Wanita itu tak segera menjawab pertanyaan dari David. Meskipun Poci memberitahu kepadanya, jika sepantasnya ia berterus terang saja. Namun, Alana masih berpikir dan menimbang sesuatu.
Dalam benaknya, bagaimana bisa ia mengatakan jika kekasihnya kini bergentayangan dengan wajah yang begitu menakutkan? Wajah yang hancur sampai memunculkan daging berbau busuk.
Jika dibayangkan, Alana saja sangat sedih dan takut bila sosok itu menampilkan wajah seperti itu kembali. Untung saja sosok Clara tadi menampilkan wajahnya yang manis, tapi dengan raut wajah yang begitu sendu.
Alana yakin sekali, arwah Clara sangat ingin mengatakan sesuatu kepada sang kekasih. Namun, apa daya mereka kini sudah berbeda alam dan tidak akan bisa berbicara secara luas kembali. Clara kini hanyalah hantu gentayangan yang ingin membalaskan dendam menyangkut kematiannya yang teramat tragis.
Hah!
Hembusan napas itu terdengar oleh Alana, sehingga wanita tersebut menoleh kembali ke arah pria yang tatapan matanya mulai kosong.
“Seharusnya waktu itu saya tidak menerima ajakan Jesika,” ucap David begitu lemas. Ia sepertinya sedang mengingat suatu hal pelik, yang membuatnya tak ingin mengingat hal tersebut.
Sontak hal itu membuat kubil mata Alana dan Poci berbarengan menyempit serta menoleh kembali ke arah David, sembari menganga terlihat sedikit bingung akan kalimat yang baru saja berlalu itu.
“Ma-maksud Anda bagaimana ya, Pak David?” tanya Alana seraya tergagap.
Tatapan tajam nan sendu itu mengiring David ke arah wanita yang tampak terlihat kebingungan. Wajah pria itu semakin pucat dan sangat menyedihkan. Bawah matanya berbentuk cekungan berwarna hitam, sepertinya ia sudah tak tidur beberapa hari setelah kematian sang kekasih.
“Seharusnya saya ikut mati bersama, Clara!” tegasnya yang membuat Alana dan Poci semakin terperanjat kebingungan.
Alana menggaruk pelepisnya menggunakan telunjuk, ia benar-benar tak paham mengenai semua yang dibicarakan pria malang itu. Sungguh tidak mengerti!
“Maksud Anda bagaimana, Pak?”
Ketika Alana terus melontarkan pertanyaan, Poci terdiam ia tampak menyoroti dan dengan tegas menatap David dengan serius. Ia ingin mendengar segala rahasia yang telah membuatnya kacau oleh pria seperti mayat hidup ini.
“Mbak, jika kamu bisa memilih hidup di keluarga terpandang tapi segala yang kamu inginkan diatur oleh orang tuamu, bahkan seperti memilih pasangan hidup yang seharusnya menjadi kehendak sang anak. Atau memilih menjadi anak yatim piatu dengan segala kekurangan, tapi kamu bisa hidup bebas memilih jalan hidupmu. Kamu ingin menjadi anak yang mana?”
Alana semakin tak paham dengan pria yang duduk di sampingnya ini. Ia melirik ke arah Poci, seraya menaikkan dagu karena ingin bertanya seharusnya ia menjawab apa?
Wanita ini benar-benar tampak kebingungan, sampai ia melakukan telepati dengan Poci. “Bantu aku, Ci. Apa yang harus aku jawab, mengapa dia menanyai pertanyaan yang tidak sesuai dengan konteks?”
Poci segera menggelengkan kepalanya pelan, ekspresinya datar. Baru kali wanita itu melihat sahabatnya tampak begitu serius. “Dia bukan berbicara sembarangan. Kamu jawab saja pertanyaannya sesuai dengan apa yang kamu pilih. Tolong jawab, karena ia sedang berusaha menceritakan sebuah hal yang dirasakan dalam hatinya. Namun, dengan cara perumpamaan. David ini pria yang cerdas, dan ia sangat berhati-hati berbicara dengan siapa pun. Meski dia tahu maksudmu baik kepadanya, tapi ia juga memiliki pikiran jika ia harus berhati-hati denganmu, Na.”
Karena Alana masih menunggu jawaban Poci, ia fokus ke arah sahabatnya tanpa menjawab pertanyaan kekasih Clara.
David mencondongkan tubuhnya ke arah Alana dan ia kembali bertanya, “Apa yang akan kamu pilih, Mbak Alana?”
Ah!
Alana sedikit terkejut, ia membuyarkan penglihatannya yang fokus ke arah Poci, Kini ia langsung menjawab dengan gesit. “Tentu saja saya akan memilih menjadi anak yang yatim piatu!”
Wanita ini menjawab secara realistis, Karena ia kini hanyalah anak yang seperti sudah tidak memiliki orang tua. Jadi baginya jawaban tepat adalah posisi yang kini ia rasakan.
David menjauhi tubuhnya dan kembali merebahkan tubuhnya yang bidang ke dasar kursi yang terbuat dari kayu di taman belakang rumah sakit.
Ia terdiam, dan sorot matanya kembali tajam. “Jika saya bisa memilih, saya juga ingin menjadi anak yang yatim piatu. Anak yang tidak diatur oleh orang tua, bahkan sampai menentukan jenjang kehidupan yang lebih serius. Apakah Mbak Alana tahu, ternyata dunia ini tampak kejam. Jika masih ada orang yang berpendapat terlahir di keluarga terpandang memiliki banyak harta yang melimpah adalah sebuah berkat yang membahagiakan, pikiran orang tersebut sangat kerdil!”
Tiba-tiba David berteriak pada kalimat terakhir dan ia memegangi dadanya yang terasa sesak. Tampak begitu jelas, pria ini sangat kecewa dengan takdir kehidupannya. Alana sedikit mengerti apa yang dirasakan pria itu.
Mungkin saja David memiliki orang tua yang mengaturnya dalam setiap langkah. Atau ....
Tiba-tiba manik mata Alana mengembang, ia mengingat sebuah momen pada saat arwah Clara mengajaknya ke dimensi lain.
Clara yang bersimpuh menangis memohon kepada wanita dan pria baruh paya. Di sana wanita malang itu seperti dianggap hanya sebagai binatang, tanpa memperlakukannya sama seperti manusia.
Mengapa hati manusia itu tak berfungsi sama sekali, seharusnya jika ia sudah diberikan tugas menjadi manusia dengan Tuhan, bukannya ia harus bisa memanusiakan manusia?
Lintas ingatan itu membuat kepala Alana berat sekali.
David menoleh ke arah samping, mendengar Alana mengeram kesakitan lalu meletakkan tangan kanannya ke pundak gadis itu pelan. “Mbak, Anda tidak kenapa-napa?”
Sedangkan Poci masih menerka setiap kali pria yang mungkin usianya tak jauh dari Alana ini berucap. Kata-katanya bagaikan sebuah teka-teki yang harus dipecahkan.
Misteri kematian Clara menjadi ujung tombak ia ingin mengusaikan kasus ini. Namun, dari gerak-gerik yang diperlihatkan entah mengapa Poci kembali mencurigai kekasih Clara ini.
Ia merasa, tekanan emosi David tak stabil. Ia tahu pria itu sedang merasakan duka yang begitu dalam, tapi mengapa pria tersebut seakan menutupi rahasia? Hal ini yang sedang dirasakan oleh Poci.
Pocong tersebut menutup mulut, seraya berpikir keras.
“Apa yang sebetulnya disembunyikan oleh pria ini? Mengapa dalam setiap lantunan ucapannya serasa ia memiliki sesuatu yang dirahasiakan. Itu terlihat ketika setiap kali ia menatap Alana, bola mata pria ini selalu mengalih tak mampu memandang Alana lama.”
Goncangan dalam hati Poci tak dipungkiri lagi, ia kini benar-benar seperti seorang detektif yang memiliki persepsi dan spekulasi teramat tajam.
Poci bisa menilai gerak-gerik kekasih Clara itu semakin mencurigakan. Ia pikir David pria yang perlu terutama ia waspadai.
Pocong ini merasa David memiliki sebuah jarak yang ia lakukan. Kata-katanya dibuat seakan dirinya yang paling tersakiti atas kehilangan kekasihnya. Buktinya saja, tak lama Clara meninggal ia sudah menggandeng wanita yang akan ia jadikan istri.
Namun yang menjadi pertanyaan besar, mengapa bisa arwah Clara berubah menjadi arwah manis pada saat David menangis beberapa jam lalu?
Hal ini semakin runyam, ia tak bisa menembus kebenaran yang pasti!
Bersambung.
Noted Penulis :
Hallo kakak-kakak semua, bagaimana kisah Alana dan Poci? Kira-kira siapa ya yang membunuh Clara?
Lynn mau ngucapin permohonan maaf atas typo dan kesalahan dalam menyebutkan nama mungkin dalam novel ini. Lynn akan melakukan editing mulai weekend, dan doakan ya kakak-kakak semua semoga novel ini cepat selesai. Jika bisa Lynn akan menyelesaikan sebelum tanggal 29 Januari ini. Dan tidak lupa Lynn ucapkan terima kasih banyak untuk kakak-kakak yang sudah membaca sampai di bab ini. Jangan lupa komen atau like karya ini ya, semoga kakak-kakak semua dalam keadaaan sehat dan bahagia. See you di chapter berikutnya.