David mendapatkan fakta yang sangat mengejutkan. Jesika adalah putri tunggal dari keluarga yang kedua orang tuanya mengakhiri hidup. Jesika muda sangat bekerja keras demi mencapai dan mengembalikan perusahaan kedua orang tuanya yang bangkrut.
Ketika ia kembali ke Indonesia ia ingin menjalankan sebuah balas dendam yang tak terkira.
Pada saat di kantor Jesika ditangkap oleh kepolisian yang disewa dengan David. Wanita itu ditetapkan menjadi tersangka dalam mengakibatkan nyawa orang hilang, hanyut dilahap amukan ombak. Penyelidik baru menemukan botol yang dibawa oleh Jesika, di sana masih terlihat jelas ada sidik jari wanita tersebut.
Wanita yang sudah mengenakan pakaian tahanan itu ada di balik jeruji besi dan kini bertatapan dengan pria yang tadinya akan menjadi calon suaminya.
“Jadi apa yang kamu mau, David? Haha. Keadilan di negara ini memang berpihak kepada orang yang mampu membayar mahal! Buktinya kamu tidak ditahan, padahal sangat jelas kamu mengajak kekasihmu untuk melakukan tindakan bodoh itu!” Jesika memalingkan pandangan dengan wajah yang muak terhadap hidupnya kini.
Sedangkan David masih menatap dengan tatapan iba terhadap wanita yang sujatinya begitu kacau. Sama-sama memiliki tekanan batin yang mungkin pria ini sendiri tak tahu.
“Maafkan aku, Jesika.” Hanya itu yang mampu diucapkan pria ini.
“Apa?” Jesika memiringkan wajahnya, dengan ekspresi wajah yang benar-benar muak dengan putra keluarga Raharja.
“Sekarang kamu pasti puas, David. Kedua orang tuamu ditahan dan juga diriku, kamu bisa berbuat sesuka hatimu dan bebas untuk terbang memilih kehidupan! Tapi setidaknya kedua orang tua keparat itu juga berada di geruji besi yang sama denganku. Aku sudah sangat bahagia, karena apa yang dirasakan oleh kedua orang tuaku sudah terbalaskan.”
Manik mata David berkaca-kaca, ia semakin menyoroti rasa iba yang tak bisa ia bayangkan bila menjadi seorang Jesika.
Dalam kasus penyelidikan, David kembali menemui fakta yang membuat dirinya tak bisa menerima kenyataan itu. Tanpa diketahui ternyata kedua orang tua David menjalankan sebuah bisnis gelap. Pada saat itu orang tua David dan orang tua Jesika bekerja sama, tapi sayang kecerdasan orang tua David membuat mereka lolos dari jeratan kebangkrutan. Malah orang tua Jesika dijadikan kambing hitam dengan orang tua David.
Karena tidak kuat akan tekanan masyarakat dan di sosial, ketika Jesika berusia 18 tahun orang tuanya memutuskan gantung diri di dalam rumah. Hal ini membuat Jesika terpukul sekaligus dendamnya tidak akan pernah mati terhadap keluarga Raharja yang membuat kedua orang tuanya sampai menerima takdir hidup malang seperti itu.
Jesika membuat identitas baru, dan mencari cara agar bisa masuk dalam ranah keluarga Raharja. Ia mendekati ibunda David, dan berencana mencari hati wanita jahat itu. Sehingga ia bisa mengambil harta benda sekaligus menghancurkan kejayaan keluarga Raharja, untuk membalaskan dendam kedua orang tuanya yang telah lama meninggalkannya seorang diri.
Wajah Jesika begitu pucat, dan tak henti-hentinya ia tertawa lalu kemudian menangis tersendu-sendu. Hal itu kembali membuat hati David semakin terpukul.
Batas waktu mereka telah usai, dan sepertinya Jesika dibawa ke rumah sakit jiwa untuk menjalankan beberapa terapi. Mentalnya tak kuat untuk memendung segala tekanan yang sudah lama ia pendam.
David menundukkan kepala kepada jajaran penyelidik yang telah membantunya dalam kasus ini. Ketika ia melihat langit terang dan angin yang menyejukkan jiwanya, ia menghembuskan napas lega. Meski masih ada rasa yang tak bisa ia kenali.
Begitu banyak perasaan yang dirasakan oleh manusia. Banyak problematika yang tidak kita ketahui. Perasaan itu berbaur menjadi satu tanpa ada yang tahu. Kisah menyedihkan setiap manusia yang tidak pernah kita ketahui. Tugas kita hanya bisa bersikap bijak dalam segala hal.
David memutuskan ke pusara Clara saat ini, terlebih dahulu ia menuju ke rumah sakit Lokapala untuk mengucapkan terima kasih kepada Alana dan juga ....
Saat berkendara David memikirkan suatu hal yang samar-samar ia ingat ketika kekasihnya itu mengucapkan sesuatu.
“Alana memiliki teman han ...,” ucapannya terhenti kembali.
Sampailah dia di rumah sakit, ternyata saat David ingin menuju ke ruangan Alana, wanita itu tidak ada. Seperti biasa wanita itu lebih suka menghabiskan waktunya di taman belakang rumah sakit, dibanding harus rebahan seharian.
“Poci, kira-kira bagaimana keadaan Jesika dan juga Pak David saat ini ya?”
“Saya baik-baik saja, Mbak Alana.” Terdengar suara itu membuat Alana dan Poci terperanjat sembari memelotot lalu segera menoleh ke arah belakang.
David tersenyum, dan kini wajahnya lebih membaik dari sebelumnya.
Ia langsung menundukkan kepala dan membungkuk memberi hormat kepada Alana. “Mbak saya sungguh mengucapkan banyak terima kasih kepada Mbak Alana dan juga ....” Pria ini menghentikan lontaran katanya sejenak, lalu ia kembali melanjutkan.
“Dan juga teman Mbak Alana.”
David memberitahu semua kejadian yang terjadi selanjutnya, terkait kondisi Jesika saat ini. Ternyata wanita lulusan luar negeri itu memiliki bakat seni lukis. Ketika dirinya melihat David dan Clara memegang tangan begitu erat untuk mengakhiri hidup, ia menyempatkan melukisnya menjadi karya lukis.
Ternyata lukisan itu sengaja ia bawa untuk ia letakkan pada saat pemakaman Clara. Meski Jesika sudah tidak memiliki perasaan, akibat dendamnya yang begitu besar membuat dirinya tak memiliki hati nurani lagi. Ia sempat sekilas menyesal melakukan tindakan sadis yang dirinya lakukan malam itu.
Benar kata Poci, dari awal Clara sudah memberikan petunjuk seperti lukisan itu.
Hati Alana sakit mendengar fakta yang terjadi. Ia tak membayangkan Jesika melakukan hal itu karena dendamnya yang sangat merekah. Manusia dan hantu ternyata sama-sama menakutkan jika mereka memiliki dendam yang bersemanyam dalam dirinya.
Tak ingin membuang waktu, David segera undur diri karena ia akan menuju ke pusara kekasihnya itu.
Saat Alana dan Poci masih memandang punggung David, mereka ternyata melihat arwah Clara yang kini memakai pakaian bersih berwarna putih dan juga menampakkan senyum sumringah bahagia. Ia melambaikan tangan kepada Alana dan juga Poci.
“Selamat tinggal. Terima kasih untuk bantuannya selama ini.”
Alana ikut melambaikan tangan dan tersenyum lalu berkata untuk terakhir kalinya kepada arwah yang telah mengganggunya beberapa hari lalu. “Selamat tinggal Clara, semoga kamu bisa hidup dengan tenang ya.”
Poci menoleh ke arah Alana, lalu ia juga ikut bersaut, “Jangan ganggu kami lagi. Dan selamat tinggal.”
Alana tersenyum mendengar ucapan dari sahabat pocongnya itu. Ia kini tahu, Poci adalah arwah gentayangan yang berbeda dari arwah gentayangan lain. Ia sama sekali tak pernah mengganggu kehidupan manusia. Ia malah membantu arwah-arwah gentayangan lainnya untuk menemukan kehidupan yang tenang.
Tampak terlihat sangat tak peduli dan begitu acuh, tapi sebetulnya pocong ini memiliki sifat yang jauh lebih baik dari dirinya.
Selalu berpikir realistis dan banyak pertimbangan serta penuh kehati-hatian, membuat Alana semakin penasaran dengan kehidupan Poci terdahulu.
“Poci, jangan-jangan kamu dulu adalah seorang detektif?”
Pocong yang memiliki ekspresi wajah yang selalu tak ramah itu menoleh dengan wajah datar. Ia menyatukan alisnya dan menyoroti Alana dengan menyeramkan.
“Janganlah membuat spekulasi yang tak bermanfaat seperti itu. Nanti juga kamu akan tahu aku siapa,” jawab Poci.
Hah!
Alana menganga, karena ia tak tahu siapa sebenarnya Poci. “Kenapa kamu tidak pernah bercerita sama sekali denganku, Ci. Terkait masa lalumu.”
“Aku juga tidak tahu pasti kehidupanku dulu, dan lagipula aku masih senang berada di sini.”
Sudah terbiasanya dengan sikap sahabatnya seperti itu, membuat Alana lebih paham dan tak akan bertanya lagi mengenai kehidupan masa lalu Poci.
Namun pada saat mereka ingin menuju ke ruangan, karena hari mulai gelap. Mereka kedatangan tamu, seorang wanita memiliki wajah yang sangat manis dan tatapan lembut. Wanita itu menatap Alana penuh rasa bersalah.
Sedangkan raut wajah Poci berubah, kubil matanya mengembang dan secara otomatis ia mengalirkan air mata. “Dia.”
Bersambung.