Pria yang sedang menatap layar desktopnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak terlihat seperti pria tampan pemilik senyum manis, kini ia hanya menampilkan ekspresi wajah yang penuh akan kesedihan.
Sebenarnya apa yang dirinya lihat?
Terdengar bisikan dalam lamunan yang menyedihkan itu. “Maafkan aku. Aku akan berjanji menemukan pelaku yang sebenarnya. Hatiku sakit ketika melihat senyum yang dulu sangat indah itu.”
Kesedihan itu membuyar karena tiba-tiba ia mendapat telepon dari patnernya. Arka sedikit mengkerutkan dahi, bertanya mengapa Suster Luna menelponnya di jam segini.
Ia menekan tombol terima, dan segera menempelkan benda mungil itu ke sisi telinga kanannya. “Iya Suster Luna, ada apa?”
“Dok, apakah Anda masih di rumah sakit?”
“Saya sudah di rumah, saat ini jadwal saya pagi. Ada apa ya sus, kenapa suaramu seperti tersengal-sengal?”
“Saya kehilangan Mbak Alana, Dok. Saya sudah mencari dari sudut rumah sakit dan bertanya ke pihak rumah sakit juga. Tapi hasilnya nihil.”
Tanpa berpikir panjang lagi, Arka mengambil jaket parasut berwarna abu gelap dan ia bergegas ke rumah sakit. “Tunggu saya sebentar lagi, sus.”
“Bagaimanapun caranya, wanita itu tidak boleh sampai hilang. Dia adalah wanita yang sangat dijaga oleh Yoshi! Aku harus menjaganya, sampai saatnya dia akan menjadi tawananku!” gerutu Arka dengan wajah dingin.
Pria ini tampak sangat berbeda dengan biasanya. Senyum manisnya berubah menjadi senyum mengerikan, kehangatannya berubah menjadi dingin. Ekspresi wajahnya yang selalu menunjukkan keramahan menjadi datar. Dan sorot matanya yang begitu menawan berubah menjadi menakutkan.
Siapa sebenarnya Arka, seorang dokter yang menjadi penanggungjawab Alana di rumah sakit Lokapala?
***
Alana memiliki ide yang cemerlang, tapi ini mungkin akan menguras tenaga dan waktu. Ia berbisik kepada sahabatnya.
“Alana, tak perlu berbisik kepadaku. Aku kan tidak bisa didengar oleh orang lain? Apalagi kalimat yang kamu lontarkan tentu saja untukku, tidak ada yang menguping Alana.”
Wanita yang memiliki hati begitu tulus itu sering lupa, jika yang dijadikan sahabatnya kali ini bukanlah manusia. Melainkan pocong nyentrik dan tampan senusantara!
Hehe!
Alana menggaruk pelan pelipisnya menggunakan telunjuk, sembari senyum nyengir karena ia sering tak sadar jika sahabatnya itu adalah arwah gentayangan.
“Bagaimana dengan rencanaku, Poci? Apakah kamu mau membantuku?”
Hmm!
Dengan gaya yang begitu estetik, mulut yang ditutup dan seperti berpikir keras seperti seorang detektif yang akan memecahkan masalah besar untuk kepentingan negara. Poci terlihat sangat berwibawa.
“Tapi, Na. Bagaimana kita bisa melakukannya? Kamu tahu kan data rumah sakit tak segampang itu diberitahu, bukan seperti pasar kelontong!”
Wanita itu menggelengkan kepala pelan, ia pikir sahabatnya itu belum paham akan rencananya yang sudah ia pikirkan matang-matang.
Baru saja ingin kembali membisikkan, Alana langsung ditegur oleh Poci. “Mau apa kamu, Na? Ingin berbisik lagi denganku? Kan sudah aku bilang aku ini pocong, Na. Bukan seorang manusia.”
Alana kembali hanya bisa tersenyum nyengir.
“Begini Poci, bagaimana jika kamu ....”
Penjelasan itu pun langsung diresapi oleh Poci, kini ia dan Alana akan melakukan misi besar demi menyelesaikan masalah arwah Clara.
“Are you ready, brother?” teriak Alana yang begitu bersemangat, padahal saat ini sudah waktunya tidur untuk wanita yang masih bersandang sebagai pasien aktif ini.
Poci hanya menyunggingkan sudut bibir bagian kiri, sembari menatap sahabatnya aneh.
Setelah semua rencana dipersiapkan dengan baik, tiba-tiba Alana dikejutkan dengan cara berpakaian Poci. Sosok pocong itu tampak begitu berbeda, sampai membuat wanita tersebut terbelalak.
Dengan jas serba hitam, mengenakan sepatu kulit berwarna coklat mengkilat, dan topi. Membuat Poci semakin persis seperti detektif.
“Effort bener kamu, Ci.” Alana menutup mulutnya, ingin rasanya ia tertawa tapi ia berusaha untuk menahannya agar terlihat menghormati tindakan sahabatnya yang begitu menjiwai peran ini.
“Ci, darimana kamu dapat pakaian keren seperti ini?”
“Entahlah, nyopot di ruang sebelah,” jawab santai Poci yang seperti tak memiliki dosa apa pun.
“Astaga Ci, nanti orangnya cari pakaiannya gemana?”
“Makanya, kita harus cepat melakukan misi ini, oke?”
Alana menganggukkan kepala dengan penuh semangat. Akhirnya mereka pun mencoba menjalankan rencana dengan penuh harap berhasil.
Sampailah mereka di ruang administrasi. Ada dua orang wanita yang begitu sibuk, tapi dengan rencana yang matang mereka saling tatap dan melakukan jobdesk masing-masing.
Rencana pertama, Poci membuat suara tangisan bayi dan itu membuat salah satu wanita yang sedang sibuk dengan komputernya untuk mengecek.
“Mbak, apa kamu dengar suara itu?” tanya wanita yang tampak lebih muda.
“Iya aku dengar. Coba kamu cek saja,” perintah wanita yang terlihat lebih senior.
Wanita yang terlihat lebih muda itu mengangguk, dan bangkit dari duduknya.
Setelah rencana pertama terlaksana dengan baik, sekarang waktunya Alana yang bereaksi.
Alana berteriak histeris dan memanggil wanita itu dengan mimik wajah sangat cemas. “Mbak tolong, lihatlah di pojok lorong ada sesuatu. Ada ...,”
Karena melihat mimik wajah Alana yang begitu meyakinkan, tanpa pikir panjang wanita ini langsung berlari dan melihat ada kejadian apa di pojok sana. Yang masih ditunjuk oleh Alana.
Terlihat sudah sepi, Alana segera melancarkan aksi ketiga. Ia mencari informasi pasien bernama Clara.
Alana sangat yakin, Clara dibuatkan acara pemakanan di rumah sakit ini. Karena terlihat tadi sore David dan wanita yang diyakini calon istri pria itu mengenakan pakaian serba hitam. Yang dipercaya mereka sedang menghadiri acara duka.
Melakukan hal ini membuat Alana tak tenang, sudah berapa tetesan peluh yang keluar. Detak jantungnya seraya ingin copot. Ia seperti perampok yang ingin mengambil data-data penting negara.
Tapi semua itu ia tepis, ia tak lagi memikirkan hal itu. Ia fokus mencari data Clara dan David.
Setelah beberapa kali mencocokkan, ia menemukan data. “Pasien yang ditemukan tenggelam di dasar Laut Biru, pada malam hari tanggal 2?” Alana menutup mulut dengan manik mata yang hampir keluar.
“David Raharja sebagai penanggungjawab pihak keluarga,” ucap Alana yang membaca sebuah data di komputer administrasi.
“Apakah semua ada sangkut pautnya?”
Alana masih bertanya-tanya, karena yang dikatakan Poci mengenai arwah jahat itu adalah arwah wajah hancur yang pernah mereka temui ketika Alana ingin kontrol mengenai kaki patahnya.
Aura arwah itu memang besar, hal ini membuat Alana selalu tak ingin berurusan dengannya. Tapi pada saat arwah itu menunjukkan jika dirinya adalah Clara, hati Alana bergerak.
Bahkan ia sampai rela melakukan semua ini.
Alana segera mencatat nomor telepon David dengan cepat. Setelahnya ia langsung meninggalkan ruangan itu, berharap petugas administrasi masih berada di lorong.
Baru saja keluar, Alana dikagetkan dengan petugas dengan wajah yang sedikit kesal.
“Mbak, apakah Anda ingin mempermainkan saya? Tidak ada apa di lorong pojok itu.”
Alana hanya bisa minta maaf dan menjawab dengan seadanya, “Tadi ada kecoak, Mbak. Saya sangat takut.”
***
Pria dengan mata yang terpejam, berteriak kencang, “Maafkan aku, Sayang. Maafkan karena tidak bisa menjagamu. Clara ...!”
Dengan wajah pucat dan pipi sangat tirus, pria tersebut terbangun dan mengatur napasnya.
Hah! Hah!
Ia melihat jam dinding, menunjukkan pukul 00:00
Dreet!
Ponsel pria ini berbunyi, ada yang mengirimkan pesan di tengah malam.
-Pak David Raharja, saya ingin membicarakan suatu hal kepada Anda. Hal ini mengenai wanita yang sangat Anda cintai, yaitu Clara. Temui saja besok pukul 12.00 di taman belakang rumah sakit Lokapala. Terima kasih-
Bersambung.