Sejak hari itu, kehidupanku berubah total. Aku perlahan menjauhi Ranti, mengganti nomor teleponku bahkan aku menghindar melintas di depan sekolahnya. Aku hanya ingin menjauh darinya saat ini. Pasti kalian bingung mengapa aku begitu tega melakukan hal itu pada gadis pujaanku. Bukan, bukan karena permintaan mamaku di malam itu. Namun, ada hal lain yang tak bisa aku jelaskan.
Aku sedih, aku menangis saat harus melihat wanita pujaanku dari jauh. Aku berharap dia tidak membenciku. Dia tidak mencariku dan mengkhilaskan semua yang kulakukan ini. Sepertinya benar kata Kak Doni. Suatu saat aku pasti dihadapkan pada sebuah persimpangan yang harus kupilih. Kali ini persimpangan itu sudah menyapaku dan pilihanku menghindar dari pujaanku sejenak.
Aku memang tidak pernah menjemput Ranti bahkan sengaja loss kontak dengannya. Namun, aku selalu menjaganya dari jauh. Aku selalu mengamatinya dari jauh. Memastikan dia aman. Aku juga tidak pernah kehilangan kabarnya. Aku berusaha mencari tahu dari sahabatnya seperti yang aku lakukan saat ini.
“Kenapa kamu gak ketemu ama Ranti langsung aja sih, Dit? Kenapa mesti tanya aku terus?” protes Indy.
Sore itu, aku sengaja datang ke tempat kerja Indy di salah satu counter dalam mall di kotaku. Kami memang baru lulus sekolah dan Indy memutuskan langsung bekerja. Aku hanya menghela napas panjang dan menggelengkan kepala.
“Gak, Ndy. Aku gak bisa. Aku gak bisa ketemu dia. Nanti, deh. Kalau semuanya udah selesai dan sesuai rencana pasti aku temui dia.”
Indy kini tampak mendengus sambil menatapku dengan sebal.
“Terus sampai kapan kayak gini terus? Kamu tega ngegantung Ranti, Dit. Kalau kamu gak suka dan bosan, telpon terus putusin, kek. Jangan seperti ini.”
Aku terdiam dan menundukkan kepala. Mana mungkin aku lakukan itu. Aku masih sangat mencintainya dan tidak mau kehilangan dia. Mungkin untuk sementara waktu, aku belum bisa mendekat ke arahnya. Namun, aku yakin setelah semua yang aku lakukan berjalan sesuai rencana aku akan kembali menemuinya.
“Dit, kok malah bengong.” Indy menginterupsi lamunanku.
“Enggak. Aku gak papa, kok. Eh ya, Ranti jadi kuliah di mana sekarang?” Aku malah mengalihkan topik pembicaraan.
Indy kemudian sudah mengatakan kalau Ranti diterima di sebuah universitas ternama di kota kami. Dia bahkan mengambil jurusan kesukaannya yaitu matematika. Lagi-lagi aku tersenyum bangga begitu mendengar beritanya .
“Terus kapan kamu ke rumahnya? Kamu gak pengen apa ngapel atau ketemu dia lagi? Dia makin cantik loh, Dit. Nyesel loh kalau ada yang ngegaet nanti.”
Aku tersenyum meringis kemudian mengeluarkan ponselku dan langsung menunjukkan foto Ranti ke arah Indy. Indy langsung terbelalak kaget melihatnya.
“Gila kamu, Dit. Selama ini kamu ngikutin dia terus?” Aku mengangguk dengan tersenyum.
“Lah kalau gitu kenapa gak kamu samperin. Apa enaknya mencintai dari jauh? Aku yakin Ranti pasti akan menerima semua alasanmu. Dia itu juga cinta mati ama kamu. Apa pun kesalahanmu pasti akan dimaafkan.”
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Iya, aku tahu. Namun, belum saatnya, Ndy. Nanti, deh. Kalau semua yang aku rencanakan berjalan lancar aku akan menemui dia dan langsung melamarnya.”
Indy terbelalak mendengar ucapanku bahkan mata sipit gadis itu kini melebar seketika.
“Beneran, Dit? Beneran kamu bakal melamarnya?”
Aku tersenyum dan mengangguk dengan mantap.
“Aku cinta dia, Ndy. Sampai sekarang aku gak pernah bisa melupakannya. Dia itu selalu menjadi yang terindah dalam hidupku.”
Indy hanya tersenyum mendengar ucapanku sambil berulang menganggukkan kepala. Sayangnya aku tidak bisa mengatakan apa yang sedang aku lakukan untuk memuluskan rencanaku itu.
“Iya. Aku doain semoga semua yang kamu rencanakan berjalan dengan lancar dan kamu bisa langsung melamarnya.”
“AMIIN!!”
Itu adalah terakhir kali aku mendengar kabar tentang Ranti dari Indy. Karena selanjutnya Ranti semakin jarang bertemu dengan Indy karena kesibukan. Begitu juga aku, aku yang memilih kuliah menyambi bekerja sedikit kerepotan membagi waktu. Aku selalu kelelahan begitu tiba di rumah dan langsung memilih tidur tanpa mencoba mencari tahu keberadaan Ranti.
Hari berlalu, berganti minggu berganti bulan dan berganti tahun. Aku sudah tidak mendengar kabar beritanya lagi. Namun, aku selalu berdoa supaya dia selalu bahagia dan aman di mana pun dia berada. Hingga hari ini, aku kembali dipertemukan dengan sosok yang aku tunggu.
Aku sudah lulus kuliah dan diterima bekerja di salah satu bank swasta ternama. Aku bekerja sebagai customer service yang membantu nasabah membuka rekening.
Pagi itu aku sangat bersemangat dan tidak kusangka Tuhan mempertemukan dengan seorang gadis yang kupuja.
“Selamat pagi dengan Aditya. Ada yang bisa dibantu, Kak?” ucap sapa perkenalanku.
“Iya, Mas. Aku mau buka rekening tabungan,” jawab sosok cantik di depanku.
“Rencananya mau buka jenis tabungan yang mana, Kak?”
“Eng ... yang tahapan biasa saja, Mas.”
“Baik. Kalau begitu boleh pinjam KTP atau Sim-nya.”
Sosok cantik itu tersenyum kemudian mengeluarkan KTP dan disodorkan padaku. Aku langsung terdiam membisu saat membaca nama yang tertera di sana. Berulang aku melirik sosok cantik itu. Memang gara-gara pandemi yang melanda, kami masih diwajibkan mengenakan masker untuk beraktivitas. Itu sebabnya sosok di depanku ini tidak mengenaliku.
“Dengan Kak Ranti Adinda?” tanyaku kemudian.
“Iya, benar, Mas.” Aku langsung terdiam dan tertegun menatap ke arah gadis di depanku ini.
Sungguh penampilannya memang sangat asing dan hampir saja tidak kukenali. Namun, mata buah almondnya itu kini membuatku teringat pada sosok cantik pujaanku. Aku menarik napas panjang dan kembali mengajukan beberapa pertanyaan padanya. Ranti menjawab dengan lugas.
Dari interview singkat itu, aku baru tahu kalau dia sudah menikah. Aku bahkan sempat melirik jari manis di tangannya. Ada cincin yang melingkar di sana. Hatiku langsung terkoyak, hancur berantakan tak karuan. Aku mencoba profesional dengan terus melayaninya sebaik mungkin. Tidak mungkin juga jika aku langsung berlalu pergi meninggalkannya.
“Ehm ... Kak, bisa dibuka sebentar maskernya untuk saya ambil gambar,” pintaku kemudian.
Ranti mengangguk. Ia membuka masker dan seketika aku terperangah kaget melihatnya. Kenapa juga dia semakin cantik? Bagai bidadari yang turun ke bumi. Wajahnya semakin putih dengan dagunya yang lancip. Rambut sebahunya kini tidak terlihat karena Ranti sudah menutupinya dengan hijab putih. Senyum manis gula jawanya juga sama seperti yang aku lihat dulu. Apa ini karma untukku karena aku meninggalkannya begitu saja saat itu? Andai saja aku bisa mengatakan padanya kenapa aku pergi. Andai saja ada mesin waktu yang bisa membuatku mengulang semua.
Untuk beberapa saat aku terdiam dan hanya membisu mengamati. Aku bahkan sengaja mengambil beberapa kali fotonya.
“Apa sudah selesai, Mas?” tanyanya.
“Eng ... sebentar, Kak. Masih saya verifikasi.” Aku sengaja bohong kali ini hanya untuk sekedar menikmati kebersamaan yang sekejap ini. Bahkan aku masih mengingat parfum bunga kesukaannya ini.
Kenapa baru kali ini Tuhan mempertemukanku dengannya? Apa memang aku tidak boleh berjodoh dengannya? Apa memang hanya karena sebuah perbedaan yang masih terus aku perjuangkan membuat aku tidak bisa bersamanya? Aku sangat mencintai wanita ini. Bahkan cintaku sudah habis untuknya. Namun, pada akhirnya aku harus kehilangan dia.
“Sudah selesai, Kak. Ini buku tabungannya. Kalau Kakak berminat ada beberapa produk dari bank kami ... .” Aku kembali melanjutkan protokoler sesuai dengan pekerjaannku.
Meski hatiku tak karuan, jantungku berdebar hebat dan sakit ini menyayat dada. Aku harus profesional.
“Iya, terima kasih, Mas Adit. Lain kali saya akan memakai produk bank yang lain.”
Ranti sudah mengakhiri kalimatnya dan kenapa saat dia memanggil namaku, dadaku kembali berdebar hebat. Ada banyak rasa yang dulu sempat aku nikmati ketika pertama kali bertemu dengannya datang kembali.
“Sudah selesai, Sayang?” tanya seorang pria berambut cepak. Pria itu berdiri di belakang Ranti. Tingginya hampir sama dengan aku, kulitnya sedikit gelap dan mempunyai senyum yang manis. Apa mungkin dia suami Ranti?
“Iya, sudah, Mas. Yuk!!” Ranti berdiri kemudian merundukkan badan memberi salam kepadaku. Aku hanya diam sambil menganggukkan kepala.
Jadi begini sakitnya patah hati, begini sakitnya cinta yang tak berbalas. Namun, sungguh aku tidak pernah menyalahkan Ranti dalam hal ini. Adalah hal yang wajar jika dia memilih move on daripada menunggu aku yang tak kunjung memberi kepastian. Lagi-lagi benar kata Ranti kalau aku pria pengecut yang bisanya memberi perhatian bukan kepastian.