Siska sengaja bangun lebih pagi dari biasanya. Gadis itu menyiapkan diri untuk lari pagi sendirian. Banyak yang bersarang di kepalanya, berisik sekali. Jadi ia salurkan dengan cara jogging. Namun, anehnya bayang-bayang wajah Reza menjadi hal paling sulit untuk dihilangkan. Entah, sampai kapan Siska benar-benar bisa melupakan laki-laki itu.
Sudah satu minggu berlalu sejak dia menampar telak wajah Reza kala itu. Hingga kini Siska masih belum mau diajak kembali membicarakan tentang kolaborasi YouTube mereka. Ketika ditanya oleh teman-temannya pun Siska selalu berusaha mengubah topik obrolan ke arah lain sampai teman-temannya tidak menyadari itu.
Diam-diam Siska memikirkan nasib akun YouTube yang baru dirintis itu. Banyak penonton web series buatan mereka yang mengharapkan kembalinya mereka dengan judul yang baru. Rata-rata penontonnya memberikan feedback yang positif, mendukung karya selanjutnya. Mereka tidak tahu bahwa para pemerannya tengah dilanda masalah hati.
“Siska,” panggilan dari Nita membuyarkan lamunan Siska yang panjang. “Kok nggak bilang kalau mau jogging?”
“Nggak sengaja, ini karena gue bangun kepagian aja.”
Kedua gadis itu berjalan menyusuri taman dengan beriringan sembari mengobrol.
“Oh iya, gimana nih nasib YouTube kita? Udah banyak yang nanyain kapan upload series baru katanya.”
Siska mengedikkan bahu, “nggak tahu, Nit. Kalau yang lain gimana?”
“Mereka setuju asal lo nggak apa-apa. Kata Rosul sih Reza tetap bisa gabung lagi, dia juga bakal ajak Alan.”
“Ya udah, atur aja enaknya gimana. Gue… bakal usaha buat pisahin masalah pribadi gue nanti.”
“Lo… serius? Nggak apa-apa?”
Demi menghargai keputusan teman-temannya yang lain, Siska akan setuju. Dia kemudian menganggukkan kepala perlahan. “Gue nggak apa-apa kok.”
***
Tetapi siang itu Reza tidak hadir bersama Rosul dan Alan. Siska bersyukur sekali, setidaknya dia bisa menyembunyikan perasaannya tanpa harus ditahan-tahan di depan teman-temannya yang lain.
Di cafe yang dulu pernah didatangi Alan bersama Raya, mereka berkumpul di meja paling luar karena di dalam sudah penuh. Rena sudah hadir bersama Restu sejak Rosul dan Alan menelepon. Disusul Nita, Amel, dan Siska—Raya belum sampai karena ada kesibukan yang harus dia lakukan sebelumnya.
“Ini beneran kita mau lanjut bikin new series?” Rena mengawali percakapan setelah pesanan mereka diantarkan.
Alan menganggukinya, tanda bahwa laki-laki itu setuju. “Gue mau coba akting nih, siapa tahu jadi sehebat Angga Yunanda.”
“Apa kata lo deh, Lan.”
“Setuju aja kenapa sih lo, Mel.”
Nita menunjuk Alan sambil terkekeh. “Kalau gitu Alan, lo aja yang jadi tokoh utamanya. Sama Kak Ray deh nanti.”
“Jangan ah, nanti dia kesal. Dia kan nggak suka gue,” jawab Alan lesuh.
“Dih, berjuang kok sebentar banget. Padahal lo punya kesempatan, Lan. Kak Ray baru aja ditinggal tunangan sama Bang Rama.” Amel menimpali setelah menyendok ice cream miliknya.
“Karma sih itu. Dia udah nolak gue mentah-mentah, jadi dibalas Tuhan pakai cara yang sama. Sekarang malah dia yang ditinggalin, kan? Mampus!” kata Alan dengan tawa yang sedikit mengejek.
Siska memukul pelan bahu Alan yang duduk di sebelahnya. “Apa-apaan sih lo?”
“Senang banget gue, ternyata hukum karma itu ada. Jadi kepo gue, apa setelah ini si Raya mau gue pacarin nggak ya?”
“Sinting lo, Lan.”
Alan tidak peduli lagi, baginya saat itu ungkapan hatinya tersampaikan juga tanpa harus disimpan dalam-dalam. Tawanya belum surut hingga dia menemukan sosok yang dibicarakan berdiri di depan mereka. Rosul menjadi orang kedua yang menemukan keberadaan Raya setelah Alan.
Raya tadinya akan menghampiri meja teman-temannya andai saja dia tidak mendengar penuturan Alan. Raya merasa dia memang pantas mendapatkan cacian seperti itu, sama halnya seperti yang diucapkan Alan tadi. Rasanya sesak sekali, sampai-sampai Raya hanya bisa terpaku ditempatnya sambil menahan amarahnya.
“Kak Ray…” Siska berdiri. Dia hendak mendekati Raya, tetapi lebih dulu terdorong oleh Alan yang menyerobot untuk sampai lebih dulu di hadapan Raya.
“Ray… lo dengar?”
Raya mengangguk perlahan. Wajahnya masih datar, tanpa ekspresi marah seperti peasaannya kini.
“Gue tadi nggak maksud apa-apa kok. Gue Cuma—“
“Nggak apa-apa, kok. Lo benar, Tuhan lagi ngasih karma ke gue karena udah nolak lo waktu itu. Gue emang pantas dapat itu, seperti kata lo.”
Alan mengangkat lengannya. Laki-laki itu hendak meraih tangan Raya, namun tertahan ketika Raya memundurkan tubuh. “Gue minta maaf, gue nggak bermaksud—“
“Nggak perlu minta maaf, lo kan nggak salah. Di sini gue yang salah,” potong Raya cepat. “Alan Febrio nggak pernah punya salah sama gue, jadi stop bilang maaf.”
Rena dan Siska mendekati Raya, kedua gadis itu hendak menenangkan serta menahan agar Raya tidak pergi dari sana.
“Kak Ray…”
“Maaf ya, gue mau keluar aja dari collab ini. Kalian lanjutin aja, semangat. Gue duluan.”
Lalu, Raya benar-benar pergi dari sana dengan cepat. Tidak ada yang menahannya, lebih tepatnya tidak mampu. Baik Siska dan Rena saja merasa tidak ingin mengganggu Raya dengan membujuk gadis itu untuk menetap, apalagi para laki-laki. Terutama Alan, dia baru merasa bahwa kalimatnya tadi sangat keterlaluan.
“Ini gara-gara lo, Alan.” Amel menunjuk dada Alan, mendorongnya pelan.
“Gue rasa, kita emang udah harus akhiri ini semua.” Siska memandang teman-temannya satu-persatu. “Gue juga bakal berhenti kalau Kak Ray mau berhenti. Bukan cuma gue, kita semua—Skuy Squad. Kita mulai ini sama-sama, berarti harus diakhiri juga dengan sama-sama.”
“Ini semua nggak bakalan jadi berantakan kayak gini kalau dari awal kita nggak libatin perasaan pribadi. Kita ini collab buat nyatuin ide, bukan ajang PDKT.” Nada bicara Nita yang datar itu behasil membuat Siska merasa disindir.
“Maksud lo itu gue?”
“Semua berawal dari lo sama Reza, Sis.”
“Jadi, maksud lo gue yang udah berantakin semuanya?”
Nita berdecak, lalu menggelengkan kepala cepat. “Gue cuma bilang lo salah karena libatin perasaan di awal. Kalau berantakan ini jelas ini udah konsekuensi dari itu. Gue nggak bermaksud salahin lo, emang udah kejadian kok.”
“Terserah!” sentak Siska.
Nita mengembuskan napas frustasi ketika Siska pergi begitu saja dari hadapannya. Padahal Nita tidak bermaksud menyalahkan gadis itu, dia hanya mencoba menilai keadaan. Semua yang sudah mereka awali memang salah, menurut Nita jelas Siska salah di sini, sebab gadis itu malah mengurusi percintaannya.