Matahari menyorot di ufuk timur Laut Maritimur.
Pelabuhan Marisini mulai bangun sejak terdengarnya suara kicauan dan kaokan burung camar. Deburan ombak dan air laut yang menyisir pasir di pantai memecahkan kebekuan pagi yang menyisakan embun-embun di waring yang belum selesai dianyam.
Sebuah perahu boat patroli tampak menderu dari pantai.
Di kejauhan, sebuah perahu dengan mulut penyok terantuk di sebuah atol. Perahu itu masih mengapung, tapi layarnya patah, tak bisa digerakkan sejak mesinnya meledak. Seekor burung camar bertengger di atas puncak tiang bendera-bendera berbagai jenis negara yang berkibar bebas di udara. Bendera-bendera itu, bukan oleh-oleh dari negara-negara yang pernah mereka kunjungi, tapi bendera-bendera negara tim football favorit mereka.
Dalam jubah tebal mirip emperor Spanyol, Goen Doel, bajak laut kawakan berusia 46 tahun berbisik pada burung gagak hitam di atas pundak. “Mereka datang…”
Angin berhembus sepoy-sepoy, akan tetapi, si Goen Doel perlu membetulkan letak topinya yang miring itu, sebab capingnya menampar-nampar di kening. Ia lalu mengaduh keras, membuat dua orang anak buah kapal, kembar siam, Bot Takin dengan Piet Takin yang sedang berlutut di bawah kakinya terpental sejauh dua meter.
“Shit, shit! Shit! Hampir aja gue ngait bola mata gue sendiri sama tangan kait sialan ini!”
Bot Takin dan Piet Takin menepuk dada mereka sambil terengah-engah kaget.
“Astaganaga, kirain ada ape…”
“Kirain ada ape, lu bilang! Ya emang, ada aja sejak kaki tangan gue sendiri bikin kaki tangan gue buntung kayak begini!” sambar Goen Doel dengan cepat.
Keduanya, si Bot Takin dan si Piet Takin terperangah, kurang ngerti, mencoba menyerap artikulasinya Boss mereka itu. Si Goen Doel, mengacungkan tangan dan kakinya yang buntung sambil melotot kesal. Barulah kedua kaki tangannya itu mengerti.
“Makanya, Bos… Kalau mau garuk-garuk kepala, minta tangannya si Piet Takin aje…”
“Hush!” kata si Piet Takin, pantatnya loncat lagi. “Sembarangan aja! Kalau gue kasih, nih tangan kagak bakal bisa balik lagi! Istilahnya yang bener itu minjem!”
“Sejak kapan lo peduli sama artikulasi?”
“Sej…sejak…,” kata si Piet tergagap, tak menyelesaikan ucapannya. Ia melirik pada kaki Boss mereka yang timpang dan masih berdarah-darah itu ditopang dengan kayu potongan tiang bendera yang patah. “Y…ya, sejak…”
“Bilang aja, sejak elo berdua kagak punya mata!” bentak si Goen Doel.
“Yah, bukannya ente, Boss yang mestinya nutup sebelah, tuh punya mata? Biasa, kan bajak laut pada begitu?!”
“Kalau kaki tangan gue aja udah nggak punya mata, masak gue harus tutup sebelah mata gue? Janggut gue aja udah bikin mata gue kabur kalau lagi angin gede, sekarang kalian tambah lagi masalah gue sama janggut gue! Apa salahnya kalau gue berjanggut?”
Sadar dengan kesalahan apa yang dimaksud, keduanya memasang wajah masam. Walau begitu, mereka masih tidak menerima disalahkan. Si Goen Doel mengangkat dagunya yang berjanggut itu dengan gagah, menatap boat yang mulai mendekat.
“Ya, nggak salah, Boss… Sama, kite juga…” Keduanya merengut, lalu saling mencibir satu sama lain, di luar sepengetahuan Boss mereka itu. Keduanya kembali mingkem, saat si Goen Doel berbalik.
“Ingat!” Si Goed Doel menodongkan telunjuknya. “Nggak ada satupun dari kalian yang boleh buka mulut soal kecelakaan itu!”
“Rahasia Boss aman, deh ama kita!”
“Aman, aman… Koq, malah gue yang harus ngaminin? Udah! Benerin lagi, tuh kaki gue!” bentak si Goen Doel.
Kedua kaki tangan itu mendekat ke kaki si bajak laut dengan patuh menyelesaikan balutan yang tadi mereka kerjakan. Beres menalikan perban, mereka bangkit, berdiri di samping si Boss, menatap kedatangan boat patroli yang semakin mendekat.
“Ini bukan nasib bajak kayak gue dapat cacat dengan cara begini…,” kata si Goen Doel menggeram. Rupanya, dia belum selesai mencurahkan hatinya.
“Bukannya kebalik, Boss?” kata si Bot Takin, bingung.
“Kebalik apaan, maksud lo?” kata si Goen Doel, tanpa menoleh.
Si Piet Takin berusaha membenarkan, dengan membetulkan ucapan si Bot. Jari telunjuknya bergerak-gerak ragu, mulutnya monyong, mencoba mengartikulasikan ucapan yang benar. “Ini… Harusnya... Bukan cara bajak kayak Boss dapat nasib cacat kayak begini.”
Si Goen Doel, menoleh perlahan ke arah si Piet, siap menyemprot lagi. Si Piet udah keburu mengkerut kayak setan kena siraman rohani.
“Ah, sotoy, lo pade!” kata si Goen Doel menepis jari telunjuk si Piet. “Ini skenario gue, layar lebar hidup gue, gue yang jalani, jadi gue yang bikin sendiri!”
Si Goen Doel menoyor anak buahnya satu per satu.
Dari kejauhan, motor boat itu sudah dimatikan. Dengan menukik ke samping kiri, pantat boat itu digoyang ke kanan. Boat berhenti, langsung merapat pada perahu yang nyaris karam.