“I love you,” desisku lirih sambil perlahan mengurai kecupan kami.
Ranti hanya terdiam, menunduk kembali tanpa mau melihat ke arahku. Bibirnya yang tadi biru kedinginan kini sudah berubah merah. Bahkan wajah putih pucatnya tadi sudah bersemu merah. Apa mungkin karena ulahku tadi membuat Ranti seperti ini? Akh ... nakal sekali aku.
“Maaf ... aku gak bermaksud ---“
Aku membisu, urung melanjutkan perkataanku. Aku bingung. Apa aku harus minta maaf atas ulah lancangku tadi? Meski aku akui, aku sudah lama menginginkannya dan aku yakin Ranti juga begitu. Kami masih terdiam hanya helaan napas yang terdengar panjang pendek keluar dari bibir kami.
“Dit ... .” Akhirnya Ranti memutus keheningan kami.
“Hmm ... .” Aku melihat mata bak buah almond yang sedang mendongak ke arahku. Aku tidak bisa mengartikan mimik wajahnya kali ini. Marah ataukah malah mengizinkan aku untuk mengulangnya lagi.
“Aku ... aku ... harap ---“
Belum sempat Ranti melanjutkan kalimatnya, aku sudah memotong lebih dulu. “Iya, aku tahu. Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Itu terjadi karena terbawa suasana. Aku minta maaf.”
Ranti kembali terdiam dan tampak menghela napas panjang. Terlihat sekali kalau dia jengkel denganku. Ulahku tadi memang sangat di luar kebiasaanku, aku sendiri tidak tahu mengapa aku senakal itu.
“Bukan itu yang ingin aku katakan, Dit.” Ranti kembali bersuara. Aku terdiam, mataku mengerjap sambil menatap tajam ke arah mata buah almond kesukaanku itu.
Memang kali ini kami masih berdiri sejajar dengan aku yang merengkuh tubuhnya. Hujan juga belum berhenti sehingga tidak ada orang berlalu lalang yang melihat aktivitas kami kali ini.
“Lalu kamu mau ngomong apa?”
Ranti kembali terdiam dan kini tangannya sudah turun melingkar di tubuhku seakan ikut membalas pelukanku. Aku terdiam sambil melirik gerakannya sekilas.
“Kamu selalu yang pertama, Dit. Kamu yang pertama aku suka, pertama aku bukakan pintu hatiku dan juga pertama menciumku.”
Aku membisu dengan jakun yang naik turun menelan saliva. Aku tersanjung dengan ucapan Ranti kali ini. Aku memang sudah menjadi pemenang di hatinya, tapi ulahku tadi sangat bodoh. Aku berharap dia tidak mengubah perasaan dan pandangannya kepadaku. Aku masih diam dan menatap tajam ke bola mata bak buah almond nan cantik itu.
“I love you too, Adit,” pelan Ranti menambahkan ucapannya.
Mataku mengerjap, aku yakin banyak bintang yang berbinar di dalam netraku. Sayangnya aku tidak bisa melihat sendiri. Ranti menggerakkan tangannya kemudian melingkar di punggungku. Dia tersenyum ke arahku dan langsung menyandarkan kepalanya di dadaku. Aku tersentak kaget melihat ulahnya, tapi jujur aku sangat suka.
Aku tersenyum semakin mempererat pelukanku sambil sesekali mengecup puncak kepalanya. Hujan masih turun dengan deras bagai musik yang mengalun mengiringi kebersamaan kami. Aku senang hari ini. Bukan karena baru saja melakukan kecupan pertama, tapi aku semakin yakin kalau gadis manis di dalam dekapanku ini akan selalu jadi milikku.
Pukul lima sore, hujan sudah reda, jalanan sudah mulai ramai bahkan banyak pengguna jalan yang beraktivitas. Aku dan Ranti sudah berada di dalam sebuah angkot kali ini. Kami duduk bersebelahan dengan tangannya yang masih kugenggam erat.
Aku tak peduli dengan tatapan sinis ibu-ibu yang duduk di depanku. Aku juga tak ambil pusing dengan lirikan mbak-mbak pegawai kantoran yang julid mengghibah sedari tadi. Dia gadisku, dia milikku dan akan selalu seperti itu selamanya. Ini sangat indah dan untuk seterusnya aku tidak akan malu mengakui ke dunia tentang hubungan kami nantinya.
Aku ikut turun saat Ranti juga turun. Hari sudah malam dan pasti keluarganya menunggu kedatangannya.
“Kamu langsung balik saja, Dit. Aku bisa pulang sendiri, kok,” pintanya di tengah jalan.
Aku menggeleng sambil terus mengandeng tangannya. “Gak. Ini sudah malam, kalau kamu ada apa-apa gimana?”
Ranti tersenyum mendengar ucapanku. “Ini sudah di daerah rumahku, Dit. Aku juga sudah mengenal area ini. Kenapa harus takut terjadi apa-apa?”
Aku berdecak sambil meliriknya sekilas. Aku hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Aku janji, mulai hari ini aku akan mengubah sikapku. Aku juga berjanji dalam hatiku kalau akan selalu menjaga gadis pujaanku ini di mana pun dia berada.
“Sudah sampai, Dit!!” Tidak terasa kami sudah tiba di depan rumah Ranti. Suasana malam setelah hujan di area perumahan Ranti sedikit sepi. Bahkan tidak ada orang yang keluar rumah.
“Mampir, yuk!!”
Aku mengangguk. Tidak sopan rasanya kalau aku hanya mengantar sampai depan rumah tanpa harus bersilahturahmi ke keluarganya.
“Kok sepi, ke mana semua?” tanyaku. Aku sudah duduk di ruang tamu dan sedikit terkejut saat melihat Ranti kembali keluar sambil membawakan aku minuman.
“Iya, aku lupa kalau Mama dan Papa sedang pergi. Hanya Kakak dan adikku saja, tapi mereka juga sedang belajar.”
“Oh ... gitu.” Bibirku sudah membentuk huruf ‘o’ dengan kepala yang mengangguk berulang. Padahal aku ingin sekali memperkenalkan diri dengan resmi sebagai calon menantu mereka. Akh ... sudahlah. Bukankah masih banyak kesempatan lagi.
“Kalau gitu, aku langsung pulang saja, ya!! Kamu pasti juga capek pengen istirahat,” putusku kemudian.
Ranti hanya mengangguk sambil tersenyum ke arahku. Gegas aku meneguk habis teh hangat yang baru disiapkan Ranti.
“Aku gak usah pamit ke Kakak dan adikmu, nih?” tanyaku sambil bersiap bangkit.
“Gak usah. Mereka lagi belajar, lagian juga nanti marah kalau diganggu.” Lagi-lagi aku menganggukkan kepala. Memang hari juga sudah larut, aku yakin mamaku pasti sibuk mengkhawatirkan aku. Apalagi sejak hujan tadi sore, ponselku sudah mati tak menyala.
“Ya udah, aku pulang. Besok aku jemput!!” pamitku.
Ranti mengangguk berjalan beriringan mengantarku sampai pintu. Tinggal beberapa langkah aku menuju pintu keluar, tiba-tiba Ranti mendekat ke arahku dan langsung mendaratkan sebuah kecupan di pipiku.
Aku terkejut dan spontan menoleh ke arahnya. Dia langsung memalingkan wajah, menghindar dari tatapanku. Sekilas aku melihat wajahnya sudah merona merah. Akh ... kenapa juga dia lakukan itu? Bagaimana kalau aku tidak bisa tidur nanti malam?
“Eh-hem.” Aku berdehem dengan keras, agar dia mau melihat ke arahku.
Pelan Ranti mengangkat kepala dan mata kami bertemu. Dalam seperkian detik, dengan nakalnya aku mendekatkan wajah dan kembali mengecup dengan lembut bibir mungilnya. Ranti membelalakkan mata menatap ke arahku.
Aku hanya mengulum senyum dan pura-pura mengacuhkan reaksinya. Aku sudah mengurai kecupanku dan kini mencondongkan tubuhku ke arahnya sambil berbisik dengan lirih.
“Mimpiin aku, ya!”
Lagi-lagi kulihat wajah Ranti merona dan dengan gerak pelan ia menganggukkan kepala. Aku langsung tersenyum melihat reaksinya. Kini aku benar-benar pamitan pulang, aku tidak mau berada lebih lama di rumahnya. Aku semakin nakal dan takut tidak bisa menahan hasratku nantinya.
Malam ini aku pulang dengan sangat gembira. Sepanjang perjalanan di angkot, aku terus mengulum senyum sambil sesekali kusentuh pipiku. Akh ... rasanya males mandi, deh. Berulang kali juga aku basahi bibirku sambil merasakan saliva Ranti yang tertinggal di sana. Kenapa juga aku seperti ini?
Jujur harus kuakui memang benar physical touch selalu ada dalam sebuah hubungan percintaan. Apalagi saat kita ingin mengungkapkan perasaan kita. Kini tergantung kita saja bisa menjaga sampai mana.
Aku menghela napas panjang dengan senyum yang masih terukir di wajahku. Banyak kejadian romantis hari ini dan akan selalu aku ingat sampai mati. Aku sudah berjalan dengan riang menuju rumah. Jalanan menuju rumahku sedikit becek, ternyata hujan hari ini turun dengan merata.
Aku melihat di pelataran rumahku hanya ada sebuah sepeda motor terparkir di sana, yaitu sepeda motor milik papaku. Aku tidak melihat motor Kak Doni. Apa dia belum pulang atau jangan-jangan motornya mogok karena hujan? Aku tidak mau berspekulasi, lebih baik aku langsung masuk dan menanyakan ke mama.
Namun, aku langsung terkejut saat melihat keadaan rumahku. Di ruang tamu terlihat ada Mama, Papa, Kak Arin sedang duduk di sofa. Wajah mereka terlihat sedih bahkan aku melihat ada bekas buliran bening yang luruh di wajah mamaku.
Aku berjalan mendekat menghampiri mamaku lalu duduk di sampingnya.
“Ma, ada apa? Kenapa Mama nangis?” tanyaku. Aku memang sangat dekat dengan mamaku. Aku sangat menyayangi wanita paruh baya itu. Beliau adalah cinta pertamaku yang tidak pernah padam. Tentu saja aku akan terluka jika melihatnya bersedih.
Mama tidak menjawab pertanyaanku malah langsung memeluk dan kembali menangis di pelukanku. Aku hanya terdiam membisu sambil berulang menatap satu per satu anggota keluargaku dengan kebingungan. Aku benar-benar bingung dan tidak tahu apa yang sedang terjadi. Padahal hari ini aku sangat bahagia, mengapa harus ditutup dengan kesedihan di akhir hari.