Minggu siang yang sedikit panas itu Siska habiskan untuk berdiam di dalam rumah orangtuanya sambil berbalas pesan dengan Raya. Dia memberikan banyak respons soal Raya yang bercerita tentang pertemuan malam itu dengan Rama. Siska beberapa kali mengumpatinya yang tidak dengan cepat meminta bertukar kontak—yang sudah dia duga bahwa Raya pasti menyesali pertemuan malam itu. Sebenarnya ya, sedikit.
Setelah membalas pesan, gadis itu berjengit heran ketika ayahnya ikut duduk di single sofa sembari menatapnya penuh selidik. Gadis itu sampai menghentikan gerakan tangannya yang asik men-scroll feed di instagram karena merasakan aura mencekam di sekitarnya.
“Kenapa, Pa?” tanya Siska.
Pria bersurai panjang itu berdecak sambil menggelengkan kepalanya. “Ck..ck..ck anak Papa yang cantik ini kok betah banget di rumah ya. Kasihan kamu cuma diem-diem bae sambil main HP. Di kampung juga sama, kamu nih sebenarnya cewek bukan sih?”
Hampir saja kedua bola mata Siska keluar lantaran tuduhan ayahnya yang terlewat sadis itu. Apakah menurut ayahnya itu seorang gadis yang tulen adalah mereka-mereka saja yang bisa menghabiskan waktu di luar sana?
Siska masih merebahkan diri di sofa yang panjang, terlalu malas untuk sekedar duduk. Meskipun ada ayahnya yang tengah mengajak ngobrol, tetapi gadis itu tidak terlalu peduli dan hanya butuh menolehkan kepala untuk menatap wajah ayahnya.
“Sana main atuh, Kak. Tuh kayak anak tetangga sebelah, main-main gitu atau pacaran. Heran punya anak cewek modelan kayak emak-emak.”
“Pa, kok emak-emak?” teriak Siska sambil mengangkat tubuh dan merubah posisi menjadi duduk bersila di atas sofa. Gadis itu balasnya dengan suara sedikit tinggi, lebih dari delapan oktaf kayaknya. Soalnya ayahnya saja sampai memejamkan mata saat mendengar seruan itu.
“Iya, emak-emak, kan, suka berdiam diri di rumah. Kayak kamu gitu persis, rebahan sama pakai celana kedodoran gitu. Hampir aja lho Papa nggak bisa ngenalin anak sendiri karena gaya kamu kek gini, lihat dong nih Papa aja udah keren.” Om Saman—Papa Siska—menarik jaket kulit hitam yang melekat pada tubuhnya dengan cengiran lebar khasnya.
Siska hanya mengulum senyum melihat penampilan ayahnya yang terlihat seperti member band rock gitu, aslinya dia ingin sekali tertawa lepas. Namun, mengingatkan jumlah umur saja Siska tidak berani. Bukan karena takut, itu karena Siska sangat menyayangi ayahnya. Biarpun ayahnya aneh menurut orang lain, baginya Om Saman adalah ayah yang sempurna.
“Papa mau ke mana emang? Ngurus salon lagi?”
Om Saman melempar rambut panjangnya ke belakang punggung. Siska kadang merasa iri pada ayahnya yang memiliki rambut secantik itu. Dia yang perempuan saja kadang malas sisiran.
“Iya nih, ngurus peralatan yang kemarin rusak, kamu mau ikut? Nanti Papa beliin boba sama KFC.”
“Mau, Pa. Yah… tapi aku lagi mager banget. Tapinya mau jajan Pa, tapi mager. Jadi gimana dong?”
Sepertinya kalau tidak ingat dosa, Om Saman sudah menebas mulut putrinya ini. Tapi karena Om Saman memang ayah yang baik, pria itu hanya menunjukkan senyumnya. Lalu ia berdiri dan mengerluarkan dompet. Ia pun mengulurkan satu lembar uang seratus ribu kepada putrinya. “Nih, sana ajak Anggit jajan juga. Di depan gang tuh ada Alfamart, tahu, kan?”
Tanpa menunggu lama uang seratus ribuan itu berpindah ke tangan Siska. “Hmm… Pa, boba sama KFC-nya gimana?” tanya Siska sambil cengengesan.
“Iya nanti Papa beliin, tapi sepulang dari salon. Paling sore sih Kak, soalnya Papa juga harus nyetok belanjaan di toko Mama.”
Siska mengangguk setuju. “Nggak apa-apa, Pa. Lagian aku juga belum laper banget kok. Oh iya, bobanya ntar yang fresh milk tea ya Pa.”
Om Saman itu unik, jadi dia menanggapi kalimat anak sulungnya dengan mengangkat kedua ibu jari tangannya sambil mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
***
Mendapat uang dari ayahnya membuat Siska begitu semangat. Ia ingin segera menghabiskan uang itu untuk jajan-jajan di Alfamart depan gang. Gadis itu berjalan dengan senang hati sembari menyenandungkan lagu-lagu yang mengalun lewat earphone yang terhubung ke ponselnya. Dia tidak bersama adik kecilnya—Anggit Pratama—karena anak itu sedang tidak mood. Biasanya selalu mengekori ke manapun Siska pergi.
Siska tidak sempat ganti baju, sebenarnya malas. Dia masih mengenakan celana bahan tipis bermotif bunga-bunga, yang kalau kata Om Saman itu celana emak-emak. Atasannya dibalut hoodie merah muda dengan tulisan Blackpink di bagian dadanya. Tudung hoodie-nya terpasang apik di atas kepala guna menutupi rambutnya yang belum sempat ia keramas.
Sebenarnya Siska sedikit takut berjalan dari rumah ke depan gang yang lumayan jauh. Merasa masih asing saja sendirian di kota orang, tapi perutnya minta jajan. Jadi, setelah berpikir panjang, perutlah yang jadi pemenangnya.
“Selamat datang di Alfamart," sapa kasir Alfamart yang kebetulan sedang kosong—seorang laki-laki yang mungkin usianya sekitar 20 tahunan, soalnya Siska langsung kepikiran Raya waktu lihat cowok itu.
Siska hanya balas tersenyum sebelum kakinya melangkah cepat menuju rak makanan ringan. Ia mengambil banyak camilan kesukaannya, seperti keripik kentang, biskuit macan, dan permen warna-warni yang di dalamnya ada kacangnya. Dia juga mengambil beberapa minuman, lalu yougert dan ice cream spongebob—yang dua ini pesanan Anggit khusus.
Selesai membayar total belanjaannya, Siska keluar dengan perasaan bahagia. Karena ia masih mendapat kembalian 20 ribu, lumayan juga bisa buat ditabung. Ia pun berjalan menuju rumah, kali ini lebih terlihat santai karena ia berjalan sambil menjilati ice cream dan melihat-lihat story teman-temannya di WhatsApp.
Ketika asik melihat-lihat, salah satu story yang kini ditampilkan di layar ponselnya menarik perhatian gadis itu. Matanya berbinar melihat siapa yang membagikan story tersebut.
“Ohoho... si Rosul, Rosul itu punya konten YouTube juga, hmm… promoin punya gue ah…” Siska sengaja berhenti sejenak. Tangannya sibuk mengirimkan link video vlog di pantai dua minggu yang lalu pada laki-laki itu.
Gadis itu tertawa jahat setelah mengirim pesan itu pada Rosul. Tadinya ia akan lanjut berjalan, namun notifikasi di ponselnya kembali menghalangi niat gadis itu.
Oh ternyata Rosul membalas.
Kali ini Siska tidak mungkin berhenti berjalan lagi, ia ingin segera sampai di rumahnya. Jadi, ia rela berjalan sambil mengetik balasan.
Rosul Syahputra
Youtuber juga lo?
14.36
Siska
Ya menurut ngana?
14.37
Rosul Syahputra
Jangan galak-galak dih.
Gak bakal gue subscribe mampus.
14.38
Siska
Dih jangan gitulah.
Iya iya maaf, Rosul.
Rosul ganteng, baik deh.
14.38
Rosul Syahputra
Dih pencitraan.
Tapi gue mah emang ganteng sih.
14.39
Siska
Subscribe dong, tai.
14.39
Rosul Syahputra
Udah kok, bi.
14.40
Siska
Uwu makasih.
Bi? Bi tuh maksudnya baby gitu.
‘kan ya?
14.41
Rosul Syahputra
Babi maksud gue.
Sorry.
14.42
Siska
Anjir lo.
14.42
Siska
Eh Sul,
Bangsul aja deh lucu.
14.43
Rosul Syahputra
Apa sih?
14.44
Siska
Gue juga nonton konten punya lo.
Subscribe juga malah.
14.45
Rosul Syahputra
Oh.
14.45
Siska
Oh doang?
14.46
Rosul Syahputra
Ya truzz?
14.46
Siska
Makasih kek, Susanto!
14.47
Rosul Syahputra
Oke, thanks Susanti!
14.47
Siska
Dih ngeselin banget sih lo.
Dasar manusia!
14.48
Rosul Syahputra
Lo juga manusia, Sis.
14.48
Siska
Bukan, gue mah bidadari ya.
14.49
Rosul Syahputra
Guk guk.
14.49
Hampir saja saat itu Siska tersedak stik ice cream karena kelamaan diemut padahal ice cream-nya sudah habis. Ternyata Rosul Syahputra—cowok yang ia kenal dari kontak WhatsApp di ponsel Amel asik juga, orangnya ganteng lagi. Lumayan buat dia jadiin Mas-Mas crush.
Siska
Sialan, dikiranya gue anjing apa?
14.49
Rosul Syahputra
Alhamdulillah akhirnya mengaku.
14.50
Siska
Bangsul.
14.50
Rosul Syahputra
Apaan sih?
Gak jelas gue block.
14.51
Siska
Mau ngajakin collab.
Kuy lah.
14.52
Rosul Syahputra
Boleh aja.
14.52
Siska
Oke oke.
14.52
Rosul Syahputra
Ntar bikin GC aja biar enak.
14.53
Siska
Setuju, lagian nih gue masih di Jakarta juga.
15.53
Rosul Syahputra
Ok.
15.53
***
Pagi-pagi sekali Raya kelimpungan gara-gara mendadak lupa bahwa hari itu adalah deadline untuk pengumpulan tugas Psycholinguistic. Dan yang lebih bikin kesalnya adalah, Raya kehabisan kuota mendadak. Tanpa pikir panjang lagi, gadis itu membawa laptop dan buku catatan berlari ke rumah Rena. Di sana ada wifi, keluarga Rena memasangnya, enak banget. Raya yang dari dulu minta Mimi buat pasang wifi untuk antisipasi tugas dan kuliah online selalu ditolak.
Jadilah seharian Raya numpang nugas di rumah Rena, sekalian bantuin dia melipat baju juga. Katanya hari itu sudah jadi jadwal dia merapikan kamar. Untungnya tugas Rayaa sudah selesai sampai jam dua siang. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul empat sore, tadi sisanya mereka cuma mengobrol.
“GUYS GAWAT.”
Raya dan Rena praktis terlonjak ke belakang akibat teriakan itu. Ternyata berasal dari Nita dan Amel yang dengan asal langsung masuk ke kamar Rena.
“Penting banget sampai harus ngagetin ya?” sungut Rena, kesal dia karena jantungnya hampir saja terlepas.
“Banget.”
“Apa sih?” tanya Raya.
Nita dan Amel menyerobot Raya dan Rena yang masih duduk di karpet merah depan lemari pakaian, sedangkan dua gadis itu sudah naik ke atas tempat tidur.
“Kalian inget, kan, Siska kemarin mau ngadain collab-collab gitu bareng rombongan Rosul?”
Rena mengangguk, tapi Raya tidak. “Siapa Rosul?”
Amel dengan gerakan mendramatisir menepuk keningnya. “Oh ya lupa, Kak Ray belum tahu Rosul.”
“Jadi gini Kak, Rosul tuh kenalan Amel. Dia dapet nomer cowok itu dari Facebook, terus tukeran WA. Karena menurut Siska Rosul itu ganteng—“
“Yeh… lo juga bilang gitu kemarin, Nit," sela Amel.
“Iya deh iya.”
“Ayo lanjutin,” sentak Raya.
“Katanya Siska ngajak dia collab. Lumayan buat naikin viewer sama subscriber Kak, kata Siska gitu,” lanjut Nita.
“Ya terus?” balas Rena acuh. Maklum, si Nita kalau jelasin suka bertele-tele.
“Kita, kan, udah setuju, jadi rombongan Rosul katanya mau ketemuan buat ngobrolin ini.”
Rena memicingkan kedua matanya menatap kedua temannya di atas tempat tidur. “Ya nunggu Siska nggak sih harusnya, gimanapun dia yang bikin janji, kan?”
“Siska dua hari lagi baru bisa pulang, sedangkan rombongan Rosul cuma punya waktu sekarang buat ketemuan. Kalau nunggu hari lain buang waktu, Ren. Lebih cepat, kan, lebih baik," jawab Amel.
Akhirnya Rena mengangguk setuju. Dia juga merasa sudah tenang dan bisa keluar rumah karena pekerjaannya selesai. Lalu, ketiga teman Raya itu menatap tanya padanya. Dan, dengan cengiran kuda Raya pun mengedikkan bahu.
“Sorry guys, kalau sekarang banget nggak bisa. Kalian, kan, tahu kalau gue harus ngajar les," kata Raya.
“Oh iya, ya udah nggak apa-apa. Kita bertiga aja," kata Rena, final. Nita dan Amel pun mengangguk setuju.
“Kumpul di cafe Bintang punya Mas Pebi aja kali ya,” usul Nita. Mas Pebi itu kakak laki-lakinya, seumuran dengan Raya. Sekarang dia sudah sukses mengembangkan kafe keren di ujung jalan.
Amel dan Rena pun mengangkat ibu jari bersamaan. “Oke setuju,” koor mereka berdua.
***
Suasana Kafe Bintang punya kakak Nita itu kalau sore menjelang malam pasti ramai. Apalagi letaknya itu strategis, dekat jalan raya dan merupakan salah satu jejeran food court juga. Nuansa antariksa dengan background penuh bintang langsung terasa saat pertama kali memasuki cafe itu.
Rena, Nita, dan Amel sudah menunggu selama lima menit sambil menyeruput minuman yang mereka pesan tadi. Siska yang masih di Jakarta pun ikut meramaikan lewat chat di grup. Memberikan masukan, lalu meminta maaf karena tidak bisa ikut kumpul hari itu.
Tidak berselang lama, ketiga gadis yang sedang menunggu itu dikejutkan oleh suara lonceng kecil yang terpasang di atas pintu cafe. Beberapa pengunjung di sana menoleh ke ambang pintu, sama seperti Amel, Nita, dan Rena yang mendadak terpaku di tempat.
Dua laki-laki dengan tinggi yang hampir sama itu menghampiri meja Amel, Nita dan Rena.
“Hai, kalian teman-temannya Siska, kan?” Tanya Rosul.
“Iya, lo Rosul?”
Rosul mengangguk kemudian mengulurkan telapak tangan kanannya di depan Rena yang tadi bertanya. “Rosul Syahputra, salam kenal.”
Lalu laki-laki itu berganti menyalami Amel dan Nita dengan menyebutkan kalimat yang sama. Kemudian dia menepuk bahu laki-laki di sebelahnya yang sedari tadi belum juga buka suara.
“Dia Reza Dominic, panggil aja Reza. Dia ini nih yang sering ngasih ide buat konten kita.”
“Gue Reza, salam kenal ya,” ujar laki-laki berlesung pipi itu.
Setelah saling berkenalan, mereka berlima duduk melingkar. Nita izin pamit dan memesan dua minuman yang sama untuk kedua laki-laki itu pada kakaknya, lalu kembali duduk di tempatnya semula.
“Jadi gimana nih, buat konten collab kita nanti?” tanya Reza.
“Duh nggak tahu ya, tanyanya ke Siska aja. Rosul tuh tahu," lempar Rena.
Rosul meneguk sedikit minumannya kemudian menatap Rena. “Belum tahu gue, mending lo aja, Za. Lagian lo lebih tahu dari gue deh, chat aja si Siska.”
Reza mengangguk. “Oke.”
“Kalau kalian biasanya emang bikin konten berlima doang?” tanya Reza.
Kali ini Amel yang menjawabnya. “Iya, lo udah lihat vlog kami, kan?”
“Iya, dari Rosul. Keren kok.” Reza sepertinya berlebihan, dia bahkan sampai mengangkat ibu jarinya.
“Eh, kalau nanti pas bikin konten doi gue ikutan boleh nggak?” tanya Rena khawatir.
Rosul mengangguk. “Ajak aja, biar enak juga. Jadi nggak ada salah paham hehe.”
“Oke oke, thanks.”
Hening beberapa menit. Mereka gunakan untuk melihat vidio dari masing-masing akun. Kebetulan di cafe kakak Nita wifi-nya lancar. Ini juga salah satu alasan kenapa cafe Pebi tidak pernah sepi pengunjung.
“Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik ya.” Tiba-tiba si Nita berujar seperti itu.
Reza dan Rosul mendongak lalu mengangguk, setuju. Entah kenapa, tetapi Rena melihat ada senyum yang berbeda di wajah Reza.
“Siska barusan gue chat nih, katanya bisa aja kita bikin akun baru khusus buat konten kita. Siska itu… cantik ya,” celetuk Reza. Entah apa maksudnya tiba-tiba berujar seperti itu.
Rena meneguk jus alpukat miliknya sambil menatap Reza. Ternyata yang aneh dari senyum laki-laki itu ada kaitannya dengan Siska.
“Cie.. naksir lo, Za?” goda Nita.
“Kalo boleh hehe.”
“Boleh, pepet aja. Dia jomblo kok.”
Jus alpukat Rena habis. Gadis itu menegakkan punggung dan menaruh kedua telapak tangannya di depan dada. Lalu dia tersenyum pada keempat teman-temannya.
“Guys, semoga rencana kita ini baik ya ke depannya. Lancar terus, selalu. Seperti angka satu yang ketemu angka nol, jadinya 10. Semoga kita bisa saling membangun satu sama lain dengan maksimal, inget jangan jatuhin.”
“Siaaaaaap!” koor keempat dari mereka dengan semangat yang sama.
Hari itu, hari awal dari cerita ini dimulai. Hari yang tidak pernah mereka bayangkan akan menjadi hari yang akan dikenang di kemudian hari. Di saat mereka sudah tidak lagi bersama, hari itu adalah hari yang paling bersejarah.