Hampir tiga tahun berselang sejak saat itu. Aku menjalani kehidupan pernikahanku dengan normal. Ya ... meskipun aku kadang lupa dengan nama istriku, tapi aku beruntung dia sangat baik dan tak pernah mempermasalahkan hal itu.
Hari ini kebetulan hari minggu, istriku sedang hamil muda dan dia ingin jalan-jalan. Aku sengaja mengajaknya ke mall untuk menikmati liburan. Usai dari gereja, kami ke mall dan kali ini istriku tampak sibuk memilih beberapa baju hamil. Aku hanya mengekor langkahnya. Dari dulu aku paling males diajak belanja, tapi aku juga tidak tega kalau meninggalkannya.
Meski masih terasa sulit, pada akhirnya aku sudah belajar mencintai istriku. Buktinya perutnya sudah blendung dan berusia tiga bulan. Anggap saja itu bukti cintaku padanya.
“Mas, aku beli yang ini, ya?” ujar istriku dengan manjanya. Aku melihat sekilas baju yang dipilih kemudian mengangguk mengiyakan. Jujur, aku sangat awam dengan mode baju, jadi aku iyakan saja yang dia suka.
Akhirnya aku memilih duduk di salah satu sudut toko baju itu sambil menunggu istriku menyelesaikan transaksi. Saat tiba-tiba ada seorang anak kecil menepuk pahaku.
“Om, om boleh duduk?” tanya anak kecil itu. Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Boleh. Sini!!” Aku menggeser posisiku dan menyilakan bocah kecil itu duduk. Dia seorang bocah perempuan dengan wajah yang sangat cantik. Mungkin kalau aku prediksi usianya baru tiga tahun.
“Om namanya siapa?” tanya bocah itu dengan mimik lucu.
“Adit. Kamu namanya siapa?” kataku balik bertanya.
“Aku Egya.”
“Hmm ... nama yang bagus. Mama papamu mana?” Dia terdiam kemudian tampak celinggukan seakan sedang berusaha mencari kedua orang tuanya.
“Kamu kehilangan mereka?” tanyaku lagi.
Gadis kecil itu kemudian menggeleng dengan cepat.
“Enggak. Aku tahu, kok. Cuman aku capek, jadi aku tunggu di sini saja.”
Aku hanya manggut-manggut sambil mengulum senyum geli melihat ekspresi wajahnya yang menggemaskan. Aku jadi membayangkan jika istriku melahirkan anak perempuan, aku minta yang selucu ini saja.
Bocah perempuan itu kini tersenyum sambil mendongakkan kepala menatapku. Aku membalas senyumannya. Namun, entah mengapa saat kulihat matanya seakan mengingatkanku pada seseorang. Pada gadis manis nan cantik bermata almond. Ya, benar. Matanya seperti mata Ranti.
Akh ... kenapa lagi aku malah mengingat gadis pujaanku itu. Padahal aku sudah berhasil melupakannya tiga tahun ini. Aku menggelengkan kepala dengan cepat sambil mengalihkan pandanganku dari bocah perempuan itu. Aku berusaha menghalau bayangan gadis pujaanku. Kenapa juga saat aku bisa melupakannya, kini kembali hadir bayangannya.
Aku sudah melihat ke arah istriku, ternyata dia belum melakukan transaksi dan malah memilih baju lagi. Aku hanya menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Di mana-mana wanita selalu sama, paling doyan disuruh shopping. Sudah, biarlah. Lagipula aku sangat jarang memanjakannya. Perasaanku padanya juga cenderung flat di awal pernikahan. Aku yang salut dengan kegigihannya hingga membuatku bisa mencintainya meski tak sebanyak punyanya.
Aku masih asyik memperhatikan istriku dari jauh dengan bocah perempuan yang sibuk bertepuk tangan sambil bernyanyi-nyanyi di sebelahku. Entah apa yang dia nyanyikan. Sepertinya itu sebuah lagu yang diajarkan di sekolahnya. Sesekali aku mengulum senyum, saat Egya tidak bisa menyebutkan kata dengan benar. Dia sedang menyanyi lagu dalam bahasa inggris kali ini.
“Kamu sudah sekolah?” tanyaku kemudian.
Egya tidak menjawab hanya menganggukkan kepala sambil meneruskan nyanyiannya. Sepertinya dia tidak mau konsernya diganggu. Ya ... biarlah anggap saja sebagai hiburan gratis untukku. Aku juga suka anak kecil, kok. Dulu aku kepengen banget punya anak banyak dengan Ranti. Akh ... kenapa juga nama itu lagi yang terlintas di benakku. Mungkin gara-gara bocah perempuan ini aku jadi teringat olehnya. Aku mendengus kesal dan kembali memalingkan wajah. Lebih baik aku mengamati istriku dari jauh saja daripada terus mengingat Ranti.
Namun, tiba-tiba perhatianku teralihkan saat mendengar langkah mendekat dengan gegas dan berhenti di sampingku.
“Egya!! Kamu di sini? Mama sampai capek nyariin.” Sebuah suara yang sangat kukenal terdengar keluar dari sosok di sebelahku.
Aku menoleh, mendongakkan kepala dan langsung tertegun, bergeming di tempatku. Mataku berulang mengerjap untuk memastikan kalau sosok yang di depanku ini bukan gadis yang kukenal. Namun, sayangnya ingatanku masih sangat bagus saat terakhir kali bertemu dengannya di tempatku bekerja dulu.
Bajunya yang tertutup anggun dengan hijab yang membentuk raut cantik wajahnya sungguh tak bisa aku lupakan. Aku terdiam, jakunku naik turun menelan saliva sambil menatapnya tanpa kedip. Kenapa juga Tuhan seakan mempermainkan hidupku? Kenapa aku selalu dipertemukan saat tidak sedang sendiri? Kenapa juga aku dipertemukan saat berhasil melupakan?
“Aku capek, Ma. Mama kelamaan belanjanya,” protes Egya.
Aku hanya terdiam melihat interaksi ibu dan anak di sampingku ini. Pantas saja mata Egya sangat mirip dengannya, ternyata Egya putrinya Ranti.
Ranti hanya menghela napas panjang, lalu tiba-tiba bersimpuh di depan Egya yang duduk bersebelahan denganku. Terang saja aku jadi ikut melihat ke arahnya. Sumpah, dia selalu indah di setiap kesempatan. Dia selalu cantik dalam semua bentuk keindahan. Apa memang dia keturunan bidadari surga yang tak boleh aku miliki? Apa mungkin juga aku terlalu banyak dosa hingga tidak layak bersanding dengannya?
“Ya udah, sekarang pakai sepatunya terus kita pulang.”
Ternyata tujuan Ranti duduk bersimpuh itu untuk membantu Egya mengenakan sepatu. Aku masih membisu di tempatku dan spontan cosplay jadi tembok. Anggap saja dia tidak melihat kehadiranku saat ini. Namun, entah mengapa sekali lagi otakku tak mau bekerja sama dengan mulutku.
Dengan lancang, aku malah memanggil namanya. “Ranti? Kamu Ranti Adinda?” ujarku dengan polosnya.
Seketika sosok cantik itu menoleh dan mengerjapkan mata menatapku. Dia terlihat terkejut, tapi aku bisa melihat ada binar indah di matanya. Binar bintang yang pernah kuharap tak pernah padam.
“Adit. Aditya Samuel,” ujarnya lirih.
Aku tersenyum dan mengangguk. “Iya. Kamu masih mengingatku?”
Ranti sudah berdiri, aku juga ikut berdiri. Ranti tidak menjawab, tapi kepalanya tampak mengangguk pelan. Kenapa juga bersamaan dengan itu, hatiku berdesir hebat. Tanpa kuminta ada rasa yang dulu pernah kunikmati kembali muncul seketika. Aku menghela napas sambil mencoba meredamnya.
“Jadi dia putrimu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, kini sambil menjentik gemas pipi Egya.
“Iya. Kamu sendiri gimana, Dit?” Tidak kusangka dia malah bertanya tentang keadaanku. Aku pikir dia tidak akan peduli karena membenciku.
“Itu istriku, dia sedang hamil tiga bulan.” Aku sudah menunjuk istriku yang kini mengantri di depan kasir.
Ranti tersenyum sambil mengangguk usai melihat istriku. Kemudian kami terdiam lagi, sementara Egya sudah berada dalam gendongan Ranti. Entah mengapa kami terlihat gugup kali ini. Ada banyak kerinduan yang ingin kami tumpahkan, tapi terbatas dengan keadaan.
Kemudian tanpa diminta kami bersuara secara berbarengan dan itu membuat kami terdiam lagi. Untung saja tempat aku dan Ranti berbincang tidak dipenuhi pengunjung kali ini. Sehingga interaksi aneh kami tidak menjadi perhatian orang.
“Kamu mau ngomong apa, Dit?” Akhirnya Ranti bersuara. Aku malah membisu dan tak bisa bertutur. Padahal dulu aku paling tidak bisa jika harus berdiam begini, kenapa sekarang berubah.
“Enggak. Gak ada, kok.”
Ranti tersenyum kemudian mengangguk dan sudah berpamitan undur diri. Aku hanya tersenyum sambil menyilakan dia berlalu. Namun, baru dua langkah dia kembali membalikkan badan dan melihat ke arahku.
“Aku ... aku sudah memaafkanmu, Dit. Aku selalu mendoakanmu supaya bahagia.”
Aku hanya terdiam mendengarnya, mungkin Ranti bisa melihat kalau mataku berkabut. Aku tidak menyangka, dia malah yang berkata seperti itu lebih dulu padaku. Sekali lagi aku selalu kalah darinya. Dulu dia yang confess duluan, lalu sekarang dia yang move on dan memaafkanku duluan.
“Terima kasih. Aku juga selalu mendoakanmu semoga bahagia,” ucapku akhirnya.
Ranti tersenyum kemudian menganggukkan kepala. “Aku pergi, Dit. Jangan cari aku, ya!!”
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Meskipun aku bingung dengan arti ucapannya kala itu. Ranti sudah berlalu pergi. Aku melihat suami Ranti menyambutnya di sana. Helaan napas panjang keluar begitu saja dari bibirku.
Itu adalah saat terakhir kali aku bertemu Ranti. Sejak saat itu hingga hari ini, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Padahal kami tinggal di kota yang sama bahkan di perumahan yang bersebelahan. Namun, entah mengapa Tuhan seakan melarangku bertemu dengannya. Mungkin juga itu doa yang diucapkan Ranti setiap malam agar tidak pernah bertemu denganku lagi.
Aku tidak akan menyalahkannya. Mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Karena kalau mau jujur aku masih sangat mencintainya. Cintaku tidak pernah padam untuknya. Aku takut dan mungkin dia juga takut, jika kami kembali bertemu dan berinteraksi tak ayal semua yang pernah terjadi terulang kembali.
Padahal ada hati yang harus kami jaga, ada keluarga yang harus kami bina. Biarlah cintaku dan cinta Ranti menjadi kenangan indah kami yang akan selalu tersimpan di dalam hati. Aku akan terus mencintainya dengan mendoakan kebahagiaan untuknya. Mungkin itu cara terbaik untuk mencintainya, tanpa harus saling menyakiti.
Jadi apa kalian percaya kalau cinta pertama itu tak bisa dilupakan? Karena kalau aku mempercayainya. Cinta pertamaku adalah Ranti Adinda dan sampai sekarang tak bisa aku lupakan.
TAMAT