“Siska!”
Gadis bermata sipit itu membalikkan tubuhnya, baru saja ia akan keluar dari gerbang sekolahnya sendirian, tiba-tiba seseorang memanggilnya. Sudah sejak satu minggu yang lalu Siska pulang ke rumah kakek dan neneknya, hari ini dia mulai masuk ke sekolah secara terjadwal.
Cowok yang memanggil Siska itu menurunkan masker hitamnya dan tersenyum lebar pada Siska ketika sudah saling berhadapan.
“Oh hai, Fazri. Ada apa ya?”
“Nih!” Fazri mengulurkan paper bag pada Siska, membuat gadis itu kebingungan.
“Ini… apaan?”
“Buat lo.”
“Dalam rangka?”
Fazri terkekeh melihat wajah Siska yang masih nampak kebingungan. Saat paper bag sudah berpindah tangan, ia menggaruki bagian belakang kepalanya dengan gerakan canggung.
“Kemarin di chat, kan, gue udah janji mau beliin lo kaos, ya itu. Terima ya, Sis.”
Siska terdiam selama beberapa saat, kinerja otak dan perasaannya tiba-tiba berlawanan. Kemarin, atau lebih tepatnya dua minggu yang lalu Fazri pernah bahas akan membelikan Siska kaos. Tetapi gadis itu pikir hal itu hanya lelucon, Fazri tidak mungkin benar-benar membelikannya. Namun, nyatanya semua itu terjadi. Saat ini hati Siska menolak untuk menerima pemberian cowok itu, tetapi pikirannya bertindak lain. Kalau dia menolak pemberian orang lain, dia mungkin bisa melukai perasaannya.
“Tapi, Zri… ini berlebihan nggak sih? Lo baik banget deh sama gue, nggak enak tahu gue. Mending lo kasih sepupu lo aja.”
“Ih, nggak baik lho nolak pemberian orang. Lagi pula gue, kan, niatnya ngasih kaos itu buat orang yang gue suka.”
“Eh, apa? Gimana?”
Fazri tersenyum, lantas mengacak-acak poni Siska. “Habis ini lo periksa ke dokter THT deh, Sis.”
“Enak aja, gue nggak budek ya!”
“Hahaha… ya udah syukurlah, berarti lo denger yang barusan gue bilang.”
Sembari merapikan poninya, Siska mencoba mengalihkan pandangan ke sisi kirinya. Ada penjual cilok yang selalu mangkal di depan sekolahnya, lumayan ramai karena ciloknya terkenal enak. Suasana hening terjadi di antara mereka, sampai Fazri pun kemudian ikut melirik arah pandang Siska.
“Jajan cilok yuk," ajaknya.
“Boleh, hayu gue yang bayarin. Hitung-hitung buat ucapan terima kasih gue karena lo beliin kaos hehe.”
“Asik dijajanin.” Fazri tersenyum sambil berjalan mengekori Siska yang lebih dulu menghampiri penjual cilok di sisi kiri gerbang sekolah.
Beberapa siswa yang membeli cilok sudah pergi setelah menerima pesanan mereka, jadi suasana di sana tidak seramai sebelumnya. Siska sedang sibuk memasukkan paper bag dalam tasnya saat ada pengendara sepeda yang hampir menyerempet gadis itu. Untungnya Fazri cukup gesit menarik lengan Siska ke arahnya hingga bahu mereka bertubrukan.
Siska terkejut begitu menemukan wajahnya dan wajah Fazri terlampau sangat dekat. “Lo nggak apa-apa, kan?”
“I-iya nggak apa-apa kok, thanks,” jawab Siska kikuk.
Fazri melepaskan cekalan tangannya ketika Siska memberikan respons gugup. Sementara cowok itu diam-diam menarik napasnya, dia juga sama canggungnya dengan gadis itu.
“Mas, ini ciloknya tinggal satu porsi doang, gimana?” ujar Mamang penjual cilok itu.
“Buat dia aja, Mang," sahut Siska.
“Eh, jangan. Mang, buat cewek ini aja.”
Siska menggeleng kukuh. “Mang buat dia, Mang.”
“Jangan, Mang. Buat nih bocah aja udah.”
“Ih Fazri, udah Mang buat cowok ini nih.”
Mamang cilok menggelengkan kepalanya bingung. Dia sudah terlanjur membungkus ciloknya, namun kedua pembelinya itu malah ribut berdebat. Hingga kemudian ada seorang anak kecil lewat dan Mamang cilok menghampirinya.
“Dek tunggu—“
“—Nih ada cilok bratis buat kamu.”
Anak kecil berumur sekitar tujuh tahun itu mengangguk senang. “Uwah.. makasih, Mang.”
Setelah kembali menghampiri jualannya, Mamang cilok terkejut karena melihat Siska dan Fazri melotot tajam padanya.
"Mamang!"
***
Raya berhenti melangkah begitu bertemu Siska di depan taman bermain, dia sedang duduk di ayunan sendirian sambil menikmati minuman. Masih pukul delapan malam, belum terlalu larut juga, jadi Raya memilih menghampiri Siska dan duduk di ayunan sebelahnya.
Siska menoleh, “Kak? Dari mana?”
Raya menunjukkan kantung kresek berisi—yang para wanita pasti paham—sesuatu pada Siska. “Beli ini, lo sendiri aja sih?”
“Keluar sama Amel, cuma dia tadi ke rumah dulu katanya HP dia ketinggalan.”
Raya mengangguk-angguk saja memberinya respons. Untung saja jarak taman bermain dengan rumah mereka cukup dekat, jadi Amel tidak terlalu lelah untuk bolak-balik sendirian.
“Lo sama Reza gimana?”
“Reza?” Siska terlihat sedikit berpikir sambil tersenyum-senyum malu. Sebenarnya tanpa menanyakan ini pun Raya sudah bisa menebaknya, Siska ada rasa juga pada cowok itu. “Dia banyak curhat soal percintaannya sama gue sih.”
“Aneh banget, padahal kalian baru kenal.”
Siska mengangguk setuju. “Betul banget, kita ketemu aja belum. Dia kok bisa sepercaya itu ya sama gue?”
“Ya gimana ya, orang dia suka lo.”
“Suka kok sama gue yang bobrok gini ya, heran.”
“Yang cantik aja minderan, apa kabar gue yang bulukan?” cicit Raya.
“Dih merendah mulu.”
Setelah itu mereka tertawa bersamaan. Kadang memang mereka serandom itu, tanpa alasan yang jelas tiba-tiba tertawa saja. Anggaplah mereka tengah menertawakan masalah hidup yang berat.
“Yo guys, gue kembali," tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran Amel yang melompat begitu saja di hadapan keduanya. Gadis itu mengotak-atik ponselnya sebentar, kemudian menunjukkan isi chat dia dengan Rosul pada Siska dan Raya.
“Dia nanyain konten kita, mau kapan syuting nih katanya?”
“Tanya tuh Kak Ray," tunjuk Siska pada yang lebih tua. “Naskah dramanya udah jadi belum, Kak?”
“Emangnya beneran gue yang jadi script writer nih?”
“Asik bahasanya!" seru Amel.
Siska menepuk pelan paha Raya sambil mengangguk. “Emang siapa lagi di antara kita yang pinter selain lo, Kak? Lagian lo, kan, penulis tuh.”
“Asik dipuji!" seru Amel lagi.
“Boleh deh, nanti gue bikin. Biasanya gue ada ide kalau malam-malam.”
“Sip, kabari secepatnya.”
Drrt.. drrt..
Ponsel Siska bergetar, ada notifikasi di sana. Raya dan Amel tidak terlalu penasaran, keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing untuk beberapa menit. Raya menikmati pemandangan bulan di atas langit yang terlihat begitu indah, sedangkan Amel sibuk dengan ponsel seperti Siska.
Angin malam berhembus mengantarkan udara yang segar, tapi lambat-laun berubah menjadi dingin. Untung saja ketiganya keluar dengan melapisi baju piyama mereka dengan sweater, jadi udaranya tidak begitu terasa membekukan.
“Pulang yuks, lupa gue belum sholat isya nih.” Siska berdiri dan menoel bahu kedua sahabatnya.
Raya kemudian menyusul Siska untuk berdiri. Memasukkan kedua telapak tangan pada saku sweater, mereka bertiga berjalan beriringan menuju rumah.
“Baju lo bagus, baru deh.” Raya menyeletuk begitu sadar baru melihat kaos yang Siska kenakan.
“Asik kaos dari gebetan!” seru Amel.
Siska menyengir lebar. “Dari Fazri, Kak. Bagus nggak nih dipakai gue?”
“Cewek cantik mah pakai daster aja udah cantik kok.”
“Asik dipuji.”
“Heh parutan kelapa! lo nggak ada dialog lain lagi? Asak asik mulu dari tadi!” sentak Siska.
Amel menunjukkan dua jari tangannya membentuk telinga kelinci dan sedikit menjauh dari Siska karena posisi gadis itu di tengah. Raya cuma jadi bagian penonton saja, sampai tiba-tiba sebuah ide gila melintas di kepala gadis itu.
Karena Raya orangnya memang sedikit random, jadi kalau aneh itu wajar.
“Eh, gue tiba-tiba kepikiran satu cerita unik deh.”
Siska dan Amel memusatkan pandangan mereka pada yang lebih tua. “Apaan?” koor mereka.
“Gimana kalau kita bikin web series yang fantasi gitu, fantasy romance kok.”
“Gimana tuh?” tanya Amel.
“Jadi gini, ada satu cowok yang punya jin ala-ala gitu. Tapi jin yang kita pakai ini namanya Mbak Google. Sesuai sama nama dan reputasi Mbak Google yang tahu segalanya, jin ini juga sama. Jadi si cowok itu fuckboy banget, dan dia selalu minta saran percintaan buat naklukin cewek-cewek incerannya lewat Mbak Google.”
“Wah boleh juga tuh, gue sih yes.”
Siska juga mengangguk, “gue juga yes.”
Mereka lanjut berjalan dan sekitar dua menit kemudian sampai di depan rumah pohon, saat akan berbelok ke rumah Raya tiba-tiba ponsel Siska berdering. Satu pesan masuk di WhatsApp menginterupsi langkahnya. Sejenak Siska berdiam diri untuk membuka pesan tersebut.
“HAH?!”
“Heh kenapa lo?!” Raya menghampiri Siska bersama Amel yang bahkan sudah membuka pintu rumahnya.
Siska menatap Raya dan Amel secara bergantian dengan tatapan horor.
“Kenapa lo?” tanya Amel yang mulai penasaran.
“Reza ngajakin jalan.”
Amel menoyor kepala Siska dengan kasar. “Goblok, gue pikir apaan. Buang waktu aja sih lo?”
“Ya udah sih terima aja,” kata Raya.
“Masalahnya gue takut karena belum pernah ketemu dia.”
“Ya udah tolak aja, susah bener lo jadi manusia.”
Siska menoyor kepala Amel seperti yang tadi dia terima. “Ya enggak enak, gobs!”
“Terserah lo lah. Gue ngantuk mau bobo, bye!”
Raya mengangkat bahu ketika Siska menatapnya. Dia pasti ingin meminta saran setelah Amel pergi.
“Tolak aja Sis. Banyak alasan kenapa lo harus tolak ajakan Reza.”
“Apa aja?”
“Pertama, ada hati Fazri yang harus lo jaga. Kedua, nenek lo juga ntar curiga kalau lo keluar tanpa gue. Ketiga, lo belum pernah ketemu dia. Yang terakhir, hati-hati aja sama hati lo.”
Kening Siska berkerut dalam. “Kenapa?”
“Takutnya Reza nikung Fazri tiba-tiba.”
“Lah?”
“Pipipipip calon tikung~~”