ini," balas Zizy sembari mengangkat kotak bekal tersebut setinggi dada, dan memberikannya kepada Genandra.
"Kenapa dikasih ke gue?" tanya Genandra bingung, dengan kotak bekal yang telah ia pegang.
"Iya bener! Ngapain lo kasih bekal makanan lagi ke Genan, gue udah masakin sendiri buat dia kok, lo boleh bawa barang itu balik," sela Bella.
Mendengar jawaban seperti itu, rasanya ingin sekali Zizy mencakar-cakar wajah perempuan itu. "Ehem, mana bekal makanan lo?" tanya Zizy.
"Ini," balas Bella menunjukkan kotak bekal makannya yang terletak di sebelah tubuh Genandra, dengan segera Zizy pun mengambilnya.
"Oke Gen, sekarang gue mau lo pilih," ucap Zizy memperlihatkan dua buah kotak bekal kepada Genandra, laki-laki itu semakin bingung dibuatnya.
"Pilih?" ulang Genandra tidak mengerti.
"Iya pilih," jelas Zizy.
"Buat apa gue harus pilih, bekal ini kan punya Anggasta," balas Genandra sembari menunjuk ke arah kotak bekal berwarna biru tua itu.
Zizy menggeleng cepat, "bukan, itu bukan punya Anggasta, itu punya lo."
"Punya gue?"
"Iya, Akira yang masakin buat lo, sayang aja dia nggak bisa ikut datang ke sini sekarang karena urusan OSIS," jawab Zizy membuat iris mata Genandra membesar, degup jantungnya berdetak kencang. Tanpa pikir panjang, Genandra langsung mengambil kotak bekal biru tua tersebut.
Mereka semua terkejut, terutama Bella. Secepat itu pikirannya berubah setelah mendengar nama Akira. "Thanks ya," senyum Genandra merasa bahagia, dan melipir pergi sebentar untuk menikmati bekal makanan tersebut.
Bella menatap kecewa bercampur geram, ketika kotak bekal miliknya ditolak mentah-mentah. "Dasar sialan," batinnya mengeraskan rahang, dia pikir sudah berhasil menyingkirkan Akira sepenuhnya dari kehidupan laki-laki itu.
"Aduh, kasihan bekalnya yang ditolak," sindir Zizy tersenyum sinis. "Lo yang cuman orang baru, nggak akan pernah bisa menggantikan posisi Akira di hati Genandra. Bahkan disaat seperti ini pun, Genandra masih lebih memilih temen gue daripada lo," sambung Zizy.
"Ah! Awas aja lo ya!" emosi Bella lalu berbalik badan, meninggalkan lapangan basket dengan hentakan kaki kesal di sepanjang jalan.