Di ruang kantor Direktur Utama Bank Koperasi Usaha Jakarata (BanKU), Abang Kerta a.k.a Bang Ker adalah seperti tertulis pada papan nama di dada kiri Bang Ker, bertuliskan “Direktur Bank”, seorang Dirut yang chubby-dut. Dia seorang suami setia dan bahagia, karena Mpok Desita alias Po Desita, which often mispronounced as De Posita, bergelayut manja di pundak kirinya.
Seorang kartografer, setelah mengenakan kacamatanya yang tebal, masih pula memegang kaca pembesar untuk menunjukkan lokasi mereka berada pada kar kuno buatan kompeni jaman doeloe di atas meja. Pak Karta alias Pa Kar berkata, “kita sekarang berada di sini, berada di tengah-tengah Hutan Lingkar, hutan suaka yang sekarang sudah dibebaskan dan menjadi pusat kota Jakarata. Akan tetapi, sejak dibangunnya Kecamatan Jataraka yang menyelipkan kakinya ke Hutan Lingkar, sepertiga wilayah bagian timur hutan ini akhirnya diklaim dengan pembebasan tanah oleh Kecamatan Jataraka. Sementara, wilayah yang bermata air besar itu dulunya sudah dipakai sebagai perkebunan oleh warga Jakarata lama, sehingga menjadi sengketa antara Jakarata dengan Jataraka.”
Terajaya alias Mas Ter, yang akan membangun kota mandiri dengan konsep terakota itu mengangguk-angguk paham. “Oh, jadi itu yang menjadikan Jataraka musuh bebuyutan Jakarata?”
“Ya, itu. Benar sekali,” kata Pa Kar.
“Batasan wilayah ini sebenarnya harus diusut, karena jika itu adalah kekuasaan Jakarata, maka warga yang tinggal di sana, harus membayar pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di Kecamatan yang berwenang,” kata Bang Ker. “Tapi, itu tidak akan menjadi urusan kami, tapi sebagai bangkir, saya ingin menjamin bahwa rencana pembangunan Kota Mandiri Terakota Jakarata yang dirancang oleh Mas Ter, tidak akan terjegal oleh kendala sengketa tanah, karena itu akan merugikan proyek bagi baik bank maupun pembangun seperti Mas Ter sendiri.”
“Solusinya kalau begitu, Pa Kar harus bisa memastikan peta kuno itu peta syah,” kata Mas Ter.
“Saya tahu siapa saksinya, tahun berapa pembuatannya, dan punya kopiannya,” kata Pa Kar. “Saya hanya saya tidak tahu di mana peta tersebut, siapa yang memegangnya.”
Semua orang, kecuali Mas Ter tercenung, bingung.
“Jangan khawatir, saya akan membayar harga peta itu, jika Pa Kar bisa memastikan keasliannya. Kita undang Pa Mali dan Pa Gar untuk menjadi saksi dan ikut mengesahkannya. Agar pemerintah ke depan tidak bisa menggugatnya. Saya sadar akan resikonya, mengingat pemerintah di Indonesia senang membuat hukum baru setelah membuktikan kebengkokan hukum lama. Tapi, peta kuno itu bisa menjadi dinding monumen di depan gerbang Terakota Jakarata, sehingga diperingati sebagai sesuatu yang dianggap penting oleh warga.”
“Jenius,” kata Bang Ker, senang.
Mas Ter lalu membuka peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). “Jadi, semua di sini setuju bahwa Kota Mandiri dengan konsep terakota di Jakarata ini bisa diwujudkan. Selain kota ini akan mengesankan kepurbakalaan, maka peta kuno ini pun akan menjadi dinding monumen yang mengukuhkannya.”
“Ya, saya setuju,” kata Pa Kar.
“Saya, seperti yang Anda dengar, setuju 100 tambah 1 persen,” kata Bang Kir.
Mas Ter tersenyum. “Nah, areal ini akan dijadikan sebagai pusat kota Terakota Jakarata, agar BanKU tetap beroperasi lebih maju lagi, tentunya. Bang Ker sudah pernah melihat sendiri diorama dari kondisi Jakarata saat ini, juga maket Terakota Jakarata yang akan kita bangun itu. Pada prinsipnya, kita akan membuat kerjasama saling menguntungkan, karena sebagai ahli rancang bangunan, saya tetap memegang prinsip yang dicetuskan Socrates, yaitu ‘rahasia dari perubahan adalah memfokuskan semua energimu, bukan untuk memerangi yang tua, akan tetapi membangun yang baru’. Saya yakin, dengan semakin kuatnya BanKU, maka akan semakin kuat pula keuangan masyarakat dalam kota yang saya dirikan.”
Semua bertepuk tangan.
“Setuju, setuju, setuju,” kata BanKU. “Program usaha seperti inilah, yang BanKU incar karena, jika BanKU hanya menyimpan uang di dalam, maka uang itu akan habis digerogoti tikus. BanKU bangkrut, dan mejanya tak lagi bisa memberikan layanan pada masyarakat.”
Mbak Welly alias Ba Wel, istrinya yang menarik-narik lengan kemeja pendek Mas Ter, memastikan setrikaannya licin.
“Itu gejala sebuah daerah akan sekarat,” kata Mas Ter membuat semua orang mingkem, mengangguk mafhum. “Saya membuat sesuatu yang tak lekang dimakan oleh waktu. Itu adalah prinsip yang harus dimiliki oleh setiap arsitek.”
“Kalau begitu, deal. Saya akan tandatangani permintaan Kredit Usaha Anda. Apa lagi, nama perusahaan Anda itu? PT. Marsitektur? Saya masih suka susah nyebutnya,” kata Bang Ker mesem.
Mas Ter menjawab dengan bangga, “PT. Mastertektur Gardenia.”
“Ngomong-ngomong… Siapa sakti pemetaan itu, Pa Kar?” tanya Bang Ker.
“Babe Doel.”
“Oh, saya tahu dia salah satu nasabah di BanKU juga! Saya punya nomor teleponnya!”
“Perfect! Kalau begitu, saya akan telpon beliau sore ini juga,” kata Mas Ter.
~~~&&&~~~
“Oke, Be Doel! Kalau begitu, kita harus bertemu!”
Terdengar seruan dari seberang, “ane tunggu di Bar Bu Barin! Jangan lupa bawa kaleng biskuit Khong Guan! Buat tambah rasa laper aja…”
“Jangan khawatir, nanti saya bawa segerobak.”
Mas Ter menutup panggilan yang dilakukannya dengan Doel. Ia membuka pintu kaca, menunduk ke ke balkon di bawah, di mana Ba Wel duduk di balkon, mengangkat cangkir teh padanya sambil chit-chat dengan suara keras.
Ba Wel menutup gawai dengan tangannya, setengah teriak, tapi suaranya kecil. “Gimana, Mas Ter? Goal, nggak?”
“Goal, dong... Ba Wel... Ayo, naik! Lapar, nih!”
Masih dengan suara kecil. “Makanan sudah siap! Anak-anak… Ayuk, ke meja!!”
Keesokan harinya, di sebuah kafe dengan plang bertuliskan “BAR BU BARIN”.
Suara pintu yang dibuka. JEBLAK!
Mevrouw Barend yang lebih dikenal dengan nama Bu Barin, mengelap bar sambil menengok ke arah suara yang masuk. Sementara itu, Mak Bokis alias Ma Bok, bartender yang merangkap informasi keluar membawakan baki dengan segelas bir “Banteng”.
Mary Kisandra yang lebih senang dipanggil dengan nama ujungnya saja menjad Dara, masuk ke dalam bar dituntun oleh Mbak Nana alias Ba Nana, ibunya.
Ba Nana menarik tangan anaknya itu ke sebuah meja, lalu menepuk meja itu.
Aki Bulu alias Ki Bul, suami Bo Kis sekaligus pelanggan “BAR BU BARIN” yang berbulu jenggot acak-acakan, pura-pura kaget. Ia mengalihkan perhatiannya dari kaca cermin di tangannya, ke arah ibu dan anak itu yang mendekat ke mejanya. Ia menengok lebih condong ke belakang, ke arah dara berambut yang di-highlight pirang keemasan.
“Nah, siapa namamu, anak manis?” tanya Ki Bul.
Ba Nana menahan emosinya.
“Mary Kisandra,” jawab anak sulungnya itu.
Ki Bul mengerutkan kening sebentar, lalu menoleh sambil mengulurkan tangan.
“Nah... Mar Kisa aja... Itu lebih cocok buat kamu.”
Kali ini, Ba Nana menggebrak meja itu.
“Mana uang saya?” tagih Ba Nana.
Alih-alih menjawab pertanyaan Ba Nana, Ki Bul malah bertanya lagi pada Mar Kisa, “sudah kelas berapa, Nak?”
“Kelas bebas, Ki,” kata Mar Kisa sambil terkikik menutup mulutnya.
“Anak ane udah kehilangan pendidikannya gara-gara duit SPPnya ditarik sana sini! Sekarang, ane butuh uang ane yang Ki Bul janjiin bakal dibayar awal bulan ini buat bayar SPP Peppa Ya dan Sri Kaya!”
“Denger dulu… Duit itu, ane pake buat invest di pembangunan kota Terakota Jakarata yang elo sendiri pasti udah denger! Ane bakal punya kantor mewah sendiri buat ngurus pedagang kecil kaya ente, tukang sayur dan buah-buahan. Ini semua buat ente juga!”
“Enak aja! Kota itu bakal berdiri dengan atau tanpa uang ente! Ane nggak mau tahu! Ini udah minggu ke dua! Kalau nggak dibayar juga, Bang Ram Butan sendiri yang akan berhadapan langsung sama ente!”
Puas dengan memperingatkan Ki Bul, Ba Nana menarik tangan putrinya lagi pergi.