Sejak hari itu, aku semakin dekat dengan Ranti. Aku semakin sering menghabiskan waktu pulang sekolahku menjemputnya les, meskipun hanya naik angkot. Bahkan setelah itu malam harinya kami kembali mengobrol lama di telepon. Kadang juga melakukan sleep call. Akh ... sumpah ini adalah hari-hari paling indah dalam hidupku yang aku lalui bersama Ranti.
Hari itu saat jam istirahat, tiba-tiba Angga menghampiri aku dan Daniel. Wajah Angga tampak berseri-seri kesenangan.
“Ada apa? Kok kamu kayaknya seneng gitu, sih,” cetus Daniel. Angga hanya tersenyum kemudian langsung duduk di depanku dan Daniel.
“Aku barusan dikabarin ama panitia kalau kita juara ke dua dalam kompetisi lomba band kemarin.”
Aku dan Daniel langsung terbelalak kaget mendengarnya. Memang seharusnya pengumuman pemenang diberitahu kemarin malam melalui sebuah situs hiburan, hanya saja tidak ada satu pun dari kami yang melihat. Mungkin karena kami tidak terlalu berharap lebih jadi menganggap santai, tapi setelah tahu kalau kami menjadi salah satu pemenangnya itu sebuah kejutan.
“Beneran?” tanyaku memastikan.
Angga tersenyum kembali menganggukkan kepala. Aku langsung terdiam, aneka rasa haru dan suka cita bercampur di dadaku. Lagi-lagi ini adalah pencapaianku di bidang selain akademik dan aku sangat berharap Ranti bangga padaku.
“Oh ya, satu lagi. Nanti kita diminta datang untuk ambil hadiahnya, tapi kali ini ambilnya di kantor sponsor sedikit jauh dari sekretariat yang kemarin.” Angga kembali menambahkan.
Aku dan Daniel hanya manggut-manggut mendengarkan.
“Tapi jangan khawatir, hari ini aku bawa mobil. Kalian bareng aku aja, nanti pulang sekolah kita ke sana.,” imbuh Angga.
Aku hanya tersenyum meringis sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Ehm ... kalau aku gak ikut, gimana?” ujarku kemudian.
“Ya ... ngapain, Dit. Jangan-jangan kamu mau nungguin pacarmu les?” tebak Daniel. Aku mengangguk sambil meringis memperlihatkan gigi putihku.
“Ya udah, diajak saja. Aku juga ngajak Rani, kok.” Angga kembali menyarankan.
“Iya. Pakai aja motorku, nanti aku nebeng mobil Angga.” Daniel malah memberi saran. Aku langsung tersenyum kesenangan mendengarnya. Sumpah, teman baruku ini memang luar biasa. Mereka tidak hanya mensupport dengan nasehat, tapi sekaligus dengan fasilitas.
“Ya udah. Nanti aku kirim alamatnya di group.” Angga sudah berlalu pergi usai mengatakan hal itu. Aku dan Daniel hanya manggut-manggut mendengarnya. Kemudian aku gegas mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan ke Ranti. Aku berharap semoga saja dia mau bolos les sehari ini saja.
Pukul setengah tiga, bel tanda berakhirnya pelajaran sudah berdering di sekolahku. Seperti yang sudah direncanakan, Angga bersama Rani, Daniel dan beberapa personil band yang lain sudah berangkat naik mobil. Sementara aku sudah mengendarai motor milik Daniel menuju sekolah Ranti. Memang sampai sekarang Ranti belum membalas pesanku, tapi aku berharap dia mau ikut denganku sekali ini saja.
Aku menghela napas panjang sambil menghentikan motor milik Daniel di depan halte sekolah Ranti. Aku merogoh saku celanaku dan melihat ponselku, belum ada jawaban dari Ranti.
“Masa sih dia gak mau. Padahal aku pengen banget ngambil hadiahnya dengan dia. Ini adalah kepuasan tersendiri bagiku,” gumamku.
Pukul tiga sore, aku melihat ke arah gerbang sudah banyak teman Ranti yang berhambur keluar. Pastinya sebentar lagi Ranti juga akan keluar. Semoga saja dia mau menerima tawaranku. Cukup lama aku menunggu hingga akhirnya lima belas menit kemudian Ranti keluar.
Dia langsung tersenyum dan menghampiriku yang menunggu di halte. Aku hanya diam memperhatikan, berharap dia mengiyakan permintaanku.
“Maaf, Dit. Paket dataku habis tadi belum sempat beli jadi gak bisa jawab pesanmu,” ujarnya memberi alasan.
Aku hanya mengulum senyum sambil menggelengkan kepala. Padahal tadi aku sudah berpikir yang tidak-tidak.
“Terus kamu mau bolos les hari ini?” pintaku kemudian. Ranti tersenyum lagi dan menganggukkan kepala. Aku langsung tersenyum kesenangan melihat jawabannya.
“Ya udah. Yuk, buruan!! Temanku udah otw ke sana semua, takutnya aku ditinggal nanti.”
Ranti mengangguk, kemudian gegas naik ke boncengan motorku. Seperti biasa dia selalu kesulitan mengenakan helmnya dan lagi-lagi aku membantu memasangnya.
“Aku udik banget ya, masa pakai helm saja gak bisa,” gerutunya. Aku hanya tertawa sambil memperhatikan wajah imutnya yang berada tepat di depanku. Aku malah senang kalau dia gak bisa, dengan begitu aku yang akan selalu memasangnya. Aku gak keberatan selalu melihat wajah imut yang cantik ini.
“Udah?” tanyaku yang langsung dijawab anggukkan Ranti. Tak lama kami sudah melaju membelah padatnya lalu lintas siang ini.
Untung saja Angga sudah mengshare lokasi kepadaku, kalau tidak aku pasti kesasar. Tempatnya sangat jauh dan masuk ke perumahan elit di kotaku. Namanya perumahan elit, tentu kita tidak akan menemukan angkot di dalamnya. Jarak jalan raya dengan tempat yang aku tuju saja lebih dari tiga kilo. Aku jadi mikir gimana nanti pulangnya. Gak mungkin juga kalau minjem motor Angga lagi.
“Sini, Dit!! Kirain tadi kesasar,” celetuk Daniel.
Aku hanya meringis kemudian gegas masuk ke dalam kantor tersebut. Sebenarnya ini seperti rumah yang dialihfungsikan sebagai kantor. Namun, meski demikian perusahaan ini adalah salah satu sponsor utama kompetisi band kemarin bahkan beliau juga memberi hadiah berupa uang pembinaan.
Kami diterima dengan baik bahkan dipersilakan untuk menikmati makanan dan minuman yang sudah disiapkan. Kali ini tidak hanya anggota band inti saja yang datang, tapi masing-masing pacar kami juga ikut serta. Bahkan kami berfoto bersama di sana. Sumpah aku seneng banget, ini adalah salah satu pencapaian terbaik dalam hidupku.
“Dit, nanti kamu pulangnya bareng Angga saja. Soalnya motornya aku pakai, aku mau jemput adekku,” ujar Daniel.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. “Iya, gampang, Niel.”
Hampir dua jam lebih kami berada di sana, hingga akhirnya memutuskan pulang. Semua anggota personil bandku ada yang bareng Angga juga ada yang naik motor sendiri. Kali ini aku dan Ranti memutuskan pulang sendiri saja.
“Beneran kamu gak mau bareng, Dit?” Angga bertanya usai mendengar penolakanku tadi.
“Iya, gak usah. Aku mau jalan-jalan ama ayank-ku,” jawabku sambil mengedipkan sebelah mataku ke arah Ranti.
Angga hanya tertawa melihat ulahku sementara Ranti hanya diam sambil menundukkan kepala.
“Ya udah, terserah kamu, deh. Kalau gitu piala dan piagamnya aku bawain, ya. Biar kamunya gak repot.”
Aku mengangguk dan mengiyakan saran Angga. Tak lama kemudian semua sudah berpamitan, kami berpisah pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan aku dan Ranti memilih berjalan kali ini. Perumahan elit ini sangat nyaman, di setiap jalannya banyak pohon yang rindang. Ya ... kalau dipikir-pikir visualnya mirip kayak di drama Korea gitu.
“Kamu gak papa jalan kaki?” tanyaku sambil melirik Ranti.
Ranti tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Iya, gak papa. Jalan kaki menyehatkan, kok.”
Aku tertawa mendengar ucapannya. Dulu saat SMP, kami selalu bersepeda tiap pulang sekolah bahkan aku pernah mengajaknya menikmati minggu pagi dengan bersepeda. Terus sekarang aku mengajaknya jalan kaki. Kenapa kesannya aku ngajak dia hidup sehat, ya? Hidup sehat atau irit, terserah kalian yang menilai. Yang pasti aku sangat senang menghabiskan waktu dengannya.
“Kamu kelihatan seneng, Dit.” Ranti membuka kembali obrolan kami. Aku meliriknya sambil terus berjalan beriringan. Lagi-lagi sebuah senyuman terukir di wajahku.
“Iya, aku seneng banget. Akhirnya aku berhasil membuatmu bangga. Aku tidak mengecewakanmu, ‘kan?” ucapku kemudian.
Harusnya Ranti senang dengan ucapanku, tapi yang ada dia malah terdiam dan menundukkan kepala. Aku ikut diam dan sibuk mengolah udara. Apa aku telah salah ngomong tadi?
“Jadi kamu sengaja melakukan ini semua untuk buat aku bangga, Dit?” Aku terkejut dengan ucapannya dan langsung menghentikan langkah menoleh ke arahnya. Ranti juga berhenti dan melihat ke arahku.
Aku menarik napas panjang dan menatap gadis manis pujaanku yang sedang berdiri di depanku.
“Iya. Aku ingin kamu tidak memandangku sebelah mata. Aku tidak pandai di dalam akademik, otakku tidak seencer kamu. Aku juga tidak terlahir dari keluarga kaya yang bergelimang harta. Aku sering bikin kamu menderita, bukan. Jadi apa salahnya kali ini aku lakukan untuk membuat kamu bangga? Kalau aku bisa melakukan yang orang lain tidak bisa lakukan.”
Ranti membisu hanya helaan napas panjang yang keluar masuk dari bibirnya. Mata buah almondnya kini menatapku dengan tajam.
“Terima kasih, Adit. Aku sangat tersanjung dengan semuanya, tapi alangkah baik jika kamu melakukan semua ini karena dirimu. Karena kamu yang suka, bukan karena ingin dilihat olehku.”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Apa ini Ranti Adinda, teman SMPku yang kukenal dulu? Mengapa kata-katanya begitu menusuk hatiku?
“Apa kamu lupa? Kalau aku tidak menuntut kamu menjadi hebat. Aku hanya ingin kamu menjadi dirimu sendiri. Karena kamu tahu, aku sangat bangga menjadi kekasihmu. Pacarnya Aditya Samuel. Itu saja sudah cukup.”
Seketika aku cosplay jadi patung batu. Wajahku membeku dengan mata yang membola menatap makhluk indah di depanku ini. Tidak kusangka bukan hanya fisiknya saja yang indah, tapi tutur kata dan budi pekertinya juga. Aku jadi semakin jatuh cinta padamu, Ranti Adinda.