Hari minggu yang aku tunggu tiba. Sebelum jam lima aku sudah bangun, mandi dan bersiap. Tak lupa aku memakai parfum kepunyaan kakakku. Pokoknya hari ini aku ingin tampil sesempurna mungkin.
“Kamu mau ke mana, Dit?” tanya Mama.
“Bersepeda, Ma. Udah janjian ama Erwin,” jawabku. Ya ... memang aku tidak bilang ke Mama kalau aku tidak hanya bersepeda dengan Erwin melainkan dengan Ranti juga. Namun, aku malu kalau harus berkata jujur dengan Mama.
“Ya udah. Hati-hati!!”
Aku mengangguk, berpamitan dan berlalu pergi meninggalkan rumah. Aku kayuh sepedaku lebih cepat menuju rumah Erwin. Aku tidak mau terlambat sampai di rumah Ranti. Untung saja Erwin sudah bangun dan tengah bersiap menunggu di depan rumahnya.
“Yuk, berangkat sekarang, Win!!” ujarku tanpa menghentikan sepeda. Erwin mengangguk dan gegas menjejeri bersepeda di sampingku.
“Jadi ini kencan pertamamu, Dit?” Erwin sudah bersuara dengan menggoda. Aku hanya tersenyum sambil meliriknya sekilas.
Lucu juga sih kalau disebut kencan. Ingat, ya! Umurku belum tujuh belas, bahkan belum genap enam belas. Anggap saja ini main bareng bukan kencan. Ya ... sepertinya itu lebih tepat untuk anak seusiaku.
Dua puluh menit kemudian aku sudah tiba di rumah Ranti. Ternyata gadis manis pujaan hatiku itu sedang menunggu di teras. Aku gegas memarkir sepedaku dan masuk ke dalam rumahnya.
“Sudah siap?” tanyaku dengan senyuman termanisku.
“Iya, sudah.” Ranti menjawab dan membalas dengan senyum semanis gula jawanya.
“Gak pamit mamamu dulu.” Aku mengingatkan. Ranti mengangguk kemudian sudah masuk ke dalam rumah dan tak lama keluar lagi bersama seorang wanita paruh baya yang wajahnya mirip Ranti.
“Tante, saya dan Ranti izin mau bersepeda dulu,” ucapku. Sumpah, aslinya aku grogi banget dan deg degan. Ini pertama kali aku minta izin kepada orang tua Ranti. Ya ... anggap saja ini latihan untuk menjadi menantunya.
Ihs ... apaan sih aku. Kenapa juga otakku travelingnya kejauhan sampai sana? Lulus SMP aja belum.
“Iya, hati-hati, ya!” jawab si Tante.
Aku mengangguk kemudian sudah berpamitan. Ada Erwin yang sudah menunggu kami dan Ranti menyapanya sekedar basa basi. Selanjutnya kami sudah bersepeda bareng. Kami melaju dengan perlahan menuju alun-alun kota, bermain di taman kota sambil menikmati udara pagi. Kemudian berjalan lagi menyusuri jalan kota.
Memang suasana minggu pagi di kotaku diberlakukan car free day sehingga sangat aman untuk bersepeda seperti ini. Sepanjang perjalanan banyak sekali hal random yang kami obrolkan. Akhirnya aku tahu jika Ranti itu hobby menulis puisi dan cerpen. Bahkan dia sering mengirim hasil karyanya ke media cetak dan menghasilkan uang.
Sumpah, aku semakin bangga padanya. Dia tidak hanya cantik dan pintar, tapi juga berbakat. Akh ... benar-benar deh Tuhan menciptakan makhluk satu ini teramat sempurna di mataku. Namun, entah mengapa kadang terbesit di dalam hatiku. Apa aku mampu bersanding dengan dia yang terlalu indah dan sempurna di mataku.
“Dit!!!” Tiba-tiba Erwin memanggil, aku menoleh ke belakang. Memang kali ini Erwin bersepeda di belakangku dan Ranti.
“Ada apa, Win?”
“Aku haus juga laper. Kita berhenti dulu, yuk!!” ajak Erwin.
Astaga, aku sampai melupakan sahabatku satu ini. Aku tersenyum kemudian menganggukkan kepala.
“Kita beli minum dulu, ya!” pintaku ke Ranti.
Ranti hanya mengangguk sambil tersenyum. Untung saja hari minggu seperti ini banyak sekali penjual dadakan yang berjualan di area taman kota. Aku sudah berhenti di salah satu pedangan nasi pecel dan juga minuman.
Usai memarkir sepeda, aku sudah memesan minuman dan makanan. Namun, kali ini Ranti menolak untuk makan, dia memilih beli minum saja. Itu pun dia pilih teh manis hangat. Beda dengan aku dan Erwin yang lebih memilih es teh.
“Kamu beneran gak makan?” Aku bertanya memastikan ke Ranti.
“Enggak, Dit. Aku gak bisa kalau makan terlalu pagi nanti bisa muntah.”
Aku mengernyitkan alis sambil menatapnya. Padahal aku sengaja menyisihkan uang jajanku beberapa hari untuk mentraktirnya hari ini. Namun, dia malah memilih minum teh hangat saja.
“Ya udah, kalau gitu temani aku makan, ya?” Ranti tersenyum sambil mengangguk.
Kali ini kami duduk bersebelahan dan sumpah aku seneng banget. Ternyata jatuh cinta itu seindah ini. Senyuman manis terus terukir di wajahku. Apalagi selama menemani aku makan, kita terus bicara banyak. Ranti banyak cerita tentang keluarganya dan juga kesibukannya yang dipenuhi dengan les. Aku juga menceritakan keluargaku yang selalu ramai. Adekku yang reseh, lalu dua kakakku yang sok sibuk dan jarang di rumah. Semua aku ceritakan padanya.
“Sekarang aku tahu kenapa badanmu kecil gitu,” celetukku usai menghabiskan nasi pecelku.
Ranti tertawa mendengar ucapanku. Baru kali ini aku melihat dia tertawa lebar, biasanya hanya senyum saja.
“Aku doyan makan kok, Dit. Hanya saja aku tidak biasa makan pagi. Biasanya kalau berangkat sekolah, aku hanya minum susu. Aku suka susu coklat dan semua makanan yang berbau coklat.”
Aku langsung tersenyum mendengarnya sambil berulang menganggukkan kepala. Sepertinya itu kode dari Ranti untuk memberi tahu kalau dia lebih suka diberi coklat sebagai hadiah ulang tahunnya dua bulan lagi.
Usai menuntaskan makan dan menyelesaikan transaksi, kami kembali melanjutkan bersepeda. Kali ini aku mengayuh dengan sedikit lambat begitu juga Erwin. Ranti yang berada di sebelahku hanya tertawa melihat ulah kami.
“Kenapa tertawa?” tanyaku penasaran.
Ranti menggeleng sambil menutup mulutnya. “Lucu aja ngelihat kalian berdua. Kayaknya kalian kekenyangan, tuh. Jangan dipaksa, kita berhenti dulu saja.”
Aku mengangguk dan mengikuti saran Ranti. Erwin juga setuju. Kami berhenti lagi, kali ini sepeda kami parkir di depan taman kota. Banyak sekali orang yang melakukan aktivitas di sana. Erwin sudah berdiri dan berjalan-jalan sebentar. Mungkin dia ingin membuat perutnya nyaman. Sementara aku hanya berdiri sambil menggerakkan tubuhku ke kiri dan kanan.
Sedangkan gadis manis pujaanku itu tengah duduk manis di depanku. Entah aku ke-gr-an atau gimana, yang pasti mata almondnya yang indah tengah menatap ke arahku. Aku pura-pura tidak melihat dan membiarkan dia mengamatiku dengan puas. Padahal kalau mau jujur, hatiku kebat kebit tak karuan, pengen loncat sekaligus pengen pingsan. Akh ... entahlah aku gak tahu gimana jelasinnya. Yang pasti gadis manis di depanku ini sudah membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Dit, kamu suka puisi, gak?” Tiba-tiba Ranti mengajukan pertanyaan random.
Aku menghentikan olah gerakku lalu duduk jongkok di depannya. Tentu saja Ranti terkejut melihat ulahku, kesannya aku seperti sedang bersimpuh di depannya. Ya ... kalau dilihat kayak orang lagi melakukan lamaran saja. Busyet!!! Kenapa juga aku bertingkah kayak orang dewasa, ya?
“Eng ... suka. Emang kenapa? Kamu mau buatin lagi untukku?” Aku bertanya sambil menatap tajam gadis manis nan cantik di depanku ini.
Ranti terdiam, tidak bisa menjawab hanya bibirnya yang terbuka tertutup dengan spontan, lalu gegas dia menunduk setelah sebelumnya mengangguk dengan malu-malu. Aku langsung tersenyum dan tidak lepas melihat ke arahnya. Sengaja aku melakukan hal yang sama dengan yang Ranti lakukan barusan. Aku gak mau dong melayang dan terbuai sendiri. Aku ingin kamu juga merasakan apa yang aku rasa. Jatuh cinta, kangen, melayang dan mungkin terbang tinggi.