Ini malam minggu, pastinya malam yang asyik buat pacaran. Ciee ... kok jadi ngutip lirik lagu, sih. Tapi memang itu yang sedang aku inginkan. Aku udah hampir tujuh belas tahun, udah punya pujaan hati pula. Harusnya wajar jika aku habiskan malam ini berduaan dengan pacarku.
Sayangnya, aku tidak bisa melakukan itu. Bukan, bukan karena aku malas atau apa. Namun, aku gak punya alat transportasi untuk ke rumah Ranti. Kalau naik sepeda angin, rasanya sudah tidak pantas. Lebih besar tubuhku daripada sepeda anginku. Lagian sepeda itu sudah kuwariskan ke adikku sekarang.
Aku pengen banget sekali-kali ngalamin rasanya ngapel ke rumah Ranti di malam minggu. Lalu mengajaknya keluar jalan-jalan hanya untuk sekedar menikmati udara dan suasana malam. Namun, lagi-lagi itu hanya berada di anganku. Udah, aku bilang kalau keluargaku hanya keluarga sederhana. Tidak terlalu kaya juga tidak terlalu miskin.
Sepeda motor memang hanya ada dua di rumah. Satu dipakai papaku bekerja dan satunya lagi dipakai bergantian oleh kedua kakakku. Kalau aku mau pinjam pun harus mengantri dulu. Naas banget sih nasibku.
“Dit!! Ngapain kamu?” sentak Kak Doni membuyarkan lamunanku.
Aku melihat kakak keduaku itu baru saja datang kemudian aku melirik ke halaman rumahku, ada motornya yang terparkir dengan manis di sana.
“Kakak udah datang. Aku boleh pinjam motornya, gak?” Alih-alih menjawab pertanyaan Kak Doni, aku malah mengajukan pertanyaan balik.
“Emang mau ke mana? Ini udah malam. Kamu mau ngapel?”
Aku langsung terdiam, mengerjapkan mata berulang sambil melirik jam di dinding ruang tamu. Jarum jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Memang itu sedikit larut jika harus bertamu ke rumah orang. Apalagi jarak tempuh rumahku ke rumah Ranti hampir dua puluh menit. Tahu-tahu sampai rumahnya, aku udah kemaleman. Pasti orang tuanya akan berpikir buruk padaku. Ini benar-benar tidak baik untuk citraku.
Aku menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungku ke kursi.
“Kenapa gak dari tadi sih, Kak datangnya?” gerutuku sambil melirik sebal ke arah Kak Doni.
Kak Doni hanya tertawa cengengesan sambil memperhatikan aku.
“Memang kamu mau ke mana? Ngapel? Kamu udah punya pacar, Dit?”
Aku diam, tidak menjawab hanya melihat dengan sebal ke arah kakakku. Apa salah kalau aku sudah punya pacar? Hello!! Aku udah SMA, hampir tujuh belas. Masa dengan wajah seganteng ini aku gak bisa menaklukkan hati seorang gadis. Duh, sombong amat diriku.
“Kenapa kamu gak bilang kemarin? Tahu gitu aku gak ke kampus buat ikutan kegiatan hima.”
Aku kembali diam sambil mengerjapkan mata ke arah Kak Doni. Aku duduk tegak dan mencondongkan tubuhku ke arah Kak Doni.
“Emang Kakak mau minjemin aku?” tanyaku dengan lirih. Aku takut pembicaraan kami terdengar oleh Mama. Aku yakin Mama pasti ngomel begitu tahu aku naik motor, pasalnya aku belum cukup umur dan belum punya SIM. Itu salah satu alasannya.
Kak Doni tersenyum sambil menatapku kemudian menganggukkan kepala.
“Iya, asal kamu bawanya dengan bener. Jangan ugal-ugalan. Urusan izin ke Mama, biar aku saja!”
Aku terbelalak kaget mendengar penjelasan kakakku. “Beneran, Kak?”
Sekali lagi Kak Doni mengangguk sambil tersenyum. “Iya. Gak percaya banget sih ama aku.”
Aku hanya tersenyum meringis sambil terus menganggukkan kepala.
“Ya udah. Kalau kamu butuh, bilang aja. Tapi kalau bisa jangan dadakan soalnya aku sering ikut acara HIMA di kampus.”
Aku kini tersenyum lebar sambil berulang menganggukkan kepala. Rasanya keinginanku untuk ngapel ke rumah pujaan hatiku akan terwujud dalam waktu dekat ini. Namun, tentu saja aku harus memberitahu dia dulu. Ranti kan sering banget ada acara keluarga keluar kota. Nanti tahu-tahu aku ke rumahnya, dia gak ada di rumah.
Sedikit kegundahanku berkurang sudah, bahkan aku janji akan mulai menabung uang jajanku lagi. Gak mungkin dong malam mingguan ngajak jalan pacar, tapi cuman muter-muter doang. Ya ... meskipun pacarku hanya suka minum doang. Malam ini aku tidur dengan nyenyak dan berharap besok senin aku bisa bertemu Ranti.
Ternyata doaku terkabul. Pulang sekolah senin ini, aku naik angkot dan kebetulan angkotnya berjalan melambat di depan sekolah Ranti. Aku mencoba mencari sosok cantik pujaan hatiku itu. Kalaupun dia tidak naik, maka aku yang akan turun. Tak disangka tak diduga, ternyata dia datang. Namun, kali ini dia bersama seorang temannya.
Mereka langsung naik dan duduk di depanku. Ranti langsung tersenyum begitu melihatku. Lagi-lagi penghuni angkot ini tidak seramai biasanya hanya ada lima orang di bagian belakang. Itu pun termasuk aku, Ranti dan temannya.
“Ranti, kamu tahu Dion, gak?” ucap teman Ranti membuka obrolan. Ranti tersenyum sambil menganggukkan kepala menjawab temannya.
“Dion itu gimana menurutmu? Baik, gak? Soalnya tuh anak tiba-tiba nembak aku tadi ... .” Teman Ranti terus nyerocos panjang lebar kayak kereta api gak ada remnya. Aku saja yang mendengarkan sedikit kesal apalagi Ranti.
Ranti hanya tersenyum menanggapinya. Sesekali dia mengangguk dan tak jarang juga menggeleng sebagai reaksi atas cerita teman Ranti itu. Aku terus memperhatikan mereka, mataku bahkan tidak lepas dari gadis manis pujaanku ini. Pengen banget aku menyapa atau sekedar bertanya tentang keadaannya hari ini. Namun, lagi-lagi teman Ranti itu terus nyerocos bagai motor yang remnya blong saja.
Aku berdecak kesal sambil memalingkan wajah melihat keluar angkot melalui jendela belakang angkot. Ranti melirikku, sepertinya dia tahu kalau aku sedikit kesal dengan temannya itu.
“Eng ... Lin. Kalau menurutku, lakukan saja apa yang kamu suka sesuai dengan hatimu,” Ranti berbicara.
Aku melihat gadis pujaanku itu lewat sudut mata dan dia membalas tatapanku sekilas dengan sebuah senyuman manis.
“Kalau kamu suka Dion, ya udah terima aja jadi pacarmu. Setahuku Dion anak yang baik, kok. Dia gak nakal seperti anak yang lainnya,” saran Ranti. Aku mengulum senyum mendengar nasehatnya. Sejak kapan gadis kesayanganku ini jadi penasehat percintaan. Apa dia sudah berpengalaman sekarang?
“Gitu ya? Ya udah, besok aku bakal jawab aja, deh. Soalnya jujur aku juga suka dia.” Teman Ranti menjawab dan kini sedikit mengerem nada bicaranya. Ranti hanya manggut-manggut mendengarkan.
“Terus kamu sendiri, gimana? Aku lihat Jefri suka kamu, Ranti. Bahkan dia bolak balik mau ngajakin kamu pulang bareng. Kenapa kamu nolak dia? Kamu gak suka? Padahal Jefri ganteng, kaya dan ketua paskibra lagi.”
Aku langsung terdiam dan pura-pura tidak mendengar. Aku penasaran dengan jawaban Ranti kali ini. Ternyata tepat tebakanku kalau gadis pujaanku ini jadi idola di sekolahnya. Ranti menghela napas panjang sambil melirikku sekilas.
“Aku ... aku udah punya pacar. Itu sebabnya aku nolak dia,” jawab Ranti. Aku langsung tersenyum kesenangan, tapi wajahku masih asyik memperhatikan keadaan di luar angkot dan tidak menoleh ke arah mereka.
“Beneran? Aku pikir kamu belum punya pacar. Anak mana pacarmu? Anak sekolah kita juga?”
Ranti tersenyum lagi kemudian menggeleng dan melihat ke arahku. Aku sadar kalau Ranti sedang mengamati. Aku menoleh ke arahnya dan kini temannya juga ikut melihat ke arahku.
“Dit, kamu mau bilang sekolah di mana?” Tiba-tiba Ranti berkata seperti itu, tentu saja teman Ranti itu tampak bingung.
Lagi-lagi Ranti tersenyum dan terus menatap ke arahku. Sumpah, cantik banget gadis pujaanku satu ini apalagi kalau wajah ayunya sedang menatapku seperti itu. Segala bentuk keindahan di alam semesta ini serasa berkumpul hanya di dirinya kali ini.
“Dia Adit, pacarku.”