Xavier dan Akira berjalan bersama-sama menuju kantor kepala sekolah. Di sepanjang perjalanan, mereka sambil mengobrol ringan untuk mengisi waktu kekosongan.
"Lo nggak lihat pertandingan basket? Bukannya pacar lo lagi tanding sekarang," tanya Xavier.
"Iya sih, cuman urusan OSIS lagi banyak. Lo paham sendiri kan kalau ada event di sekolah, yang lain pada santai kita doang yang sibuk," balas Akira mengeluhkan jabatannya sebagai ketua OSIS.
Padahal, dulu sewaktu masih menjadi anggota sekbid biasa. Akira tidak pernah mengharapkan untuk menduduki posisi sebagai ketua, lalu dikarenakan kinerja dia yang sangat bagus dan memiliki jiwa kepemimpinan yang matang. Itu sebabnya lah dia dipilih sebagai ketua.
"Haha sabar aja, sebentar lagi juga sertijab kok. Gue juga agak nyesel sih ikut OSIS, masa SMA gue harus terbuang sia-sia karena banyaknya event," ujar Xavier dan mendapat sikutan di perut dari Akira. Laki-laki itu meringis seraya memegangi perutnya, tidak, itu sama sekali tidak terasa sakit.
"Gaya lo! Dulu waktu kelas sepuluh nangis-nangis minta jadi OSIS, sekarang pakai ngeluh segala. Lo udah lupa tisu gue lo habisin waktu selesai pencalonan anggota dulu?" sebal Akira jika harus mengingat-ingat lagi peristiwa itu.
"Hahaha iya-iya, lo masih inget aja sih! Gue kira sudah lupa," tawa Xavier menyeka air matanya karena tertawa.
"Tapi gue pikir lebih baik lo gak perlu nonton sih," saran Xavier membuat kepala Akira menoleh, sembari menunjukkan raut wajah bingung.
"Kenapa?" tanya Akira sedikit memiringkan kepalanya.
"Ya karena OSIS lagi sibuk, kita semua nggak bisa apa-apa kalau nggak ada Bu ketua," balas Xavier menepuk-nepuk pundak Akira, perempuan itu hanya bisa tersenyum senang. Dari dulu sampai sekarang, sifat kekanak-kanakannya tidak pernah berubah.
"Hahaha, bisa aja lo," tawa Akira menepuk gemas bahu Xavier.
"Sejujurnya, selain karena OSIS. Gue juga mau lo selalu ada di sisi gue Ra," batin Xavier merasakan kehangatan ketika memandang senyuman indah Akira.
"Seharusnya dulu gue nggak perlu nunda buat ungkapin perasaan gue ke lo, dan sekarang lo sudah jadi pacar Genandra. Tapi.... pacaran itu cuman sebatas status kan, sebelum ke jenjang yang lebih jauh, gue masih punya kesempatan merebut lo dari dia," senyum Xavier membayangkan betapa bahagianya dia nanti, ketika perempuan yang berada di sampingnya saat ini juga memiliki rasa yang sama.
********
Setelah selesai mendapatkan tanda tangan dari kepala sekolah untuk proposal, mereka berdua memutuskan pergi ke kantin sebentar untuk mengisi perut.
"Ra, kayaknya anak-anak di belakang lagi butuh gue sekarang. Gue ke sana dulu ya, secepatnya gue bakal balik lagi ke sini," dengan terburu-buru Xavier langsung berlari pergi meninggalkan kantin.
"Iya, hati-hati ya!" balas Akira menatap punggung Xavier yang mulai menjauh.
Sorot matanya menatap datar ke arah dua mangkok bakso yang masih panas itu, lalu mengosongkan paru. "Padahal tadi katanya laper banget, sekarang harus pergi ngurus event," ujar Akira dan memutuskan untuk memakan semangkok baksonya sendiri.
Kalau kalian bertanya-tanya, kenapa Akira sebagai ketua OSIS bisa santai-santai saja sedangkan anggota lain sibuk? Itu karena, dari awal sebelum event Akira sudah mempersiapkan semuanya dibantu juga oleh anggota OSIS inti.
Jadi sekarang, cuman tinggal mengurus sisanya saja. Lagipula, Akira juga memiliki keterbatasan dengan penyakitnya yang tidak boleh terlalu kelelahan, dan semua anggota OSIS mengerti akan hal itu. Ia bersyukur bisa memiliki rekan yang bisa mengerti akan kondisi nya seperti mereka.
Disaat-saat ia tengah menikmati semangkok bakso, ekor matanya mendapati kedatangan seseorang, hendak duduk di kursi kosong yang satu meja dengan dirinya.
"Maaf, tempat duduknya punya teman gue. Lo bisa cari kursi lain," peringat Akira tanpa menatap wajah remaja tersebut, akan tetapi malah diacuhkan begitu saja oleh anak itu. Ia tetap saja duduk semeja dengan Akira.
"Hei! Gue bilang," kesal Akira sontak menggebrak meja, sontak mulutnya menjadi kaku ketika tahu siapa sosok laki-laki di depannya saat ini.
"Genan, lo kok bisa ada di sini," kaget Akira, ternyata orang itu adalah Genandra Mahavir Aditama atau bisa juga disebut kekasihnya.
"Kenapa? Gue nggak boleh duduk semeja sama cewek gue sendiri?" balas Genandra menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Penampilan Genandra hari ini, bisa dikatakan membuat siapapun yang berada di dekatnya harus kuat iman.
Bagaimana tidak, otot lengannya yang kekar semakin terlihat jelas sebab kaos basket yang ia kenakan berlengan pendek. Ditambah lagi peluh keringat yang membasahi hampir seluruh tubuh laki-laki tersebut, ketampanannya memang diluar nalar dan semua orang mengakui hal itu.
"Cuaca hari ini panas banget ya, apalagi waktu lihat cewek gue makan bareng sama cowok lain," ucap Genandra menyindir.
"Haah, jangan mulai Gen," hela Akira malas, mungkin di depan orang lain Genandra itu dingin, bahkan kedua sahabatnya pun memberikan julukan kepada laki-laki itu si beruang kutub. Namun, jika sudah berhadapan dengan Akira, ia berubah menjadi posesif.
"Kebetulan tadi gue sama dia habis dari kantor kepala sekolah buat minta tanda tangan, karena laper makanya ke sini," jelas Akira supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman.
"Owh, terus kenapa lo nggak dateng buat lihat pertandingan gue? padahal gue udah excited banget biar kelihatan keren di depan lo, eh malah cewek-cewek lain yang dukung."
"Dan ditambah lo malah pergi ke sini sama cowok lain, gue paham kalian berdua cuman temen. Tapi kan...." henti Genandra mengalihkan pandanganya pada lapangan lapang samping kantin.
Dia memang seposesif itu kepada Akira, ia mau semua yang ada pada diri Akira hanya untuknya. Genandra tahu itu terlalu memaksa, tetapi ini memanglah faktanya. Baru kali ini ia dibuat begitu tergila-gila pada seorang perempuan.
"Maaf ya," menyadari ekspresi wajah Genandra berubah, Akira menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri dan berjalan menghampiri laki-laki tersebut.
"Apa lo tahu, akhir-akhir ini gue lagi hobi baca novel genre romansa kerajaan. Di salah satu episodenya, ada seorang tuan putri yang memberikan sapu tangannya kepada sang pangeran sebelum ia pergi berperang, itu sebagai bentuk pengharapan kalau ia akan pulang membawa kemenangan," ujar Akira berdiri di samping tubuh Genandra.
"Karena sekarang gue lagi nggak punya sapu tangan, jadi gue harap lo terima pemberian gue ini," sambungnya melepaskan pita merah yang mengikat rambut blondenya, tatapan Genandra terkesima, melihat betapa cantiknya Akira dengan rambut tergerai indah.
Perempuan itu mengikatkan pita merah tersebut kepada bahu kiri Genandra, yang terdapat ban kapten.
"Semoga untuk pertandingan nanti tim kalian meraih kemenangan," ucap Akira selesai mengikatkan pita tersebut pada bahu Genandra, ia bisa melihat rona merah pada pipi laki-laki itu.
"Kalau gue boleh tahu, kenapa lo lakuin ini?" tanya Genandra sembari memegang pita merah yang terikat pada bahunya sekarang.
"Tentu saja," balas Akira memegang kedua pipi Genandra, membuat mata mereka saling bertatapan. "Karena lo pangeran gue," pungkasnya, seketika membuat jantung Genandra menggila tak karuan.
Napasnya tersengal, dia berusaha mengontrol rasa gugupnya. Sial! Ini terlalu manis.
"Nggak perlu cemburu, gue sama sekali nggak punya hubungan dengan laki-laki manapun. Hati gue cuman satu Gen, dan itu hanya cukup untuk satu orang saja," setiap kata yang Akira katakan, semakin membuat Genandra tidak kuat menatap matanya sekarang. Pandangan anak itu menunduk malu.
"Apa gue boleh tahu satu orang yang lo maksud itu siapa?" tanya Genandra menunggu Akira menyebut namanya sebagai jawaban.
"Pake nanya!" sebal Akira menampol pipi Genandra, sisi romantis seketika lenyap dalam dirinya. Kalau terus-terusan diminta romantis dalam satu waktu, jujur Akira tidak kuat. Terkadang ia merasa jijik dengan kata-kata yang ia ucapkan sendiri.
"Padahal tadi suasananya lagi bagus lho Ra!" sebal Genandra seraya memegangi pipi kanannya, bekas tamparan Akira.
Genandra mendengkus kesal, dan tiba-tiba saja berlutut satu kaki di depan Akira. Lalu meraih tangan kanan Akira, mencium punggung tangannya. "Gue janji tim black spider akan menang, sama seperti biasanya," ujar Genandra dengan suara bariton, menatap wajah Akira dengan tatapan berbeda. Terlihat lebih dalam dan tegas.
"Iya," angguk Akira tersenyum simpul, Genandra benar-benar seperti pangerannya di dunia nyata.
Sedangkan di sisi lain, dari belakang dinding dekat pintu masuk kantin, Xavier berdiri di sana, ia sudah menyaksikan semuanya.