“Ranti ... ,” ucapku lirih.
Ranti tampak terkejut dan menatapku dengan mata membola. Dia sudah bersiap menghindar dariku sama seperti sebelumnya, tapi tangan Indy sudah mencekal lengan Ranti lebih dulu.
“Jangan kayak anak kecil!! Buruan selesain masalah kalian!!” seru Indy.
Ranti tampak menurut kemudian melihat ke arahku dengan sudut matanya. Kami memang berdiri bersebelahan dan terlihat canggung satu sama lain. Kemudian aku dan Ranti sudah berjalan sedikit menjauh dari antrian peserta lomba band. Ranti masih diam dan memilih duduk di bangku taman dekat sekretariat organisasi tersebut.
Aku mengikutinya dan duduk tepat di depannya. Aku sengaja ingin melihat wajahnya kali ini. Sumpah, aku kangen banget dengan makhluk indah ciptaan Tuhan ini.
“Jadi kamu mau ngomong apa?” Ranti membuka pembicaraan kami.
Aku menghela napas panjang sambil menatapnya dengan sendu. “Aku minta maaf. Aku salah gak menghubungimu langsung waktu itu. Aku rasa aku sudah menjelaskannya di pesan yang aku kirim. Itu beneran dan bukan bohongan. Kenapa juga musibah berbarengan aku alami saat itu dan bodohnya aku gak sempat menghubungimu.”
Ranti hanya diam, sesekali terdengar helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Aku meliriknya sekilas untuk memastikan kalau dia mendengar apa yang aku jelaskan.
Perlahan Ranti mengangkat kepalanya yang sedari tadi terus menunduk.
“Aku sudah tahu kalau dari dulu kamu memang ceroboh, itu sebabnya aku jengkel ama kamu. Aku sudah baca semua pesanmu dan aku memakluminya. Aku yakin kamu juga gak menginginkan mengalami hal itu. Hanya saja ---“
Ranti menjeda kalimatnya dan kini menatap tajam ke arahku. Aku membalas tatapannya. Sumpah berasa nyes hatiku melihatnya. Seakan aku baru saja meneguk es teh manis di tengah gurun sahara yang panas membara. Dia memang pelepas dahagaku.
“Aku sengaja menghukummu agar kamu tidak ceroboh lagi dan tidak terjadi hal yang sama kembali, Dit.”
Aku tersenyum kesenangan mendengar ucapannya. “Apa itu artinya kamu maafin aku?”
Pelan tapi terlihat sangat jelas kalau Ranti menganggukkan kepala. Aku sontak tersenyum lebar dan hampir meloncat saking gembiranya. Namun, aku sedang menahan diri. Aku sedang bergaya sok cool di depannya kali ini.
“Terus kita bisa pulang bareng lagi kayak biasanya?” Ranti tampak menghembuskan napas dengan kasar dan aku melihat reaksinya.
“Kenapa? Kamu gak bisa pulang bareng lagi?” Ranti menggeleng dengan lesu.
“Mama baru saja mendaftarkan aku les lagi dan aku terpaksa menurutinya. Itu sebabnya pulang sekolah aku tidak bisa pulang bareng kamu karena harus langsung les.”
Aku terdiam dan sibuk memaki sendiri di dalam hati. Kurang pinter gimana lagi sih, Ranti ini. Kenapa juga mamanya nambahin dia les lagi? Udah gitu, kok kuat banget otaknya. Coba aku pasti udah berasap tuh otak.
“Hari ini juga aku harus les, jadi mungkin gak akan lama di sini. Maaf, ya!!”
Ranti terlihat sedih sama halnya dengan aku. Padahal aku sudah merencanakan mau pulang bareng dengannya nanti. Ternyata dia harus les lagi. Duh, sumpah makanan apa sih les ini? Kenapa juga Ranti sangat doyan menikmatinya?
“Emang lesnya di mana? Deket dari sini?”
Ranti mengangguk. “Iya, deket, kok. Nanti aku jalan kaki aja.”
Aku langsung terbelalak kaget. “Kok jalan? Aku anter, ya!!”
“Gak usah, Dit. Aku gak mau ngerepotin kamu. Lagian emang kamu ke sini naik apa tadi?”
Aku berdecak sambil menggelengkan kepala. “Kamu ngeremehin aku banget, sih. Pokoknya nanti aku anter. Kamu mau berangkat sekarang?”
Ranti melirik jam di tangannya sambil terlihat berpikir. “Iya, biar gak terlambat. Kalau jalan kaki sih lama perjalanannya lima belas menit, tapi kalau naik motor cuman sepuluh menit,” ujarnya.
Aku hanya mengulum senyum mendengar ucapannya. Sampai segitunya dia menganalisa lama perjalanan ke tempat lesnya dari sini.
“Ya udah tungguin bentar. Aku ambil motor!!” Aku gegas bangkit dan berjalan menghampiri Daniel berserta anggota bandku yang lain.
“Dit, dari mana?” tanya Angga.
“Eng ... itu tadi aku ngobrol bentar. Niel, aku boleh pinjam motornya bentar, gak? Mau nganter ke sini sebentar,” ujarku kikuk. Daniel hanya mengangguk sambil tersenyum kemudian sudah menyerahkan kunci motor ke arahku. Daniel memang tadi sempat melihat saat aku mengobrol dengan Ranti. Dia juga tahu tentang perang dinginku kali ini.
“Hati-hati, Dit!!” pesan Daniel. Aku hanya mengangguk kemudian kembali jalan menghampiri Ranti sambil membawa motor.
“Yuk!! Aku antar sekarang.” Ranti terkejut melihatku yang tiba-tiba datang sambil membawa motor.
“Kamu tadi naik motor?” Aku menggeleng sambil mulai menyalakan motor.
“Enggak. Aku pinjem. Gak papa, kok. Udah buruan naik!!” Ranti menurut, langsung naik dan duduk di boncengan.
“Kasih tahu jalannya, ya!!” ujarku. Ranti hanya mengangguk dan bisa kulihat melalui kaca spion motor.
“Oh ya, aku lupa tanya. Kamu sekarang ikut ngeband juga?” Ranti membuka obrolan lagi dan bersaing dengan suara deru angin kali ini.
“Iya, daripada aku sumpek mulu mikirin kamu. Mending aku ngeband.”
Ranti langsung terdiam sambil memajukan beberapa senti bibirnya ke depan. Aku meliriknya melalui kaca spion dan mengulum senyum geli melihatnya.
“Iya, aku minta maaf, Dit.” Aku tertawa sambil mengangguk.
“Kan tadi udah maaf-maafannya. Udah jangan diterusin, lebaran masih lama.” Kini Ranti yang tertawa. Aku senang sekali mendengar suara tawanya apalagi disertai dengan mimik wajahnya yang menggemaskan.
“Ini jalan ke mana?” tanyaku begitu sudah keluar ke jalan raya.
“Itu, Dit. Lurus saja terus belok kanan di gang ketiga.” Ranti mengarahkan dan aku hanya diam sambil memperhatikan jalan.
Jalan ini adalah jalan menuju ke sekolahku dan memang letak sekretariat organisasi tadi berdekatan dengan sekolahku. Kenapa juga tempat les Ranti malah dekat dengan tempat lesku juga? Dia sengaja atau memang sekali lagi takdir dan Tuhan yang membuat kita kembali dekat.
Aku tidak berbelok di gang ketiga sesuai dengan yang Ranti katakan, tapi sudah melaju kencang. Ranti terlihat bingung.
“Loh, Dit. Kita kelewatan.” Ternyata Ranti mengajukan protes. Mungkin dia takut datang terlambat ke tempat les.
“Enggak, kita bisa lewat gang yang satunya, kok.”
Ranti mengernyitkan alis sambil melihatku melalui kaca spion. “Kok tahu, Dit?”
“Ya jelas tahu. Ini daerah kekuasaanku,” kataku sambil ketawa. Ranti ikutan tertawa mendengar ucapan konyolku.
“Gak, aku beneran. Depan sebelah kanan jalan ini kan sekolahku.” Aku sudah melambatkan motor dan melewati sekolahku yang sudah sepi tak berpenghuni. Ranti terbelalak kaget kemudian kembali melihatku lewat kaca spion.
“Dan tempat lesmu berada di gang sebelah sekolahku. Kamu sengaja atau gimana? Kok nyari tempat les deket sekolahku, sih? Gak mau jauhan ama aku, ya?” godaku. Kini aku berkata sambil mengerling nakal melihatnya melalui kaca spion.
“Ikh, Adit ngaco. Aku mana tahu kalau sekolahmu deketan ama tempat lesku. Lagian bukan aku yang daftarin, tapi Mama.” Aku hanya tersenyum mendengarnya sambil berulang menganggukkan kepala.
“Hmm ... berarti kayaknya kita emang jodoh. Makanya mulai sekarang jangan berantem dan salah paham lagi, ya!”
Ranti tidak bersuara hanya kepalanya yang mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaanku tadi. Aku sudah masuk ke gang tempatnya les dan melambatkan laju motorku hingga berhenti tepat di depan tempat lesnya.
“Nanti pulang jam berapa?” tanyaku kemudian.
Ranti tampak terkejut dan gegas menggelengkan kepala. “Gak usah dijemput, Dit. Aku bisa pulang sendiri.”
“GR banget, deh. Lagian siapa juga yang mau jemput. Aku cuman tanya kamu pulang jam berapa, kok.” Ranti kembali tertawa dan menatapku dengan gemas.
“Aku lesnya hanya dua jam setengah, jadi paling pulang jam setengah enam. Kamu mau langsung balik kalau acaranya udah selesai?” Ranti malah melempar pertanyaan padaku.
“Iya. Hati-hati ya pulangnya!! Nanti aku telepon kalau sampai rumah!!” Ranti mengangguk kemudian gegas masuk ke dalam tempat lesnya. Aku hanya mengulum senyum sambil melihat punggungnya dari jauh.
Hari ini aku seneng banget, ternyata gak rugi aku datang ke sini. Lagi-lagi Tuhan dengan keajaibannya memberiku banyak keindahan. Apa mungkin ini jodoh? Entahlah, aku hanya ingin menikmati semua keindahan ini seperti air yang mengalir saja.
Sore harinya tanpa sepengetahuan Ranti, aku menunggunya hingga lesnya berakhir. Untung saja di depan tempat les Ranti ada warung makanan dan minuman. Jadi aku tidak kelaparan menunggunya. Dia sangat terkejut, begitu keluar dari tempat les melihatku sedang berdiri di sana.
“Adit!! Kamu nungguin aku?” tanyanya dengan penasaran. Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Iya. Aku takut kamu kenapa-napa. Ini udah malem, lagian kamu harus naik angkot nanti.” Ranti hanya tersenyum sambil melihat ke arahku. Sesekali matany beredar seakan sedang mencari sesuatu. Aku yakin dia sedang mencari motorku saat ini.
“Itu tadi motor teman dan udah aku balikin. Sekarang kita pulang naik angkot. Gak keberatan, kan?”
Gadis manis nan cantik pujaan hatiku itu langsung mengangguk dengan sebuah senyuman manis terkembang di rautnya. Ini adalah hari terindah dalam hidupku, akhirnya kita baikan lagi setelah beberapa bulan perang dingin.