Ternyata benar tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini. Keindahan, kebahagian pasti ada akhirnya. Seperti yang aku alami hari ini. Aku menunduk lesu saat melihat hasil ujian akhirku. Memang kali ini yang mengambil hasil ujianku di sekolah adalah Mama dan itu sebabnya aku merasa sangat malu.
Nilai yang aku hasilkan sama sekali tidak memuaskan bahkan cenderung kurang. Untuk masuk sekolah negeri pun akan sulit apalagi sekolah favorit seperti yang dikatakan Ranti tempo hari. Aku sendiri tidak tahu padahal aku sudah belajar semaksimal mungkin. Aku juga selalu mengulang semua mata pelajaran dengan baik. Namun, lagi-lagi aku mengecewakan mamaku.
“Udah, Dit!! Gak usah disesali. Yang terjadi ya sudah, mau apa lagi. Yang pasti sepertinya kamu tidak akan bisa masuk sekolah negeri. Itu artinya Mama dan Papa harus menyiapkan lebih banyak dana untuk menyekolahkanmu di sekolah swasta. Padahal saat ini berbarengan dengan kakakmu juga yang masuk universitas.”
Aku terdiam, tidak menjawab hanya terus menunduk. Kak Doni, kakakku yang nomer dua memang kebetulan berbarengan dengan aku masuk ke universitas. Memang jarak usiaku dengannya tiga tahun dan itu pula yang membuat mamaku selalu pusing tujuh keliling setiap momen berbarengan seperti ini.
“Nanti Mama akan cari sekolah swasta yang bagus untukmu. Kamu gak papa, ‘kan?”
Aku menghela napas panjang sambil mengangguk pelan. “Iya, Ma. Maaf, Adit ngecewain Mama.”
Mamaku tersenyum kemudian direngkuhnya tubuhku masuk dalam pelukannya.
“Enggak. Kamu sama sekali gak ngecewain Mama. Mama juga salah gak memberi kamu les tambahan sehingga tidak mendapat hasil maksimal. Mama juga minta maaf, ya!!”
Aku kembali mengangguk dan membalas pelukan wanita paruh baya ini. Aku sungguh menyesal kali ini karena selama ini yang aku upayakan ternyata tidak membuahkan hasil yang baik. Apa mungkin otakku benar-benar terbatas sehingga tidak bisa menerima kapasitas ilmu dengan maksimal.
“Ma ... kalau bisa aku sekolah swasta di dekat sini saja, yang dekat rumah itu murah, Ma,” celetukku kemudian.
Mama berdecak sambil menggelengkan kepala usai mengurai pelukannya.
“Dit, kalau sekolah swasta harus lihat-lihat. Mama juga ingin kamu mendapatkan yang terbaik. Kamu gak usah khawatir soal biaya, biar nanti Mama dan Papa yang cari. Kamu sekolah saja yang pinter biar jadi orang sukses di kemudian hari.”
Aku tersenyum dan menganggukkan kepala lagi. Aku sayang mamaku, dia adalah orang pertama yang paling mengerti aku. Bahkan belakangan ini aku sering cerita tentang Ranti padanya. Hanya saja Mama menanggapinya dengan sambil lalu. Lalu tentang kegagalanku kali ini, Mama sama sekali tidak mengaitkannya dengan kedekatanku bersama Ranti di sekolah.
Aku memang tidak terlahir dari keluarga kaya, tapi di sini kasih sayang Mama Papa sangat berlimpah ruah.
Sejak hari kelulusan itu, aku tidak pernah ke sekolah bahkan saat cap tiga jari, aku sengaja datang paling akhir dan gegas pulang. Aku bahkan tidak bertemu dengan si Rambut Brokoli, apalagi sang Pujaan Hatiku, Ranti. Bukan, bukan aku tidak ingin menemuinya. Kalau mau jujur, aku sangat merindukannya. Namun, aku malu. Aku sama sekali tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan di depannya. Aku pria gagal yang lulus dengan nilai minimal. Bahkan aku sendiri malu untuk menyebutkan jumlah skornya.
Liburan kenaikan kelas kali ini aku habiskan di rumah nenek. Aku sengaja ingin menenangkan diri di sana. Parahnya saat berangkat dan pulang dari sana, aku naik kereta api. Rumah Ranti depannya dilalui oleh kereta api dan tanpa sengaja kembali aku mengingat dirinya.
Aku melirik sekilas saat kereta berjalan melambat di depan rumahnya. Aku berharap ada dia di depan sana dan bisa kupandang sejenak sebagai pengobat rinduku. Namun, rumahnya tertutup rapat dan tidak tampak Ranti di sana. Mungkin juga dia sama denganku sedang menikmati masa liburan hingga tiba masuk sekolah dan tahun ajaran baru.
Seminggu sebelum masuk sekolah, tanpa sengaja aku bertemu Erwin. Erwin begitu gembira melihatku. Hampir satu bulan kami tidak bertemu dan dia begitu bahagia.
“Dit!! Aku pikir kamu udah pindah rumah. Ke mana saja kok gak pernah kelihatan?” tanya Erwin.
Aku hanya tersenyum meringis sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Aku liburan di rumah nenek.” Erwin hanya manggut-manggut.
“Terus pas cap tiga jari kemarin, kamu datang?” Aku mengangguk.
“Iya, datang, kok. Cuman sedikit terlambat.”
Erwin tampak menghela napas panjang sambil menatapku tajam.
“Kenapa, Win?” tanyaku penasaran.
“Kamu dicariin Ranti. Dia penasaran kamu ke mana, kok tiba-tiba ngilang.” Aku terdiam, menundukkan kepala dan tidak bisa menjawab.
“Kenapa, Dit? Kamu bubar ama Ranti?” Aku terkejut dan spontan mengangkat kepala melihat ke arah Erwin.
Aku tidak tahu hubungan apa yang kujalin dengan Ranti. Yang pasti kami saling dekat dan saling suka saat itu. Lalu saat Erwin tiba-tiba bilang bubar, aku sama sekali gak tahu artinya. Karena aku masih selalu terikat padanya hanya saja rasa minder dan kegagalanku ini menjadi penyebab aku menghindar.
“Dia sekolah di mana, Win?” Aku mengalihkan topik pembicaraan.
“Ranti masuk SMA favorit pilihannya. Nilai ujiannya bagus. Dia masuk tiga besar di sekolah, Dit.”
Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Lagi-lagi rasa minder kembali menghimpitku membuatku semakin tidak percaya diri untuk menemuinya.
“Syukurlah aku senang mendengarnya.”
“Terus kamu sendiri sekolah di mana?” Aku menelan ludah menggerakkan jakunku naik turun tak beraturan terus melirik ke arah Erwin.
“Nilai ujianku rendah, Win. Aku gak bisa masuk negeri jadi aku sekolah di SMA swasta.” Kemudian aku sudah menyebutkan salah satu sekolah swasta yang cukup bonafit di kotaku.
“Gila!! Sekolah situ kan lumayan mahal bayarnya, Dit.” Aku hanya diam membisu. Kalau mau jujur, aku juga gak mau sekolah di sana. Lagi-lagi aku membuat beban orang tuaku bertambah. Namun, sayangnya Mama dan Papa sendiri yang mengambil keputusan di sana.
“Eh, minggu ini anak-anak ngajakin ketemu. Kalau kamu ada waktu senggang ikut, Dit!! Ranti juga datang, kok.”
Aku terdiam membisu. Ingin sekali aku mengiyakan permintaannya. Namun, apa yang akan aku lakukan di sana. Pasti ujung-ujungnya semua temanku membicarakan keberhasilannya masuk sekolah favorit atau yang sesuai dengan keinginannya. Sedangkan aku. Yang ada nanti aku pasti jadi bahan bulan-bulanan mereka dan tentu membuat malu Ranti.
Sejak kejadian liburan sekolah di Bali kemarin, banyak temanku tahu kalau aku dekat dengan Ranti. Mereka pasti sibuk menggosipkan diriku dan Ranti pada akhirnya. Lalu mereka akan membuat kesimpulan sendiri. Menyayangkan Ranti yang pintar, cantik dan segudang bakatnya malah memilih dekat dengan pria yang punya banyak kegagalan seperti aku.
Tidak, aku tidak mau membuatnya semakin bersedih. Ranti sudah berhasil mewujudkan keinginannya dan aku yang kalah. Biar saja dia yang bersinar di sana dan aku di sini saja, melihatnya dari jauh.
“Dit, datang, gak?” Erwin menginterupsi lamunanku.
“Iya, lihat besok. Soalnya bareng ama acara keluarga,” bohongku.
Erwin hanya manggut-manggut dan percaya begitu saja pada ucapanku. Semoga saja Erwin tidak curiga padaku kali ini dan semoga saja dia tidak menceritakan kegagalanku ke Ranti. Ini sangat memalukan bagiku.