Sebelum menceritakan apa yang terjadi beberapa tahun menurut rumor yang beredar mengenai rumah sakit ini. Wanita muda yang mengenakan seragam lengkap itu tiba-tiba terdiam seperti patung. Wajahnya putih pucat, seakan dia tak mau menceritakan apa yang ia ketahui.
Hal ini membuat Alana merogoh lehernya ke arah samping, menyoroti wanita yang sedang gemetaran. Spontan ia menyentuh tangan kanan suster tersebut. Begitu dingin seperti es!
“Sus ... Suster Luna, apakah Anda baik-baik saja?” tanya Alana yang berangsur khawatir, karena tak mendapatkan jawaban dari wanita itu.
Sorot mata Suster Luna mengarah ke suatu ruangan, jaraknya beberapa meter dari tempat duduknya. Seperti ingin melihat apa yang telah dilihat susternya itu, Alana pun merogoh kepalanya ke arah tujuan.
Entah apa yang sebenarnya ditangkap oleh indra penglihatan suster cantik itu. Alana sampai terheran, padahal yang sedang dilihat Suster Luna hanyalah ruang pasien biasa.
Seketika bulu kuduk Alana merinding, kepala kirinya sangat sakit. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Selamat siang, sedang apa Mbak Alana dan Suster Luna di sini?” Terdengar suara pria yang melankolis.
Kedua wanita yang seperti linglung itu pun mengarahkan kepalanya ke pusat suara. Seperti meninggalkan dimensi lain, sorot mata Suster Alana tajam mengarah seorang pria yang mengenakan jas putih dengan begitu rapi.
“Astaga Dokter Arka, saya kira Anda siapa?”
Alana hanya terdiam, melirik dokter yang ada di depannya.
Hmm!
Dokter Arka mengeram, lantas ia melanjutkan pertanyaan yang belum terjawab, “Sepertinya kalian berdua sedang membicarakan suatu hal yang sangat serius? Itu tampak dari wajah Mbak Alana dan Suster Luna. Jika boleh tahu, apa yang sedang kalian perbincangkan?”
Seakan tahu, Suster Luna langsung menggelengkan kepala dan tidak ingin mengatakan hal jujur mengenai apa yang akan mereka bahas.
Berbeda dengan Alana, yang begitu polos dan tidak tahu menahu mengenai hal ini. “Saya ingin mengetahui cerita ke ...”
“Tidak ada dok, percayalah dengan kami,” tepis Suster Luna seraya melirik Alana dengan mengkedikkan salah satu matanya. Yang mengartikan Alana tak perlu melanjutkan apa yang ingin ditanyakan.
Karena tak ingin mengulik lebih dalam, dan juga dokter tampan itu sedang ada pekerjaan yang menumpuk. Meskipun ada beberapa pertanyaan yang sangat ingin dilontarkan kembali, setelah melihat ekspresi kedua wanita yang mencurigakan. Akan tetapi, pria bertubuh proposional itu segera pamit.
“Hm, baiklah jika begitu. Saya tinggal dulu, dan untuk Mbak Alana nanti sore kita akan melakukan mengecekan kembali untuk penanganan kaki Anda.”
Setelah berucap begitu, dokter tampan tersebut pun membalikkan arah. Suster Luna masih melihat punggung dokter itu, kendatipun pria yang diakui memang tampan itu berjalan sudah cukup jauh.
Ia pun tak sadar, ada yang memperhatikannya sejak tadi.
Alana hanya terdiam, ia mengira-ngira suatu hal yang mungkin sedang dipikirkan suster baik hati yang mau merawatnya dengan begitu tulus.
“Sus, apakah Anda memiliki perasaan kepada dok ...,”
“Tidak! Tidak, semua itu tidak mungkin terjadi,” sargap Suster Luna menepis pertanyaan pasiennya yang belum usai itu. Dengan ekspresi yang malu dan menunduk, Alana yakin susternya tersebut menaruh hati kepada dokter muda yang menyapa mereka tadi.
Ekspresi tegang dan menakutkan kini berubah menjadi nuansa yang manis.
Akan tetapi, Alana masih memiliki perasaan ingin tahu begitu besar menyangkut kisah kelam yang ada di rumah sakit ini. Ia pun tidak bosan dan tidak akan berhenti sebelum tahu sebenarnya apa yang terjadi di rumah sakit ini.
“Sus, maaf sebelumnya. Kenapa Anda tidak langsung menjawab apa yang sudah saya tanyakan. Saya lihat Anda tidak baik-baik saja, setiap kali saya ingin tahu mengenai kisah yang ada di rumah sakit ini.”
Suster Luna memejamkan beberapa detik manik matanya, lalu menghembuskan segala yang menjanggal dalam dirinya. Alana semakin bertanya-tanya, seperti ada yang ditutupi dengan wanita ini.
“Saya juga tidak tahu kisah kelam yang sebenarnya terjadi. Saya hanya mendengar rumor yang beredar di rumah sakit ini,” jawab Suster Luna yang belum bisa menatap Alana.
Karena gumpalan awan bergerak dikejauhan, membuat langit kembali menawarkan panorama yang cerah. Sehingga Suster Luna pun mengajak pasiennya untuk kembali ke ruangan.
“Kita berbicara di ruangan saja ya, Mbak. Saya tidak ingin Mbak Alana terpapar sinar matahari terlalu lama,” ajak Suster Luna dengan lembut.
Alana mengangguk, tapi dalam benaknya sudah sangat ingin melontarkan banyak pertanyaan mengenai rumah sakit ini. Di setiap detik, ketika Suster Luna mendorong kursi rodanya. Alana tak henti-henti bergelut dengan pertanyaan di dalam benaknya.
‘Kenapa kisah kelam itu seperti disembunyikan?’
‘Kenapa Suster Luna tidak langsung menceritakannya?’
‘Kenapa ekspresi wajah Suster Luna sangat mencurigakan, setiap kali aku ingin dia menceritakan semua ini?’
‘Kenapa? Kenapa dan kenapa?’
Sampailah pada ruangan, Alana sudah disambut dengan Poci yang berdiri di sudut tembok dengan wajah yang begitu kesal.
“Eh, gadis belagu kenapa kamu begitu lama jalan-jalannya?”
Hah!
Alana menghembuskan napas dengan sabar, seumur-umur dia baru kali ini memiliki teman tidak seorang manusia. Teman hantu yang kadang-kadang menyebalkan, kadang-kadang begitu baik dengannya. Apakah semua hantu seperti ini?
“Siapa suruh kamu jadi hantu!” gumam Alana, namun suster yang masih memegangi pegangan kursi roda pun terkejut.
“Mbak Alana, siapa yang menjadi hantu?”
Mata Alana terbelalak, ia lupa jika ada manusia lain di belakangnya. Lalu ia segera menampilkan senyum ceria, seperti ada hal yang ditutupi. Tidak mungkin ia mengatakan hal jujur, bilamana ia sedang berbicara dengan sosok pocong yang gentayangan di rumah sakit ini.
“Ah, anu ... itu saya tadi sedang mengingat dialog film yang saya tonton.”
Suster Luna langsung percaya saja, karena memang tidak mungkin pasiennya berbicara dengan makhluk halus. Meskipun itu bisa saja terjadi.
Alana sudah berada dibrankar, dan ia kembali melontarkan pertanyaan yang sama terus menerus kepada susternya. Karena memang ia ingin mengetahui kisah kelam itu.
Ekspresi wajah Suster Luna tertekan, seperti tidak ingin melontarkan kisah ini.
“Hey kamu, gadis belagu lihatlah suster itu, apa kamu tak kasian dengannya? Kamu terus menyecal pertanyaan itu saja sejak tadi,” gertak Poci kepada temannya.
Alana hanya melirik sinis temannya, yang dirasa ikut campur.
Suster Luna menoleh ke arah pasiennya, ia pun sebenarnya tak sanggup untuk menceritakan hal ini. Hanya saja, ada yang mengganjal entah apa itu.
“10 tahun yang lalu, ada sebuah kejadian yang sangat tragis. Seorang suster yang begitu cantik, ditemukan tewas mengenaskan di sebuah ruang laboratorium pada dini hari. Kakinya patah, dengan banyak darah yang mengalir. Saya masih belum tahu sebenarnya motif apa yang membuat suster itu tewas secara tragis. Katanya suster yang berisinial N itu tak bisa hidup tenang, lantas ia selalu mencari tahu siapa yang diyakini telah membunuh dirinya.”
Penjelasan itu membuat bulu kuduk Alana berdiri, begitu pula dengan Poci yang mendengar kisah tragis tersebut. Ia menggelut tangan kanan teman manusianya, dengan ekspresi wajah ketakutan.
Bersambung