Ketika rasa beban di kepala Alana menghilang, David pun merasa lega.
“Saya baik-baik saja, Pak David.”
Namun, tanpa menemukan sebuah titik sepersen pun, mereka berdua dikejutkan akan kedatangan seseorang wanita yang berteriak kencang.
“Kamu sedang apa di sini, Sayang? Katamu ingin menjenguk pemakaman mantan kekasihmu itu?”
Secara repleks Alana, Poci, dan David menoleh ke belakang ke arah sumber suara. Terlihat wanita berkaki jenjang, tubuhnya sangat sexi bak barbie hidup dengan bola mata berwarna coklat muda berjalan mendekati pria yang diyakini akan menjadi suaminya.
David memasang wajah cemberut, mulutnya melengkung ke bawah, seakan dirinya tak menginginkan kehadiran wanita itu saat ini.
“Kenapa Sayang? Kenapa kamu memperlihatkan wajah seperti itu, sebentar lagi aku akan menjadi istri sahmu,” suara dengan volume keras tadi, kini berubah begitu pelan dan manja. Tangan kanan wanita yang bernama Jesika itu ingin menyentuh pipi calon suaminya.
David segera menepis dengan respon yang tak terduga. “Jangan sentuh aku! Dan jangan katakan lagi, jika Clara adalah mantan kekasihku! Dia adalah wanita yang tetap aku cintai sampai kapan pun!”
Pertengkaran itu membuat Alana dan Poci saling beradu tatap, mereka berdua bingung dengan sepasang kekasih ini.
Kekasih Clara itu secara cepat beranjak dari tempat duduknya, ia tak ingin berargumen dengan calon istrinya ini. Tanpa pikir panjang, ia menundukkan kepalanya kepada Alana.
“Maaf sekali Mbak Alana. Maaf pertemuan kita menjadi kacau dan saya berjanji akan menemui Anda beberapa hari lagi.”
Tanpa basa-basi lagi, David meninggalkan Alana. Jesika yang mengendus kesal dan melirik Alana tajam pun mengejar pria yang sangat ia puja. “Tunggu Sayang. Tunggu aku!”
Poci pun berteriak, “Hey! Tolong jangan tinggalkan kami begitu saja. David Raharja, kenapa kamu meninggalkan kami dengan teka-teki seperti ini!”
Sedangkan Alana masih terdiam diri, ia seperti memikirkan suatu hal. Secara bersamaan, Suster Luna menghampiri pasiennya yang di kira sedang bersantai di taman belakang.
“Mbak Alana, saya mencari Anda sejak tadi. Saya izin mau keluar saat ini karena ingin membeli peralatan mandi dan keperluan lainnya untuk Anda, ini atas perintah Dokter Arka.”
Kedatangan Suster Luna bagaikan malaikat yang Alana doakan sejak tadi. Ia memohon kepada suster penanggung jawabnya dengan memelas dan memegangi kedua tangan Luna.
“Suster Luna, bisakah Anda menolong saya sekali saja. Tolong kejar pria berkemeja hitam itu. Dan tolong selidiki apa yang akan mereka lakukan. Saya mohon.”
Bagaimana pun juga, Alana adalah seseorang yang sangat diistimewakan oleh orang penting di rumah sakit ini. Yaitu Yoshi, direktur utama sekaligus pemilik rumah sakit swasta ini.
Mau tidak mau, Luna harus melaksanakan tugas yang sudah diperintahkan oleh atasannya. Permintaan Alana, sama dengan tugas yang diberikan sang atasan.
Luna hanya mengangguk, dan ia segera mengejar David beserta Jesika agar ia tak kehilangan jejak pria yang dipercaya menjadi juru kunci terkait kematian Clara yang begitu mengenaskan.
“Alana, apa kamu sudah gila menyuruh Suster Luna mengikuti David? Apa kamu yakin pria itu orang baik? Jika dia adalah pria yang memiliki kepribadian ganda bagaimana? Bisa saja ia membuat hal yang di luar nalar kepada Suster Luna? Apa kamu tidak berpikir bisa saja David adalah pria berdarah dingin yang membunuh kekasihnya di pesisir pantai?”
Lontaran sahabatnya membuat Alana sedikit tak mengerti. “Apa maksudmu, Poci?”
“Alana! Be smart, please! Kamu itu terlalu polos! Jangan berpikir semua manusia sama sepertimu yang memiliki hati nurani! Bagaimanapun juga, kita harus memiliki antisipasi mengenai karakter manusia. David itu pria cerdas, yang bisa saja ia memutar balikkan fakta. Raut wajahnya begitu fleksibel. Ia seperti bisa mengutarakan ekspresinya begitu mudah!”
Glek!
Alana menelan salivanya, ia kini berpikir bahwasanya perkataan yang terlontar begitu cepat dari mulut sahabatnya memang benar, bagaimana nantinya nasib Suster Luna?
Sebenarnya sejak awal Alana tidak ingin melibatkan kasus kematian Clara dengan siapa pun. Bahkan ia ingin berlari mengikuti David dan Jesika sejak tadi. Namun sayang, kaki Alana masih belum bisa berjalan dengan baik. Kakinya saja masih di gips dan perlu menjalankan perawatan beberapa kali.
Di lain sisi, ia sama sekali tak berpikir apa pun mengenai David seperti yang dikatakan sahabatnya tadi. Apalagi sampai berpikir bahwasanya David adalah pembunuh berdarah dingin!
Ia hanya tahu, David adalah seorang pria tulus yang mencintai Clara.
Nasi telah menjadi bubur, semuanya ia biarkan terjadi. Ia yakin dari hatinya semua akan baik-baik saja. Dan ia hanya bisa berharap penuh dengan Suster Luna, agar wanita itu bisa memberikan dirinya sebuah jawaban mengenai misteri kematian Clara.
Poci sedikit kesal dengan tindakan gegabah sahabatnya itu. Tanpa basa-basi lagi, Poci melepas kain kafannya dan segera berganti baju.
Ia meninggalkan Alana sendiri di taman belakang, tanpa menghentikan langkahnya. Sontak hal itu membuat wanita tersebut bertanya-tanya, “Poci ... Ci ... kamu mau ke mana?”
“Mau ke mana lagi, kalau bukan mengejar David dan Suster Luna!” cetus Poci.
Ia hanya ingin memastikan jika pikiran ia salah mengenai David Raharja.
Hah!
Alana hanya bisa menghembuskan napas berat, ia merasa situasinya semakin rumit. Lalu ia menyoroti ruangan di mana Clara sempat di rawat. Pada saat ia berharap sosok itu muncul dihadapannya saat ini, sosok tersebut tak terlihat batang hidungnya.
Karena cuaca tampak mendung, langit dihiasi awan tebal hitam. Alana memutuskan untuk masuk ke dalam menuju ke ruangannya.
Pada saat Alana berjalan pelan di lorong rumah sakit, ia merasa hawa semakin dingin. Ia membaca sebuah ruangan yang di tutup menggunakan porgol sangat erat. Dan tertulis, "Jangan Masuk Ruangan Ini Rusak!" Dan tepat di atasnya ada tulisan yang sudah usang "Ruang Laboratorium". Entah ini dulunya mungkin ruang penting yang kini hanya ruang usang tanpa penghuni.
Tampak terlihat ruangan itu terbengkalai. Ruangan ini ada di pojok ruangan lain. Baru kali ini Alana berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sangat jarang di jamaki oleh orang.
Alana hanya sedikit bosan dan sedikit kesal dengan sahabat pocongnya yang bisanya hanya emosi saja. Dan meninggalkannya seorang diri di rumah sakit ini, tanpa berpamitan sebelumnya.
Ia ingin melihat kondisi rumah sakit yang konon katanya ada cerita kelam di dalamnya. Ia hampir lupa dengan kisah Suster N, yang awal pertemuannya dengan Suster Luna membuatnya penasaran.
Namun, entah mengapa jiwanya kembali terbakar untuk membongkar kasus kematian suster yang sampai saat ini tidak pernah diketahui kebenarannya.
Pada saat Alana mendorong kursi rodanya mengenakan tangannya perlahan-lahan, ia seperti mendengar suara tangisan begitu sendu yang membuat hatinya terluka.
Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri remang-remang, sembari memberanikan diri bertanya, “Siapa di sana?”
Bersambung.