Terdengar suara elektrodiograf memenuhi kamar pasien yang sunyi, seorang gadis berparas cantik dengan rambut blonde itu. Tengah terbaring lemas di atas kasur pasien.
"Kata dokter gue mau meninggal ya Gen?" Akira Magenta Valencia, perempuan berusia delapan belas tahun yang divonis mengidap penyakit ginjal sejak kecil. Akhir-akhir ini kondisi anak itu semakin memburuk, dan harus rutin datang ke rumah sakit untuk melakukan cuci darah.
"Nggak, kata dokter sebentar lagi lo sembuh," jawab Genandra—kekasih Akira, duduk di samping kasur pasien sambil mengelus lembut kepala gadisnya.
"Bohong, jelas-jelas tadi gue dengar sendiri dokter itu ngomong apa sama lo. Tubuh gue emang sakit, tapi telinga gue gak tuli," sebal Akira meremas erat selimut yang membalut setengah tubuhnya.
"Gue belum siap mati Gen, gue masih mau hidup," netra matanya berkaca-kaca, setiap kali berada dalam ruangan pasien, rasanya ketika itu juga bayang-bayang kematian langsung memenuhi isi pikiran Akira.
"Haah," Genandra menghela napas panjang, menurunkan tangannya dari kepala Akira. "Cewek gue pasti sembuh, dokter itu bukan Tuhan, jadi lo gak perlu percaya sama omongan dia."
"Jangan bicara soal mati lagi ya, walau gue cowok, tapi gue juga bisa nangis kalau soal begini," pinta Genandra, menenggelamkan kepalanya dalam-dalam di tepi kasur pasien, dengan telapak tangan kanannya menggenggam erat tangan Akira.
"Apa perlu gue donorkan ginjal gue ke lo Ra? Dengan begitu lo bakal sembuh," nada suara Genandra menjadi parau, ia tak tega menyaksikan kondisi kekasihnya tersiksa seperti ini. Kalau bisa, dia rela menggantikan posisi Akira, biarkan saja dirinya yang terbaring lemah.
"Jangan, ganteng gue gak boleh sakit. Lo harus sehat terus, seharusnya lo itu bersyukur dikasih tubuh sehat bukannya malah minta sakit, dasar aneh!" balas Akira menonyor dahi Genandra.
"Cih, lo emang gak bisa diajak romantis dikit," sebal Genandra memanyunkan bibirnya, hal itu membuat Akira merasa gemas, ingin sekali meremas pipi tembem itu.
"Hahaha iya-iya sorry," tawa Akira sembari mencubit pipi Genandra, lalu meminta laki-laki itu untuk sedikit mendekat kepada dirinya. Akira menempelkan dahinya, dengan dahi milik Genandra.
Ia berbisik merdu, "jangan marah, gue minta maaf ya. Makasih Genandra, sudah mau menemani gue dari dulu sampai sekarang, jika nanti sudah waktunya, nama lo pasti yang bakal gue ingat pertama, sampai hembusan napas terakhir tiba."
Genandra terisak, suasana yang semula ceria seketika berubah menjadi sendu. "Bukannya gue sudah bilang, lo pasti sembuh. Kita kan sudah janji, lulus sekolah gue bakal melamar lo dan menjadikan lo sebagai pasangan sehidup semati gue," ujar Genandra dengan dahi mereka yang masih menempel.
"Waktu gue hidup hanya tinggal satu bulan saja, kalau benar gue pergi nanti. Gue harap lo bisa menemukan pengganti yang jauh lebih baik dari gue," bagaikan ribuan jarum menghujam hati Genandra, laki-laki itu tak kuat membendung air matanya lagi.
Tanpa pikir panjang, ia langsung memeluk kuat tubuh Akira. Remaja itu menangis sambil merangkuh tubuh kekasihnya. "Gue merasa sangat beruntung bisa memiliki lo, dan gak akan ada pengganti yang pantas ataupun jauh lebih baik dari lo. Jadi berhenti mengatakan sesuatu seolah-olah lo mau pergi jauh!"
Pelupuk mata Akira memanas, merasakan betapa hangatnya pelukan Genandra, laki-laki itu takut, Akira bisa tahu dari detak jantungnya yang berdegup kencang. "Semoga semesta mengabulkan permohonan kita, dan gue bisa hidup lebih lama lagi," ucap Akira tersenyum kecil.
*******
Suara gemuruh teriakan kaum betina sedang menggila pagi ini, banyak di antara mereka mengangkat tinggi poster-poster warna-warni yang bertuliskan 'Go Black Spider' tim basket terkenal dari SMA Jaya Sakti.
Teriakan mereka semakin menggila ketika Genandra—kapten basket Black Spider, berhasil mencetak skor untuk yang ke sepuluh kalinya. Remaja tampan bernomor punggung satu itu mengelap keringatnya, menggunakan baju jersey hitam yang ia kenakan, aura elok seketika terpancar kuat. Sungguh pemandangan yang indah untuk cuci mata.
"Lihat temen lo bro, makin songong aja, mentang-mentang wajahnya cakep," nyinyir Anggasta, menatap iri kepada Genandra yang jauh lebih banyak mendapatkan perhatian dari para siswi. Malahan, dari puluhan poster yang mereka bawa, rata-rata mendukung Genandra bukan tim Black Spider.
"Namanya juga cewek, nggak bisa lihat yang cakepan dikit," balas Javas menyisir poni rambutnya ke belakang, semakin memperjelas wajah tampannya yang digadang-gadang hampir sama seperti Genandra.
"Padahal gue juga cakep lho, sebelas dua belas sama dia," ujar Anggasta percaya diri.
"Dia dimana?" batin Genandra mencari-cari keberadaan seseorang di antara gerombolan manusia. Pupil matanya melebar, ketika berhasil menemukan gadis yang tengah ia cari. Baru selangkah ia berniat menghampiri perempuan tersebut, kakinya seketika berhenti ketika ada laki-laki menghadap anak itu.
"Udah selesai tugasnya?" tanya Akira kepada Xavier, si wakil ketua OSIS.
"Beres, tinggal serahin proposal ini aja ke kepala sekolah. Lo ikut gue ya, buat minta tanda tangan," balas Xavier.
"Oke, yuk!" angguk Akira setuju, dan mereka berdua pun bersama-sama melenggang pergi dari area lapangan basket.
Menyaksikan kekasihnya tersenyum manis seperti itu kepada laki-laki lain, membuat perasaan Genandra menjadi panas. Padahal di pertandingan hari ini, ia sudah mengerahkan seluruh kemampuannya agar terlihat keren di hadapan Akira.
Dukungan dari ribuan penonton tidak akan berarti apapun, jika senyuman yang seharusnya dipersembahkan untuk dirinya sekarang, malah diberikan kepada orang lain.
"Gue tahu dia temennya, tapi gue selalu nggak bisa kalau soal senyuman manis itu. Ekspresi cantik Akira, hanya cocok untuk gue kan?" gumam Genandra menyeringai.