“Di sini begitu gelap tidak ada pencahayaan yang bersinar sedikit pun. Tempat apa ini?” tanya wanita itu dalam hatinya dengan berjalan perlahan-lahan menuju sebuah tapakan untuk mencari jalan keluar.
Ia berharap setelah dirinya berjalan beberapa kilometer, meskipun sampai saat ini tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaannya secara berulang. Wanita ini hanya mengharap penuh diberikan jalan keluar.
Benar saja, ada cahaya yang menghampiri. Tetapi ia melihat mini bus yang mendekatinya dengan kecepatan penuh.
AAAAAA!
Hah!
Alana terbangun dari pingsannya beberapa waktu lalu. Keringatnya bercucuran membasahi pelipis dan sebagian kepalanya. Ia merasa pusing dan kini ia masih mengatur napas dengan benar.
“Mbak Alana apakah Anda sudah tersadar?” suara terdengar lembut merasuk ke indera wanita yang ternyata hanya bermimpi itu.
Ia pun menoleh ke arah kanan, dan berdiri sosok pria mengenakan jas putih serta seragam lengkap dengan tatapan sayunya. Ia melihat Alana seakan dirinya sangat khawatir akan kondisi yang dialami wanita tersebut.
“Mbak, minum dulu air putihnya,” ucap seorang suster yang ada di samping pria dengan wajah melankolis itu memberikan Alana segelas air putih. Yah, suster itu adalah Suster Luna yang dipercaya mengawasi pasien patah tulang bernama Alana.
Dengan cepat Alana mengambil gelas bening itu. Setelahnya ia pun ditanya kembali dengan pria pemilik mata berwarna coklat begitu indah dengan nada yang sangat lembut dan intonasi bicara sopan, membuat Alana yang tadinya memiliki emosi membeludak kini mereda.
“Mbak Alana, saya berharap Anda bisa tenang. Dan perkenalkan saya Arka, dokter penanggung jawab Anda di rumah sakit ini. Hmm, sebelumnya mohon maaf bilamana saya tidak bisa langsung kemari untuk melihat kondisi Anda.”
Alana masih terdiam, karena ia belum terlalu sadar. Ia melihat ke pojok kanan dan kiri seperti memastikan kehadiran sosok lain. Menyadari hal itu, dokter pemiliki wajah tampan dengan khasnya yang melankolis itu berkata, “Hmm, Mbak Alana sedang mencari siapa? Apakah Mbak sedang mencari kekasih Anda?”
Sontak hal itu membuat Alana sedikit mengerutkan dahinya, ia tak suka dan sangat membenci kekasihnya itu. Mendengarnya saja sudah membuatnya sangat kesal, apalagi ingin bertemu kembali. Keputusannya yang kuat untuk melupakan pria kurang ajar itu membuatnya semangat menjalankan kehidupan selanjutnya, itupun akibat lontaran kata yang diucapkan oleh teman barunya yaitu Poci.
Wanita ini hanya ingin memastikan keberadaan Poci, karena sejak Yuta datang wanita tersebut tidak melihat sang teman.
“Tidak dok, saya tidak mengharapkan pria itu lagi!” Dengan nada sedikit ketus, Alana kembali mengambil meneguk gelas bening yang masih ia genggam di tangan kanannya itu.
Luna yang mendengarkan pertengkaran antara Yuta dan Alana tadi begitu terkejut, dan ia mencoba mengintip di sisi pintu yang di tengahnya hanya dibatasi kaca. Dan suster cantik nan muda itu langsung mengambil tindakan, untuk memberitahu Arka, seorang dokter muda yang bertanggungjawab dalam menangani pasien patah tulang ini agar dokter itu segera ke ruangan Alana.
Namun, ketika mereka sudah berada di ruang 1 yaitu ruang Mawar yang ditempati oleh Alana, pria pemilik darah campuran Jepang-Indonesia itu hanya terdiam, melihat sang kekasih jatuh pingsan. Sontak hal itu membuat Luna, sebagai suster yang diberikan kepercayaan penuh untuk merawat Alana lari berbirit. Segera memasang infus yang terpental beberapa meter dari brankar.
Di sanalah seorang Arka, yang masih terlihat tenang bertanya kepada Yuta.
“Mohon maaf sebelumnya, Pak. Maaf saya ikut campur dalam urusan yang Anda miliki dengan pasien kami. Jika boleh bertanya, ada hubungan apa Anda dengan pasien kami?”
Sebelumnya pria dengan kepercayaan tinggi itu menelisik bola mata Arka, yang diyakini adalah dokter di rumah sakit ini. Namun, tiba-tiba pria pemilik mata yang tidak terlalu sipit itu melantunkan pembicaraan yang begitu menyayat hati.
“Saya adalah kekasih pasien Anda, Pak dokter. Saya ke sini hanya ingin melihat kondisi kekasih yang sangat saya cintai. Akan tetapi, ia seperti tidak ingin melihat keberadaan saya di sini. Ia marah-marah tidak jelas, seperti orang yang memiliki gangguan jiwa,” jawabnya yang sangat pintar memutar balikkan fakta yang ada.
Arka masih terdiam, melihat raut wajah pria yang ada di hadapannya itu.
Lalu ia pun mengangguk. “Baik jika begitu Pak, bisakah Anda membiarkan pasien kami meluangkan waktu tanpa Anda. Maaf bukannya saya ingin memberikan batasan kepada Anda dan kekasih Anda, tapi demi kebaikan bersama. Saya akan bertanggungjawab penuh terkait kondisi kekasih Anda.”
Tidak ada kata lagi, Yuta segera keluar dari ruang Mawar dengan setetes air matanya. Entah air mata itu benar-benar air mata penyesalan karena ia sudah melakukan hal jahat kepada Alana atau hanya untuk mengelabui dokter muda tersebut . Tidak mungkin kan Yuta mengatakan bahwa dirinya telah tidur bersama wanita lain, sehingga menyebabkan sang kekasih mengalami kecelakan parah seperti sekarang ini?!
Hmm!
Mendengar nada bicara pasiennya yang tinggi dan ditambah wajah wanita cantik itu terlihat sangat kesal, Arka sangat yakin pastinya mereka memiliki masalah yang belum terselesaikan. Namun, sebagai seorang dokter yang bertugas hanya untuk mengawasi kondisi pasien dan tidak memiliki tugas lebih dalam sebuah perasaan. Arka tidak bertanya panjang lebar.
Ia hanya mengatakan kepada Alana jika wanita itu akan di rawat selama 3-4 bulan lamanya, atau bisa paling lama 6 bulan.
Bola mata Alana pun mengembang, “Apa?! Apa yang dokter jelaskan tadi? Saya di rawat selama itu di rumah sakit ini? Apakah Anda tidak salah?” Alana begitu syok, karena ia tak mungkin hanya berbaring selama itu tanpa memiliki kesibukan yang bermakna.
“Mbak Alana, maaf secara tiba-tiba Anda mendapatkan kabar buruk seperti ini. Patah tulang dibagian kaki kanan Anda begitu parah, dan hasil rontgen juga memperjelas adanya keretakan yang menyebabkan kaki Anda harus di gips beberapa bulan dan harus mengecek secara rutin.”
Alana seperti mendapatkan benturan hebat kembali. Belum saja terbebas dari rasa sakit yang membuatnya hancur akibat tabiat sang kekasih, kini juga ia harus mendapatkan konsekuensinya.
Sungguh malang nasib Alana.
“Oke baiklah, saya izin untuk keluar ruangan ini karena ada urusan penting lainnya, dan untuk Suster Luna jagalah Mbak Alana dengan baik selama saya menangani pasien lainnya. Terima kasih dan saya izin sekarang juga,” ucap Dokter Arka kepada Alana kemudian menoleh ke arah Suster Luna.
Alana masih melihat punggung sang dokter tampan, apakah ia terpesona dengan perlakukan yang sangat sopan dan lembut itu?
Bola mata wanita yang hanya bisa duduk di brankar ini mengembang, bukan karena terpesona tapi ia melihat ....
“Mbak Alana, Anda kenapa?” tanya Suster Luna.