Siswi dengan nomor absen sepuluh diminta untuk segera bersiap di atas starting block. Sekarang adalah waktunya Akira, Joy, dan Bella untuk melaksanakan ujian praktek renang. Pak Gito memberikan aba-aba, lalu meniupkan peluitnya sebagai tanda kalau ujian sudah dimulai.
Tubuh ketiga perempuan itu secara bersamaan terjun ke dalam kolam, sejauh ini semuanya masih berjalan lancar. Akira dapat menggerakkan tubuhnya dengan baik, sampai....
Deg!
Tiba-tiba saja ia kehilangan keseimbangan, tubuh Akira tidak lagi terkontrol dan bergerak secara acak, darah panas mengalir sampai ke otak, setengah badannya terasa begitu berat seperti ada yang menarik sampai ke dasar kolam. Leher Akira tercekik, sangat sulit untuk bernapas.
"Tolong!" teriak Akira kesulitan, lagi-lagi hal ini terulang kembali. Kenapa dia begitu lemah, kapan dia bisa berhenti menyusahkan orang lain?
Tangan kekar itu, tangan yang sama yang pernah ia lihat waktu itu. Sebuah tangan yang selalu ada untuk membantu dirinya, perlahan mulai mendekat untuk meraih tubuh Akira.
********
"Tunggu, lagi-lagi mimpi ini," ucap Akira yang sudah berada dalam ruangan serba putih, sama persis seperti mimpi-mimpi dia yang sebelumnya. Ia memutar tubuhnya untuk melihat sekeliling, ada yang aneh di sini. Kemana perempuan yang suka memakan daging saudaranya sendiri itu?
"Apa kau mencari ku?" pundak Akira gemetar, sontak ia langsung berbalik badan. Perempuan mengenakan seragam putih abu-abu, berambut putih sekilau pirak, serta sebuah ciri khas yang tak pernah hilang dari dirinya, segelimang darah.
"Aku kira kau sudah mati," ujar Akira sedikit merasa takut, ketika mulut dipenuhi darah itu menyeringai.
"Aku bagian dari jiwa mu Akira, bagaimana aku bisa mati?" balasnya sembari mengelap sisa-sisa darah pada pipinya, lalu menjilatinya seperti krim es krim yang lezat. "Darah saudariku memang enak, apa kau juga pernah mencobanya Akira?"
"Hanya orang gila yang mau memakan daging saudaranya sendiri," balas Akira tajam. Manik matanya menusuk dalam, sudah dari lama ia ingin mengatakan hal ini kepada perempuan itu.
"Hahahaha," tawanya terbahak-bahak. "Kau sangat naif Akira, aku adalah bagian dari jiwamu, tentu saja aku adalah dirimu," ucapnya diakhiri dengan senyuman sinis.
"Kita tidak sama! Jangan coba-coba samakan antara aku dan kau?! Aku bukan pembunuh!" marah Akira dan melihat anak itu mengambil beberapa langkah untuk mendekat kepadanya.
"Apa kau tahu jika saudarimu Rosalina selama ini selalu berusaha untuk membunuh mu? Dalam keadaan tertidur, dia kerap kali datang untuk menjadi malaikat maut mu," ucapnya dengan jarak mereka yang cukup dekat.
"Akui saja kalau kau juga menyadari akan hal itu." Dia tersenyum ketika ujung jarinya menyentuh dagu Akira, namun dengan cepat Akira langsung menghindar. "Miris sekali, tidak ada orang yang menyayangimu dengan tulus di dunia ini Akira, bahkan kekasihmu sendiri juga melanggarnya kan?"
"Kalau kau mau, aku bisa membantumu, biarkan aku mengambil alih pikiran mu Akira. Aku berjanji, semua dendam mu akan terbalaskan," godanya seraya berjalan memutari Akira.
"Aku tidak punya dendam kepada siapapun, jangan membuat ku membenci orang-orang yang ku sayangi," ucap Akira berusaha agar tidak mudah terpengaruh.
"Apa kau yakin? Hati mu sangat kotor Akira, kau hanya perlu menerima perasaan itu, lalu biarkan aku mengurus sisanya."
"Selama ini kau selalu saja ditindas, Rosalina sebagai Adik harusnya memperlakukan mu dengan hormat bukan? Orang tua mu juga sibuk bekerja, mereka hanya kasihan kalau melihat mu tidur di ranjang seperti orang mau ma*ti kapan saja," ujar perempuan tersebut berusaha untuk memprovokasi pikiran Akira dengan semua fakta yang memang selama ini dia rasakan.
"Genandra, laki-laki yang kau sebut-sebut sebagai pangeran, sekarang dijodohkan bersama perempuan lain yang sesuai dengan kriteria keluarganya. Terutama Nyonya Saras."
"Hentikan!" bentak Akira seraya menutup telinganya rapat-rapat.
Senyum kemenangan semakin terukir jelas di sana, "kenapa Akira? Apa kau takut untuk mendengar semua fakta menyakitkan ini, pada akhirnya dia pasti akan meninggalkan mu, secepat kau meninggalkan dunia ini karena penyakit mu itu," langkahnya kembali mendekat ke arah Akira.
"Hanya aku yang bisa memahami mu di sini, semua orang itu jahat Akira, tidak ada gunanya percaya pada manusia." Kepala Akira terus menunduk ke bawah, telapak tangannya masih menutup rapat kedua telinganya. Dia berusaha mempertimbangkan semua yang perempuan itu katakan barusan.
"Itu memang benar," lirih Akira perlahan mengangkat kembali kepalanya.
"Ya, benar anak manis, kau harus percaya padaku sekarang," balasnya merasa senang, dengan respon Akira yang nampak seperti orang putus asa.
Ugh!
"Tapi sayangnya, jika bangkai saudarimu sendiri menjadi makanan favorit mu, lalu bagaimana dengan jiwaku? Menghancurkannya hingga butiran debu?!" tajam Akira seraya mencekik kuat leher perempuan tersebut.
"Aku.... pastikan, kau.... akan menyesali perbuatan mu ini Akira," balasnya kesulitan, sebab tangan Akira yang terlalu kencang menjerat lehernya.
"Hm, aku tidak akan pernah menyesali keputusan ku sendiri," dinginnya lalu menghempaskan tubuh lemas itu begitu saja, hingga terjatuh terlentang di atas tanah.