Sejak hari itu, kegiatan rutinku bertambah yaitu menjemput Ranti pulang les. Memang sih membutuhkan waktu lama untuk menunggunya dan kadang aku habiskan dengan latihan band. Usai latihan, aku minta diantar Daniel ke tempat les Ranti. Setelah itu aku pulang bareng dengannya dan tentunya naik angkot.
Hari ini aku sedikit lebih awal datang ke tempat les Ranti, karena latihan band kami selesai lebih cepat dari biasanya. Aku menunggu di warung penjual makanan dan minuman depan tempat les Ranti seperti biasa. Bahkan saking seringnya menunggu, aku sampai akrab dengan penjaga warungnya.
Pukul setengah enam tepat, semua anak sudah berhamburan keluar dari tempat les. Aku tidak melihat Ranti di antara mereka. Namun, aku putuskan tetap menunggu. Aku juga lupa tadi tidak mengirim pesan kepadanya lebih dulu kalau ingin menjemput. Sedikit menyesal aku berusaha menunggu hingga akhirnya tidak ada siswa yang keluar dari tempat les tersebut.
“Masa Ranti gak les sih hari ini,” gumamku lirih. Aku menghela napas panjang sambil mengeluarkan ponselku dan bersiap menghubunginya.
Namun, aku segera urung melakukan panggilan saat melihat Ranti sudah berjalan keluar dari sana. Aku tersenyum lega sambil bangkit dari dudukku dan bersiap menghampiri. Namun, langkahku terhenti saat melihat ada seorang cowok berkacamata sibuk mengejar Ranti sambil memanggil namanya.
“Ada apa, Wan?” tanya Ranti. Memang posisiku tidak terlalu jauh darinya, jadi aku bisa mendengar percakapan mereka.
“Ini bukumu ketinggalan di kelas,” ujar pria berkacamata itu sambil mengangsurkan sebuah buku. Ranti tersenyum sambil mengangguk dan menerima bukunya. Aku sedikit kesal dengan sikap Ranti, mengapa juga gadis pujaanku ini selalu murah senyum kepada siapa saja.
Aku menghela napas panjang sambil melipat tangan di depan dada menunggu Ranti hingga keluar. Ranti masih memasukkan bukunya dan terlihat kesulitan. Memang seperti biasa, bawaan gadis pujaanku itu selalu banyak. Aku sampai heran memang berapa macam mata pelajarannya dalam sehari.
“Kamu mau pulang?” Kembali si Cowok berkacamata bertanya. Aku meliriknya dengan sinis, aku rasa kalau cowok berkacamata itu sedang mencoba modusin Ranti.
“Iya. Kamu mau bareng?” Aku langsung terbelalak kaget saat Ranti berkata seperti itu. Aku menggelengkan kepala dengan cepat. Memang gadis pujaanku ini sangat ramah dan selalu bersikap baik kepada siapa saja. Sayangnya kadang dia tidak melihat siapa lawan bicaranya. Bisa jadi yang ia ajak bicara itu orang jahat.
Cowok berkacamata itu tampak hendak menjawab, tapi aku keburu berjalan mendekat dan berdiri di dekat Ranti sambil berdehem keras.
“Eh-hem!!” Seketika Ranti menoleh dan terkejut melihat ke arahku.
“Adit!! Aku pikir kamu gak jemput.” Ranti berseru kesenangan dan sepertinya cowok berkacamata itu tahu diri. Ia sudah pamit undur diri dan pergi berlalu begitu saja. Aku hanya melihatnya dari sudut mata dan berharap dia tidak mendekati Ranti lagi.
“Kok kamu keluarnya belakangan?” tanyaku kemudian.
“Iya, aku tanya PR tadi. Maaf, ya kamu pasti lama nunggunya.” Aku tersenyum kemudian menggeleng.
“Gak papa, kok. Sini aku bantu bawain bukunya!!” Ranti langsung tersenyum dan mengangsurkan buku yang berada di dalam dekapannya.
“Dia siapa?” Aku kembali bertanya dan kali ini menanyakan siapa cowok berkacamata tadi.
“Oh, dia Irwan. Anak baru di tempat les.” Aku hanya manggut-manggut sambil melirik Ranti sekilas. Kini kami sudah berjalan menuju jalan raya untuk mencegat angkot.
“Kok kamu kelihatan akrab gitu. Dia teman satu sekolah?” Aku masih mengajukan pertanyaan. Ranti hanya tersenyum kemudian menghentikan langkahnya dan melihat ke arahku.
“Kamu cemburu aku dekat dengan Irwan?” tanya Ranti to the point. Aku terdiam, kenapa juga dia bisa tahu kalau aku sedang menyimpan cemburu.
“Emang aku gak boleh cemburu?” kataku malah balik bertanya. Ranti mengulum senyum kembali dan kini menundukkan kepala. Aku memperhatikan reaksinya kemudian tanganku tiba-tiba terulur menarik dagunya ke atas. Ranti langsung terkejut melihat ulahku. Seketika mata kami bertemu dan saling diam untuk beberapa saat.
“Aku suka kamu dan aku gak suka kalau kamu dekat cowok lain. Termasuk saat kamu didekati Jefri dan juga Irwan tadi.”
Ranti hanya diam. Mata bak buah almondnya hanya mengerjap berulang seakan paham apa yang sedang aku bicarakan kali ini.
“Apa kamu janji gak akan beramah tamah lagi dengan mereka, juga dengan cowok yang lain?” imbuhku.
Aku sendiri juga tidak tahu mengapa tiba-tiba aku seposesif ini padanya. Ranti masih terdiam kemudian perlahan kepalanya mengangguk sambil menyunggingkan sebuah senyum gula jawanya. Aku membalas senyumannya kemudian tanpa bertanya aku langsung menyambar tangannya dan berjalan beriringan.
Ranti hanya terdiam membisu saat aku menggandeng tangannya. Ini adalah pertama kali aku menyentuh tangannya. Jujur, aku gugup banget bahkan jantungku terus berpacu lebih cepat dari biasanya. Namun, gara-gara kejadian tadi membuatku ingin membuktikan ke alam semesta kalau gadis cantik di sebelahku ini milikku.
Aku melirik Ranti dengan sudut mataku. Ia terlihat gugup dan gestur tubuhnya juga terlihat kaku. Mungkin dia juga mengalami hal yang sama denganku. Ini adalah pertama kali kami melakukan physical touch dalam waktu lama. Anehnya aku malah tidak mau melepas genggaman tanganku. Aku suka tangan mungilnya yang terasa pas di genggaman tanganku. Apa mungkin Tuhan memang sengaja menciptakan Ranti untukku? Sumpah, segini saja terasa indah bagiku.
“Minggu ini kamu ada acara, gak?” tanyaku membuka obrolan. Dari dulu aku tidak suka terlalu lama berdiam-diam seperti ini.
“Eh ... aku ada latihan paskibra di sekolah. Emangnya kenapa, Dit?” Aku hanya manggut-manggut mendengarnya.
Sebenarnya aku sudah izin ke Kak Doni untuk pinjam motornya. Aku berencana mengajak Ranti keluar. Sudah lama banget aku gak jalan-jalan dengannya. Namun, aku sengaja tidak memberi tahu dia dulu. Anggap saja aku membuat kejutan kali ini.
“Emang sampai jam berapa latihannya?”
“Cuman sampai jam sebelas, kok. Kalau gak ada lomba, kami latihan cuman bentar.” Aku kembali menganggukkan kepala dan masih mempererat genggamanku.
Ranti kembali diam dan terlihat melirik ke arah tangannya. Aku mengulum senyum, kemudian mengangkat kepala dan melihat ke arahnya.
“Kenapa? Kamu gak suka aku gandeng?”
Ranti tampak terkejut mendengar ucapanku dan segera menggeleng dengan cepat. Kemudian tak lama aku melihat ada tomat ceri bercokol di pipinya. Akh ... dia menggemaskan kalau tersipu malu seperti itu.
“Aku suka kamu gandeng, tapi ... apa kamu gak malu dilihat orang? Kita udah di jalan raya, Dit.” Ranti kembali bersuara dan kini sembari mendekatkan tubuhnya ke arahku.
Aku terdiam dan memperhatikan sekitar. Memang saat ini kami sudah berada di penghujung gang dan tiba di jalan raya yang ramai. Kali ini banyak orang yang berlalu lalang, tapi aku tidak menghiraukannya. Kini aku kembali melihat ke arah Ranti dan masih mempererat genggaman di tanganku, kemudian berkata dengan lirih di telinganya.
“Aku gak malu. Biar aja mereka semua tahu kalau Ranti Adinda punyanya Aditya Samuel.”