Wajahnya merekah, dari sorot mata sosok itu sangat terendam dendam yang sangat mengerikan. Alana yang seketika mematung dengan mulut mengaga membuat dokter yang sedang mendorong kursi rodanya pun terkejut.
“Mbak Alana, Anda mendengarkan saya? Mbak, tolong jawab pertanyaan saya?” tanya Dokter Arka dengan menyentuh dan menggoyangkan sedikit bahu pasiennya itu.
Masih belum tergubris, Alana seperti dihipnotis aura negatif dari sosok tersebut. Sosok yang penuh akan dendam ketika ia menjadi manusia. Kematian yang tidak ia terima sama sekali, takdir yang tidak ia inginkan. Membuat sosok ini ingin membalaskan apa yang dirasakannya kini.
Poci, masih berada dekat di samping sahabat manusianya. Ia mengemukakan pendapat, sembari menyondongkan tubuhnya dan berbicara di dekat indra pendengar sahabatnya tersebut.
“Alana, apa kamu melihat dendam di sorot mata sosok menyeramkan itu?”
Mulut wanita ini begitu kaku, ia tak mampu untuk melontarkan apa yang dipikirkannya saat ini. Namun, telepati melalui pikiran yang ia paparkan kepada Poci dapat dicerna.
‘Poci, aku takut dengan sosok itu. Kenapa dia menatapku dengan sangat tajam? Sangat mengerikan dan ia sepertinya memiliki dendam yang membara.’ Banyak sekali pertanyaan yang ingin ia lontarkan kepada sahabat pocongnya tersebut, tapi kini pernapasan Alana semakin tidak beraturan.
Ilusi itu pun buyar, Alana kini sedang mengatur napas dengan menekan dadanya menggunakan tangan kanannya.
Ia melihat ekspresi dokter sebagai penanggung jawabnya itu sangat khawatir dengan keadaan pasiennya.
“Mbak Alana, apakah sekarang Anda sudah bisa mendengarkan saya?”
Alana hanya mengangguk dan menerka, situasi rumah sakit yang semakin sepi ini. Setelah itu ia melirik sahabatnya yang ada di samping kanan. Namun Poci hanya menggeleng, mengartikan bila Alana tak usah berbicara saat ini.
Sampainya di ruangan, Gips yang masih terpasang di kaki kanannya pun dilepas. Dokter Arka meminta izin untuk keluar beberapa menit, karena ia ingin mengambil sesuatu.
Tibalah Alana yang sejak tadi tak sabar ingin menanyakan sesuatu kepada Poci, mengeluarkan unek-uneknya.
“Poci, astaga ... aku pikir apa yang kulihat tadi hanyalah mimpi belaka. Syok berat, sungguh! Apakah benar sosok tadi adalah sosok yang baru saya meninggal? Dan benarkah cerita Dokter Arka mengenai dia ditemukan tewas tenggelam di dasar Laut Biru?” Suara Alana sudah tak teratur, sedikit gemetar dan dipercepat. Ia hanya ingin mendapatkan jawaban dari Poci.
Sosok yang tergulung oleh kain kafan itu hanya menganggukkan kepala, dengan mata yang sedang memikirkan sesuatu.
Merasakan hal itu, Alana kembali bertanya, “Ci, apa yang kamu pikirkan? Apakah kamu juga berpendapat denganku, jika sosok itu tidaklah nyata?”
“Tidak! Ia adalah sosok nyata yang kedua kali aku lihat. Sosok wanita yang memiliki dendam merekah kepada manusia. Sosok yang memiliki aura begitu gelap karena ia tak ikhlas dengan kematiannya seperti itu, sungguh sadis. Masih ada hal yang ingin ia lakukan di dunia ini. Dan sejujurnya aku tidak mau bertemu dengan tipe-tipe arwah gentayangan seperti itu.”
Jika tangan Poci seperti manusia normal, mungkin kini gayanya sedang mengerutkan dahi sembari tangan kanan menutupi mulut seperti berpikir keras, yang sedang memikirkan perusahaan yang memiliki banyak hutang piutang. Namun malang, ia hanyalah sosok remahan yang ingin meluruskan jika hantu itu tak semua jahat dan menakutkan.
Ia adalah hantu gentayangan yang hanya ingin mencari jawaban atas kematian yang tidak ia ketahui sama sekali.
Alana menatap lurus ke arah Poci, ia menerka semua yang dilontarkan sahabatnya itu, baru saja ingin menanyakan lebih lanjut, tapi sahabatnya kembali berucap.
“Na, apakah kamu tahu ternyata sosok wanita itu sangat menyeramkan. Dendamnya sangat tajam dan mengerikan dibanding sosok pria. Apalagi ia sudah menjadi arwah gentayangan, pasti ia akan selalu meneror semua orang yang diyakini menyakiti dirinya di saat ia menjadi manusia. Aku merasakan aura yang sangat besar, tapi lebih besar dengan apa yang kulihat pertama.”
Alana terdiam, dibenaknya masih menyerap apa yang dikatakan Poci.
“Aku malah penasaran, kenapa mereka terbunuh begitu sadis seperti itu sehingga mereka memiliki dendam yang begitu mengerikan,” lanjut Poci.
Baru kali ini Alana mendapatkan kesempatan untuk bertanya sepuasnya, “Poci, berikan beberapa aku kesempatan untuk menanyakan suatu hal terkait ini. Yang pertama siapa yang kamu lihat selain sosok yang kita lihat tadi memiliki dendam merekah? Dan yang kedua, kenapa kamu yakin mereka terbunuh, bisa saya mereka bunuh diri.”
Poci menoleh dengan melototkan matanya, hal ini sontak membuat Alana berteriak karena bagi wanita cantik ini ekspresi sahabatnya sangat menakutkan dan membuat ia terkejut.
“Kenapa kamu teriak Alana?” Poci pura-pura tak tahu apa yang sudah ia lakukan tadi kepada sahabatnya.
“Alah, kamu hanya pura-pura terlihat tak melakukan kesalahan. Ekspresi wajahmu sangat menakutkan Poci, tolong jangan berlagak seperti hantu begitu!” kesal Alana dengan membuang mukanya sembari mengkerutkan dahi.
Berbicara seperti itu membuat Poci menjawab dengan wajah yang sama-sama masam. “Na, apa kamu lupa aku ini juga sosok hantu gentayangan. Hanya saja auraku dengan aura mereka berbeda.”
Hah!
Jika tidak berdebat mengenai hal kecil bukan Alana dan Poci namanya, persahabatan antara seorang manusia dan sosok hantu gentayangan.
Karena merasa mengatakan hal salah, Alana pun meminta maaf kepada Poci. Ia merasa ucapannya salah mengatakan Poci jangan seperti sosok hantu, padahal sahabatnya itu adalah hantu yang getayangan juga.
“Iya ... iya, maafkan ucapanku yang salah.”
“Permintamaafanmu seperti tidak tulus, aku tidak secara langsung memaafkanmu!” ketus Poci yang tak terima ucapan permintamaafan sahabatnya itu.
Alana menyilangkan kedua tangannya, dan menatap tajam sahabatnya yang kini ada di depannya itu. “Aku sempat berpikir, jika sosok seperti mu ketika menjadi manusia dulu kayak apa ya? Apakah mungkin kamu seorang pria yang begitu menyebalkan?”
Tatapan sinis Poci seperti mengartikan jika ia tak seperti itu. Ia juga meyakini ketika dulu ia menjadi manusia, ia adalah pria yang bisa dikatakan hampir sempurna dan memiliki sifat empati yang begitu tinggi terhadap sesama, apalagi dengan wanita yang dia cintai.
“Atau mungkin kamu tidak memiliki kekasih karena sikapmu seperti ini. Mana mungkin ada wanita yang akan jatuh cinta dengan pria sepertimu ini, begitu ketus!” lontar Alana. Ia sebenarnya tak ingin membuat perkara, tetapi setiap kali mendapatkan sikap pria yang menyebalkan ingin rasanya ia meluapkan emosi. Yah, itu tidak lain karena bayang-bayang dengan kekasihnya dulu masih terngiang sampai detik ini.
Tidak menyadari, ternyata Dokter Arka sudah sejak tadi berdiri dan menelaah apa yang sedang diucapkan oleh wanita yang menjadi pasiennya itu.
Dokter Arka sedang memegangi beberapa peralatan, dengan wajah yang kaku melihat Alana heran. “Mbak Alana sedang berbicara dengan siapa?”
Bersambung.