"Ada waktunya, kapan si pemeran utama akan berubah menjadi figuran tak berharga."
********
Rosalina diminta untuk menjaga Kakaknya sebentar, menunggu sampai Nyonya Nala dan Tuan Alan yang memutuskan pulang ke rumah, membawa beberapa barang yang dibutuhkan, selama Akira masih di rawat di rumah sakit.
Sudah satu jam lebih, gadis berambut blonde itu belum juga membuka mata. Dia nampak tenang, seperti sedang menikmati alam mimpinya. Ruangan terasa sepi, hanya terdengar suara elektrodiograf serta AC ruangan yang menyala.
"Bahkan, disaat lo hanya tidur macam orang ma*ti di sini, orang-orang masih perduli dengan keberadaan lo, Kak," ucap Rosalina geram, seraya meremas erat rok panjangnya, duduk di samping kasur pasien.
"Daripada hidup, gue lebih berharap lo meninggal, dimata gue persaudaraan kita cuman formalitas belaka. Tepat, ketika lo merebut dia dari kehidupan gue Kak," cinta benar-benar sudah menghancurkan segalanya, bahkan hubungan sakral seperti persaudaraan sedarah pun dapat dihanguskan dalam sekejap mata.
"Selama ini, gue selalu berusaha menghabisi nyawa lo, tapi gagal." Rosalina bangkit dari tempat duduknya, manik matanya menatap penuh arti kepada wajah Akira.
"Bagaimana kalau sekarang? Gue yakin pasti berhasil," ujar Rosalina seperti orang tidak waras, kedua tangannya terangkat ke arah leher Akira. Apa yang ingin dia lakukan? Tentu saja mencekik leher Kakaknya sampai ma*ti.
Rosalina semakin tersenyum lebar, ketika telapak tangannya bersentuhan dengan kulit leher Akira. Kurang sedikit lagi tujuannya akan tercapai, "waktu sudah tiba, Akira. Gue tahu takdir memang jahat, tapi Tuhan mengirim gue untuk menjadi malaikat pencabut nyawa lo sekarang," pungkasnya, hendak mengeratkan cengkeramannya pada leher Akira. Hingga....
"Semua barangnya udah lengkap kan Yah? Nggak ada yang ketinggalan?" terdengar suara Nyonya Nala dari luar kamar.
"Sudah kok Ma, sisanya ada di mobil, biar Pak Beno yang bawa ke sini, kamu istirahat aja," balas Tuan Alan.
"Ck sialan, selalu aja sama!" lirih Rosalina kesal, langsung menjauhkan tangannya dari tubuh Akira. Lagi-lagi rencananya gagal dan tak lama kemudian kedua orang dewasa itu memasuki ruangan.
"Rosa, apa Kakak mu sudah siuman?" tanya Nyonya Nala yang baru saja memasuki ruangan, dengan Tuan Alan membantu membukakan pintunya.
"Ah, Mama sudah kembali. Belum Ma, tapi dokter bilang kalau kondisi Kak Akira sudah kembali normal," balas Rosalina mendengar wanita itu membuang napas berat.
"Ya sudah, kalau begitu sekarang kamu pulang, siap-siap berangkat sekolah di antar sama Ayah," ujar Nyonya Nala.
"Aahh libur dulu lah Ma, Kak Akira kak lagi sakit, aku mau jaga Kakak," balas Rosalina, padahal ia sudah senang bisa bolos satu hari dari sekolah.
"Nggak bisa, cukup Mama aja yang jaga Kakak kamu, hari ini ada ulangan harian sejarah kan?"
"Ck, nyesel Rosa kenalin Bu Gea ke Mama," sebal Rosalina karena dulu memberikan nomor telepon Bu Gea kepada Nyonya Nala, oleh sebab itu Nyonya Nala bisa mendapat informasi mengenai sekolahnya Rosalina, dan kebetulan juga sekarang Bu Gea menjadi wali kelasnya.
"Haha, udah nggak usah ngeluh terus, sana berangkat sekolah," balas Nyonya Nala menatap ekspresi lucu Rosalina.
"Tapi walaupun masuk juga udah telat Ma, udah jam berapa sekarang? Kelas pasti sudah mulai."
"Tenang aja, Maman sudah minta izin sama Bu Gea, kamu boleh masuk walau telat."
"Emang ulangannya susah banget ya? Sampai takut gitu masuk sekolah," goda Nyonya Alan.
"Lebih dari susah, sebel! Hapalannya banyak," sebal Rosalina menghentakkan kakinya, berjalan keluar dari dalam ruangan.
"Haah, Rosa Rosa," hela Nyonya Nala geleng-geleng kepala. "Ya udah Yah, cepet anterin gih anaknya, sebelum berubah pikiran lagi dia," titahnya kepada Tuan Alan.
"Oke Mama sayang, nanti minta dibawakan sesuatu nggak sama Ayah?" balas Tuan Alan.
"Nggak ada, sudah sana berangkat, Ayah ada rapat juga kan di perusahaan."
"Iya deh, kalau begitu aku berangkat dulu, kalau Akira sudah bangun jangan lupa beri kabar. Assalamualaikum!" pamit Tuan Alan dan bergegas pergi menyusul Rosalina, yang sudah menunggu di luar.
"Hati-hati ya kalian!" ujar Nyonya Nala.
********
Di SMA Jaya Sakti.
"Tumben gue belum ketemu Akira, apa nggak masuk sekolah ya dia?" penasaran Genandra karena tidak menemukan keberadaan Akira di sekolah, biasanya mereka selalu berjumpa entah itu di koridor atau lapangan basket.
"Apa gue langsung datang ke kelas dia aja ya?" pikirnya dan memutuskan untuk pergi ke kelas Akira, yakni Dua Belas Bahasa Dua. Kebetulan jam pertama sedang kosong, karena para guru tengah melakukan rapat di kantor.
Tidak seperti biasanya, Genandra yang selalu pergi bersama kedua temannya yakni Anggasta dan Javas, sekarang dia memilih untuk pergi ke kelas Akira seorang diri. Dia tahu, kalau mengajak dua anak itu pasti hanya godaan menyebalkan yang selalu dia dapat sepanjang jalan.
Baru juga sampai di koridor sekolah, langkanya dibuat berhenti ketika mendengar seruan seseorang memanggil namanya. Tubuh Genandra berputar malas, hanya sekedar untuk berbalik badan ke arahnya.
Iris matanya menatap tajam, seakan-akan melubangi wajah menyebalkan yang tengah memandangnya sekarang.
"Apa?" dingin Genandra kepada Bella, yang tatapannya malah berbanding terbalik dari laki-laki itu, terpanah dan rasa kagum lah terpancar jelas, melalui kedua matanya.
"Anterin gue ke kantin dong," pinta Bella langsung mendapat tolakan mentah dari Genandra.
"Gak, pergi aja sendiri, jangan manja," balas Genandra mulai muak dengan sikap Bella yang melampaui batas, ia tahu perempuan itu adalah calon tunangan yang dipilihkan oleh orang tuanya, lebih tepatnya Bundanya. Namun Genandra sama sekali tidak memiliki alasan untuk bisa mencintai Bella.
"Kalau gue telepon Bunda lo?" ancam Bella mengeluarkan handphonenya, lagi-lagi ancaman yang sangat Genandra benci.
"Ck, ancaman lo busuk Bel! Apa lo nggak malu sama diri lo sendiri?!" marah Genandra malah mendapat senyuman dari perempuan berambut pendek tersebut.
"Malu? Buat gue malu? Bunda lo sendiri yang minta gue melakukan hal ini, jadi dimana letak kesalahan gue?" balas Bella tanpa rasa bersalah sama sekali. "Udah ya, yuk sekarang anterin gue ke kantin," sambungnya seraya berjalan mendahului laki-laki tersebut.
"Dasar keparat, cepat atau lambat gue harus bisa membatalkan perjodohan ini," batin Genandra mengepalkan tangannya kuat.