Di dalam ruang UKS.
"Akira! Akhirnya lo sadar," heboh Zizy ketika melihat gadis itu membuka matanya, orang-orang yang juga berada di sana pun ikut merasa senang.
"Zy, gue ada di UKS ya?" ujar Akira mencoba untuk duduk dan langsung dibantu oleh perempuan tersebut. Zizy meletakkan bantal di belakang punggung Akira sebagai sandaran.
"Thanks ya Zy," ucapnya, dibalas senyuman oleh Zizy.
"Akhirnya lo sadar, gimana keadaan lo?" dahi Akira berkerut ketika mendengar suara berat tersebut, memutar kepalanya sembilan puluh derajat untuk melihat ke arah sumber suara.
"Akira, apa lo baik-baik aja?" tanya Genandra khawatir, dengan tatapan dingin yang Akira berikan kepada dirinya saat ini.
"Buat apa lo ke sini?" dingin Akira sekilas dapat melihat bola mata Genandra bergetar karenanya. Xavier yang juga kebetulan berdiri di dekat lemari obat, tersenyum smirk. Ini pemandangan yang menarik dan jarang terjadi.
"Ra, Genandra yang sudah tolongin lo tadi," sahut Zizy, dia tahu kalau Akira memang tengah memiliki masalah dengan Genandra. Tapi jarang-jarang dia langsung berani bersikap dingin seperti ini.
"Tentu saja karena gue khawatir sama keadaan lo Ra," balas Genandra berjalan beberapa langkah, dan hendak meraih lengan Akira. Namun seketika langsung dijauhkan oleh perempuan tersebut, tatapan kebencian di matanya itu membuat hati Genandra sakit.
"Lo boleh keluar sekarang, nggak seharusnya lo khawatirkan gue, gue bisa jaga diri gue sendiri," ucapnya tanpa memandang wajah Genandra.
Tangan Akira mengepal kuat-kuat, dia merasa kasihan menatap ekspresi kecewa Genandra sekarang. Tapi sekarang posisi dia juga sebagai korban, dan Genandra adalah pelaku kejahatan yang sebenarnya.
Kebencian semakin terbakar kuat dalam jiwanya, ketika Genandra menunjukkan semua sikap pedulinya itu, Akira merasa seperti dimainkan layaknya boneka. Laki-laki itu hanya datang ketika dirinya terluka, dan pergi begitu saja sebelum luka itu sembuh sepenuhnya.
Simpanan? Jika disamakan dengan cerita romansa kerajaan, Akira bak gadis pelayan tak bermarga yang sangat dicintai oleh Pangeran. Sedangkan Bella, adalah jodoh yang memang ditakdirkan untuk nya.
Bella bisa menjadi ratu, dan selamanya Akira akan tetap menjadi simpanan yang seiring berjalannya waktu pasti dilupakan.
"Bella, pasti cari lo sekarang," lirih Akira meremas erat seprei ranjang UKS, giginya menggigit bibir bagian dalam untuk menahan sakit.
"Buat apa gue harus peduli sama dia?" balas Genandra muak, harus selalu mendengar nama Bella terus-menerus berdengung di telinganya.
Akira tertawa sinis, "haha, lo itu lucu Gen, akting lo bagus banget ya, belajar darimana?" tawa Akira seraya memegang kening, sangking lelahnya bahkan Akira tidak mampu meneteskan air mata. Tawanya sudah cukup menggambarkan seberapa hancur dirinya sekarang, daripada pahlawan, Genandra lebih mirip komedian di hadapan Akira.
"Bella itu bukan sepupu lo, melainkan calon tunangan lo, gue bener kan... Genandra?" ucap Akira bagaikan kilatan petir memecahkan isi kepala laki-laki itu, tubuh Genandra mematung dengan mulut setengah terbuka. Ia dibuat tak percaya dengan pernyataan Akira barusan.
"Apa dimata lo gue selucu itu Gen? Benar, gue cuman perempuan penyakitan yang sebentar lagi akan mati, jadi apa gunanya gue bahagia," sambung Akira, nada dingin itu perlahan luruh menjadi tak berdaya.
Mulut Akira kembali terbuka pada saat mendapati tangan Genandra terangkat, "jangan sentuh gue Gen," peringat Akira dengan kepala tertunduk. "Gue mohon jangan lakukan apapun."
"Ra, gue bisa jelasin semuanya, memang benar kalau gue dan Bella dijodohkan, tapi itu bukan atas kemauan gue sendiri. Ini semua karena-"
"Gue minta lo keluar," lirih Akira memotong penjelasan Genandra.
"Ra, gue mohon beri gue waktu untuk menjelaskan semuanya," pinta Genandra.
"Apa lo nggak dengar apa yang gue katakan barusan, gue minta lo keluar!" titah Akira sekali lagi kini dengan nada suara cukup tinggi.
Akira berusaha menghindari kontak mata dari laki-laki tersebut, Akira tidak mau terlihat lemah di hadapan Genandra. Apalagi sekarang bola matanya sedang berkaca-kaca, dengan sekuat tenaga ia menahannya, tak mau membiarkan air mata itu tumpah.
"Harus dengan cara apa, supaya lo mau menuruti kemauan gue Genan? Apa lo mau gue mengatakannya dengan lebih terhormat, seperti seorang pelayan kepada rajanya?" pungkas Akira mengakhiri ucapannya dengan senyuman getir.
Ini berbeda, dan Genandra tak pernah menyangka nya. Biasanya, dialah yang selalu menjadi alasan utama untuk mengukir senyuman bahagia di bibir Akira. Sekarang pun sama, namun bukan senyuman manis yang gadis itu berikan, melainkan kehancuran, dan pencipta maha karya terburuk itu adalah dirinya sendiri.
"Kalau lo memang sayang sama dia, lebih baik lo turuti kemauan Akira," ucap Zizy.
Genandra membuang napas berat, sorot matanya menatap penuh harap kepada Akira, menunggu kalau saja ada sesuatu yang ingin gadis itu katakan. Selama sepuluh detik Genandra menunggu, namun Akira masih saja diam dengan raut wajah kecewa.
Sekilas ia melihat linang air mata mengalir melewati pipi Akira, apakah dia penyebab jatuhnya sebulir air mata itu? Iya, Genandra berpikir begitu.
"Kalau begitu gue pamit dulu," pamit Genandra tak memiliki pilihan lain selain pergi meninggalkan ruangan UKS. Xavier tersenyum puas, akhirnya momen ini terjadi juga, dia punya kesempatan besar untuk mendapatkan Akira.